Hadis-hadis tentang pemimpin
Hadis ke 1
Kesejahteraan rakyat adalah Tanggung
jawab seorang pemimpin
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ
وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ
مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ
وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ
مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar
rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta
pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta
pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan
ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah
tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang
pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya
juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan
akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya.
(buchary, muslim)
Penjelasan:
Pada dasarnya, hadis di atas berbicara tentang
etika kepemimpinan dalam islam. Dalam hadis ini dijelaskan bahwa etika paling
pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab. Semua orang yang hidup di muka
bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua
memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang
suami bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada
anak-anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang atasan
bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati, gubernur
bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya, dst.
Akan tetapi, tanggung jawab di sini bukan
semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan
dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang
dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih berarti upaya seorang pemimpin
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri
secara bahasa bermakna gembala dan kata ra-‘in berarti pengembala.
Ibarat pengembala, ia harus merawat, memberi makan dan mencarikan tempat
berteduh binatang gembalanya. Singkatnya, seorang penggembala bertanggung jawab
untuk mensejahterakan binatang gembalanya.
Tapi cerita gembala hanyalah sebuah tamsil, dan
manusia tentu berbeda dengan binatang, sehingga menggembala manusia tidak sama
dengan menggembala binatang. Anugerah akal budi yang diberikan allah kepada
manusia merupakan kelebihan tersendiri bagi manusia untuk mengembalakan dirinya
sendiri, tanpa harus mengantungkan hidupnya kepada penggembala lain. Karenanya,
pertama-tama yang disampaikan oleh hadis di atas adalah bahwa setiap manusia
adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau
denga kata lain, seseorang mesti bertanggung jawab untuk mencari makan atau
menghidupi dirinya sendiri, tanpa mengantungkan hidupnya kepada orang lain
Dengan demikian, karena hakekat kepemimpinan
adalah tanggung jawab dan wujud tanggung jawab adalah kesejahteraan, maka bila
orang tua hanya sekedar memberi makan anak-anaknya tetapi tidak memenuhi
standar gizi serta kebutuhan pendidikannya tidak dipenuhi, maka hal itu masih
jauh dari makna tanggung jawab yang sebenarnya. Demikian pula bila seorang
majikan memberikan gaji prt (pekerja rumah tangga) di bawah standar ump
(upah minimu provinsi), maka majikan tersebut belum bisa dikatakan bertanggung
jawab. Begitu pula bila seorang pemimpin, katakanlah presiden, dalam memimpin
negerinya hanya sebatas menjadi “pemerintah” saja, namun tidak ada upaya serius
untuk mengangkat rakyatnya dari jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka
presiden tersebut belum bisa dikatakan telah bertanggung jawab. Karena tanggung
jawab seorang presiden harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak
pada rakyat kecil dan kaum miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan
teman-teman dekat. Oleh sebab itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari
standar kesejahteraan, maka tanggung jawab pemimpinnya masih perlu
dipertanyakan.
Hadis ke 2
Hukuman bagi pemimpin yang menipu rakyat
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ
الْحَسَنِ قَالَ عَادَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ
الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ
حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ
عَلِمْتُ أَنَّ لِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ
رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ
اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Abu ja’la (ma’qil) bin jasar r.a berkata:
saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: tiada seorang yang diamanati oleh
allah memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya,
melainkan pasti allah mengharamkan baginya surga. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Kejujuran adalah modal yang paling mendasar dalam
sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran, kepemimpinan ibarat bangunan tanpa
fondasi, dari luar nampak megah namun di dalamnya rapuh dan tak bisa bertahan
lama. Begitu pula dengan kepemimpinan, bila tidak didasarkan atas kejujuran
orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka jangan harap kepemimpinan itu akan
berjalan dengan baik. Namun kejujuran di sini tidak bisa hanya mengandalakan
pada satu orang saja, kepada pemimpin saja misalkan. Akan tetapi semua komponen
yang terlibat di dalamnya, baik itu pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya,
hingga struktur yang paling bawah dalam kepemimpnan ini, semisal tukang
sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Hal itu karena tidak
sedikit dalam sebuah kepemimpinan, atau sebuah organisasi, terdapat pihak yang
jujur namun juga terdapat pihak yang tidak jujur. Bila pemimpinnya jujur namun
staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan itu juga akan rapuh. Begitu pula
sebaliknya.
Namun secara garis besar, yang sangat ditekankan
dalam hadis ini adalah seorang pemimpin harus memberikan suri tauladan
yang baik kepada pihak-pihak yang dipimpinnya. Suri tauladan ini tentunya
harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan
pemimpin yang tidak menipu dan melukai hati rakyatnya. Pemimpin yang menipu dan
melukai hati rakyat, dalam hadis ini disebutkan, diharamkan oleh allah untuk
mengninjakkan kaki si sorga. Meski hukuman ini nampak kurang kejam, karena
hanya hukuman di akhirat dan tidak menyertakan hukuman di dunia, namun
sebenarnya hukuman “haram masuk sorga” ini mencerminkan betapa murkanya
allah terhadap pemimpin yang tidak jujur dan suka menipu rakayat.
Hadis ke 3
Pemimpin dilarang bersikap birokratis
حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ
حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ قَالَ أَتَيْتُ
عَائِشَةَ أَسْأَلُهَا عَنْ شَيْءٍ فَقَالَتْ مِمَّنْ أَنْتَ فَقُلْتُ رَجُلٌ مِنْ
أَهْلِ مِصْرَ فَقَالَتْ كَيْفَ كَانَ صَاحِبُكُمْ لَكُمْ فِي غَزَاتِكُمْ هَذِهِ
فَقَالَ مَا نَقَمْنَا مِنْهُ شَيْئًا إِنْ كَانَ لَيَمُوتُ لِلرَّجُلِ مِنَّا
الْبَعِيرُ فَيُعْطِيهِ الْبَعِيرَ وَالْعَبْدُ فَيُعْطِيهِ الْعَبْدَ وَيَحْتَاجُ
إِلَى النَّفَقَةِ فَيُعْطِيهِ النَّفَقَةَ فَقَالَتْ أَمَا إِنَّهُ لَا
يَمْنَعُنِي الَّذِي فَعَلَ فِي مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَخِي أَنْ
أُخْبِرَكَ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ فِي بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا
فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي
شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ
حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ حَرْمَلَةَ
الْمِصْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
‘Aisjah r.a berkata : saya telah mendengar
rasulullah saw bersabda di rumahku ini : ya allah siapa yang menguasai sesuatu
dari urusan umatku, lalu mempersukar pada mereka, maka persukarlah baginya. Dan
siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah
baginya. (hr. Muslim)
Penjelasan:
Hadis ini menerangkan tentang larangan seorang
pemimpin untuk bersikap arogan, elitis, represif dan birokratis atau
mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Karena sebagaimana kita ketahui, tidak sedikit
pemimpin yang bersikap arogan dan mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Untuk
mengurusi dokumen-dokumen kewarganegaraan saja misalkan, seperti ktp, akta
kelahiran, perijinan usaha, dsb, seorang rakyat harus melalui tahapan-tahapan
yang cukup rumit dan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Padahal, seorang pemimpin, menurut hadis ini,
harus memberikan pelayanan yang maksimal serta tidak menyulitkan warga atau
rakyat. Bila semua urusan itu bisa dipermudah kenapa harus dipersulit.
Akibatnya, birokrasi yang sejatinya bertujuan untuk mempermudah, berbalik
menjadi mempersulit segala urusan rakyat. Oleh sebab itu, bila sorang
pemimpin suka mempersulit urusan rakyatnya, maka niscaya allah akan mempersulit
segala urusan dia baik di dunia lebih-lebih di akhirat nanti.
Hadis ke 4
Kontrak politik sebagai
mekanisme kontrol terhadap pemimpin
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ
قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ
تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ
لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا
تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ
فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Abu hurairah r.a berkata : rasulullah saw
bersabda : dahulu bani israil selalu dipimpin oleh nabi, tiap mati seorang nabi
seorang nabi digantikan oleh nabi lainnya, dan sesudah aku ini tidak ada nabi,
dan akan terangkat sepeninggalku beberapa khalifah. Bahkan akan bertambah
banyak. Sahabat bertanya: ya rasulullah apakah pesanmu kepada kami? Jawab nabi:
tepatilah baiatmu (kontrak politik) pada yang pertama, dan berikan kepada
mereka haknya, dan mohonlah kepada allah bagimu, maka allah akan menanya
mereka dari hal apa yang diamanatkan dalam memelihara hambanya.
Penjelasan:
Pada umumnya, kata bai’at diartikan sebagai
janji. Namun sebenarnya, kata bai’at berasal dari suku kata bahasa arab ba-ya-‘a
yang bermakna transaksi. Bila transaksi ini konteksnya adalah ekonomi maka ia
berarti jual beli yang kemudian dikenal dengan kata kerja bu yu’ yang
berarti terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli. Akan tetapi
bila konteks kata tersebut adalah politik, maka yang dimaksud transaksi di sini
adalah sebuah perjanjian antar rakyat dan pemimpin. Karena itu, tak heran bila
rasul s.a.w senantiasa menekankan pentingnya bai’at dalam sebuah kepemimpinan,
dengan bai’at seorang pemimpin telah melakukan transaksi politik yang menuntut
pemenuhan atas point-poin yang menjadi ksepakatan dalam transaksi mereka
(pemimpin dan rakyat).
Akan tetapi, dalam konteks belakangan ini, kata
bai’at mengalami reduksi makna hanya sekedar sumpah jabatan yang biasanya
bersifat pasif dan tidak memberikan ruang tawar menawar politik antara rakyat
dan pemimpin. Bila kita melihat praktik sumpah jabatan di indonesia misalkan,
sumpah jabatan presiden hanya dibacakan secara sepihak antara mpr dan presiden
namun tidak menyisakan ruang negoisasi antara rakyat dan prsiden. Padahal,
rakyat sebagai pihak yang dipimpin seharusnya berhak membuat
kesepakatan-kesepakatan politik tertentu dengan presiden yang bila kesepakatan
itu dilanggar maka jabatan presidien dengan sendirinya akan gugur. Oleh
sebab itu, agar sumpah jabatan ini tidak sekedar menjadi ritual dalam setiap
pemilihan presiden atau pemimpin namun tidak memiliki dampak yang berarti dalam
proses kepemimpinannnya, maka kemudian kita mengenal apa yang dalam istilah
politik disebut sebagai “kontrak politik”.
Kontrak politik di sini mengandung pengertian
sebuah ruang dimana antara pemimpin dan rakyat melakukan “transaksi” dan
membuat kesepakatan-kesepakatan tertentu yang memilki resiko-resiko bila kedua
belah pihak melanggarnya. Kontrak politik, dalam hal ini tidak berbeda dengan
ba’at dalam istilah islam. Hanya saja, kontrak politik terjadi antara rakyat
dan pemimpin secara setara dan diketahui secara publik, tetapi bai’at dilakukan
oleh rakyat, pemimpin dan di atas keduanya ada tuhan sebagai saksi. Oleh sebab
itu, bila kita memaknai hadis di atas secara dalam dan kontekstual, maka kita
dapat menangkap pesan bahwa rasul s.a.w menekankan betapa pentingnya sebuah
kontrak politik dalam sebuah sistem kepemimpinan yang islami.
Hadis ke 5
Pemimpin dilarang bersikap otoriter
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ أَنَّ عَائِذَ بْنَ عَمْرٍو وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ
زِيَادٍ فَقَالَ أَيْ بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ الْحُطَمَةُ فَإِيَّاكَ أَنْ
تَكُونَ مِنْهُمْ فَقَالَ لَهُ اجْلِسْ فَإِنَّمَا أَنْتَ مِنْ نُخَالَةِ
أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ وَهَلْ كَانَتْ
لَهُمْ نُخَالَةٌ إِنَّمَا كَانَتْ النُّخَالَةُ بَعْدَهُمْ وَفِي غَيْرِهِمْ
‘Aidz bin amru r.a, ketika ia masuk kepada
ubaidillah bin zijad berkata: hai anakku saya telah mendengar rasulullah saw
bersabda: sesungguhnya sejahat-jahat pemerintah yaitu yang kejam (otoriter),
maka janganlah kau tergolong daripada mereka. (HR. Buchary, Muslim)
Penjelasan:
Hadis ke 6
Pemimpin sebagai pelayan rakyat
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدِّمَشْقِيُّ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَنَّ
الْقَاسِمَ بْنَ مُخَيْمِرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا مَرْيَمَ الْأَزْدِيَّ
أَخْبَرَهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ مَا أَنْعَمَنَا بِكَ أَبَا
فُلَانٍ وَهِيَ كَلِمَةٌ تَقُولُهَا الْعَرَبُ فَقُلْتُ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ
أُخْبِرُكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ
فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ
عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ قَالَ فَجَعَلَ رَجُلًا عَلَى
حَوَائِجِ النَّاسِ
Abu maryam al’ azdy r.a berkata kepada
muawiyah: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: siapa yang diserahi
oleh allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemdian ia sembunyi dari
hajat kepentingan mereka, maka allah akan menolak hajat kepentingan dan
kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah mengangkat seorang untuk
melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat). (abu dawud, attirmidzy)
Penjelasan:
Pemimpin sebagai pelayan dan rakyat sebagai tuan.
Itulah kira-kira yang hendak disampaikan oleh hadis di atas. Meski tidak secara
terang-terangan hadis di atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan pemimpin
sebagai pelayan, namun setidaknya hadis ini hendak menegaskan bahwa islam
memandang seorang pemimpin tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena
hakekat pemimpin ialah melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia
tentu tidak beda dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas melayani
kebutuhan-kebutuhan majikannya. Seorang pelayan rumah tangga, misalkan, harus
bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian juga seorang pelayan
kepentingan rakyat harus bertanggung jawab untuk melayani seluruh kepentingan
rakyatnya.
Dalam konteks indoensia, sosok “pelayan” yang
bertugas untuk memenuhi kepentingan “tuan” rakyat ini adalah presiden, menteri,
dpr, mpr, ma, bupati, walikota, gubernur, kepala desa, dan semua birokrasi yang
mendukungnya. Mereka ini adalah orang-orang yang kita beri kepercayaan
(tentunya melalui pemilu) untuk mengurus segala kepentingan dan kebutuhan kita
sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka tidak melaksanakan tugasnya sebagai
pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan” berhak untuk “memecat” mereka dari
jabatannya.
Hads ke 7
Pemimpin harus bersikap adil
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَّامٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ
عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ
بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ
يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ
اللَّهِ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ فِي خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ
قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ وَرَجُلٌ
دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّي
أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ
شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ
Abu hurairah r.a: berkata: bersabda nabi saw:
ada tujuh macam orang yang bakal bernaung di bawah naungan allah, pada hati
tiada naungan kecuali naungan allah:
Imam(pemimpin) yang adil, dan pemuda yang
rajin ibadah kepada allah. Dan orang yang hatinya selalu gandrung kepada
masjid. Dan dua orang yang saling kasih sayang karena allah, baik waktu
berkumpul atau berpisah. Dan orang laki yang diajak berzina oleh wanita
bangsawan nan cantik, maka menolak dengan kata: saya takut kepada allah. Dan
orang yang sedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak
mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan orang berdzikir
ingat pada allah sendirian hingga mencucurkan air matanya. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Meski hadis ini menjelaskan tentang tujuh macam
karakter orang yang dijamin keselamatannya oleh allah nanti pada hari kiamat,
namun yang sangat ditekankan oleh hadis ini adalah karakter orang yang pertama,
yaitu pemimpin yang adil. Bukannya kita menyepelekan enam karakter sesudahnya,
akan tetapi karakter pemimpin yang adil memang menjadi tonggak bagi
kemaslahatan seluruh umat manusia. Tanpa pemimpin yang adil maka kehidupan ini
akan terjebak ke dalam jurang penderitaan yang cukup dalam.
Untuk melihat sejauh mana seorang peimimpin itu
telah berlaku adil terhadap rakyatnya adalah melalui keputusan-keputuasan dan
kebijakan yang dikeluarkannya. Bila seorang pemimpin menerapkan hukum secara
sama dan setara kepada semua warganya yang berbuat salah atau melanggar hukum,
tanpa tebang pilih, maka pemimpin itu bisa dikatakan telah berbuat adil. Namun
sebaliknya, bila pemimpin itu hanya menghukum sebagian orang (rakyat kecil)
tapi melindungi sebagian yang lain (elit/konglomerat), padahal mereka sama-ama
melanggar hukum, maka pemimpin itu telah berbuat dzalim dan jauh dari perilaku
yang adil.
Hadis ke
8
Jaminan
bagi pemimpin yang adil
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ
وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو
يَعْنِي ابْنَ دِينَارٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرٍو قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو بَكْرٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى
مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ
يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Abdullah bin ‘amru bin al ‘ash r.a berkata:
rasulullah saw bersabda: sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, kelak
disisi allah ditempatkan diatas mimbar dari cahaya, ialah mereka yang adil
dalam hokum terhadap keluarga dan apa saja yang diserahkan (dikuasakan) kepada
mereka. (muslim)
Penjelasan:
Bila hadis sebelumnya berbicara tentang “garansi”
allah atas pemimpin yang berbuat adil, maka hadis ini lebih mengulas tentang
“imbalan” bagi seorang pemimpin yang adil. Dalam hadis ini disebutkan bahwa
imbalan bagi pemimpin yang adil adalah kelak di sisi allah akan ditempatkan di
atas mimbar dari cahaya. Secara harfiyah, mimbar berarti sebuah tempat khusus
untuk orang-orang yang hendak berdakwah atau berceramah di hadapan umum.
Karenanya, mimbar jum’at biasanya mengacu pada sebuah tempat khusus yang
disediakan masjid untuk kepentingan khotib. Sementara cahaya adalah sebuah
sinar yang menerangi sebuah kehidupan. Kata cahaya biasanya mengacu pada
matahari sebagai penerang bumi, lampu sebagai penerang dari kegelapan, dsb.
Oleh sebab itu, kata mimbar dari cahaya di dalam hadis di atas tentu tidak
serta merta dimaknai secara harfiyah seperti mimbar yang dipenuhi hiasan
lampu-lampu yang bersinar terang, melainkan mimbar cahaya adalah sebuah metafor
yang menggambarkan sebuah posisi yang sangat terhormat di mata allah. Posisi
itu mencrminkan sebuah ketinggian status setinggi cahaya matahari.
Hadis ke
9
Sorga
bagi pemimpin yang adil
حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى
وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارِ بْنِ عُثْمَانَ وَاللَّفْظُ لِأَبِي غَسَّانَ وَابْنِ
الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ
قَتَادَةَ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّيرِ عَنْ عِيَاضِ بْنِ
حِمَارٍ الْمُجَاشِعِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ َأَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ
وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ
مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ
Ijadl bin himar r.a berkata: saya telah
mendengar rasulullah saw bersabda: orang-orang ahli surga ada tiga macam: raja
yang adil, mendapat taufiq hidayat ( dari allah). Dan orang belas kasih lunak
hati pada sanak kerabat dan orang muslim. Dan orang miskin berkeluarga yang
tetap menjaga kesopanan dan kehormatan diri. (muslim).
Penjelaan:
Bila yang pertama tadi allah akan menjamin
pemimpin yang berbuat adil dengan jaminan naungan rahmat dari allah, dan hadis
selanjutnya menjamin dengan jaminan mimbar yang terbuat dari cahaya, maka
jaminan yang ke tiga ini adalah jaminan sorga. Ketiga jaminan di atas tentunya
bukan sekedar jaminan biasa, melainkan semua jaminan itu menunjukkan betapa
islam sangat menekankan pentingnya sikap keadilan bagi seorang peimimpin. Rasul
s.a.w tidak mungkin memberikan jaminan begitu tinggi kepada seseorang kecuali
seseorang itu benar-benar dituntut untuk melakukan hal yang sangat ditekankan
dalam islam. Dan keadilan adalah perkara penting yang sangat ditekankan dalam
islam. Oleh karena itu, siapa yang menjunjung tinggi keadilan, niscaya orang
tersebut akan mendapat jaminan yang tinggi dari islam (allah), baik di dunia,
maupun di akhirat.
Hadis ke 10
Batas-batas kepatuhan rakyat terhadap
pemimpin
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ
اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ
فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Ibn umar r.a berkata : bersabda nabi saw :
seorang muslim wajib mendengar dan ta’at pada pemerintahannya, dalam apa
yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika diperintah ma’siyat. Maka
apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib ta’at.
Penjelasan:
Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa
kepatuhan seorang rakyat terhadap pemimpin tidaklah mutlak. Ada batasan-batasan
tertentu dimana seorang rakyat wajib ta’at dan patuh dan ada pula saat dimana
rakyat tidak perlu patuh, bahkan boleh berontak atau melawan. Dalam hadis di
atas, batasan-batasan kepatuhan terhadap pemimpin itu adalah selama pimimpin
tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat ma’siyat. Lantas pertanyaanya, apa
yang dimaksud engan ma’siyat itu?
Secara bahasa ma’siyat adalah berarti durhaka
atau tidak ta’at kepada allah. Namun secara istilahi, makna ma’siyat cukup
beragam. Karenanya, adalah salah kaprah bila kita membatasi makna
ma’siyat hanya pada perkara-perkara semacam pornografi dan pornoaksi,
seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan islam dalam
melakukan pengrusakan tempat hiburan dengan dalih menghapus kema’siyatan.
Padahal kem’siyatan bukan hanya berada di tempat
hiburan malam, akan tetapi di kantor-kantor pemerintah justru lebih banyak
kema’siyatan dalam bentuknya yang samar namun cukup memprihatinkan. Lihatlah
misalnya di kantor-kantor departemen, di ruang-ruang sidang para wakil rakyat,
bahkan di masjid sekalipun, kita bisa menjumpai kema’siyatan. Namun yang
dimaksud kema’siyatan di sini tentunya bukan penari telanjang atau orang yang
sedang mabuk-mabukan, melainkan tindakan-tindakan yang mendurhakai allah yang
dipertontonkan oleh para pemimpin kita, wakil rakyat kita dan bahkan
ulama-ulama kita. Bukankah korupsi, kolusi dan semua hal yang mengarah pada
ketidak jujuran dalam memimpin negeri ini serta mengeluarkan kebijakan yang
tidak berpihak pada rakyat kecil juga termasuk ma’siyat. Bukan hanya itu,
seorang ulama yang pandai berkhutbah namun dia menjadi jurkam dari pemimpin
yang korup juga telah masuk dalam kategori berbuat ma’siyat. Bahkan
tindakan yang tidak melindungi anak-anak terlantar, janda-janda tua dan kaum
miskin papa juga termasuk ma’siyat karena semua itu merupakan perintah allah,
dan bagi siapa yang tidak melaksanakan perintah allah maka dia telah
mendurhakai allah, dan orang yang durhaka berarti berbuat ma’siyat kepada
allah.
Dengan demikian, kema’siyatan yang tidak perlu
dipatuhi seorang rakayat terhadap pemimpinnya adalah kema’siyatan dengan
pengertiannya yang cukup luas (mendurhakai allah) bukan saja kema’siyatan yang
berarti sempit (seperti pornoaksi dan pornografi). Oleh sebab itu, dari hadis
di atas bisa kita simpulkan bahwa apabila pemimpin kita sudah tidak lagi
memegang prinsip-prinsip kejujuran serta tidak lagi berpihak pada kepentingan
rakyat kecil, maka batasan kepatuhan terhadap pemimpin tersebut sudah gugur
dengan sendirinya, karena pemimpin itu sendiri sudah termasuk kema’siyatan yang
perlu untuk di hapuskan di muka bumi ini.
Hadis ke 11
Kepemimpinan tidak mengenal warna kulit
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ
أَبِي التَّيَّاحِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ
اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
Anas r.a berkata : bersabda rasulullah saw:
dengarlah dan ta’atlah meskipun yang terangkat dalam pemerintahanmu seorang
budak habasyah yang kepalanya bagaikan kismis. (buchary)
Penjelasan:
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Begitu
pula nabi muhammad s.a.w diutus sebagai nabi bukan hanya untuk orang arab saja,
melainkan untuk semua umat manusia. Karena itu, para pengikut nabi bukan saja
dari kalangan suku quraisy yang menjadi suku bergengsi saat itu, melainkan juga
dari suku-suku lainnya yang sebelum datang islam termasuk suku “hina”.
Bahkan kita mengenal salah seorang sahabat nabi yang bernama bilal bin rabah
yang warna kulitnya cukup hitam legam. Padahal, sebelum datangnya ajaran islam
di arab dulu, orang kulit hitam adalah termasuk kelompok suku yang sebagian
besar berprofesi sebagai budak. Mereka sama sekali tidak dihargai dan tidak
diperlakukan sebagaimana manusia yang lain. Akan tetapi setelah turun ajaran
islam, semua batasan-batasan ras, warna kulit, dan golongan itu dihapus, dan
semua manusia adalah sama statsunya di muka allah, hanya keimanan dan
ketaqwaanlah yang membedakan mereka.
Pengakuan islam terhadap dimensi kemanusian
universal bukan hanya dalam pergaulan sosial sehari-hari, melainkan islam juga
mengakui semua orang berhak menjadi pemimpin. Tidak peduli mereka itu berkulit
hitam, coklat, merah, hijau, dsb, asalkan bisa memimpin secara adil, maka dia
berhak untuk menjadi pemimpin. Dalam konteks ini, keadilan dan kejujuran
menjadi kriteria paling pokok dalam menentukan seorang pemimpin, bukan warna
kulit atau asal golongan. Dan apabila yang terpilih sebagai pemimpin adalah
dari kalangan kulit hitam, islam juga mewajibkan kita agar tidak boleh
meremehkan pemimpin itu. Akan tetapi kita juga harus mematuhi semua perintahnya
(selama tidak untuk ma’siyat) sebagaimana kita mematuhi perintah pemimpin-pemimpin
yang lain.
Hadis ke 12
Keseimbangan hak rakyat dan tanggung
jawab pemimpin
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَا
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلَ سَلَمَةُ
بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ
يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ
عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ
فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ وَقَالَ اسْمَعُوا
وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ و
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ سِمَاكٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَقَالَ فَجَذَبَهُ
الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا
وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
Abu hunaidah (wa’il) bin hadjur r.a. Berkata
: salamah bin jazid aldju’fy bertanya kepada rasulullah saw : ya rasulullah,
bagaimana jika terangkat diatas kami kepala-kepala yang hanya pandai menuntut
haknya dan menahan hak kami, maka bagaimanakah kau menyuruh kami berbuat? Pada
mulanya rasulullah mengabaikan pertanyaan itu, hingga ditanya kedua kalinya,
maka rasulullah saw bersabda : dengarlah dan ta’atlah maka sungguh bagi
masing-masing kewajiban sendiri-sendiri atas mereka ada tanggung jawab dan atas
kamu tanggung jawabmu. (muslim)
Penjelasan:
Rakyat memiliki hak dan pemimpin memiliki
tanggung jaab. Begitu pula sebaliknya, rakyat memiliki tanggung jawab dan
pemimpin juga memiliki hak. Antara keduanya harus ada keseimbangan dan
kesetaraan. Yang satu tidak boleh mendominasi yang lain. Akan tetapi kekuasaan
sepenuhnya adalah tetap berada di tangan rakyat. Karena hakekat kepemimpinan
hanyalah amanat yang harus diemban oleh seorang pemimpin. Bila sang pemimpin
tidak bisa menjaga amanat itu dengan baik, maka kekuasaan kembali berada di
tangan rakyat.
Oleh sebab itu, mengingat kesetaraan poisi rakyat
dan pemimpin ini, maka masing-masing memilki hak dan tanggung jawabnya. Hadis
di atas menjelaskan bahwa seorang pemimpin jangan hanya bisa memenuhi haknya,
dan mengebiri hak rakyatnya, akan tetapi seorang pemimpin harus mengakui dan
menjamin hak-hak rakyatnya secara bebas.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini,
mungkin kita sudah mengenal konsep hak azazi manusia (ham). Oleh sebab itu,
bila kita tarik hadis di atas dalam kontek saat ini, maka sebanarnya nabi
muhammad s.a.w jauh sebelumnya sudah mengajarkan prinsip-prinsip ham
dalam kehidupan politik rakyatnya. Betapa tidak, dari hadis di atas dapat kita
gali sebuah pesan bahwa islam menjamin ham termasuk di dalamnya hak-hak sipil
dan politik (isipol) dan hak-hak ekonomi sosial dan budaya (ekosob). Karena
itu, bila seorang peimimpin tidak menjamin hak-hak azasi manusia (ham)
warganya, maka pemimpin itu telah keluar dari sunnah rasul s.a.w.
Hadis ke 13
Allah membenci pemimpin
Yang mengejar jabatan
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا
يُونُسُ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ
الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ
مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ
أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا
مِنْهَا فَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ
Abu said (abdurrahman) bin samurah r.a.
Berkata: rasulullah saw telah bersabda kepada saya : ya abdurrahman bin
samurah, jangan menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi
jabatan tanpa minta, kau akan dibantu oleh allah untuk melaksanakannya, tetapi
jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu
atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu
kemudian ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih baik, maka tebuslah
sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Dalam hadis lain rasul s.a.w juga pernah
bersabda: “barang siapa telah menyerahkan sebuah jabatan atau amanat kepada
orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”. Kedua hadis di
atas sebenarnya mengajarkan kepada kita bahwa amanat itu tidak perlu dicari dan
jabatan itu tidak perlu dikejar. Karena bila kita mencari dan mengejar amanat
dan jabatan itu, maka niscaya allah tidak akan memabntu kita. Akan tetapi bila
kita tidak menuntut dan tidak mencari amanat itu, maka justru allah akan
membantu untuk meringankan beban amanat itu sendiri.
Hadis di atas sebenarnya mengajarkan tentang etika
politik. Seoarang politisi tidak serta-merta bebas dari etika, sebagaimana
ditunjukkan oleh para politisi kita selama ini. Melainkan seorang politisi dan
kehidupan politik itu sendiri harus berdasarkan sebuah kode etik. Bila
kehidupan politik tidak berasarkan etika, maka kesan yang muncul kemudian bahwa
politik itu kotor. Padahal, tidak selamanya politik itu kotor, nabi muhammad
s.a.w sendiri pernah menjadi seorang politisi, tapi tidak pernah bermain kotor.
Bila kita mencermati hadis di atas, maka akan
kita temukan bahwa citra “ke-kotoran” dari politik itu sebenarnya
bersumber dari sikap para pelakuknya yang ambisius. Dalam hal ini, ambisi
menjadi salah satu faktor uatama dalam membentuk sikap dan pandangan politik
eseorang sehingga menjadi kotor. Betapa tidak, dari ambisi itu, seseorang bisa
saja membunuh orang lain yang menjadi pesaing politiknya. Dan dari ambisi itu
pula seseorang bisa melakukan apa aja untuk meraih jabatan politik yang
diinginkannya, baik melalui korupsi, penipuan, pembunuhan, ke dukun, dsb. Oleh
sebab itu, “menjaga ambsi” adalah sebuah etika politik yang diajarkan
islam kepada umatnya, terutama bagi mereka yang berkiprah di dunia
politik.
Hadis ke 14
Amanat di balik jabatan
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي
أَبِي شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنِي
يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ الْحَارِثِ بْنِ
يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ ابْنِ حُجَيْرَةَ الْأَكْبَرِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى
مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ
وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا
بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Abu dzar berkata : ya rasulallah tidakkah kau
memberi jabatan apa-apa kepadaku? Maka rasulullah memukul bahuku sambil berkata
: hai abu dzar kau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai amanat
yang pada hari qiyamat hanya akan menjadi kemenyesalan dan kehinaan. Kecuali
orang yang yang dapat menunaikan hak dan kewajibannya, dan memenuhi tanggung
jawabnya.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي
أَبِي شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنِي
يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ الْحَارِثِ بْنِ
يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ ابْنِ حُجَيْرَةَ الْأَكْبَرِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى
مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ
وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا
بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Abu hurairah r.a. Berkata : rasulullah saw
bersabda : kamu akan berebut pemerintahan, dan akan menjadi kemenyasalan pada
hari qiyamat. (buchary)
Penjelasan:
Hadis ini tidak jauh berbeda dengan hadis
sebelumnya di atas. Bila hadis sebelumnya melarang kita agar tidak berambisi
untuk meraih jabatan, maka hadis ini lebih menekankan betapa beratnya amanat
dalam sebuah jabatan. Dan saking beratnya hingga rasul s.a.w mengatakan
bahwa kelak di hari qiamat kita merasakan penyesalan yang begitu dahsyat karena
kita telah bersedia mengemban amanat itu. Janganlah kita mengira bahwa menjadi
seorang peimimpin dengan sendirinya akan bergelimang harta dan
kehormatan. Padahal, harta dan kehormatan itu justru menjadi batu sandungan
yang bisa mengakibatkan seseorang terjerumus ke dalam jurang kenistaan.
Lihatlah misalnya, seorang presiden dengan
tanggung jawab yang begitu besar untuk mensejahterakan rakyatnya, atau seorang
suami yang begitu besar tanggung jawabnya untuk menafkahi istrinya, atau
seorang bapak yang memikul amanat untuk mebesarkan anak-anaknya. Semua itu
merupakan amanat yang harus dijaga dan dilaksanakan sebaik-baiknya. Apabila
kita tidak bisa berbuat adil dan tidak mampu mewujudkan kehidupan yang lebih
baik bagi pihak yang kita pimpin, maka janganlah sekali-kali kita mencoba-coba
untuk mengemban amanat tersebut. Apabila seorang presiden tidak mampu mengemban
amanat untuk membawa kehidupan bangsanya dari keterpurukan menuju kesejahteraan
dan keadilan, maka janganlah kita kembali memilih presiden atau pemimpin itu
untuk kedua kalinya. Karena itu, amanat adalah ringan dikatakan namun berat
untuk dilaksanakan. Barang siapa hanya bisa mengatakan namun tidak bisa
melaksanakan, maka ia tidak layak untuk dijadikan pemimpin.
Hadis ke 15
Pemimpin dilarang mengeksploitasi rakyat
kecil
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ كِلَاهُمَا
عَنْ الْمُقْرِئِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي
جَعْفَرٍ الْقُرَشِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي سَالِمٍ الْجَيْشَانِيِّ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ
مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ
يَتِيمٍ
Abu dzar r.a. Berkata : rasulullah saw
abersabda : ya abu dzar saya melihat kau seorang yag lemah, dan saya suka bagi
dirimu apa yang saya suka bagi diriku sendiri, jangan menjadi pemimpin walau
terhadap dua orang, dan jangan menguasai harta anak yatim. (muslim)
Penjelasan:
Hadis ini menerangkan kepada kita bahwa jabatan
sebagai pemimpin itu sangat berat, hingga rasul.s.a.w menganjurkan salah
seorang sahabat untuk, kalau bisa, tidak menjadi pemimpin walau hanya terhadap
dua orang. Akan tetapi pesan yang paling menonjol dari hadis di atas adalah
bahwa godaan terberat bagi seorang peimimpin adalah menguasai harta anak yatim.
Tentunya, anak yatim di sini adalah salah satu contoh yang merepresentaskan
sebuah kelompok masyarakat yang paling lemah. Di luar anak yatim, kita juga
bisa menyaksikan orang-orang lemah yang lain, seperti, janda tua, anak-anak
terlantar, pengemis, buruh, petani gurem, pengangguran, dsb, yang semua itu
menjadi tanggung jawab pemimpin untuk melindunginya, bukan untuk menguasainya.
Lantas muncul pertanyaan, bagaimana kita menguasai harta mereka, la wong mereka
aja tidak punya harta?
Yang dimaksud menguasai harta mereka ini bukan
berarti kita mengambil alih harta kekayaan mereka, melainkan tindakan
mengeksploitasi keberadaan mereka untuk kemudian dijual sehingga menghasilkan
uang juga termasuk menguasai harta mereka. Selain itu, kebijakan yang tidak
berpihak terhadap kaum miskin dan anak yatim ini juga termasuk dalam menguasai
harta mereka. Bukankah di dalam harta kita terdapat sebagian harta mereka?
Sehingga kita wajib menyisihkan sebagian harta kita untuk kepentingan mereka.
Oleh sebab itu, bila kita maknai hadis di atas secara global, maka pesan pokok
yang hendak disampaikan adalah, bahwa islam sangat melarang seorang pemimpin
mengeksploitasi rakyat kecil, bahkan islam mendorong pemimpin untuk melindungi
mereka, karena mereka merupakan bagian dari tanggung jawab pemimpin.
Hadis ke 16
Mewaspadai para pembisik pemimpin
حَدَّثَنَا أَصْبَغُ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ
ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا بَعَثَ اللَّهُ مِنْ
نَبِيٍّ وَلَا اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيفَةٍ إِلَّا كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ
بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ
بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ فَالْمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَ
Abu si’id dan abu hurairah r.a. Berkata :
rasulullah saw bersabda : allah tiada mengutus seorang nabi atau mengangkat
seorang khalifah, melainkan ada dua orang kepercayaan pribadi, seseorang yang
menganjurkan kebaikan, dan seorang yang menganjurkan kejahatan. Sedang orang
yang selamat ialah yang dipelihara oleh allah. (buchary)
Penjelasan:
Setiap pemimpin tentunya memilki asisten pribadi.
Asisten ini biasanya menjadi kepercayaan seorang pemimpin dalam melakukan
banyak hal yang berkaitan dengan kebutuhan pemimpin. Akan tetapi, seorang
pemimpin juga harus waspada terhadap orang-orang kepercayaannya. Karena rasul
s.a.w telah mengingatkan di antara orang-orang kepercayaan pemimpin tersebut
tentu ada yang jujur dan ada yang tidak jujur. Seorang kepercayaan pemimpin
yang jujur pasti akan memberikan informasi yang benar terhadap pemimpinnya,
tetapi seorang kepercayaan yang tidak jujur tentu akan memberikan informasi
yang tidak benar kepada pemimpinnya. Orang yang terakhir ini lah biasanya yang
selalu menghasut dan membisikkan informasi-informasi yang justru bukan
memperkuat kepemimpinannya, melainkan akan menurunkan integritas
kepemimpinannya. Karena itu, islam sangat menganjurkan agar kita aspada
terhadap orang-orang yang pekerjaannya hanya membisikkan informasi-informasi
salah sehingga pemimpin terdorong untuk megeluarkan kebijakan yang merugikan
kepentingan rakyat banyak.
Hadis ke 17
Pemimpin perlu “pembantu” yang jujur
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَامِرٍ الْمُرِّيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ
إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهِ
غَيْرَ ذَلِكَ جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ سُوءٍ إِنْ نَسِيَ لَمْ يُذَكِّرْهُ وَإِنْ
ذَكَرَ لَمْ يُعِنْهُ
‘Aisyah r.a. Berkata : rasulullah saw
bersabda : jika allah menghendaki kebaikan terhadap seorang raja, maka
diberinya seorang menteri yang jujur, jika lupa diingatkan, dan jika ingat
dibantu. Dan jika allah menghendaki sebaliknya dari itu, maka allah memberi
padanya ,menteri yang tidak jujur, hingga jika lupa tidak diingatkan dan jika
ingat tidak dibantu. (abu dawud).
Penjelasan:
Seorang pemimpin pasti mengemban segudang tugas
dan amanat yang begitu berat yang harus dijalankan. Sementara untuk
melaksanakan semua tugas itu tidak mungkin dia sendiri melakukannya. Oleh sebab
itu dibutuhkan sejumlah pembantu untuk meringankan tugas sang pemimpin. Dalam
kehidupan politik modern, para pembantu presiden itu bisa disebut sebagai
menteri. Dan barangkali bukan hanya presiden, semua jabtan publik di negeri
ini, baik bupati, gubernur, wali kota, dpr, hingga kepala sekolah pun, juga
membutuhkan pembantu atau pendamping ahli yang bisa meringankan tugas-tugasnya.
Sehingga dalam konteks indoensia, kita tidak hanya mengenal menteri sebagai
pembantu presiden, melainkan juga terdapat apa yang kita kenal sebagai juru
bicara, asisten ahli, staf ahli, penasehat ahli, dsb.
Keberadan “orang-orang pendamping” ini tentunya
perlu kita apresiasi dengan baik, karena mereka membantu tugas-tugas kepresidenan.
Akan tetapi, kita juga perlu mencermati bahkan jika diperlukan kita mesti
waspada karena tidak semua “orang-orang pendamping” itu berniat tulus untuk
membantu. Akan tetapi lebih dari itu ada juga yang menyimpan kepentingan
tertentu dan menjadi “pembisik” yang licik. Tentunya banyak cara yang dilakukan
para pembantu pemimpin yang licik ini. Salah satu contoh yang sering kita lihat
dalam kehidupan birokrasi kita adalah; melaporkan situasi yang tidak sebenarnya
kepada pemimpin yang bersangkutan. Bila yang terjadi di lapangan adalah
kelaparan, maka si pembantu hanya melaporkan kekuranagn gizi. Selain itu tidak
sedikit kita jumpai “orang-orang” yang pekerjaanya hanya membisikkan
informasi-informasi bohong kepada pemimpinnya sehingga pemimpin tersebut mengeluarkan
kebijakan berdasarkan informasi bohong yang ia peroleh. Akibatnay, selain
kebijakan itu tidak tepat, sang pemimpin itu juga jatuh kredibilitasnya. Oleh
sebab itu, memilih pendamping itu harus hati-hati dan waspada. Kedekatan
seseorang dengan pemimpin tersebut dan kepintaran seseorang tidak menjamin dia
akan berbuat jujur terhadap atasannya.
Hadis ke 18
Shalat mendorong pemimpin berbuat adil
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامُ بْنُ
يَحْيَى حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ ضَبَّةَ بْنِ مِحْصَنٍ عَنْ
أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ
أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ
قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
Rasulullah saw bersabda: akan ada para
pemimpin yang kalian kenal dan kalian ingkari. Siapa yang tidak menyukainya
maka dia bebas dan barang siapa yang mengingkarinya maka dia selamat, akan
tetapi (dosa dan hukuman) diberlakukan kepada orang yang yang ridha dan
mengikuti para pemimpin itu. Para sahabat bertanya: apakah kami boleh
memeranginya wahai rasulullah saw. Beliau menjawab: tidak boleh selama para
pemimpin itu masih mengerjakan shalat. (hr.muslim)
Penjelasan:
Hadis ini tidak bisa kita fahami secara harfiyah,
Hadis ke 19
Pemimpin yang bodoh
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ ابْنِ خُثَيْمٍ
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ
أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ وَمَا إِمَارَةُ
السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا
يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى
ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ
حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى
ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي يَا
كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ الصَّوْمُ جُنَّةٌ وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ
وَالصَّلَاةُ قُرْبَانٌ أَوْ قَالَ بُرْهَانٌ يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ يَا
كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ النَّاسُ غَادِيَانِ فَمُبْتَاعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا
وَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُوبِقُهَا
Rasulullah saw bersabda kepada ka’ab bin
ujrah: mudah-mudahan allah melindungimu dari para pemimpin yang bodoh (dungu).
Ka’ab bin ujzah bertanya: apa yang dimaksud dengan pemimpin yang dungu wahai
rasulullah saw? Beliau menjawab: mereka adalah para pemimpin yang hidup
sepeninggalku. Mereka tidak pernah berpedoman pada petunjukku, mereka tidak
mengikuti sunnahku. Barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka ataupun
mendukung atas kezaliman mereka, maka orang itu tidak termasuk golonganku,
karena aku bukanlah orang seperti itu. Mereka juga tidak akan mendapatkan air
minum dari telagaku. Wahai ka’ab, sesungguhnya puasa adalah benteng, sedekah
itu bisa menghapus kesalahan, sedangkan shalat adalah upaya mendekatkan diri
kepada allah (qurban) –dalam riwayat lain burhan (dalil)- wahai ka’ab
sesungguhnya tidak akan masuk surga seonggok daging yang berasal dari barang
haram. Dan api neraka lebih berhak untuk melahapnya. Wahai ka’ab bin ujrah, manusia
terpecah menjadi dua golongan: pertama, orang yang membeli dirinya (menguasai
dirinya), maka dia itulah yang memerdekakan dirinya. Golongan yang
menjual dirinya, maka dia itulah yang membinasakan dirinya sendiri. (hr. Ahmad
bin hambal)
Penjelasan:
Hadis ini berbicara tentang “nasib”
kepemimpinan sepeninggal rasul s.a.w. Bahwa pasca meninggalnya rasul,
kepemimpinan umat islam akan diwarnai tindakan-tindakan yang oleh rasul disebut
“bodoh”. Karena itu, rasul kemudian senantiasa berdo’a semoga umatnya terlindungi
dari “bahaya-bahaya” akibat pemimpin yang bodoh ini. Akan tetapi, kita di sini
tentunya tidak akan memaknai kata bodoh secara harfiyah. Karena bisa jadi kita
memiliki pemimpin yang pintar, cerdas, bergelar profesor atau bahkan sekaligus
ulama, namun jika pemimpin itu tidak berpegang teguh pada sunnah rasul maka dia
layak disebut sebagai yang bodoh atau dungu.
Lantas siapa yang dimaksud pemimpin yang
mengikuti sunnah rasul itu? Apakah pemimpin yang puasa sunnah senin kamis ?
Tentunya yang dimaksud pemimpin yang mengikuti sunnah rasul di sini adalah
pemimpin yang mengikuti jejak rasul dalam menjalankan kepemimpinannya. Kita
tahu, bahwa kepemimpinan rasul adalah kepemimpinan yang menjunjung tinggi
keadilan, toleransi, dan dekat dengan rakyat. Apa yang kini kita kenal sebagai
“piagam madinah” adalah sebagai pedoman rasul dalam menjalankan kepemimpinannya
terhadap semua rakayat saat itu tanpa memandang latar belakang agama, etnis,
warna kulit dan jenis kelamin. Semua rakyat madinah yang plural itu dilindungi
dan dijamin haknya oleh rasul. Oleh sebab itu, bagi pemimpin pasca rasul yang
tidak mampu mengikuti jejak rasul seperti di atas maka dia disebut bodoh oleh
rasul.
Hadis 20
Pemimpin dzalim dibenci allah
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ فُضَيْلِ بْنِ مَرْزُوقٍ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَحَبَّ
النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا
إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ
مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي
أَوْفَى قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي سَعِيدٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا
نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya manusia
yang paling dicintai allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya
di sisi allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling
dibenci allah dan sangat jauh dari allah adalah seorang pemimpin yang zalim.
(hr. Turmudzi)
Penjelasan:
Hadis ini sekali lagi menekankan bahwa kriteria
adil sangat penting bagi seorang pemimpin. Tanpa nilai-nilai keadilan yang
dijunjung tinggi oleh seorang pemimpin, maka sebuah kepemimpinan tidak akan
berhasil mengangkat kesejahteraan umatnya. Karena itu, bisa kita fahami mengapa
rasul berkali-kali menekankan akan pentingnya seorang pemimpin yang adil. Dalam
hadis ini, seorang pemimpin yang adil akan ditempatkan sangat dekat sekali
kedudukannya dengan allah, sedangkan pemimpin yang dzalim adalah sangat dibenci
sekali oleh allah. Kedua balasan (imbalan dan ancaman) ini tentunya
mencerminkan sebuah penghargaan allah yang begitu besar kepada pemimpin yang
mampu berbuat adil kepada rakyatnya.
Hadis 21
Kedzaliman pemimpin mempercepat datangnya
kiamat
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي عَمْرٌو عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَشْهَلِ عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ
الْيَمَانِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ
السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتُلُوا إِمَامَكُمْ وَتَجْتَلِدُوا بِأَسْيَافِكُمْ
وَيَرِثُ دِيَارَكُمْ شِرَارُكُمْ
Rasulullah saw bersabda: kiamat tidak akan
terjadi sampai kalian membunuh para pemimpin kalian, pedang-pedang kalian
banyak sekali meminum darah, dan agama kalian diwarisi (dikuasai) oleh
orang-orang yang paling buruk di antara kalian. (hr. Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Hadis ini mengilustarikan sebuah zaman dimana
bila seorang pemimpin bertindak sangat lalim dan rakyat melawannya hingga
membunuh pemimpin lalim itu, maka itu pertanda kiamat sudah dekat. Logikanya,
bila dalam sebuah zaman muncul perlawanan rakyat terhadap pemimpin, maka di
zaman itu berarti terdapat pemimpin yang dzalim nan lalim. Karena bila sebuah
kepemimpinan itu baik dan tidak ada kedzaliman, maka niscaya tidak mungkin akan
muncul perlawanan rakyat. Oleh sebab itu, pesan pokok yang hendak disampaikan
oleh hadis ini adalah bahwa bila terjadi kedzaliman pemimpin di mana-mana, maka
itu berarti pertanda kiamat sudah dekat.
Lalu bagaiman dengan zaman kita saat ini, dimana
sebagian besar pemimpin sedikit sekali yang berbuat adil dan banyak sekali yang
berbuat dzalim, serta perlawanan rakayat begitu dahsyata hingga ada pemimpin
yang dibunuh oleh rakyatnya, apakah zaman kita sudah termasuk tanda-tanda
kiamat ? Pertanyaan ini memang tidak bisa kita jawab “ya” atau “tidak”. Karena
yang maha mengetahui kapan kiamat itu terjadi adalah allah. Akan tetapi, bila
kita melihat kondisi kepemimpinan kita di zaman ini akan nampak sekali
tanda-tanda kiamat sebagaiman telah diseritakan rasul dalam hadis di atas.
Hadis 22
Menjaga amanat adalah bagian dari iman
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ بْنُ
زِيَادٍ الثَّقَفِيُّ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ
وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ
Rasulullah saw bersabda: tidak beriman orang
yang tidak bisa menjaga amanah yang dibebankan padanya. Dan tidak beragama
orang yang tidak bisa menepati janjinya. (hr. Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Mungkin kita hanya mengenal slogan-slgan
keagamaan semisal: kebersihan adalah bagian dari iman, malu adalah bagian dari
iman, dsb. Tapi kita jarang –atau mungkin tidak pernah- mengatakan bahwa
menjaga amanat adalah bagian dari iman. Padahal, rasul juga pernah bersabda
bahwa menjaga amanat adalah bagian dari dasar-dasar keimanan dan keagamaan. Dan
barang siapa yang tidak menjaga amanat maka rasul menyebut dia tidak sempurna
iman dan agamanya.
Andai kita mengkampanyekan hadis ini ke
masyarakat luas, apalagi di saat-saat kampanye presiden, bupati, gubernur, dsb,
maka kita setidaknya telah menekan munculnya “potensi” penyelewengan amanat
oleh pemimpin kita, meskipun itu sekecil semut. Hal itu karena dalam tradisi
kepemimpinan kita, upaya menjaga amanat itu sangat kecil. Sumpah jabatan
sebagai mekanisme penyerahan amanat ternyata tidak disertai sebuah
mekanisme kontrol yang ketat terhadap amanat itu. Oleh sebab itu, kampanye
keagamaan untuk mendorong seseorang (pemimpin) agar senantiasa menjaga amanat
(kepemimpinanya) adalah penting segera kita galakkan.
Hadis 23
Pemimpin dianjurkan memberi suri tauladan
yang baik (nasehat) kepada rakyatnya
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُسْهِرٍ حَدَّثَنِي
عَبَّادُ بْنُ عَبَّادٍ الْخَوَّاصُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي عَمْرٍو
السَّيْبَانِيِّ عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ السَّيْبَانِيِّ عَنْ عَوْفِ
بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَقُصُّ إِلَّا أَمِيرٌ أَوْ مَأْمُورٌ أَوْ
مُخْتَالٌ
Rasulullah saw bersabda: tidak ada yang
berhak untuk memberikan ceramah (nasehat/cerita hikmah) kecuali seorang
pemimpin, atau orang yang mendapatkan izin untuk itu (ma’mur), atau memang
orang yang sombong dan haus kedudukan. (hr. Muslim)
Penjelasan:
Hadis ini bukan berarti hanya pemimpin yang
berhak memberi nasehat kepada umat, melainkan hadis ini mengandung pesan bahwa
seorang pemimpin seharusnya bisa memberikan suri tauladan yang baik kepada
umatnya. Karena yang dimaksud ceramah disini bukan dalam arti ceramah lantas
memberi wejangan kepada umat, akan tetapi yang dimaksud ceramah itu adalah
sebuah sikap yang perlu dicontohkan kepada umatnya. Seorang penceramah yang
baik dan betul-betul penceramah tentunya bukan dari orang sembarangan,
melainkan dari orang-orang terpilih yang baik akhlaqnya. Begitu pula dalam
hadis ini, pemimpin yang berhak memberikan ceramah itu pemimpin yang memiliki
akhlaq terpuji sehingga akhlaqnya bisa menjadi tauladan bagi rakyatnya.
Jadi kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh
seorang penceramah, maka itu juga harus dipenuhi oleh seorang pemimpin. Karena
pada zaman rasul dulu, seorang penceramah atau yang memberikan hikmah kepada
umat adalah para penceramah ini, sehingga rasul mengharuskan seorang pemimpin
harus memiliki akhlaq yang sama dengan penceramah ini.
Hadis 24
Jabtan Pemimpin itu dekat dengan neraka
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلَّادٍ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ حَدَّثَنَا مُجَالِدٌ عَنْ عَامِرٍ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَا مِنْ حَاكِمٍ يَحْكُمُ بَيْنَ النَّاسِ إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَلَكٌ
آخِذٌ بِقَفَاهُ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَإِنْ قَالَ أَلْقِهِ
أَلْقَاهُ فِي مَهْوَاةٍ أَرْبَعِينَ خَرِيفًا
Rasulullah saw bersabda: setiap pemimpin yang
memimpin rakyatnya, pada hari kiamat pasti akan didatangkan. Kemudian
malaikat mencengkeram tengkuknya dan mengangkatnya sampai ke langit. Kalau ada
perintah dari allah: lemparkanlah, maka malaikat akan melemparkannya ke bawah
yang jauhnya adalah empat puluh tahun perjalanan. (hr. Ibnu majah)
Penjelasan:
Hadis ini menggambarkan betapa jabatan sebagai
pemimpin itu berat dan seolah bediri diantara ranjau-ranjau neraka yang
sewaktu-waktu bila orang itu salah menginjaknya maka ranjau itu akan akan
meledak dan membunuh sang pemimpin itu. Mungkin kita memandang bahwa menjadi
pemimpin (presiden) itu serba enak; fasilitas dijamin, harta melimpah dan
kehormatan terpandang, sehingga semua orang bercita-cita ingin menjadi
presiden, padahal bila semua orang tahu bahwa pemimpin (presiden) itu berjalan
di atas jembatan yang dibawahnya berkobar api neraka, maka niscaya semua orang
mungkin tidak akan berharap akan menjadi presiden (pemimpin). Posisi pemimpin
yang cukup rentan ini dikarenakan beratnya tanggung jawab yang harus dipikul
seorang pemimpin. Sekali ia lengah dan mengabaikan tanggung jawabnya, maka ia
bisa tergelincir dan jatuh ke jurang neraka selama-lamanya. Oleh sebab itu, tak
heran bila rasul mengambarkan poisi pemimpin itu sebagaimana digambarkan oleh
hadis di atas.
Hadis 25
Pemimpin harus membimbing rakyatnya
و حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي
الْمَلِيحِ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ دَخَلَ عَلَى مَعْقِلِ بْنِ
يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ بِحَدِيثٍ لَوْلَا
أَنِّي فِي الْمَوْتِ لَمْ أُحَدِّثْكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِي أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ
ثُمَّ لَا يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلَّا لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمْ الْجَنَّةَ و
حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ الْعَمِّيُّ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ
إِسْحَقَ أَخْبَرَنِي سَوَادَةُ بْنُ أَبِي الْأَسْوَدِ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ
مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ مَرِضَ فَأَتَاهُ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ يَعُودُهُ
نَحْوَ حَدِيثِ الْحَسَنِ عَنْ مَعْقِلٍ
Rasulullah saw bersabda: setiap pemimpin yang
menangani urusan kaum muslimin, tetapi tidak berusaha semaksimal mungkin untuk
mengurusi mereka dan memberikan arahan kepada mereka, maka dia tidak akan bisa
masuk surga bersama kaum muslimin itu. (hr. Muslim)
Penjelasan:
Seorang pemimpin tidak bisa sekedar berpikir dan
bergulat dengan wacana sembari memerintah bawahannya untuk mengerjakan
perintahnya, melainkan pemimpin juga dituntut untuk bekerja keras mengurus
sendiri persoalan-persoalan rakyatnya. Salah seorang khulafau rasyidin yaitu
umar bin utsman pernah berkeliling keseluruh negeri untuk mencari tahu adakah
di antara rakyatnya masih kekurangan pangan. Jika ada, maka khalifah umar
tidak segan-segan untuk memberinya uang (bekal) untuk menunjang kehidupan
rakyatnya tadi. Bahkan khalifah abu bakar harus turun tangan sendiri untuk
memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
Semua peristiwa yang dilakukan oleh dua sahabat
nabi di atas adalah contoh betapa islam sangat menekankan kepada pemimpin untuk
selalu bekerja keras agar rakyatnya benar-benar terjamin kesejahteraannya.
Tidak bisa seorang pemimpin hanya duduk dan berceramah memberi sambutan di
mana-mana, tetapi semua tugas-tugas kepemimpinannnya yang lebih kongkrit malah
diserahkan kepada bawahan-baahannya. Memang betul bahwa bawahan bertugas untuk
membantu meringankan beban atasannya, akan tetapi tidak serta-merta semua tugas
harus diserahkan kepada bawahan. Suatu pekerjaan yang memang menjadi tugas
seseorang dan dia mampu melakukannya, maka janganlah pekerjaan itu
diserahkan kepada orang lain.
Hadis 26
Situasi zaman pasca kepemimpinan rasul
s.a.w
أَخْبَرَنَا صَالِحُ بْنُ سُهَيْلٍ مَوْلَى يَحْيَى بْنِ أَبِي زَائِدَةَ
حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ مُجَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ قَالَ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ عَامٌ إِلَّا وَهُوَ شَرٌّ مِنْ الَّذِي
كَانَ قَبْلَهُ أَمَا إِنِّي لَسْتُ أَعْنِي عَامًا أَخْصَبَ مِنْ عَامٍ وَلَا
أَمِيرًا خَيْرًا مِنْ أَمِيرٍ وَلَكِنْ عُلَمَاؤُكُمْ وَخِيَارُكُمْ
وَفُقَهَاؤُكُمْ يَذْهَبُونَ ثُمَّ لَا تَجِدُونَ مِنْهُمْ خَلَفًا وَيَجِيءُ
قَوْمٌ يَقِيسُونَ الْأُمُورَ بِرَأْيِهِمْ
Abdullah berkata: akan datang pada kalian
satu tahun (masa) yang lebih buruk daripada tahun (masa) sebelumnya. Akan
tetapi yang aku maksud bukanlah sebuah tahun yang lebih subur daripada tahun
yang lain, ataupun seorang pemimpin yang lebih baik daripada pemimpin lainnya.
Akan tetapi di masa itu, telah hilang (wafat) para ulama, orang-orang terpilih
dan para ahli fiqh kalian. Dan kalian tidak menemukan pengganti mereka.
Sehingga datanglah sebuah kaum yang berdalil hanya dengan menggunakan rasio
mereka. (hr. Ad darimi)
Penjelasan:
Membaca ramalan rasul di atas sungguh membuat
kita cemas akan datangnya suatu zaman yang oleh rasul dikatakan lebih buruk
dari zaman-zaman sebelumnya. Namun yang dimaksud lebih buruk di sini tentunya
bukan dalam pengertian kuantitas. Melainkan kualitas kehidupan yang tengah
berlangsung pada sebuah zaman. Kalau ukurannya adalah kuantitas, mungkin zaman
kita bisa dibilang lebih bagus karena, misalnya, kita saat ini bisa memproduksi
sebuah barang dengan hanya memakan waktu yang singkat namun menghasilkan barang
yang cukup banyak. Akan tetapi bila ukurannya adalah kualitas, maka zaman kita
saat ini lebih rendah dan lebih buruk dari zaman-zaman sebelumnya (zaman
rasul). Lihatlah misalnya kualitas arsitektur dan bangunan yang berkembang saat
ini, kemudian bandingkan dengan arsitektur dan bangunan pada tempo dulu, seperti
tembok cina, borobudur, dsb, tentu kualitasnya jauh sekali berbeda.
Mungkin di zaman ini kita tidak bisa lagi
menemukan orang yang mampu membangun semacam borobudur dengan kualitas
banunannya yang terjamin sebagaimana candi borobudur. Begitu pula dengan kualitas
kepemimpinan pada saat ini jauh lebih baik dari kulaitas kepemimpinan pada
masa-masa rasul dan sahabat. Meskipun pada masa sahabat juga penuh diwarnai
intrik politik yang mengakibatkan pertumpahan darah, akan tetapi setidaknya
sejarah telah mencatat bahwa dua sahabat periode pertama (abu bakar dan umar)
adalah potret zaman dimana kepemimpinan benar-benar dijalankan atas dasar
prinsip-prinsip keadilan. Meski saat ini kita mengembar-gemborkan sistem
demokrasi yang dianggap paling baik, namun ternyata negara tempat kelahiran
demokrasi juga tidak menerapkan nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya. Dan
banyak sekali pihak yang mengatasnamakan demokrasi namun menginjak-injak
nilai-nilai demokrasi. Meskipun saat ini ada yang namanya pemilu, namun semua
sistem dan mekanisme demokrasi itu tidak menjamin terwujudnya kehidupan
masyarakat yang adil dan sejahtera. Kalau sudah demikian, bisakah zaman kita
ini disebut lebih baik dari zaman rasul.s.a.w ?
Hadis 27
Kepemimpin yang buruk
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا صَدَقَةُ بْنُ مُوسَى عَنْ
فَرْقَدٍ السَّبَخِيِّ عَنْ مُرَّةَ الطَّيِّبِ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ خَبٌّ وَلَا بَخِيلٌ وَلَا مَنَّانٌ وَلَا سَيِّئُ
الْمَلَكَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ الْمَمْلُوكُ إِذَا أَطَاعَ
اللَّهَ وَأَطَاعَ سَيِّدَهُ
Rasulullah saw bersabda: tidak akan masuk
surga orang yang suka menipu, orang yang bakhil, orang yang suka
mengungkit-ungkit kebaikan/pemberian, dan pemimpin yang buruk. Orang yang
pertama kali masuk surga adalah budak yang taat kepada allah dan taat kepada
majikannya.
Penjelasan:
Hadis ini menjelaskan tentang sekelompok orang
yang diharamkan oleh allah untuk masuk sorga. Dan ternyata, di antara
sekelompok orang tersebut terdapat kriteria pemimpin yang buruk. Pada bagian
awal buku ini, kita mungkin sudah mendapati banyak hadis yang berbicara tentang
hukuman neraka bagi pemimpin yang dzalim. Namun kini kita kembali menemukan
satu hadis lagi yang kembali berbicara tentang ancaman bagi pemimpin yang
berlaku buruk. Dan pemimpin yang buruk ini disamakan dengan mereka yang suka
menipu, pelit, dan suka mengungkit kebaikannya/pemberiannya sendiri.
akan tetapi apa sih bedanya pemimpin yang dzalim
dan pemimpin yang buruk ? Pada dasarnya tidak ada perbedaan subtansial antara
keduanya, namun karena rasul benar-benar menekankan sebuah kepemimpinan yang
baik, maka rasul juga mengancam kepemimpinan yang buruk. Yang jelas,
sebuah kepemimpinan bila tidak menjamin dan melindungi rakyatnya serta tidak
menjadikan rakyatnya sejahtera, maka kepemimpinan itu bisa dikatakan buruk,
dzalim, kejam, dsb. Sama seperti kita yang pada zaman ini mengenal berbagai
macam istilah yang terkait dengan perlakuan buruk penguasa, seperti, otoriter,
totaliter, represif, korup, tidak demokratis, dsb yang kesemua itu mencerminkan
sebuah kepemimpinan yang berbahaya bagi rakyat. Jadi, kepemimpinan yang buruk
menurut rasul dalam hadis ini adalah sebuah kepemimpinan yang justru menjauhkan
rakyat dari kehidupan yang
sejahtera.
Hadis 28
Balasan bagi pemimpin yang otoriter
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ عَلِيِّ بْنِ مُبَارَكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي
كَثِيرٍ عَنْ عَامِرٍ الْعُقَيْلِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَعْلَمُ
أَوَّلَ ثَلَاثَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ الشَّهِيدُ وَعَبْدٌ أَدَّى حَقَّ
اللَّهِ وَحَقَّ مَوَالِيهِ وَفَقِيرٌ عَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ وَإِنِّي لَأَعْلَمُ
أَوَّلَ ثَلَاثَةٍ يَدْخُلُونَ النَّارَ سُلْطَانٌ مُتَسَلِّطٌ وَذُو ثَرْوَةٍ
مِنْ مَالٍ لَا يُؤَدِّي حَقَّهُ وَفَقِيرٌ فَخُورٌ
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya aku
orang yang paling tahu tentang tiga golongan yang pertama kali masuk surga:
orang yang mati syahid, seorang hamba yang menunaikan hak allah dan hak
majikannya, dan orang fakir yang menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik.
Aku juga orang yang paling tahu tentang tiga golongan yang pertama kali masuk
neraka: seorang pemimpin yang otoriter (sewenang-wenang), seorang kaya yang
tidak menunaikan kewajibannya, dan seorang fakir yang sombong. (hr. Ahmad)
Penjelasan:
Bila hadis sebelumnya berbicara soal kepemimpinan
yang buruk, dalam hadis ini kita kembali menyoroti model kepemimpinan namun
lebih spesifik, yaitu kepemimpinan otoriter. Kepemimpinan otoriter adalah
sebuah kepemimpinan yang dijalankan atas dasar kesewenag-wenangan. Semua
keputusan dan kebijakan pemimpin harus ditaati oleh semua rakyat tanpa memberi
ruang terjadinya “negoisasi” dengan rakyat. Bila pemimpin berkata merah, maka
rakyat harus mengikuti merah. Demikianlah ciri-ciri sederhana sebuah
kepemimpinan otoriter.
Lalu bagaimana islam menyikapi (ke)pemimpin(an)
yang otoriter ini? Islam jelas tidak pernah memberikan tempat, walau sejengkal,
kepada pemimpin yang otoriter ini. Sebagaimana pemimpin yang dzalim, pemimpin
otoriter juga diancam dengan hukuman neraka. Dan sebaliknya, islam justru
sangat menekankan pentingnya demokrasi (syura) dan partisipasi rakyat dalam
sebuah sistem kepemimpinan. Rasul s.a.w telah memberikan contoh bagaimana syura
menjadi prinsip pokok dalam menjalankan roda kepemimpinan. Dalam syura (demokrasi)
semua rakyat, tanpa membedakan latar agama, etnis, arna kulit, bahasa, jenis
kelamin, berhak untuk terlibat dalam merumuskan arah dan haluan sebuah
kepemimpinan. Ketika rasul menjadi pemimpin politik di madinah, rasul tidak
segan-segan memberikan hak yang setara anatara kaum muhajirin dan anshar.
Bahkan dalam medan peperangan, siti ‘aisyah juga diberi hak untuk mengukiti
bahkan memimpin sebuah peperangan dengan kaum kafir. Dengan demikian, cukup
jelas sekali bahwa islam adalah agama yang “mengharamkan” otoritariansme
dan “mewajibkan” demokrasi (syura).
Hadis 29
Melawan pemimpin dzalim adalah jihad
akbar
حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ دِينَارٍ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ مُصْعَبٍ أَبُو يَزِيدَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ جُحَادَةَ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ
عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي
أُمَامَةَ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya jihad
yang paling besar adalah mengungkapkan kalimat kebenaran di hadapan sultan yang
zalim. (hr. Turmudzi)
Selama ini, banyak umat islam memahami konsep
jihad hanya sebatas turun ke medan perang. Pemaknaan semacam ini cukup
berbahaya karena hanya mengambil makna yang tekstual seraya menutupi makna lain
yang lebih substansial.
Bila ada dua orang khalifah dibaiat maka bunuhlah
salah satunya
Hadis ke 30
Keputusan pemimpin harus aspiratif
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْجُعْفِيُّ عَنْ زَائِدَةَ
عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ حَنَشٍ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَقَاضَى إِلَيْكَ رَجُلَانِ
فَلَا تَقْضِ لِلْأَوَّلِ حَتَّى تَسْمَعَ كَلَامَ الْآخَرِ فَسَوْفَ تَدْرِي
كَيْفَ تَقْضِي قَالَ عَلِيٌّ فَمَا زِلْتُ قَاضِيًا بَعْدُ قَالَ أَبُو عِيسَى
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Apabila ada dua orang laki-laki yang meminta
keputusan kepadamu maka janganlah engkau memberikan keputusan kepada laki-laki
yang pertama sampai engkau mendengarkan pernyataan dari laki-laki yang kedua.
Maka engkau akan tahu bagaimana enkau memberikan keputusan (hr. Turmudzi)
Hadis ini mengajarkan kita sebuah kepemimpinan
yang mau mendengar semua suara rakyat. Tidak peduli rakyat itu pengemis,
pemulung, orang penyandang cacat, perempuan, atau anak kecil sekalipun, maka
semua itu harus didengar suaranya oleh pemimpin. Artinya, kepemimpinan itu,
atau lebih tepatnya seorang pemimpin itu harus benar-benar aspiratif. Karena
bila kita dalam mengambil keputusan atau kebijakan hanya berdasarkan suara
kelompok tertentu, lebih-lebih suara kelompok yang dekat dengan lingkungan
kekuasaan (pemimpin) maka keputusan itu pasti akan jauh dari rasa keadilan.
Alasannya adalah karena suara satu kelompok itu belum tentu mewakili suara
kelompok yang lain. Sehingga bila ingin mencapai rasa keadilan bagi eluruh
rakyat, maka harus mendengar suara semua rakyat.
Hadis ini penting terutama dalam konteks sistem
demokrasi yang meniscayakan keterwakilan seperti di indoensia misalkan. Dimana
dpr (dewan perwakilan rakyat) memiliki wewenang untuk mewakili suara rakyat.
Bila dpr ini tidak menjaring aspirasi dari semua lapisan dan status masyarakat,
maka jangan harap kebijakan-kebijakan yang dihasilakannya akan memenuhi rasa
keadilan rakyat indonesia. Oleh sebab itu, agar rasa keadilan dalam sebuah
masyarakat itu benar-bnar terpenuhi, maka islam mewajibkan seorang pemimpin
untuk tidak mengambil keputusan hanya dari satu orang (satu kelompok suara),
tetapi lebih dari itu.
Hadis ke 31
Pemimpin dituntut berijtihad
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ
أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ
أَبِي بَكْرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَكَمَ
الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ
فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَعُقْبَةَ
بْنِ عَامِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
مِنْ هَذَا الْوَجْهِ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ
يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيِّ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ
عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ
Apabila seorang hakim melakukan ijtihad dan
kemudian benar maka dia mendapat dua pahala, dan apabila dia berijtihad
ternyata salah maka dia hanya mendapat satu pahala
Hadis ini memang bercerita tentang kewenagan
hakim. Namun sejatinya, hadis ini bukan saja ditujukan kepada seorang hakim,
melainkan lebih dari itu juga untuk seorang pemimpin. Pada masa rasul s.a.w.
Jabatan hakim dan pemimpin politik tidak dibedakan. Nabi muhammad sendiri
adalah seorang pemimpin politik tapi sekaligus juga seorang hakim. Demikian
juga dengan para khalifah pengganti beliau sesudahnya (khulafa urrasyidin)
yang menjabat pemimpin sekaligus hakim dan bahkan panglima perang. Oleh sebab
itu, bila merujuk pada konteks di atas, maka hadis ini tentunya bukan hanya
relevan untuk para hakim tetapi juga dianjurkan untuk para pemimpin (politik).
Apabila dikaitkan dengan konteks pemimpin
politik, maka yang dimaksud ijtihad di sini adalah bisa berupa sebuah upaya
politik seorang pemimpin dalam mengeluarkan keputusan yang berdasarkan
konstitusi dan nilai-nilai kemanusiaan serta kesejahteraan rakyat. Artinya,
seorang pemimpin dituntut bekerja keras semaksimal mungkin, tentunya
berdasarkan ikhtiar politiknya, untuk berupaya menjadikan rakyatnya terangkat
dari garis kemiskinan serta memenuhi standar kesejahteraan. Bila ikhtiar
politik pemimpin ini benar dan berhasil mensejahteraakan rakyatnya, maka dia
akan mendapat dua pahala, akan tetapi bila ikhtiar dia salah dan rakyat tetap
berada di bawah garis kemiskinan, maka dia akan mendapat satu pahala. Tentunya
ikhtiar ini harus benar-benar dilandasi oleh ketulusan dan niat baik untuk
mengabdi kepada rakyat, bukan semata-mata mencari keuntungan politik tertentu.
Bila yang terakhir ini yang dilakukan, maka bukan hanya satu pahala yang didapat,
melainkan justru akan mendapat celaka dan siksa dari allah swt.
Hadis ke 32
Pemimpin harus punya pedoman kepemimpinan
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي عَوْنٍ
الثَّقَفِيِّ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى
الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ
قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
جَعْفَرٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ
أَبِي عَوْنٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو ابْنِ أَخٍ لِلْمُغِيرَةِ بْنِ
شُعْبَةَ عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ عَنْ مُعَاذٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ لَا
نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَلَيْسَ إِسْنَادُهُ عِنْدِي بِمُتَّصِلٍ
وَأَبُو عَوْنٍ الثَّقَفِيُّ اسْمُهُ مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ
Ketika rasul mengutus mu’adz ke yaman, beliau
bertanya: wahai mu’adz, bagaimana caramu memberikan putusan/hukum? Dia
menjawab; aku memutuskan/menghukumi berdasarkan ketentuan dari al-qur’an. Lalu
rasul bertanya lagi: bagaimana kalau tidak ada dalam al-quran? Mu’adz menjawab,
maka aku memutuskan berdasarkan sunnah rasul s.a.w. Rasul bertanya lagi:
bagaimana bila tidak kau temukan dalam sunnah rasul ? Mu’adz menjawab: maka aku
berijtihad berdasarkan pendapatku sendiri. Rasul bersabda: segala puji bagi
allah yang telah memberikan petunjuk/taufik kepada duta rasul saw
Hadis ini turun ketika salah seorang sahabat
rasul s.a.w, mu’adz bin jabal, hendak diutus rasul untuk menjadi gubernur di
yaman. Namun sebelum mu’adz berangkat ke yaman, rasul terlebih dahulu
memanggilnya untuk di uji (fit and propertest) sejauh mana dia bisa
diandalkan menjadi gebernur. Akan tetapi materi test yang disampaikan rasul
tidak muluk-muluk, beliau hanya menanyakan tentang pedoman dia (mu’adz) dalam
menjalankan roda kepemimpinannya. Dalam pengakuan mu’adz, dia akan menjalankan
roda kepemimpinanya sebagai gubernur yaman dengan berlandaskan pada al-qur’an,
sunnah, dan ijtihad (berpikir dan bekerja keras). Untuk jawaban yang pertama
dan kedua, rasul mungkin sudah bisa menebak jawaban yang akan diberikan mu’adz,
akan tetapi untuk pertanyaan ketiga itulah rasul mencoba menggali sejauh mana
upaya mu’adz bila sebuah keputusan tidak ada dasarnya dalam al-qur’an dan
sunnah. Dan ternyata nabi cukup bangga kepada mu’adz karena dia bisa menjawab
pertanyaan ketiga itu dengan cukup memuaskan.
Ini artinya bahwa hadis di atas telah memberikan
isyarat kepada kita bahwa dalam menjalankan roda kepemimpinan kita tidak bisa
hanya mengandalkan pedoman al-qur’an dan sunnah, akan tetapi kita juga harus
pandai-pandai mencari alternatif pedoman yang lain yang bisa mengilhami kita
dalam mengeluarkan keputusan. Bukannya kita hendak mengatakan bahwa al-qur’an
dan sunnah tidak sempurna, akan tetapi untuk merespon semua peristiwa yang
terjadi di dunia ini kita dituntut untuk mencari dan mencari segala macam
alternatif solusinya. Apabila kita tidak menemukan dasarnya di al-qur’an dan
sunnah, mungkin kita bisa mencarinya di nilai-nilai kearifan lokal yang telah
tumbuh dan berkembang di dalam sebuah masyarakat. Karena itulah kita juga
mengenal apa yang oleh para ahli ushul fiqh dikenal dengan ‘urf atau
kaidah fiqh yang berbunyi al-‘adah muhakkamah. Bahkan rasul pun pernah
bersabda: bila engkau menemukan kebijakan maka ambillah meski ia keluar dari
mulut anjing.
Hadis ke 33
Good and clean governance
dalam islam
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْقُدُّوسِ بْنُ مُحَمَّدٍ أَبُو بَكْرٍ الْعَطَّارُ
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ حَدَّثَنَا عِمْرَانُ الْقَطَّانُ عَنْ أَبِي
إِسْحَقَ الشَّيْبَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الْقَاضِي
مَا لَمْ يَجُرْ فَإِذَا جَارَ تَخَلَّى عَنْهُ وَلَزِمَهُ الشَّيْطَانُ قَالَ
أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ
عِمْرَانَ الْقَطَّانِ
Rasul bersabda sesungguhnya allah senantiasa
bersama dengan hakim/qodi sepanjang dia tidak menyeleweng. Kalau dia sudah
menyeleweng maka allah akan menjauh darinya, dan syetan menjadi temannya.
Selain islam mengajarkan pentingnya prinsip
keadilan dalam sebuah kepemimpinan, islam juga menekankan pentingnya
kepemimpinan yang bersih. Secara substansial, keduanya memang tidak ada
perbedaan yang berarti, bahkan bila seorang pemimpin sudah berbuat adil, maka
bisa dikatakan kepemimpinannya sudah bersih. Karena keadilan merupakan forndasi
dan perilaku bersih adalah dindingnya. Jadi meski fondasinya kuat namun bila
tidak ditopang oleh dinding yang juga kuat, maka bangunagan itu mudah roboh
oleh “goyangan-goyangan” dari pihak luar. Oleh sebab itu, yang satu tidak bisa
mengabaikan yang lain, bahkan harus saling menopang antara keduanya.
lantas bagaimana yang dimaksud dengan
kepemimpinan yang bersih di dalam hadis ini? Yang dimaksud kepemimpinan yang
besih adalah sebuah sistem kepemimpinan yang tidak “dinodai” oleh
perilaku-perilaku menyeleweng dari pemimpinanya. Wujud konkrit dari perilaku
menyeleweng ini adalah seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu,
pemimpin juga dituntut harus menjaga “kebersihan” moralnya. Sehingga yang
dimaksud bersih kemudian bukan saja menyangkut perilaku sosial melainkan juga
perilaku individual.
sedangkan dalam konteks kepemimpinan politik
kontemporer, kita mengenal istilah yang disebut “clean and good
governance”. Istilah ini sebenarnya mengandung konsep dasar bahwa sebuah
kepemimpinan itu harus baik dan bersih, terutama bersih dari korupsi dan
modus-modus penyelewengan yang lain. Sehingga untuk mencapai sebuah
kepemimpinan seperti itu diperlukan kesetaraan peran antara negara
(pemerintah), pasar dan rakyat yang salah satu di antara ketiganya tidak boleh
ada yang mendominasi. Karena bila peran negara terlalu kuat atau dominan maka
akan menimbulakn hegemoni dan cenderung totaliter, sedangkan bila peran pasar
(swasta) yang terlalu dominan, maka semua kehidupan rakyat akan diatur dengan
modal atau pemilki modal. Bila seseorang tidak punya modal, maka dia tidak
punya posisi tawar yang kuat. Sementara bila kedua instutusi di atas terlalu
lemah, dan rakyat begitu kuatnya, maka chaos atau kekacauan yang akan
menghantui sebuah negara. Oleh sebab itu, kembali pada hadis di atas, bahwa
tindakatan kotor seperti penyelewengan kekuasaan adalah tindakan yang sangat
dikutuk dalam islam. Dan sebaliknya, pemerintahan yang baik dan bersih justru
sangat ditekankan dan dijamin pasti akan dilindungi oleh allah.swt.
Hadis ke 34
Pemimpin harus peka terhadap Kebutuhan
rakyat
قَال عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ لِمُعَاوِيَةَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ إِمَامٍ يُغْلِقُ بَابَهُ
دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ
أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ خَلَّتِهِ وَحَاجَتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ
Setiap pemimpin yang menutup pintunya
terhadap orang yang memiliki hajat, pengaduan, dan kemiskinan maka allah akan
menutup pintu langit terhadap segala pengaduan, hajat dan kemiskinannya.
Kepemimpinan bukan saja menuntut kecerdasan otak
dan kekuatan otot, melainkan juga harus ditunjang oleh rasa sensifitas yang
tinggi terhadap persoalan-persoalan menyangkut rakyatnya. Sehingga apapun
persoalan yang menimpa rakyatnya, maka pemimpin harus peka dan segera
mencarikan solusinya. Di sinilah sebenarnya tugas pokok seorang pemimpin; yaitu
mendengar keluh kesah rakyat untuk kemudian mencarikan jalan keluarnya.
Karena itulah, islam (melalui hadis di atas)
memerintahkan seorang pemimpin untuk membuka pintu terhadap segala keluh kesah
rakyatnya. Tentunya, yang dimaksud pintu disini bukan semata-mata berarti pintu
rumah ataupun pintu istana, melainkan lebih dari itu yang sangat ditekankan
adalah pintu hati atau nurani seorang pemimpin. Karena meski seorang pemimpin
tinggal di istana megah dan berpagarkan besi dan baja, bila pintu hatinya
terbuka untuk kepentingan rakayat, maka allah juga akan membukkaan “pintu
hati-nya” untuk mendengar keluh kesah sang pemimpin itu.
Hadis ke 35
Pemimpin dilarang mengambil keputusan
dalam keadaan emosional
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ كَتَبَ أَبِي إِلَى
عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ وَهُوَ قَاضٍ أَنْ لَا تَحْكُمْ بَيْنَ
اثْنَيْنِ وَأَنْتَ غَضْبَانُ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحْكُمْ الْحَاكِمُ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ
غَضْبَانُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَأَبُو بَكْرَةَ
اسْمُهُ نُفَيْعٌ
Janganlah seorang pemimpin (hakim) itu
menghukumi antara dua orang yang berseteru dalam keadaan marah (emosional)
Keputusan seorang presiden adalah dasar dari
kebijakan sebuah negara. Begitu juga keputusan seorang pimpinan dalam sebuah
organisasi adalah acuan dalam menjalankan roda organisasi. Oleh sebab itu,
dalam mengambil keputusan atau mengeluarkan kebijakan, seorang pemimpin
sebaiknya tidak sedang dalam keadaan “panas”, marah, atau emosional. Hal ini
bukan saja ditentang oleh hadis nabi s.a.w melainkan juga dikutuk oleh teori
manajemen organisasi. Dalam teori manajemen organisasi dijelaskan bahwa
seseorang tidak boleh mengeluarkan atau membuat keputusan dalam keadaan marah
atau emosi yang tidak stabil. Bila dipaksakan, maka keputusan itu dihasilakan
dari sebuah proses yang kurang matang dan terburu-buru sehingga dampaknya akan
sangat merugikan terhadap pelaksana keputusan tersebut.
Meski di dalam hadis ini yang disebutkan adalah
hakim, namun secara substansial kita sepakat bahwa dalam keadaan emosi labil,
siapapun orangnya, baik hakim, pemimpin, maupun orang awam sekalipun, sebaiknya
tidak perlu mengambil keputusan. Banyangkan bila kita sedang bertengkar dengan
istri di rumah misalkan, tetapi setelah di tiba di kantor kita disuguhi sebuah
persoalan yang harus diputuskan, maka bisa jadi sisa-sisa emosional kita di rumah,
secara sadar atau tidak, akan ikut terbawa hingga ke kantor dan mempengaruhi
kita dalam memutuskan sebuah perkara. Oleh sebab itu, bila kita hendak
mengambil keputusan maka terlebih dahulu kita harus mendinginkan suasana dan
menengkan pikiran sehingga semua pertimbangan bisa kita akomodir secara
seimbang dan matang.
Hadis ke 36
Hukuman bagi pemimpin yang suka money
politic
Rasul s.a.w melaknat orang yang menyuap
dan disuap
Hadis ini sungguh sangat relevan untuk konteks
indoensia saat ini, di mana dalam setiap unsur birokrasi kita hampir dipastikan
tidak bisa lepas dari yang namanya “suap”. Mulai dari ngurus ktp di tingkat rt,
hingga ngurus tender proyek infrastruktur di tingkat presiden, mulai dari
pemilihan ketua rt hinhha pemilihan presiden. Semuanya tidak steril dari
praktik suap-menyuap. Entah dari mana asal muasalnya, yang jelas praktik suap
ini sudah diperingatkan oleh rasul. Itu artinya, sejak kepemimpinan rasul
s.a.w, pratik suap ini sudah terjadi, dan rasul turun untuk memerangi pratik kotor
ini.
Bila kita memaknai ancaman “laknat” bagi penyuap
dan yang disuap sebagaiman hadis di atas, maka sebenarnya ancaman itu
menunjukkan sebuah ancaman yang cukup berat. Karena bahasa laknat biasanya
bukan hanya berarti hukuman tuhan di akhirat, melainkan juga terjadi di dunia.
Kita lihat misalkan dalam kasus kaum sodom yang dilaknat tuhan dengan berbagai
penyakit yang menyakitkan dan mematikan, demikian pula setelah di akhirat nanti
mereka juga akan kembali dilaknat dengan lebih kejam. Oleh sebab itu, allah
tidak akan bermain-main dengan praktik kotor yang menjijikkan ini.
Namun anehnya, banyak di antara orang yang tidak
sadar kalau dirinya sudah disuap. Fenomena ini banyak kita temui ketika
menjelang pemilu, misalkan seorang kiai/ulama pemimpin pesantren yang diberi
(biasanya pakai bahasa disumbang) sejumlah dana oleh partai politik tertentu
agar pesantrennya mau mendukung parpol yang bersangkutan. Sang kia sering tidak
sadar (atau berpura-pura tidak sadar) bahwa dana sumbangan itu bisa
dikategorikan, yang dalam bahasa politiknya, sebagai money politic. Memang
praktik “sumbangan politik” ini tidak terlalu kentara sebagai suap, namun bila
sebuah sumbangan itu dilandasi oleh kepentingan tetentu dan tuntutan tertentu,
maka ia layak disebut suap. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana bila sumbangan
dana itu tidak disertai tuntutan ? Memang dalam setiap sumbangan, terutama
menjelang pemilu, kepentingan dan tuntutannya tidak mungkin dikatakan secara
harfiyah atau gamblang. Bahkan bisa jadi seorang politisi pemberi sumbangan itu
tidak langsung mneyebutkan kepentingannya dalam menyumbang. Akan tetapi, bila
sumbangan itu turun sementara situasi saat itu adalah pemilu, maka sudah bisa
dipastikan bahwa sumbangan itu adalah money politic. Oleh sebab itu,
untuk menjaga kesyubhatan sebuah sumbangan, sebaiknya kita perlu
melacak dulu asbabul wurudnya.
Hadis ke 37
Masa kepemimpinan maksimal dua periode
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْمُخَرَّمِيُّ حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا عِمْرَانُ الْقَطَّانُ عَنْ
قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اسْتَخْلَفَ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ عَلَى الْمَدِينَةِ مَرَّتَيْنِ
Rasul s.a.w menunjuk ibnu maktum sebagai
penggantinya di kota madinah sebanyak dua kali. (hr abu dawud)
Islam memang benar-benar telah menebarakan
benih-benih demokrasi. Betapa tidak, jauh sebelum istilah demokrasi itu sendiri
muncul, yaitu pada masa rasul s.a.w, islam sudah membatasi masa kepemimpinan
seseorang. Dan persis dalam konsep demokrasi modern, masa kepemimpinan dalam
islam juga dibatasi selama dua periode. Namun terlepasa konsep itu bersumber
dari islam atau demokrasi modern, namun yang perlu kita gali adalah pesan
moral dari hadis di atas. Pesan moral dari hadis ini adalah bahwa bila
kekuasaan itu terlalu lama dipegang oleh seseorang maka akan berpotensi untuk
menimbulkan penyalahgunaan. Sebagaimana slogan dalam politik modern yang
berbunyi; “power absoluty tends to corrup absoluty”, kekuasaan mutlak
berpotensi melahirkan penyalahgunaan mutlak. Karena bila seorang pemimpin
terlalu lama memimpin, seperti soeharto selama 32 tahun, maka akibatnya bisa
kita lihat sendiri; kongkalikong, nepotisme, semua kerabat dekatnya dijadikan
menteri, korupsi, dan bahkan bisa menjadi “tuhan” yang mampu memaksa rakyatnya
untuk menuruti perintahnya. Padahal tuhan sendiri tidak pernah memaksa. Oleh
sebab itu, dalam setiap jenjang kepemimpinan, sebaiknya, bahkan mungkin
seharusnya, perlu dibatasi masa kepemimpinannya. Tidak adanya batasan
waktu dalam sebuah sistem kepemimpinan hanya akan menimbulkan kekuasaan yang
menyerupai tuhan selaku maha tak terbatas.
Hadis ke 38
Wajib berkata benar kepada pemimpin
Meski terasa pahit
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أُنَاسٌ لِابْنِ عُمَرَ
إِنَّا نَدْخُلُ عَلَى سُلْطَانِنَا فَنَقُولُ لَهُمْ خِلَافَ مَا نَتَكَلَّمُ إِذَا
خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِهِمْ قَالَ كُنَّا نَعُدُّهَا نِفَاقًا
Ada serombongan orang yang berkata kepada
ibnu umar; kalau kami bertemu dengan para pemimpin kami maka kami pasti
mengatakan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang kami katakan bila
tidak bertemu dengan mereka (pemimpin). Ibnu umar berkata: hal itu kami anggap
sebagai sebuah sikap munafik. (hr. Bukhori)
Ada satu tradisi buruk yang sering kita lakukan
ketika kita menghadap pimpinan, yaitu, selalu mengatakan yang baik-baik, yang
senang-senang, dan yang sukses-sukses. Tradisi ini bukan saja dilakukan oleh
para menteri ketika menghadap presiden, melainkan tidak jarang juga dilakukan
oleh rakyat biasa. Jelas, kalu menteri melakukan tradisi buruk itu dengan
tujuan menjilat dan mengharap pujian dari sang pemimpin (presiden). Tapi yang
tidak bisa kita fahami ternyata tidak sedikit rakyat biasa juga melakukan
praktik buruk tersebut. Memang, bila rakyat biasa tidak separah sebagaiman
dilakukan menteri, akan tetapi sebuah sikap berdiam diri ketika berhadapan
dengan pemimpin adalah sebuah sikap yang oleh hadis di atas bisa dikategorikan
sebagai “munafik”. Padahal, bila kita bertemu pemimpin kita, misalkan kita
mendapat kesempatan bertemu langsung dengan presiden kita, maka harus kita
manfaatkan waktu pertemuan itu untuk mnegatakan yang sebenarnya tentang situasi
atau kehidupan rakyat yang dipimpinnya. Di hadapan pemimpin itulah justru
sebuah kesempatan untuk mengatakan bahwa, misalnya, rakyat sedang kekuranagn
pangan, rakyat butuh pendidikan gratis, rakyat butuh harga murah, dsb. Bila
pemimpin yang bersangkutan marah dan mengancaman sikap tegas kita, maka kita
jangan sekali-kali mundur, karena itu adalah kenyataan yang sebenarnya. Dan
membohongi kenyataan adalah sama dosanya dengan berbuat munafik. Oleh sebab
itu, hadis ini sangat relevan dengan situasi indoensia saat ini yang banyak
diwarnai oleh sikap kepura-puraan dalam berperilaku dan berkomunikasi dengan
pimpinan.
.
Hadis ke 39
Sikap dengki pemimpin sangat membahayakan
Muadz berkata: rasul s.a.w mengutusku pergi
ke yaman. Ketika aku berangkat kemudian rasul menyuruh orang untuk memanggilku
pulang kembali. Kemudian beliau berkata: tahukah engkau kenapa aku memanggilmu
kembali ? Yaitu agar engkau tidak terjerumus pada sesuatu yang tidak aku perbolehkan,
yakni sifat dengki, karena siapa yang dengki, maka kedengkiannya itu akan
datang kepadanya hari kiamat. Dengan maksud itulah aku memanggilmu, ingat itu…!
Sekarang kembalilah kamu ke wilayah kekuasaanmu.
Hadis ini turun ketika rasul s.a.w telah mengutus
mu’adz bin jabal untuk menjadi gubernur di negeri yaman. Sebagaimana
diceritakan dalam hadis di atas, bahwa kepentingan rasul untuk sejenak
memanggil pulang kembali mu’adz adalah untuk menasehati dia agar menghindari
sikap dengki, karena sikap itu akan menjerumuskan dia ke jurang kesesatan.
Mungkin kita tidak pernah berfikir bahwa sikap dengki itu cukup berbahaya.
Padahal dari sikap yang seolah remeh tersebut, bisa melahirkan sebuah sikap
yang dampaknya jauh lebih berbahaya dari sekedar dengki, terutama bila
dikaitkan dengan masalah kepemimpinan.
Bila seorang pemimpin selalu dihinggapi rasa
dengki, maka jangan harap kepemimpinannya akan sukses. Namun tentu yang
dimaksud dengki di sini bukan sekedar bermakna iri hati atau cemburu, akan
tetapi sebuah sikap ketidak puasan seotang pemimpin atas kekuasaan yang
dipegangnya. Padahal, seorang pemimpin sudah diberi “kekuasaan”, diberi
fasilitas, di beri kehormatan, namun tidak sedikit masih banyak pemimpin yang
merasa kurang dan kurang lagi atas jabatan, kehormatan, status, harta, dan
kakuasaan. Bila seorang pemimpin tidak mampu menahan nafsu semacam
ini, maka jangan harap kepemimpinanya serta rakyat yang dipimpinnya akan hidup
dengan sejahtera. Oleh sebab itu, meski rasa dengki adalah masalah biasa ,
namun dampak negatifnya menjadi luar biasa.
KONSEP KEPEMIMPINAN ISLAM
Study
Normatif, Komparatif dan Historis
Oleh:
Mahmud Sutarwan Waffa
I.
Pendahuluan
Konsep
kepemimpinan dalam Islam sebenarnya memiliki dasar-dasar yang sangat kuat dan
kokoh. Ia dibangun tidak saja oleh nilai-nilai transendental, namun telah
dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu oleh nabi Muhammad SAW, para Shahabat
dan Al-Khulafa’ Al-Rosyidin. Pijakan kuat yang bersumber dari Al-qur’an dan
Assunnah serta dengan bukti empiriknya telah menempatkan konsep kepemimpinan
Islam sebagai salah satu model kepemimpinan yang diakui dan dikagumi oleh dunia
internasional.
Namun
dalam perkembangannya, aplikasi kepemimpinan Islam saat ini terlihat semakin
jauh dari harapan masyarakat. Para tokohnya terlihat dengan mudah kehilangan
kendali atas terjadinya siklus konflik yang terus terjadi. Harapan masyarakat
(baca: umat) akan munculnya seorang tokoh muslim yang mampu dan bisa diterima
oleh semua lapisan dalam mewujudkan Negara yang terhormat, kuat dan
sejahtera nampaknya masih harus melalui jalan yang panjang.
II.
Tinjauan Umum Mengenai Kepemimpinan
Secara
etimologi kepemimpinan berarti Khilafah, Imamah, Imaroh, yang mempunyai makna
daya memimpin atau kualitas seorang pemimpin atau tindakan dalam memimpin.
Sedangkan secara terminologinya adalah suatu kemampuan untuk
mengajak orang lain agar mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
Dengan kata lain, kepemimpinan adalah upaya untuk mentransformasi-kan semua
potensi yang terpendam menjadi kenyataan. Tugas dan tanggungjawab seorang
pemimpin adalah menggerakkan dan mengarahkan, menuntun, memberi mutivasi serta
mendorong orang yang dipimpin untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan.
Sedangkan tugas dan tanggungjawab yang dipimpin adalah mengambil peran aktif
dalam mensukseskan pekerjaan yang dibebankannya. tanpa adanya kesatuan komando
yang didasarkan atas satu perencanaan dan kebijakan yang jelas, maka
rasanya sulit diharapkan tujuan yang telah ditetapkan akan tercapai dengan
baik. Bahkan sebaliknya, yang terjadi adalah kekacauan dalam pekerjaan. Inilah
arti penting komitmen dan kesadaran bersama untuk mentaati pemimpin dan
peraturan yang telah ditetapkan.
III.
Kepemimpinan dalam Islam
III.
a. Hakekat Kepemimpinan
Dalam
pandangan Islam, kepemimpinan merupakan amanah dan tanggungjawab
yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota yang dipimpinnya,
tetapi juga akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Jadi,
pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak hanya bersifat horizontal-formal
sesama manusia, tetapi bersifat vertical-moral, yakni tanggungjawab
kepada Allah Swt di akhirat nanti. Seorang pemimpin akan dianggap lolos dari
tanggungjawab formal di hadapan orang-orang yang dipimpinnya, tetapi belum
tentu lolos ketika ia bertanggungjawab di hadapan Allah Swt. Kepemimpinan
sebenarnya bukan sesuatu yang mesti menyenangkan, tetapi merupakan
tanggungjawab sekaligus amanah yang amat berat yang harus diemban dengan
sebaik-baiknya. Allah Swt berfirman:
“Dan
orang-orang yang memelihara amanah (yang diembankannya) dan janji mereka, dan
orang-orang yang memelihara sholatnya, mereka itulah yang akan mewarisi surga
firdaus, mereka akan kekal di dalamnya” (QS.Al Mukminun 8-9)
Seorang
pemimpin harus bersifat amanah, sebab ia akan diserahi tanggungjawab. Jika
pemimpin tidak mempunyai sifat amanah, tentu yang terjadi adalah penyalahgunaan
jabatan dan wewenang untuk hal-hal yang tidak baik. Itulah mengapa nabi
Muhammad SAW juga mengingatkan agar menjaga amanah kepemimpinan, sebab hal itu
akan dipertanggungjawabkan, baik didunia maupun diakhirat. Nabi bersabda: “Setiap
kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya” (HR. Bukhori) Nabi Muhammad Saw juga bersabda: “Apabila
amanah disia-siakan maka tunggulah saat kehancuran. Waktu itu ada seorang shahabat
bertanya: apa indikasi menyia-nyiakan amanah itu wahai Rasulullah? Beliau
menjawab: apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka
tunggulah saat kehancurannya” (HR. Bukhori)
Oleh
karenanya, kepemimpinan mestinya tidak dilihat sebagai fasilitas untuk
menguasai, tetapi dimaknai sebagai sebuah pengorbanan dan amanah yang harus
diemban dengan sebaik-baiknya. Kepemimpinan juga bukan kesewenang-wenangan
untuk bertindak, tetapi kewenangan untuk melayani dan mengayomi dan berbuat dengan
seadil-adilnya. kepemimpinan adalah sebuah keteladanan dan kepeloporan dalam
bertindak. Kepemimpinan semacam ini akan muncul jika dilandasi dengan semangat
amanah, keikhlasan dan nilai-nilai keadilan.
III.
b. Hukum dan Tujuan Menegakkan Kepemimpinan
Pemimpin
yang ideal merupakan dambaan bagi setiap orang, sebab pemimpin itulah
yang akan membawa maju-mundurnya suatu organisasi, lembaga, Negara dan bangsa.
Oleh karenanya, pemimpin mutlak dibutuhkan demi tercapainya kemaslahatan umat.
Tidaklah mengherankan jika ada seorang pemimpin yang kurang mampu, kurang ideal
misalnya cacat mental dan fisik, maka cenderung akan mengundang kontroversi,
apakah tetap akan dipertahankan atau di non aktifkan.
Imam
Al-mawardi dalam Al-ahkam Al sulthoniyah menyinggung mengenai
hukum dan tujuan menegakkan kepemimpinan. beliau mengatakan bahwa
menegakkan kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah sebuah keharusan
dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut, beliau
mengatakan bahwa keberadaan pemimpin (imamah) sangat penting, artinya, antara
lain karena imamah mempunyai dua tujuan: pertama: Likhilafati
an-Nubuwwah fi-Harosati ad-Din, yakni sebagai pengganti misi kenabian untuk
menjaga agama. Dan kedua: Wa sissati ad-Dunnya, untuk memimpin
atau mengatur urusan dunia. Dengan kata lain bahwa tujuan suatu kepemimpinan
adalah untuk menciptakan rasa aman, keadilan, kemasylahatan, menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar, mengayomi rakyat, mengatur dan menyelesaikan
problem-problem yang dihadapi masyarakat.
Dari
sinilah para ulama’ berpendapat bahwa menegakkan suatu kepemimpinan (Imamah)
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah suatu keniscayaan (kewajiban).
Sebab imamah merupakan syarat bagi terciptanya suatu masyarakat yang adil dalam
kemakmuran dan makmur dalam keadilan serta terhindar dari kehancuran dalam
kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, tampilnya seorang pemimpin yang ideal
yang menjadi harapan komponen masyarakat menjadi sangat urgen.
III.
c. Kriteria Pemimpin yang Ideal dalam Islam
Imam
Al Mawardi dalam Al-ahkam Al sulthoniyyah-Nya memberikan beberapa
kriteria seorang pemimpin yang ideal agar tampilnya pemimpin tersebut dapat
mengantarkan suatu Negara yang adil dan sejahtera seperti yang diharapkan.
-
Seorang pemimpin harus mempunyai sifat adil (‘adalah)
-
Memiliki pengetahuan untuk memanage persoalan-persoalan yang ada kaitannya
dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
-
Sehat panca indranya seperti pendengaran, penglihatan dan lisannya. Sehingga
seorang pemimpin bisa secara langsung mengetahui persoalan-persoalan secara
langsung bukan dari informasi atau laporan orang lain yang belum tentu dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
-
Sehat anggota badan dari kekurangan. Sehingga memungkinkan seorang pemimpin
untuk bergerak lebih lincah dan cepat dalam menghadapi berbagai persoalan
ditengah-tengah masyarakat.
-
Seorang pemimpin harus mempunyai misi dan visi yang jelas. bagaimana memimpin
dan memanage suatu Negara secara berstruktur, sehingga ada perioritas tertentu,
mana yang perlu ditangani terlebih dahulu dan mana yang dapat ditunda
sementara.
-
Seorang pemimpin harus mempunyai keberanian dan kekuatan. Dalam hal ini seorang
pemimpin harus mempunyai keberanian dan kekuatan dalam menegakkan hukum
dan keadilan.
-
Harus keturunan Quraisy. Namun menurut pandangan Ibnu Khaldun dalam Muqoddimah-Nya
bahwa, hadits “Al Aimmatu min Quraisyin” (HR. Ahmad dari Anas bin Malik)
tersebut dapat dipahami secara konstektual, bahwa hak pemimpin itu bukan pada etnis
Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi
Muhammad Saw orang yang memenuhi persyaratan sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh
masyarakat adalah dari kaum Quraisy. Oleh karena itu, apabila pada suatu saat
ada orang yang bukan dari Quraisy tapi punya kemampuan dan kewibawaan, maka ia
dapat diangkat sebagai pemimpin termasuk kepala Negara.
IV.
Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Islam
Sebagai
agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Islam memberikan prinsip-prinsip dasar
dan tata nilai dalam mengelola organisasi atau pemerintahan. Al-qur’an dan
As-sunnah dalam permasalahan ini telah mengisyaratkan beberapa prinsip pokok
dan tata nilai yang berkaitan dengan kepemimpinan, kehidupan bermasyarakat,
berorganisasi, bernegara (baca: berpolitik) termasuk di dalamnya ada system
pemerintahan yang nota-benenya merupakan kontrak sosial. Prinsip-prinsip atau
nilai-nilai tersebut antara lain: prinsip Tauhid, As-syura
(bermusyawarah) Al-’adalah (berkeadilan) Hurriyah Ma’a Mas’uliyah
(kebebasan disertai tanggungjawab) Kepastian Hukum, Jaminan Haq al
Ibad (HAM) dan lain sebagainya.
IV.
1. Prinsip Tauhid
Prinsip
tauhid merupakan salah satu prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam (baca:
pemerintahan Islam). Sebab perbedaan akidah yang fundamental dapat menjadi
pemicu dan pemacu kekacauan suatu umat. oleh sebab itu, Islam mengajak ke arah
satu kesatuan akidah di atas dasar yang dapat diterima oleh semua lapisan
masyarakat, yaitu tauhid. Dalam alqur’an sendiri dapat ditemukan dalam surat
An-nisa’ 48, Ali imron 64 dan surat al Ikhlas.
- IV. 2. Prinsip Musyawarah (Syuro)
Musyawarah
berarti mempunyai makna mengeluarkan atau mengajukan pendapat. Dalam menetapkan
keputusan yang berkaitan dengan kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat,
paling tidak mempunyai tiga cara: 1. keputusan yang ditetapkan oleh penguasa.
2. kepeutusan yang ditetapkan pandangan minoritas. 3. keputusan yang
ditetapkan oleh pandangan mayoritas, ini menjadi ciri umum dari demokrasi,
meski perlu diketahui bahwa “demokrasi tidak identik dengan syuro”
walaupun syuro dalam Islam membenarkan keputusan pendapat mayoritas, hal itu
tidak bersifat mutlak. Sebab keputusan pendapat mayoritas tidak boleh menindas
keputusan minoritas, melainkan tetap harus memberikan ruang gerak bagi mereka
yang minoritas. Lebih dari itu, dalam Islam suara mayoritas tidak boleh berseberangan
dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Dalam Al-quran ada beberapa ayat yang
berbicara tentang musyawarah. Pertama: musyawarah dalam konteks
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti
menyapih anak. Hal ini sebagaimana terdapat pada surat al-Baqarah ayat 233. “apabila
suami-istri ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan
dan musyawarah antar mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya” Kedua:
musyawarah dalam konteks membicarakan persoalan-persoalan tertentu dengan
anggota masyarakat, termasuk di dalamnya dalam hal berorganisasi. Hal ini
sebagaimana terdapat pada surat Ali-imron ayat 158. “bermusyawarahlah kamu
(Muhammad) dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, bertawakkalah kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt
mencintai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. meskipun terdapat
beberapa Al-qur’an dan As-sunnah yang menerangkan tentang musyawarah. Hal ini
bukan berarti al-Qur’an telah menggambarkan system pemerintahan secara tegas
dan rinci , nampaknya hal ini memang disengaja oleh Allah untuk memberikan
kebebasan sekaligus medan kreatifitas berfikir hambanya untuk berijtihad
menemukan sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisi sosial-kultural.
Sangat mungkin ini salah satu sikap demokratis tuhan terhadap hamba-hambanya.
IV.
3. Prinsip Keadilan (Al-’adalah)
Dalam
memanage pemerintahan, keadilan menjadi suatau keniscayaan, sebab pemerintah
dibentuk antara lain agar tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Tidaklah
berlebihan kiranya jika al- Mawardi dalam Al-ahkam Al-sulthoniyahnya
memasukkan syarat yang pertama seorang pemimpin negara adalah punya sifat adil.
Dalam al-Qur’an, kata al-’Adl dalam berbagai bentuknya terulang dua puluh
delapan kali. Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh
ulama. pertama: adil dalam arti sama. Artinya tidak
menbeda-mbedakan satu sama lain. Persamaan yang dimaksud adalah persamaan
hak. Ini dilakukan dalam memutuskan hukum. Sebagaimana dalam al qur’an surat
an-Nisa’ 58. “Apabila kamu memutuskan suatu perkara di antara manusia maka
hendaklah engkau memutuskan dengan adil”. Kedua: adil dalam arti
seimbang. Di sini keadilan identik dengan kesesuaian. Dalam hal ini
kesesuaian dan keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar yang besar dan
kecilnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Ini sesuai dengan
al-Qur’an dalam surat al infithar 6-7 dan al Mulk 3. ketiga: adil dalam
arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada
pemiliknya. Keempat: keadilan yang dinisbatkan kepada Allah Swt. Adil di
sini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi. Dalam hal ini
Allah memiliki hak atas semuanya yang ada sedangkan semua yang ada, tidak
memiliki sesuatau di sisinya. Jadi, system pemerintahan Islam yang ideal adalah
system yang mencerminkan keadilan yang meliputi persamaan hak di depan umum,
keseimbangan (keproposionalan) dalam memanage kekayaan alam misalnya,
distribusi pembangunan, adanya balancing power antara pihak pemerintah dengan
rakyatnya.
IV.
4. Prinsip Kebebasan (al-Hurriyah)
Kebebasan
dalam pandangan al-Qur’an sangat dijunjung tinggi termasuk dalam menentukan
pilihan agama sekaligus. Namun demikian, kebebasan yang dituntut oleh Islam
adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan di sini juga kebebasan yang
dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dalam konteks kehidupan politik, setiap
individu dan bangsa mempunyai hak yang tak terpisahkan dari kebebasan dalam
segala bentuk fisik, budaya, ekonomi dan politik serta berjuang dengan segala
cara asal konstitusional untuk melawan atas semua bentuk pelanggaran.
V.
Demokrasi dalam Perspektif Islam
Secara
historis, demokrasi muncul sebagai respon terhadap system monarchi diktator
Yunani pada abad 5 M. pada waktu demokrasi ditetapkan dalam bentuk systemnya di
mana semua rakyat (selain wanita, anak dan budak) menjadi pembuat
undang-undang. Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilai-nilai
universal Islam. Seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan keadilan.
Akan tetapi dalam dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari
problematika. Sebagai contoh adalah ketika nilai-nilai demokrasi berseberangan
dengan hasil ijtihad para ulama’. Contoh kecil adalah kasus tentang orang
yang pindah agama dari Islam (baca: murtad). Menurut pandangan Islam
berdasarkan hadits: “Man baddala dinahu faqtuluhu” mereka disuruh taubat
dahulu, jika mereka tidak mau maka dia boleh dibunuh atau diperangi.
Dalam system demokrasi hal ini tidak boleh terjadi, sebab membunuh berarti
melanggar kebebasan mereka dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Kemudian
dalam demokrasi ada prinsip kesamaan antara warga Negara. Namun dalam Islam ada
beberapa hal yang sangat tegas disebut dalam al-Qur’an bahwa ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan, misalnya tentang poligame. (QS. An-nisa’ 33)
tentang hukum waris (QS. An-nisa’ 11) tentang kesaksian (QS. Al-baqarah 282).
Di samping itu, demokrasi sangat menghargai toleransi dalam kehidupan sosial,
termasuk dalam ma’siat sekalipun. Seperti pacaran perzinaan. Sedangkan dalam
Islam hal ini jelas-jelas dilarang dalam Al-qur’an. Demikian juga dalam Islam
dibedakan antara hak dan kewajiban kafir dzimmi dengan yang muslim. Hali ini
dalam demokrasi tidak boleh terjadi, sebab tidak lagi menjunjung nilai
persamaan. Melihat adanya problem di atas, berarti tidak semuanya demokrasi
kompatibel dengan ajaran Islam. dalam dataran prinsip, ide-ide demokrasi ada
yang sesuai dan selaras dengan Islam, namun pada tingkat implementatif
sering kali nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan ajaran Islam dalam
al-Qur’an, Assunnah dan ijtihad para ulama’
VI.
Kepemimpinan Rasulullah SAW
Kepemimpinan
Rasulullah Saw tidak bisa terlepas dari kehadiran beliau yaitu sebagai pemimpin
spiritual dan pemimpin rakyat. Prinsip dasar dari kepemimpinan beliau adalah
keteladanan. Dalam memimpin beliau lebih mengutamakan Uswah Al- hasanah pemberian
contoh kepada para shahabatnya. Sebagaimana digambarkan dalam Al-qur’an: ”
Dan sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar berada dalam akhlaq yang sangat
agung” (QS. Al-qolam 4). Keteladanan Rasulullah Saw
antara lain tercermin dalam sifat-sifat beliau, Shiddiq, Amanah, Tabligh,
Fathonah. Inilah karakteristik kepemimpinan Rasulullah Saw:
- 1.
Shiddiq, artinya jujur, tulus.
Kejujuran dan ketulusan adalah kunci utama untuk membangun sebuah
kepercayaan. Dapat dibayangkan jika pemimpin sebuah organisasi, masyarakat
atau Negara, tidak mempuyai kejujuran tentu orang-orang yang dipimpin
(baca: masyarakat) tidak akan punya kepercayaan, jika demikian yang
terjadi adalah krisis kepercayaan.
- 2.
Amanah, artinya dapat dipercaya. Amanah
dalam pandangan Islam ada dua yaitu: bersifat teosentris yaitu
tanggungjawab kepada Allah Swt, dan bersifat antroposentris yaitu
yang terkait dengan kontak sosial kemanusiaan.
- 3.
Tabligh, artinya menyampaikan apa yang
seharusnya disampaikan. Dalam hal ini adalah risalah Allah Swt. Betapapun
beratnya resiko yang akan dihadapi, risalah tersebut harus tetap
disampaikan dengan sebaik-baiknya.
- 4.
Fathonah, artinya cerdas. Kecerdasan
Rasulullah Saw yang dibingkai dengan kebijakan mampu menarik simpati
masyarakat arab. dengan sifat Fathonahnya, rmampu memanage konflik dan
problem-problem yang dihadapi ummat pada waktu itu. Suku Aus dan Khazraj
yang tadinya suka berperang, dengan bimbingan Rasulullah Saw mereka
akhirnya menjadi kaum yang dapat hidup rukun.
Dalam
kepemimpinannya, Rasulullah Saw juga menggunakan pendekatan persuasif dan tidak
menggunakan dengan kekerasan atau represif. Hal ini antara lain tampak
dalam sikap nabi ketika mengahadapi seorang badui yang baru masuk Islam yang
belum mau meninggalkan kebiasaan jeleknya. Juga beliau dalam kepimpinannya
menerapkan gaya inklusif indikasinya beliau mau dikritik dan diberi saran oleh
para shahabatnya. Ini tampak ketika beliau memimpin perang badar. Beliau pada
waktu itu hendak menempatkan pasukannya pada posisi tertentu ekat dengan mata
air. Seorang shahabat anshor bernama Hubab bin Mundhir bertanya: ya Rasulullah,
apakah keputusan itu berdasarkan wahyu, Sehingga tidak dapat berubah atau hanya
pendapat engkau? Beliau menjawab ini adalah ijtihadku. Kata Hubab, wahai
utusan Allah, ini kurang tepat, Shahabat tersebut lalu mengusulkan agar beliau
menempatkan pasukannya lebih maju ke depan, yakni kemata air yang lebih dekat,
kita bawa tempat air lalu kita isi, kemudian mata air itu kita tutup dengan
pasir, agar musuh kita tidak bisa memperoleh air. Akhirnya beliau mengikuti
saran shahabat tersebut.
VII.
Kepemimpinan Al-Khulafa’ Al Rasyidin
Sepeninggal
Nabi, kepemimpinan umat Islam digantikan oleh para penggantinya yang dikenal
dengan Al-Khulafa’ Al Rasyidin. Masa Al-Khulafa’ Al Rasyidin dapat dipetakan
menjadi empat, yaitu: Abu Bakar Assiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan
Ali bin Abi Thalib. System pergantian kepemimpinan dari masing-masing khalifah
tersebut berbeda-beda. Sebab Rasulullah Saw tidak pernah berwasiat tentang sistem
pergantian kepemimpinan. Alqur’an juga tidak memberi petunjuk secara jelas
bagaimana system suksesi kepemimpinan dilakukan, kecuali hanya prinsip-prinsip
umum, yaitu agar umat Islam menentukan urusannya melalui musyawarah.
Nampaknya hal itu disengaja diserahkan kepada ummat Islam agar sesuai dengan
tuntutan kemaslahatan yang ada.
Abu
Bakar ash-Shiddiq sebagai Khalifah pertama setelah meninggalnya Rasulullah Saw
(11-13 H atau 632-634 M) terpilih sebagai khalifah melalui musyawarah terbuka
dibalai pertemuan Bani Saidah yang dihadiri oleh lima tokoh perwakilan dari
golongan umat Islam, anshor dan muhajirin. Yaitu, Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah, Basyir bin Sa’ad dan Asid bin Khudair. Inilah
salah satu embrio demokrasi dalam sejarah kepemimpinan Islam. setelah
berakhirnya masa kepemimpinan Abu Bakar selama kurang lebih dua tahun,
terpilihlah Umar bin Khattab (12-23H atau 634-644 M), namun terpilihnya Umar
bin Khattab menjadi khalifah ini atas wasiat Abu Bakar sebelum meninggal dunia.
Ini beliau lakukan, karena beliau khawatir dan trauma adanya perselisihan di
antara umat Islam, sebagaimana yang terjadi sepeninggal Rasulullah Saw.
Sepeninggal Umar bin Khattab, maka estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh Usman
bin Affan (23-35 H atau 644-654 M). namun system pengangkatan Usman ini
berbeda dengan system pada masa Abu Bakar dan Umar. Usman diangkat menjadi
khalifah melalui “dewan formatur” yang terdiri dari lima orang yang
ditunjuk oleh Umar sebelum beliau meninggal dunia. Yaitu, Ali bin Abi Tholib,
Usman bin Affan, Saad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam, Abdurrohman bin Auf dan
Thalhah bin Ubaidillah. Setelah Usman bin Affan menyelesaikan tugas
kepemimpinannya, maka tongkat komando kepemimpinan Islam dipegang oleh Ali bin
Abi Tholib melalui pemilihan dan pertemuan terbuka.
VIII.
Penutup
Pemerintah
Negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh
tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Namun
kenyataanya, kekuatan kapitalisme global dengan bebas mengeruk kekayaan alam
Indonesia, membiarkan rakyatnya termiskinkan, sehingga jurang antara kaya dan
miskin menganga. Dan mayoritas rakyatnya tetap dalam penderitaan. dengan
merasakan penderitaan rakyat, menyimak peringatan Allah Swt, merenungkan
sinyalemen Rasulullah Saw, dan menyaksikan musibah yang silih berganti, maka
tidak ada pilihan lagi selain menjadikan tuntunan Allah Swt yang maha
kuasa (baca: Syari’at Allah) sebagai pedoman dalam mengelola bangsa dan Negara
kesatuan republik Indonesia, dan satu-satunya solusi terhadap masalah bangsa.
Indonesia
yang mayoritas penduduknya umat Islam selalu mendambakan tampilnya kepemimpinan
Islam di dalam setiap level kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang
diharapkan mampu untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam dan menjalankan
system pemerintahan berdasarkan syari’at Islam secara kaffah, bukan
dengan system demokrasi yang identik dengan kekufuran. Juga untuk
menjaga kemurnian ajaran ahlussunnah wal jama’ah versi wali-songo sekaligus
untuk mengamandemen undang-undang yang bertentangan dengan syari’at Islam,
diganti dengan undang-undang yang sesuai dengan syari’at Islam yang berpihak
dengan kepentingan umat Islam, sehingga tidak ada lagi aset-aset Negara yang
dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing seperti blok Cepu, Freeport, dan
lain-lain. Untuk mewujudkan cita-cita luhur itu, diperlukan kesatuan visi
antara umat Islam dan dukungan dari orang-orang yang punya kapabilitas
ketokohan Islam, pondok pesantren, lembaga-lembaga dan organisasi Islam serta
membangun poros Islam yang melibatkan semua partai yang berbasis dan berazaskan
Islam.
Syari’at
Islam diperuntukkan bagi kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat. Dan
cakupan syari’at Islam meliputi wilayah agama dan negara. syari’at Islam
berlaku umum untuk seluruh umat manusia dan bersifat abadi sampai hari kiamat.
Hukum-hukumnya saling menguatkan dan mengukuhkan satu sama lain, baik dalam
bidang akidah, ibadah, etika maupun mu’amalah, demi mewujudkan puncak keridlaan
Allah Swt, ketenangan hidup, keimanan, kebahagian, kenyamanan dan keteraturan
hidup bahkan memberikan kebahagian dunia secara keseluruhan. Semua itu
dilakukan melalui kesadaran hati nurani, rasa tanggung jawab atas kewajiban,
perasaan selalu dipantau oleh Allah Swt dalam seluruh sisi kehidupan, baik
ketika sendirian maupun di hadapan orang lain, serta dengan memuliakan hak-hak
orang lain. Lebih lanjut lagi, Syari’at Islam merupakan satu-satunya syariat
yang sesuai dengan perkembangan zaman, cocok untuk segala generasi, dan selaras
dengan realitas kehidupan. Dalam prinsip-prinsip syariat Islam, terdapat
kekuatan paripurna yang akan selalu membantu kita dalam menetapkan hukum yang
selalu hidup, tumbuh, dan berkembang bagi kehidupan manusia dengan beragam
latar-belakang budayanya. Syariat Islam yang dinamis sungguh menjamin rasa
keadilan, ketenangan, dan kehidupan yang mulia dan bersih. Mampu membawa izzul
Islam wal muslimin dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
Baldatun Thoyibatun Wa Robbun Ghofur.
Wallahu
a’lam bissowab
Sarang,
26 April 2009
Referensi;
Al-Qur’anul
Karim, Imam Bukhori dalam Shohih
Bukhori, Imam Ahmad dalam Musnad Imam Ahmad, Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam
Al-Sulthoniyyah, Syaikh Moh. Najih Maimoen dalam Al-Risalah Al-Islamiyah,
Drs. KH. Muhadi Z. dan Abd. Mustaqim dalam Study Kepemimpinan Islam. Buletin
Forum Umat Islam (FUI)
Pemimpin Menurut Islam"
Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu
wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,
Indonesia sedang melakukan pemilihan pemimpin…
daril evel terendah… (RT) hingga sekarang sudah mulai memasuki level propinsi.
Dan pagi ini, dari hasil penghitungan “Quick Count” (hingga jam 7 pagi tadi)..,
Jawa Barat, meletakkan pasangan “Hade..” diatas 2 pasangan kandidat lainnya.
saya terus-terangtidak memihak pada salah satupun
pasangan kandidat diatas…, pertama karena saya kurang “kenal” mereka… kedua… he
he he… kemarin saya salah satu dari sekian banyak warga Jawa Barat yang gak
bisa milih karena administrasi… “gak ada kartu pemilih” + “gak tercantum di
daftar pemilih…” padahal udah ngurus… (sampai gak enak deh… sama Bu RT…. Tenang
ya bu… saya gak nyalahin kok)
{ sebetulnya….Saya… sangat awam tentang
kepemimpinan dalam Islam… (karena sejak kecil yang saya baca adalah sejarah
tokoh-tokoh pemimpin dunia bukan tokoh pemimpin Islam) karena itu… dengan
penasaran… saya mencoba dan mencari… seperti apa.. kriteria pemimpin dalam
Islam… Mudah-mudahan ada yang mau mengingatkan saya, bila ada yang tidak
tepat.}
Oke.. cerita sedikit ya… menurut sejarah, setelah
Nabi Muhammad saw meninggal dunia, , masyarakat Jazirah Arab melaksanakan
pemilihan pemimpin (khalifah) dengan cara menyampaikan suaranya ke kabilahnya
kemudian para pemimpin kabilah tersebut berkumpul melakukan musyawarah (syuro)
kemudian memilih (mem-baiat) Abu Bakar Sidiq sebagai Khalifah melalui proses
pemilihan yang sangat demokratis dan tulus. (Pesta demokrasi pertama)
Kepemimpinan (ke-khalifah-an) dalam Islam
sangatlah penting melihat posisi itu lebih dari sekedar tugas dan tanggung
jawab, melainkan sebagai amanah yang harus diemban sebaik-baiknya. Itu
sebabnya, pemimpin (imam) semacam itu harus dicari melalui sebuah proses
pemilihan umum yang jujur, adil dan demokratis disertai hati yang tulus tanpa
unsur paksaan apalagi politik uang (money politics). Sehingga kita bisa
menemukan pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan ummat, yang Islami.
“Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”
(Q.S Al-Baqarah (2) : 30)
Jadi menurut apa yang saya ketahui, Islam akan
mengangkat seseorang sebagai seorang pemimpin berdasarkan :
1.. Beraqidah yang bersih dari syirik, khurafat,
tahayyul serta tidak percaya atau menggantungkan diri kepada jin, syetan dan
dukun. Tuntunan daria aqidahnya pun jelas.. Al-Qur’an dan Al-Hadist… Aqidah
dengan dasar ini, akan membangun hubungan antara manusia dengan Allah. Sehingga
sang Pemimpin akan sadar benar rasa tanggung jawabnya sebagai manusia dihadapan
Allah
“Dan jadikanlah kami pemimpin (imam) bagi
orang-orang yang bertaqwa”
(Q.S Al-Furqon (25) 74).
“Sungguh, Ibrahim adalah Imam (Pemimpin) yang dapat
dijadikan teladan, patuh kepada Allah SWT dan hanif . Dan dia bukanlah termasuk
orang musyrik (mempersekutukan Allah).”
(Q.S An-Nahl/16: 120)
2. Minimal dia seorang muslim yang baik, tidak
pernah tinggal shalat wajib 5 waktu, tidak pernah tinggalkan puasa Ramadhan,
tidak pernah lupa atau pura-pura lupa bayar zakat dan pernah pergi haji bila
mampu.
3. Fasih membaca Al-Quran, Al-Karim dan tahu
bahwa Al-Quran Al-Karim adalah sumber dari segala sumber hukum. Sehingga tidak
ada hukum baginya kecuali yang berdasarkan Al-Quran Al-Karim. Maka setiap
masalah selalu dirujuknya kepada kitab dari Allah SWT ini.
4. Tahu batas halal dan haram yang bentuknya
adalah penerapan dalam diri, keluarga dan lingkungannya. Sehingga dengan mudah
dia bisa membedakan mana praktek haram dan mana halal.
5. Mempunyai hubungan yang dekat dengan para
ulama.. agar dapat meningkatkan ilmu-ilmu yang telah di miliki dan memberikan
pemahaman yang cukup tinggi, sehingga dalam memimpim… akan ada peningkatan
kualitas diri sebagai pemimpin sekaligus… akan selalu berhati-hati untuk tidak
secara sengaja berbuat salah.
6. Tidak pernah mencuri, berzina, minum khamar,
berjudi, menipu rakyat, makan uang negara, manipulasi, korupsi, kolusi dan
tidak makan uang riba.
Bersedia secara terbuka dan jujur tentang jumlah harta yang dimilikinya.
7. Menegakkan selalu amar
makruh dan nahi mungkar dalam setiap kesempatan. Sebab sebagai penguasa, di
tangannya ada kekuatan. Bila tidak dimanfaatkannya untuk amar makruf nahi
mungkar, maka dia harus bertanggung-jawab di akhirat.
8. Siap menerima teguran
kapan dan dimana saja, berani bertanggung jawab, cepat tanggap, berada
dibarisan terdepan ketika ada masalah yang harus segera diselesaikan, berani
mengakui kesalahan dan menanggung akibatnya.
9. Tidak menggunakan
fasilitas negara untuk masalah yang bersifat pribadi atau pun kepentingan di
luar negara secara langsung. Sebab semua fasilitas negara itu adalah amanat
yang harus dipertanggung-jawabkan di akhirat nanti.
10. Tidak akan makan atau
mengisi perutnya sebelum yakin bahwa semua rakyatnya sudah makan. Tidak pernah
berani tidur malam hari sebelum yakin rakyatnya tentram dan sejahtera. Dan
tidak enak-enakan berpesta sebelum anak yatim terjamin masa depannya atau pun
fakir miskin punya sumber rezeki yang jelas. (Sangat mencintai rakyatnya)
11. Memjadi fasilitator
untuk kecerdasan bangsa.
12. Mampu mengelola
kekayaan negara dengan baik.
13. Bersikap adil kepada
semua pemeluk agama dan memberikan jaminan dan hak-hak mereka untuk bisa hidup
dengan damai di bawah jaminan dirinya. Tetapi bersikap tegas bila terjadi
kecurangan dan pelanggaran antara sesama pemeluk agama.
14. Dapat menegakkan
hukum-hukum Islam.. walaupun yang melakukan pelanggaran hukum adalah..
orang-orang terdekat ataupun keluarga.
15. Memanfaatkan
jabatannya ini untuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
16. Bercita-cita untuk
bisa mati dalam keadaan syahid. Karena itu
satu-satunya pilihan
Nabi Muhammad saw
bersabda…
“Setiap kamu adalah pengembala dan setiap kamu akan diminta
pertanggung jawabannya. Seorang pemimpin adalah pengembala bagi rakyatnya, maka
ia akan ditanya tentang apa yang digembalakannya” (HR. Ahmad)
Hadaanallahu Wa Iyyakum
Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh
PS: Sekali lagi… ini saya
angkat menurut “kriteria” Islam… Kriteria Indonesia saya gak bahas disini. Dan…
ketika Allah berkehendak… siapapun itu, jalan dan cara apapun yang ditempuh..
pasti akan jadi pemimpin…
Tanggung Jawab Dalam Islam
Oleh: Dr. H. Achmad Satori Ismail, MA
Dalam sejarah ulama salaf, diriwayatkan bahwa
khalifah rasyidin ke V Umar bin Abdil Aziz dalam suatu shalat tahajjudnya
membaca ayat 22-24 dari surat ashshoffat yang artinya : (Kepada para
malaikat diperintahkan) “Kumpulkanlah orang-orang yang dzalim beserta teman
sejawat merekadan sembah-sembahan yangselalu mereka sembah, selain Allah: maka
tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Dan tahanlah mereka di tempat
perhentian karena mereka sesungguhnya mereka akan ditanya (dimintai
pertanggungjawaban ).”
Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali
karena merenungi besarnya tanggungjawab seorang pemimpin di akhirat bila telab
melakukan kedzaliman. Dalam riwayat lain Umar bin Khatab r.a. mengungkapkan
besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhiarat nanti dengan kata-katanya
yang terkenal : “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad nicaya
Umar akan dimintai pertanggungjawabannya, seraya ditanya : Mengapa tidak
meratakan jalan untuknya ?” Itulah dua dari ribuan contoh yang pernah
dilukiskan para salafus sholih tentang tanggungjawab pemimpin di hadapan Allah
kelak.
Pada prinsipnya tanggungjawab dalam Islam itu
berdasarkan atas perbuatan individu saja sebagaimana ditegaskan dalam beberapa
ayat seperti ayat 164 surat Al An’am yang Artinya: “Dan tidaklah seorang
membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
Dalam surat Al Mudatstsir ayat 38 yang artinya: “Tiap-tiap
diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya”
Akan tetapi perbuatan individu itu merupakan
suatu gerakan yang dilakukan seorang pada waktu, tempat dan kondisi-kondisi
tertentu yang mungkin bisa meninggalkan bekas atau pengaruh pada orang lain.
Oleh sebab itu apakah tanggung jawab seseorang terbatas pada amalannya saja
ataukah bisa melewati batas waktu yang tak terbatas bila akibat dan pengaruh
amalannya itu masih terus berlangsung mungkin sampai setelah dia meninggal ?
Seorang yang cerdas selayaknya merenungi hal ini
sehingga tidak meremehkan perbuatan baik sekecil apapun dan tidak gegabah
berbuat dosa walau sekecil biji sawi. Mengapa demikian ? Boleh jadi perbuatan
baik atau jahat itu mula-mula amat kecil ketika dilakukan, akan tetapi bila
pengaruh dan akibatnya terus berlangsung lama, bisa jadi akan amat besar pahala
atau dosanya.
Allah SWT menyatakan dalam QS Yaasiin yang
artinya: “Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang
mereka tinggalkan.” (Yaasiin 12).
Ayat ini menegaskan bahwa tanggangjawab itu bukan
saja terhadap apa yang diperbuatnya akan tetapi melebar sampai semua akibat dan
bekas-bekas dari perbuatan tersebut. Orang yang meninggalkan ilmu yang
bermanfaat, sedekah jariyah atau anak yang sholeh , kesemuanya itu akan
meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapanpun. Dari sini
jelaslah bahwa Orang yang berbuat baik atau berbuat jahat akan mendapat pahala
atau menanggung dosanya ditambah dengan pahala atau dosa orang-orang yang
meniru perbuatannya. Hal ini ditegaskan dalam Surat An nahl 25
Artinya: “(Ucapan mereka) menyebabkan mereka
memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat dan sebagian dosa
orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun bahwa mereka
disesatkan. Ingatlah amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.”
Di sini kita merenung sejenak seraya bertanya:
“apabila yang memerintah kejahatan atau kedurhakaan itu seorang pemimpin yang
memilik kekuasaan penuh, apakah dia saja yang akan menanggung dosanya dan dosa
rakyatnya karrena mereka dipaksa ? Ataukah rakyat juga harus menaggung dosanya
walau ia lakukan di bawah ancaman paksaan tersebut ?” Menurut hemat saya, seorang
penguasa dianggap tidak memaksa selama raksyat masih bisa memiliki kehendak
yang aada dalam dirinya. Perintah seorang pimpinan secara lisan maupun tulisan
tidak berarti melepaskan seorang bawahan dari tanggungjawab atas semua
perbuatannya. Alquran mencela orang-orang yang melakukan dosa dengan alasan
pimpinannya menyuruh berbuat dosa. Allah menyatakan sbb. : “Pada hari
ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: “alangkah
baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul” Dan
mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami , lalu mereka menyesatkan kami
dari jalan yang benar”. (Al ahzab 66-67).
Allah membantah mereka dengan tegas: “Harapanmu
itu sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu
telah menganiaya dirimu sendiri . Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu.”
(Az Zukhruf 39).
Dari sini jelaslah bahwa pemimpin yang dzalim
tidak akan bisa memaksa hati seseorang kendati mampu memaksa yang lahiriyahnya.
Oleh sebab itu rakyat atau bawahanpun harus bertanggung jawab terhadap
akidahnya dan perbuatannya kendati di sana ada perintah dan larangan pimpinan.
Berbeda dengan hukum paksaan yang menimpa
orang-orang lemah yang ditindas penguasa yang mengancam akan membunuhnya dan
memang bisa dilaksanakan. Hal ini pernah terjadi pada masa awal Islam di Makkah
dimana orang yang masuk Islam di paksa harus murtad seperti Bilal bin Rabbah,
keluarga Yasir dst. Mereka dipaksa menyatakan kekufuran. (lihat An Nahl 106 dan
An Nisa’ 97-99)
Tanggung jawab seorang berkaitan erat dengan
kewajiban yang dibebankan padanya. Semakin tinggi kedudukannya di masyarakat
maka semakin tinggi pula tanggungjawabnya. Seorang pemimpin negara bertanggung
jawab atas prilaku dirinya, keluarganya, saudara-saudaranya, masyarakatnya dan
rakyatnya. Hal ini ditegaskan Allah sbb.; “Wahai orang-orang mukmin
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At Tahrim 6)
Sebagaimana yang ditegaskan Rasululah saw : “Setiap kamu adalah pemimpin
dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya..”(Al
Hadit)
Tanggungjawab vertikal ini bertingkat-tingkat
tergantung levelnya. Kepala keluarga, kepala desa, camat, bupati, gubernur, dan
kepala negara, semuanya itu akan dimnitai pertanggungjawabannya sesuai dengan
ruang lingkup yang dipimpinnya. Seroang mukmin yang cerdas tidak akan menerima
kepemimpinan itu kecuali dengan ekstra hati-hati dan senantiasa akan
mempeprbaiki dirinya, keluarganya dan semua yang menjadi tanggungannya. Para
salafus sholih banyak yang menolak jabatan sekiranya ia khawatir tidak mampu
melaksanakan tugasnya dengan baik.
Pemimpin dalam level apapun akan dimintai
pertanggungjawabannya dihadapan Allah atas semua perbuatannya disamping seluruh
apa yang terjadi pada rakyat yang dipimpinnya. Baik dan buruknya prilaku dan
keadaan rakyat tergantung kepada pemimpinnya. Sebagaimana rakyat juga akan
dimintai pertanggungjawabannya ketika memilihseorang pemimpin. Bila mereka
memilih pemimpin yang bodoh dan tidak memiliki kapabilitas serta akseptabilitas
sehingga kelak pemimpin itu akan membawa rakyatnya ke jurang kedurhakaan rakyat
juga dibebani pertanggungjawaban itu.
Seorang penguasa tidak akan terlepas dari beban
berat tersebut kecuali bila selalu melakukan kontrol, mereformasi yang rusak
pada rakyatnya , menyingkirkan orang-orang yang tidak amanah dan menggantinya
dengan orang yang sholeh. Perrtolongan allah tergantung niat sesuai dengan
firman Allah Artinya : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah akan
ditunjuki hatinya danAllah Maha Mengetahui ats segala sesuatu.” (At
Taghobun 11)
Wallahu a’lamu.
***
Kepemimpinan Dalam Islam
OPINI
| 19 July 2012 | 11:09 Dibaca: 595 Komentar: 1 2 bermanfaat
A. Pengertian Pemimpin
Dalam bahasa Arab seorang pemimpin disebut khalifah. Kata
khalifah ini berasal dari akar kata خ-ل-ف dalam kamus Al-Asri
berarti mengganti begitu juga termaktub dalam kamus al-Munawwir.
Khalifah adalah isim
fa’il yang berarti pengganti.
Dalam al-Quran kata khalifah juga berarti pemimpin (QS.
Al-Baqarah: 30) dan dalam ayat lain dikatakan pewaris. Mungkin semua makna ini
bisa sesuai dengan kondisi ayat al-Quran tersebut dan maksudnya. Dengan kata
lain bahwa manusia diciptakan telah mempunyai kemampuan menjadi pemimpin,
pewaris, atau pengganti.
Ibnu khaldun dalam kitab Muqaddimah banyak berbicara mengenai khalifah
dan imamah (kepemimpinan). Ia menarik teori bahwa manusia mempunyai
kecendrungan alami untuk memimpin karena mereka diciptakan sebagai khalifah.
B. Akhlak Dan Sifat Yang Harus Dimiliki Pemimpin
Seorang pemimpin apapun tugas dan di mana pun kedudukannya,
dipandang sebagai lambang organisasi dan menjadi juru bicara mewakili lembaga
atau organisasi yang dipimpinnya. Dia perlu perilaku yang baik terhadap
siapapun, agar lembaga atau organisasi yang dipimpinnya tidak dijauhi orang.
Rasulullah adalah qudwah hasanah kita, yang banyak mengajarkan
tentang kepemimpinan. Apapun amal kita harus merujuk kepada beliau. Pemimpin
juga harus begitu, meneladani akhlak, sifat dan perilaku beliau serta seluruh
aktifitas kepemimpinan beliau.
Berikut adalah
sifat dan akhlak yang harus dimiliki setiap pemimpin:
- seluruh kegiatannay
dilakukan semata hanya mengharap ridho Allah swt.
- ingatannya kuat,
bijak, cerdas, berpengalaman dan berwawasan luas.
- perhatian dan
penyantun.
- bersahabat dan
sederhana.
- shidiq, benar dalam
berkata, sikap dan perbuatan.
- tawadhu’.
- memaafkan, menahan
amarah, sabar, dan berlaku ihsan.
- menepati janji dan
sumpah setia.
- tekad bulat,
tawakkal dan yakin serta menjahui sikap pesimis.
C. Adab dan Pergaulan Pimpinan dan
Anggota
Maksudnya ialah
aturan dan adab pergaulan pimpinan dan anggota agar terbentunya keefektifan
kinerja antara keduanya. Yaitu sebagai berikut:
- mengucapkan salam
dan bertanya kabar kalau berjumpa.
- saling menghormati
dan menghargai.
- saling mempercayai
dan baik sangka.
- nasehat-menasehati
demi kemajuan organisasi atau lembaga.
- bawahan boleh
mengkritik pimpinan kritikan yang membangun.
- pimpinan harus berlapang
dada dalam menerima kritikan dari segenap anggota demi kemajuan bersama.
D. Amanah dan Tanggung Jawab
Pemimpin
Seorang pemimpin dibebani amanah dan
tanggung jawabyang harus ia laksanakan untuk mencapai tujuan dari organisasi
yang ia pimpin.
Dalam islam setiap manusia yang terlahir di muka bumi ini ialah seorang
pemimpin yang memimpin umat ini kepada dien Allah. Semakin banyak orang yang
dipimpinnya semakin berat pula beban yang dipikulnya. Dalam sebuah Hadist
Rasulullah saw bersabda:
كلّكم راع وكلّكم مسؤول عن رعيّته
Artinya: setiap
kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan diminta pertanggungjawaban tentang
bapa yang ia pimpin.
Kepemimpinan tidak boleh diberikan
kepada orang yang memintanya terlebih dengan ambisius untuk mendapatkannya. Kenapa? Karena dikhawatirkan dia tidak
mampu mengemban amanah tersebut kemudian mungkin mempunyai niat lain atau ingin
mengambil keuntungan yang banyak ketika ia telah mempunyai kekuasaan. Dalam hal
ini Abu Dzar RA berkata, ”Aku bertanya,” wahai Rasulullah saw, maukah engkau
mengangkatku memegang satu jabatan?” kemudian Rasulullah saw menepuk bahuku
dengan tangannya sambil bersabda:
”wahai Abu Dzar,
sesungguhnya engkau ini lemah dan sesungguhnya itu (jabatan) adalah amanah. Dan
sesungguhnya ia pada hari kiamat menjadi kesengsaraan dan penyesalan, kecuali
yang mengambilnya dengan haqnya dan menyempurnakan apa yang menjadi wajib
keatasnya dan diatas jabatan itu.”
Seorang pemimpin juga harus
memahamkan kepada anggotanya bahwa amanah yang dipikul ini akan
dipertanggungjawabkan diakhirat kelak. Apakah ketika mengemban amanah pernah mendzolimi
orang atau tidak. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
”Apabila seorang
hamba (manusia) yang diberikan kekuasaan rakyat mati, sedangkan di hari matinya
ia telah mengkhianati rakyatnya, maka Allah swt mengharamkan surga kepadanya.”
(muttafaqun ’laih)
Sebelum memberi amanah
pemimpin harus melihat kapasitas yang kan diberi amanah tersebut. Karena amanah haruslah diberikan kepada
orang yang kompeten atasnya kalau tidak maka akan menimbulkan ketidak sampainya
tujuan bahkan mungkin menimbulkan kerusakan. Dalam sebuah Hadist dikatakan
”Kalau seandainya perkara itu diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka
tunggulah saat kehancurannya.”
Pengertian Kepemimpinan menurut Islam
Pada hakikatnya setiap manusia adalah seorang pemimpin dan setiap orang akan
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Manusia sebagai pemimpin
minimal harus mampu memimpin dirinya sendiri. Dalam lingkungan organisasi harus
ada pemimpin yang secara ideal dipatuhi dan disegani oleh bawahannya.
Kepemimpinan dapat terjadi melalui dua bentuk, yaitu: kepemimpinan formal
(formal leadership) dan kepemimpinan informal (informal leadership).
Kepemimpinan formal terjadi apabila dilingkungan organisasi jabatan otoritas
formal dalam organisasi tersebut diisi oleh orang-orang yang ditunjuk atau
dipilih melalui proses seleksi, sedang kepemimpinan informal terjadi, di mana
kedudukan pemimpin dalam suatu organisasi diisi oleh orang-orang yang muncul
dan berpengaruh terhadap orang lain karena kecakapan khusus atau berbagai
sumber yang dimilikinya dirasakan mampu memecahkan persoalan organisasi serta
memenuhi kebutuhan dari anggota organisasi yang bersangkutan.
Dalam
pandangan Islam kepemimpinan tidak jauh berbeda dengan model kepemimpinan
pada umumnya, karena prinsip-prinsip dan sistem-sistem yang digunakan terdapat
beberapa kesamaan.
Kepemimpinan
dalam Islam pertama kali dicontohkan oleh Rasulullah SAW, kepemimpinan
Rasulullah tidak bisa dipisahkan dengan fungsi kehadirannya sebagai pemimpin
spiritual dan masyarakat. Prinsip dasar kepemimpinan beliau adalah keteladanan.
Dalam kepemimpinannya mengutamakan uswatun hasanah pemberian contoh kepada para
sahabatnya yang dipimpin. Rasulullah memang mempunyai kepribadian yang sangat
agung, hal ini seperti yang digambarkan dalam al-Qur'an:
Artinya: “Dan Sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar berada dalam akhlak yang
agung”. (Q. S. al-Qalam: 4)
Dari ayat di atas menunjukkan bahwa Rasullullah memang mempunyai kelebihan
yaitu berupa akhlak yang mulia, sehingga dalam hal memimpin dan memberikan
teladan memang tidak lagi diragukan. Kepemimpinan Rasullullah memang tidak
dapat ditiru sepenuhnya, namun setidaknya sebagai umat Islam harus berusaha
meneladani kepemimpinan-Nya.
Definisi kepemimpinan menurut Rost adalah sebuah hubungan yang saling
mempengaruhi diantara pemimpin dan pengikut yang menginginkan perubahan nyata
yang mencerminkan tujuan bersamanya. Menurut Danim
kepemimpinan
adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh individu untuk mengkoordinasi
dan memberi arah kepada individu atau kelompok lain yang tergabung dalam wadah
tertentu untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Menurut Yukl kepemimpinan didefinisikan sebagai proses-proses mempengaruhi,
yang mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa bagi para pengikut, pilihan
dari sasaran bagi kelompok atau organisasi, pengorganisasian dari aktivitas
kerja untuk mencapai sasaran tersebut, motivasi dari para pengikut untuk
mencapai sasaran, pemeliharaan hubungan kerjasama dan teamwork, serta perolehan
dukungan dan kerjasama dari orang-orang yang berada di luar kelompok atau
organisasi.
Dari beberapa teori yang ada Stogdill menghimpun sebelas
definisi
kepemimpinan, yaitu kepemimpinan sebagai pusat proses kelompok, kepribadian
yang berakibat, seni menciptakan kesepakatan, kemampuan mempengaruhi, tindakan
perilaku, suatu bentuk bujukan, suatu hubungan kekuasaan, sarana pencapaian
tujuan, hasil interaksi, pemisahan peranan dan awal struktur.
Definisi tentang kepemimpinan memang sangat umum dan sulit untuk ditetapkan
dalam satu definisi yang dapat mengakomodasikan berbagai arti yang banyak dan
spesifik untuk melayani pengoperasian variabel tersebut. Dari beberapa
pengertian di atas pengertian kepemimpinan sedikitnya mencakup tiga hal yang
saling berhubungan, yaitu adanya pemimpin dan karakteristiknya, adanya
pengikut, serta adanya situasi kelompok tempat pemimpin dan pengikut itu
berinteraksi.
Aktivitas
kepemimpinan memang sangat penting dalam suatu organisasi, di mana
pentingnya pemimpin dan kepemimpinan yang baik telah diuraikan oleh Mohyi
sebagai berikut:
a. Sebagai pengatur, pengarah aktivitas organisasi untuk mencapai tujuan.
b. Penanggung jawab dan pembuat kebijakan-kebijakan organisasi.
c. Pemersatu dan memotivasi para bawahannya dalam melaksanakan aktivitas
organisasi.
d. Pelopor dalam menjalankan aktivitas manajemen, yaitu perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan serta pengelolaan sumber daya yang
ada.
e. Sebagai pelopor dalam memajukan organisasi dll.
Secara teoritis dalam manajemen, kepemimpinan harus mempunyai beberapa
kriteria, karena kepemimpinan merupakan hal yang paling mendasar bagi
kelangsungan suatu kelompok organisasi untuk meghantarkan, mencapai tujuan.
Menurut Tanthowi kriteria kemampuan yang harus ada pada seorang pimpinan adalah
sebagai berikut:
1) Melihat organisasi secara keseluruhan.
2) Mengambil keputusan.
3) Melaksanakan pendelegasian.
4) Memimpin sekaligus mengabdi.
Pemimpin merupakan pribadi yang memiliki ketrampilan teknis, khususnya dalam
suatu bidang, sehingga mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama
melakukan aktivitas, demi pencapaian tujuan organisasi. Seorang pemimpin yang
memiliki born leader dianggap mempunyai sifat unggul yang dibawa sejak lahir,
sifatnya khas dan unik, tidak dimiliki atau tidak dapat ditiru oleh orang lain.
Namun pada masa sekarang dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang serba modern
dan kompleks, di mana-mana selalu dibutuhkan pemimpin.
Pada umumnya seseorang yang diangkat menjadi pemimpin didasarkan atas
kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dibandingkan dengan orang-orang yang
dipimpinnya, di mana kelebihan-kelebihan tersebut diantaranya sifat-sifat yang
dimiliki berkaitan dengan kepemimpinannya. Kelebihan sifat ini merupakan syarat
utama menjadi seorang pemimpin yang sukses. Berkaitan dengan masalah
sifat-sifat pemimpin sebagai syarat utama kepemimpinan banyak pakar yang
mengajukan pendapatnya, diantaranya menurut Slikbour menyatakan bahwa
sifat-sifat kepemimpinan itu meliputi 3 hal, yaitu:
a) Kemampuan dalam bidang intelektual.
b) Berkaitan dengan watak.
c) Berhubungan dengan tugas sebagai pemimpin.
Keberhasilan sekolah untuk mencapai tujuannya antara lain sangat ditentukan
oleh kehandalan kepemimpinan kepala sekolah dalam mengelola sekolahnya. Peranan
kepemimpinan dalam suatu organisasi sangat berpengaruh untuk mewujudkan sasaran
yang telah ditetapkan. Karena itu, keberhasilan suatu organisasi mencapai
tujuannya secara efektif dan efisien sangatlah ditentukan oleh kehandalan
kepemimpinan seorang pemimpin.
Kepemimpinan dalam pandangan Islam merupakan amanah dan tanggung jawab yang
tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota yang dipimpinnya,
tetapi juga akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. Jadi,
pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak hanya bersifat
horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat vertikal-moral, yakni
tanggung jawab kepada Allah SWT di akhirat. Kepemimpinan sebenarnya bukanlah
sesuatu yang menyenangkan, tetapi merupakan tanggung jawab sekaligus amanah
yang amat berat dan harus diemban sebaik-baiknya. Hal tersebut dijelaskan dalam
Al Qur’an surat Al-Mu’minun:
Artinya: Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janji mereka dan orang-orang yang memelihara sholatnya, mereka Itulah
orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya. (Q.S.
al-Mukminun 8-11)
Selain dalam Al Qur’an Rasulullah SAW juga mengingatkan dalam Haditsnya agar
dapat menjaga amanah kepemimpinan, sebab hal itu akan dimintai
pertanggungjawaban baik di dunia maupun dihadapan Allah SWT. Hal itu dijelaskan
dalam Hadits berikut:
را ع و كلكم مسئو ل عن ر عيته كلكم…
Artinya: Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggung
jawaban atas kepemimpinannya (H. R. Bukhori)
Di samping dalam hadits di atas Rasulullah juga mengingatkan pada Hadits lain
agar umatnya tidak menyia-nyiakan amanah, karena hal tersebut akan membawa
kehancuran. Penjelasan tersebut dijelaskan dalam Hadits beliau:
إذا اضيعت الأما نة فا نتظر السا عة قيل كيف
اضاعتها يا رسول الله قال اذا وسد الأمر إلى غير أهله فا نتظر الساعة
Artinya: “Apabila amanah disia-siakan maka tunggulah saat kehancuran. (Waktu
itu) ada seorang sahabat yang bertanya, apa (indikasi) menyia-nyiakan amanah
itu ya Rasul? Beliau menjawab: “Apabila suatu perkara diserahkan orang yang
bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya”. (H. R. Bukhori)
Dari penjelasan Al Qur’an surat al-Mukminun 8-11 dan kedua Hadits di atas dapat
diambil suatu benang merah bahwa dalam ajaran Islam seorang pemimpin harus
mempunyai sifat amanah, karena seorang pemimpin akan diserahi tanggung jawab,
jika pemimpin tidak memiliki sifat amanah, tentu yang terjadi adalah
penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk hal-hal yang tidak baik. Oleh karena
itu, kepemimpinan sebaiknya tidak dilihat sebagai fasilitas untuk menguasai,
tetapi justru dimaknai sebuah pengorbanan dan amanah yang harus diemban
sebaik-baiknya. Selain bersifat amanah seorang pemimpin harus mempunyai sifat
yang adil. Hal tersebut ditegaskan oleh Allah dalam firmannya:
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha Melihat (Q. S. al- Nisa’: 58)
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…
(Q. S. al-Nahl: 90)
Dari penjelasan di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kepemimpinan
adalah sebuah amanah yang harus diemban dengan sebaik-baiknya, dengan penuh
tanggung jawab, profesional dan keikhlasan. Sebagai konsekuensinya pemimpin
harus mempunyai sifat amanah, profesional dan juga memiliki sifat tanggung
jawab. Kepemimpinan bukan kesewenang-wenangan untuk bertindak, tetapi
kewenangan melayani untuk mengayomi dan berbuat seadil-adilnya. Kepemimpinan
adalah keteladanan dan kepeloporan dalam bertindak yang seadil-adilnya.
Kepemimpinan semacam ini hanya akan muncul jika dilandasi dengan semangat
amanah, keikhlasan dan nilai-nilai keadilan.
Daftar Rujukan:
1. Wahjosumidjo. 2005. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, hlm. 84.
2. Muhadi, Zainuddin & Mustaqim, Abd. 2005. Studi Kepemimpinan Islam
(Telaah Normatif & Historis). Semarang: Putra Mediatama Press, hlm. 15-16.
3. Triantoro, Safaria. 2004. Kepemimpinan. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu,
hlm. 3.
4. Danim, Sudarwan. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah Dari Unit Birokrasi ke
Lembaga Akademik. Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm:204.
5. Yukl, Gary. 2002. Leadership in Organizations. New york: Prentice Hall, hlm.
4.
6. Syafiie, Inu Kencana. 2000. Al Qur’an dan Ilmu Administrasi. Jakarta: PT
Rineka Cipta, hlm. 73-74
7. Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan
Implementasi. Bandung: Rosdakarya hlm. 108.
8. Mohyi, Ach. 1999. Teori & Prilaku Organisasi. Trioningsih-Ratih Juliati
(ed) UMM: Malang, hlm. 176.
9. Tanthowi, Jawahir. 1983. Unsur-unsur Manajemen Menurut Ajaran Alqu’an.
Jakarta: Pustaka Al-Husna, hlm. 37.
10. Kartono, Kartini. 2004. Pemimpin dan Kepemimpinan. Apakah Kepemimpinan
Abnormal itu?. Jakarta. Raja Grafindo Persada, hlm. 56.
11. Nawawi, Hadari. 2003. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogjakarta:
Gadjah Mada University Press, hlm. 276.
Dipublikasikan Oleh:
M.
Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Pola Pemimpin dalam Islam
Oleh : Drs. H. Ahmad Bangun Nst, MA. Alkisah di masa kejayaan Irak yang ketika itu dipimpin oleh
Harun Al Rasyid, berkunjunglah seorang ulama besar bernama Shihab. Dalam jamuan
tersebut Harun Al Rasyid meminta petunjuk tentang bagaimana cara memimpin
Daerah Irak dengan baik. Lalu, sang Ulama tak segera menjawab, ia hanya
mengajak Harun untuk berjalan mengelilingi Daerah di tengah gurun pasir nan
tandus, di tengah hari pertama, di atas teriknya matahari, Harun pun kehausan,
dan tak satupun tempat yang memiliki dan menyediakan air, lalun sang ulama pun
bertanya, ya Raja, jika ada seseorang yang dapat memberikanmu air di tengah
terik dan dahaga ini, apa yang akan kau berikan padanya?, lalu Harun-pun
menjawab, aku akan memberikan separuh kekuasaanku di Irak ini.
Usailah perjalanan di hari pertama,
lalu di hari kedua juga terjadi hal yang sama. Di tengah terik mentari dan haus
dahaga, kembali sang ulama bertanya, ya raja, apakah yang akan kau berikan jika
ada seseorang membawakanmu air di tengah dahaga ini?, lalu sang raja-pun
menjawab, aku akan membwerikan separuh kekuasaanku di Irak ini. Sampai disitu,
lalu sang ulama pun mengtakan, ya raja ada dua hal yang perlu kau ketahui,
pertama, kau sudah menjual Irak ini hanya dengan dua gelas air untuk
menghilangkan dahagamu, itu tertanda bahwa kau merasa bahwa kau telah memiliki
jabatanmu sepenuh diri.
Kedua, dengan keputusanmu untuk memberi seluruh kekuasaanmu di Irak ini hanya
dengan dua gelas, pertanda bahwa kau masih terpengaruh dengan kekeringan,
kesusahan dirimu. Sementara banyak rakyatmu yang mungkin lebih ber-dahaga
darimu.
Hikayat diatas paling tidak bisa memberikan kita sebuah harapan terhadap
pemimpin Sumatera Utara kedepannya. Bahwa apatisme rakyat masih bermain tajam
di tengah otoritas demokrasi di bangsa ini. Mau tidak mau, pemenang pemilukada
Daerah Sumut tahap pertama lalu adalah Golput. Hal ini adalah indikasi besar
bahwa masyarakat secara luas tidak merasakan pengaruh yang besar terhadap
kepemimpinannya. Disamping besarnya peran media yang meng-audit secara tajam
pula tentang kinerja pemerintahan Daerah secara menyeluruh.
Untuk itu pulalah kita bisa menitipkan pesan hangat menjelang kepemimpinannya
nanti, dan teguran hangat sebelum memimpin nantinya. Mungkin, hikayat di atas
tidak cukup menjadi referensi yang tangguh untuk memberikan contoh dan harapan
tentang sebuah kepemimpinan, tapi paling tidak, hikayat di atas bisa jadi bahan
renungan dan selanjutnya bahan saduran memimpin Daerah Sumut kedepannya.
Pertama, siapapun pemimpin Daerah Sumut kedepannya, jadilah seorang pemimpin
yang "menangis", menangis jika anda lupa bahwa kepemimpinan itu
adalah amanah. Tidak ada satu alasanpun yang bisa menggadaikan kepemimpinanmu
jika itu adalah tindakanmu secara pribadi. Yang memimpin itu adalahg
ke-amanahanmu yang dipercayai rakyat, bukan dirimu secara pribadi. Jadi
lepaskanlah ketergantunganmu terhadap kekuasaan yang sedang kau pegang dengan
kebutuhan dirimu secara pribadi.
Betapa naifnya seorang pemimpin jika ia merasa bahwa kekuasaan yang sedang ia
pegang itu membuatnya hebat di semua tempat, tapi jadikanlah kekuasaanmu
sebagai batu acuan untuk mencari tahu seberapa besar rakyat menggantungkan
harapan terhadap kekuasaanmu.
Kedua, jadilah pemimpin yang melupakan diri sendiri. Maksudnya, lupakanlah
dirimu dengan segala jabatan yang sedang ka pegang, karena ketika jabatan itu
kau pikul, sebenarnya kau sedang berusaha mempertahankan kepercayaan rakyat
ketika memilihmu, untuk itu tabulasi-lah keinginan rakyat itu, lalu kerjakanlah
dan wujudkanlah. Ingat, jabatan yang kau pegang itu bukan sarana untuk
mewujudkan keinginanmu secara pribadi, tapi jabatan itu adalah wujud dari
kelayakanmu menjadi pemimpin untuk mewujudkan keinginan masyarakat yang sedang
kau pimpin.
Ketiga, jadilah pemimpin yang elastis-formalistis (istilah dari penulis).
Elastis menghadapi besar dan ragamnya keinginan dan harapan rakyat,
ke-elastisan itu akan membuatmu selalu berfikir lalu bertindak untuk menentukan
kebijakan yang ber-mashlahat. Ingat, tidak semua hal ter-adili hanya dengan
sesuatu yang sifatnya formalistic, untuk itu, pandai-pandailah membaca suasana
hati dan keinginan rakyat apa yang harus kau lakukan. Dan formalistic tetaplah
menjalankan aturan dan perundang-undangan yang berlaku, hal itu membuatmu
menjadi orang yang disiplin dan patuh aturan. Sebab manusia yang bijak adalah
manusia yang patuh aturan.
Setidaknya ketiga masukan inilah yang harapannya bisa menjadi bahan renungan,
kajian dan terus awalan untuk pemimpin Daerah Sumut ini kedepannya. Lebih jauh,
kita juga bisa melihat konsep yang ditawarkan Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqh
Siyasah, bahwa ada beberapa criteria pemimpin yang ideal :
1. prinsip kedudukan manusia di bumi. Manusia ketika hendak menjadi pemimpin di
dunia, harus benar benar menyadari apa kedudukannya dan fungsinya di dunia ini.
Hal ini tentunya berkaitan dengan nilai-nilai ketauhidan yang harus menyadari
bahwa diatas kepemimpinan diri ada yang lebih memimpin dan menguasai, yaitu
Allah SWT. Proses penyadaran diri terhadap fungsi dan kedudukan ini akan
menghingkan rasa tinggi hati, curang, merasa kuat dan menghandarkan diri dari
segenap kebijakan yang sifatnya diskriminatif terhadap kebutuhan rakyat banyak.
2. prinsip kekuasaan sebagai amanah. Pemimpin yang ideal sesungguhnya mengawali
kepemimpinannya dari keinginan masyarakat luas untuk menjadikannya sebagai
pemimpin sebab telah mengetahui sejauh mana kapabilitasnya jika orang tersebut
menjadi pemimpin. Optimisme untuk menjadi seorang pemimpin harus didasari dari
prinsip amanah dan tanggung jawab. Kepemimpinan yang dipikul adalah sebuah
tanggung jawab yang harus dipertanggung jawabkan secara sempurna dihadapan
masyarakat.
3. prinsip penegakan keadilan. Seorang pemimpin kedepannya harus benar benar
yang memiliki I’tikad dan program kerja yang adil dan memberikan keadilan.
Tidak diskriminatif dan menjalankan amanat Undang undang yang berlaku. Miskin,
kaya. Pejabat dan masyarakat biasa bukan menjadi ukuran dalam bertindak dan
memutuskan perkara. Pemimpin yang tidak " mempelintir " nilai
keadilan munurut kehendak hatinya. Namun keadilan yang memang dimaksud dalam
nilai nilai keislaman.
4. Prinsip Amar ma’ruf nahyi munkar. Seorang pemimpin harus konsisten terhadap
nilai amar ma’ruf nahyi munkar. Tidak menyeleweng untuk mengkondisionalkan
bagaimana tipologi amar ma’ruf menurut kehendak hatinya. Namun tetap mengukur
amar ma’ruf dari nilai nilai yang tertuang dalam Al Qur’an dan Sunnah.
5. prinsip profesionalisme,akuntabilitas dalam pengisian jabatan pemerintahan.
Seorang pemimpin harus mampu memilih rekan kerjanya dengan benar benar melihat
fungsi dan kepabilitasnya. Tidak nepotisme tanpa keahlian dalam bidang-bidang
tertentu. Dan tidak pula otoriter dalam menentukan kebijakan. Seorang pemimpin
harus mampu agresif dan efektif dalam menentukan kebijakan yang akan dilakukan.
Setidaknya ada 5 prinsip penting dari banyak prinsip yang harus dikedepankan
untuk menjadi seorang pemimpin. Begitu juga dengan masyarakat luas yang bakal
mencarai dan memilih siapa pemimpin Daerah Sumut masa depan. Seorang pemimpin
harus benar benar siap secara lahir bathin untuk menjadi seorang pemimpin yang
benar.
Tanpa prilaku dan kebijakan yang sifatnya "dadakan dan tumbenan"
jangan sampai obral janji jangan sampai terkesan menjadi pemimpin yang "
munafik " yang berlainan antara ucapan, janji-janji dengan perbuatan dan
kebijakan pasca menjadi pemimpin. Semoga Daerah Sumut ini lebih baik kedepannya
***
KEPEMIMPINAN MENURUT ISLAM
Rasulullah bersabda dalam sunnahnya: “Semua kalian adalah pemimpin dan
bertanggung jawab terhadap nasib yang dipimpinnya. Amir adalah pemimpin rakyat,
dan bertanggungjawab terhadap keselamatan mereka”. (al-hadits)
Pemimpin dalam Islam adalah sebagai penggerak utama bagi orang-orang yang
dipimpinnya. Dia bukanlah dilayani, sebagaimana yang dapat kita saksikan pada
sejumlah pemimpin saat ini di mana dia minta dilayani. Pemimpin seharusnya
melayani yang dipimpinnya.
Memimpin sebuah negara tentulah berbeda dengan memimpin sebuah perniagaan, baik
dari segi kapasiti kemampuan yang diperlukan mahupun tanggungjawab yang
dipikulnya.
Bermodalkan kemampuan management sudah cukup untuk memimpin sebuah perniagaan.
Tetapi untuk memimpin sebuah negara, sungguh tidaklah cukup hanya dengan modal
kemampuan pengurusan semata-mata. Sebab memimpin sebuah bangsa bukan hanya
membangun jalan, jambatan atau gedung. Tetapi lebih dari itu iaitu membangun
manusia.
Kesalahan pengurusan perniagaan paling-paling resikonya mengalami kerugian
material. Dalam hal ini pemimpin perusahaan boleh berpindah, bergabung dengan
perusahaan lain atau mencari investor untuk mendirikan perusahaan baru.
Sangat berbeza dengan memimpin sebuah bangsa. Kesalahan dalam mengelolanya akan
mengakibatkan kerosakan Meneyeluruh. Bukan hanya berkait kerugian material dan
beban hutang yang tidak terselesai. Kerosakan aqidah dan moral bangsa
mererosakkan budaya bangsa, yang akan terus diwariskan dari generasi ke
generasi. Memperbaikinya tidak cukup satu dua tahun, bahkan mungkin tidak cukup
satu generasi. Andai kerugian yang ditimbulkannya hanya menyangkut urusan
dunia, barangkali masih bisa dimaklumi. Tetapi ini menyangkut kerugian dunia
dan akhirat. Kerana ianya tidak dapat diganti dengan wang berapapun banyaknya.
Kepemimpinan dalam Islam dipandang sebagai amanah. Seorang pemimpin bangsa
hakikatnya ia memegang amanah Allah sekaligus amanah masyarakat. Amanah itu
mengandung tanggungjawab mengelola dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan
harapan dan dan keperluan pemiliknya. Kerananya kepemimpinan bukanlah hak milik
yang boleh dinikmati dengan cara sesuka hati orang yang memegangnya.
Pemimpin menurut Islam bercirikan antara lain :
1) Setia terhadap Allah swt.
2) Membawa misi Islam yang global / menyeluruh, rahmat bagi seluruh alam.
3) Mengikuti apa yang diajarkan Islam, antara lain beradab islami.
4) Melaksanakan tanggungjawabnya terhadap Allah, berbuat baik kepada yang
dipimpinnya, sebagaimana yang difirmankanNya dama Surah al-Maidah ayat 8 : yang
artinya: “Orang-orang yang Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, nescaya
mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’aruf
dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan kepada Allahlah kembali segala urusan.”
ASAS KEPEMIMPINAN ISLAM
Ada tiga hal yang mengawali perjalanan kepimpinan Islam. Ketiga hal tersebut
adalah
1) Syura : merupakan prinsip pertama dalam kepemimpinan Islam. Para pemimpin
Islam wajib melaksanakan syura dengan orang yang dapat memberikan pandangan
atau pemikiran yang baik / bermanfaat, sebagaimana difirmankanNya dalam Surah
as-Syura ayat 38 yang artinya, ”Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebahagian daripada rezeki yang
Kami berikan kepada mereka.”
Pelaksanaan syura ini menjadi asas dalam melaksanakan keputusan.
Pemimpin sudah tentu tidak harus melaksanakan syura dalam semua hal, tetapi dia
harus melaksanakan keputusan yang dibuat berdasarkan musyawarah.Dia hendaklah
mengelakkan diri dari bermain dengan kata-kata yang menonjolkan pendapatnya
atau mengubah keputusan yang diputuskan oleh syura.
2) Adil : Pemimpin hendaklah berlaku adil dalam menjalankan tugasnya tanpa
melihat kepada suku, warna kulit ataupun agama. Sifat-sifat buruk seperti
dendam, hasad dan sebagainya bukan menjadi sifat pemimpin Islam. Keadilan dan
memberikan hak kepada orang lain tetap ditegakkan, meskipun terhadap orang yang
dibenci.
Allah berfirman dalam surah al-Maidah ayat 8 yang artinya : “Hai orang-orang
yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekalikali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertawakallah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam Islam kebenaran dan keadilan adalah dua hal dari sekian banyak hal
lainnya yang harus diberikan penekanan, dan tidak boleh bertolak belakang
dengannya. ansur dengannya. Mereka yang mengabaikan atau tidak mementingkan
keadilan dan kebenaran, dapat dianggap sebagai pendusta agama. Allah swt
berfirman dalam surah an-Niisa ayat 13 tentang penting menegakkan keadilan,
yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu
bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu
kerjakan”
3) Bebas Menyampaikan Pendapat
Pemimpin Islam perlu menyediakan kesempatan menerima pandangan dan ide
membangun dari mereka yang dipimpinnya. Dia memberikan peluang mereka yang
dipimpinnya menyampaikan pandangan / pendapat / argumentasi secara bebas dan
menjawab segala persoalan yang ditanyakan. Kedudukan sebagai seorang pemimpin
bukan menjadi halangan untuk menjelaskan kebenaran. Tegasnya, kepimpinan Islam
bukanlah satu bentuk kepimpinan yang zalim. Islam mewajibkan seseorang pemimpin
mesti bersikap adil, berunding dan senantiasa hormat menghormati antara
pemimpin dan yang dipimpin. Seseorang pemimpin bertanggungjawab bukan saja
kepada yang dipimpinnya, tetapi yang lebih berat ialah tanggungjawab dihadapan
Allah swt
Posted by
hakim rasid at 01:16
Kepemimpinan dalam Perspektif
Islam
|
|
|
|
Written by
Dailami Firdaus
|
Thursday, 30 August 2012 03:33
|
Islam
adalah agama yang sangat memperhatikan masalah kepemimpinan (leadership). Hal ini, disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
karena Islam memandang bahwa manusia pada dasarnya adalah pemimpin, yaitu
wakil Allah SWT di muka bumi, khalifatullah fi al-ardh
(QS. Al-Baqarah [2]: 30). Dalam hadis shahih, Rasulullah saw menegaskan bahwa setiap orang (kamu) adalah pemimpin:
Setiap
kamu adalah pemimpin, dan harus bertanggung jawab atas rakyat yang
dipimpinnya; seorang imam (kepala Negara) adalah pemimpin dan harus
bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. (HR. Bukhari dari sahabat Ibn
Umar).
Dalam hadis lain, Rasulullah bahkan memberikan
intsruksi (arahan), bahwa apabila tiga orang dalam perjalanan atau bepergian,
maka hendaklah ditunjuk salah seorang dari mereka sebagai imam atau pemimpin.
Kedua, manusia sebagai makhluk social tidak akan
berkembang dengan baik, tanpa kepemimpinan yang kuat dan mencerahkan (the
inspiring leader). Menurut sosiolog Muslim Ibn Khaldun, ada 2 hal
yang sangat diperlukan suatu masyarakat, (1), norma-norma hukum, dan (2),
kepemimpinan (pemimpin) yang kuat. Kedua hal ini menjadi syarat mutlak
lahirnya masyarakat yang beradab dan berbudaya tinggi. Tanpa keduanya, suatu
masyarakat akan mudah terseret ke dalam perpecahan dan permusuhan yang
berkepanjangan (chaos).
Ketiga, yang tidak kalah pentingnya adalah karena
pemimpin menjadi salah satu factor penentu kemajuan (dan juga kebangkrutan)
suatu masyarakat atau bangsa. Dalam adagium Arab ada ungkapan yang amat
terkenal, yaitu: Manusia akan mengikuti agama raja-raja mereka
Bertolak dari latar belakang pemikiran di atas,
maka soal kepemimpinan, termasuk di dalamnya memilih pemimpin menjadi hal
yang sangat penting dalam pandangan Islam.
2,
Arti dan Makna Kepemimpinan dalam Islam
Kepemipinan (leadership)
merupakan salah satu variable penting dalam kehidupan umat, bahkan menjadi
factor penentu (determinant factor) kemajuannya. Menurut
Imam Ghazali, hakekat kepemimpinan adalah pengaruh, yakni kedudukan seseorang
di mata dan di hati umat (maqamuka fi qulub al-nas).
(Ihya’ `Ulum al-Din, Tanpa
Tahun, jilid 3, h. 45). Tanpa
pengaruh, seorang tak dinamakan pemimpin meskipun ia secara formal memiliki
dan memangku jabatan penting dalam pemerintahan, organisasi, maupun korporasi
(perusahan).Tak adanya pengaruh ini diidentifikasi oleh Jeremie Kubicek
sebagai matinya kepemimpinan,
dalam bukunya yang kesohor, Leadership is Dead: How Influence
is Reviving It!. (Jeremie Kubicek, New York, Howard Book,
2011), h, 12 dst.).
Hakekat kepemimpinan,
seperti telah disinggung, tak lain adalah pengaruh. Kepemimpinan adalah
proses induksi [memengaruhi] orang lain agar bertindak menuju atau mencapai
tujuan umum (the process of inducing others to take action toward a
common goal). (Roland
J Burke dan Cary L Coper, Inspiirng Leader, New
York: Routledge, 2006, h. 6)
atau tindakan memengaruhi orang lain agar mereka secara sukarela mencapai
tujuan organisasi (influencing others to voluntarily pursue organizational
goals). Pengertian lain, seperti dikemukakan Fred Smith,
kepemimpinan adalah upaya memengaruhi orang lain agar mereka secara sadar
melakukan apa yang tidak ingin mereka lakukan (Leadership is
getting someone to willingly do what they don’t want to do). (Charles A Rarick, Leadership and Motivation in the
New Century,Florida: Barry University, tt. h.2).
Bertolak dari hakekat
kepemimpinan ini, maka pemimpin yang efektif dan memuaskan, menurut John
Zinger, adalah pemimpin yang inspiring
[inspirasional] dalam arti mencerahkan dan menggerakkan orang lain mencapai
kemajuan dan kemuliaan. Untuk
itu, dalam pandangan Islam, kepemimpinan yang efektif dan mencerahkan itu,
harus ditunjukkan paling tidak dalam tiga hal, yaitu: (1) pelayanan (khadamat),
(2), kedekatan dan komunikasi alias keterhubungan dan ketersambungan dengan
kepentingan rakyat (al-tabligh wa al-bayan), dan (3),
keteladanan (qudwah hasanah).
a,
Pelayanan
Pelayanan yang baik (khadamat)
adalah hal yang paling pokok dalam kepemimpinan Islam. Dengan makna ini, maka
kepemimpinan menjadi medium pengabdian yang tinggi kepada Allah SWT. Dalam
perspektif Islam, pemimpin tidak
dipahami sebagai ‘penguasa’ (apalagi joragan
besar), tetapi
justru pelayan yang harus bekerja keras untuk mebantu masyarakat. Pemimpin,
kata tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, H.Agus Salim, adalah “menderita”
dalam arti bekerja keras untuk rakyat, bukan bersenang-senang di atas
penderitaan orang lain.
Para Nabi dan Rasul Allah
adalah pemimpi-pemimpin sejati, karena kedudukan mereka sebagai
“penggembala,” dalam arti pelayan dan pengayom umat. Diilihami oleh
kepemimpinan para Nabi itu, Raja Fahd dari Arab Saudi, menyebut dirinya
sebagai “Pelayan Dua Tanah Suci,” Mekah dan Madinah (Khadim
al-Haramain), karena sebagai Raja (pemimpin), ia harus melayani
kaum muslim yang datang ke sana untuk melaksanakan haji dan umrah dari
seluruh dunia. Kakenda, Mu’assis Awwal As-Syafi`iyah, KH Abdullah Syafi`I,
juga menyebut dirinya sebagai “Khadim al-Thalabah”
(pelayan para santri), karena sebagai ulama ia harus melayani dan membimbing
para santri dan jemaah yang hendak belajar kepadanya. Pendek
kata, inti dari kepemimpinan Islam adalah berjuang dan bekerja untuk kemajuan
umat. Dalam kaidah fiqih politik Islam disebutkan: Tindakan
seorang pemimpin (imam) atas rakyat terikat (tak boleh keluar) dari
kemaslahatan umum.
b,
Kedekatan dan Komunikasi dengan umat
Kedekatan
dan komunikasi dengan umat menjadi ide dasar kedua
dalam kepemimpinan Islam. Ide ini
mengajarkan bahwa tidak boleh ada jarak
(gap)
antara pemimpin dan umat. Berbagai masalah yang muncul belakangan ini,
seperti maraknya paham dan aliran sesat, radikalisasi agama, anarkisme, dan lain-lain, ditengarai karena tak adanya komunikasi
antara pemimpin dan umat. Pemimpin memang wajib
berkomunikasi dengan umat. Oleh sebab itu, pemimpin dalam pandanagn Islam,
tak boleh bisu, tetapi ia wajib memiliki sifat tabligh.
Nabi Musa a.s. sebagaimana
diceritakan dalam al-Qur’an, berdo’a kepada Allah swt agar kata-kata
(pikiran)-nya bisa dimengerti oleh kaumnya. "Ya Tuhanku, lapangkanlah
untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan
dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku,” (QS. Thaha [20]: 25-28).
Nabi Ibrahim a.s. malah meminta agar menjadi komunikator yang efektif, (lisana
shidqin), yang kata-katanya abadi, tetap berpengaruh bagi
orang-orang kemudian. Firman Allah: Dan
Jadikanlah aku buah tutur (jurubicara) yang baik bagi orang-orang (yang
datang) Kemudian (QS. Al-Syu`ara [26]: 84).
Ini berarti, Nabi Ibrahim
tak hanya menjadi pemimpin besar (great leader), tetapi juga
sekaligus komunitor besar (great
communicator) sebagai wujud kepeduliannya kepada kebaikan
dan kemajuan umat.
c.
Keteladanan (Uswah
Hasanah)
Keteladanan (qudwah
dan uswah
hasanah) merupakan hal yang sangat penting dalam
kepemimpinan Islam. Dalam bahasa
modern keteladanan (qudwaah hasanah) ini disebut “lead by example,” yakni
memimpin dengan memberi bukti, bukan janji. Keteladanan adalah kekuatan yang melahirkan pengaruh, aura,
bahkan charisma. Kita semua mengetahui, bahwa pengaruh adalah kekuasaan (Influence
is power). Karena berbasis keteladanan, kepemimpinan dalam
perspektif Islam (leadership in the Islamic perspective) bergerak dari dalam ke luar (in
side out), bukan sebaliknya, dipaksakan dari luar ke dalam (out
side in). Inilah
kepemimpinan dalam arti sebenarnya. Saya ingin mengutip sekali lagi sabda
Nabi saw di atas Setiap kamu adalah pemimpin, dan harus bertanggung
jawab atas rakyat yang dipimpinnya.
Hadis ini tak hanya
menegaskan pentingnya kepemimpinan, seperti umum dipahami, tetapi juga
mengajarkan bahwa kepemimpinan harus tumbuh dari dalam, dengan latihan untuk
bisa menjadi pemimin atas diri kita sendiri. Karena, percayalah seorang tidak
akan bisa memimpin orang lain, apalagi memimpin bangsa, jika memimpin dirinya
sendiri saja ia tak mampu.
Selanjutnya, hadis ini
mendorong kita agar kita tak hanya
menjadi manajer, tetapi leader. Sekali
lagi leader.
Dalam perspektif Islam, leader
jauah lebih dipenting dan diperlukan ketimbang hanya manajer,
apalagi kalau hanya sebagai Dealer (makelar).
3.
Kriteria Pemimpin
Seorang pemimpin, dengan sendirinya, perlu
memiliki syarat-syarat kepemimpinan yang kuat. Secara umum, seorang pemimpin,
harus memiliki 4 sifat, yaitu: (1), memiliki wawasan dan ilmu pengetahuan
yang luas. Pemimpin tidak boleh bodoh. (QS. Al-Baqarah [2]: 269). (2),
memiliki akhlak yang mulia dan keluhuran budi pekerti, (QS. Al-Qalam [68]:
4), karena pemimpin adalah teladan atau Role Model (QS. Al-Ahzab
[33]: 21). (3), memiliki tanggung jawab dan tanggung gugat (responsible
dan accountable,
amanah).
(QS. Al-Nisa [4]: 58), dan (4), dapat mengkomunikasikan ide dan gagasan
besarnya serta mampu mewujudkannya dalam kenyataan (QS. Al-Sya`ara’ [26]:
84).
Bila merujuk kepada kepemimpinan Nabi Muhammad
saw, seorang pemimpin harus memiliki 3 semangat dasar (mental kepemimpinan)
seperti disebut oleh Allah SWT dalam ayat ini:
Sungguh
Telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS.At-Taubah
ayat 128) .
Menunjuk ayat di atas, maka ada 3 sifat yang
dimiliki oleh Rasulullah saw, dan yang mesti dicontoh oleh setiap pemimpin.
Pertama, `azizun `alaihi ma `anittum, yakni mampu
merasakan kesulitan dan penderitaan orang lain. Dalam bahasa modern, sifat
ini disebut “Sense of Crisis.”. Kedua, harishun
`alaikum, yakni memiliki komitmen yang kuat untuk mensejahterakan
umat. Dalam bahasa modern sifat ini ini disebut, “Sense of
Achievement”. Ketiga, rauf dan rahim,
yaitu memiliki cinta dan kasih sayang yang tinggi alias memiliki “Sense
of Love”. Dikatakan, “If You Are Not Loving, You Are Not living.”
4.
Memilih Pemimpin
Dalam kaitan ini, saya ingin mengajak kaum
muslim agar memahami dan melakukan 3 hal seperti berikut ini.
Pertama, sebagai muslim kita perlu bersikap
positif dan pro aktif, serta ikut serta mengambil bagian dalam proses
pembangunan bangsa, termasuk dalam menentukan dan memilih pemimpin. Dalam
pandangan Islam, memilih pemimpin merupakan bagian dari tanggung jawab social
Islam (al-mas’uliyah al-ijtima`iyah al-Islamiyah)
serta merupakan bagian tak terpisahkan dari kewajiban amar makruf dan nahi
munkar. Kita tidak boleh melepaskan diri dari tanggung jawab ini demi
terciptanya masyarakat adil dan makmur
yang menjadi harapan dan ciata-cita bersama.
Kedua, selanjutnya, sebagai Muslim, kita tentu
harus memilih pemimpin yang sesuai
dengan criteria dan petunjuk yang diajarkan oleh agama Islam. Perhatikan firman Allah ini:
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi
wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu
mengadakan alas an yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)..? (Q.S.
An-Nisa ayat 144).
Perhatikan juga ayat ini:
Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpinmu, sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Q.S.
Al-Maidah ayat 51)
Di zaman sekarang, banyak orang yg Menuhankan
Hawa nafsu, Bukan hanya para pejabat, tetapi juga ada ulama yang menuhankan
hawa nafsu, Maka ayat Allah akan dijual dengan harga yang murah.
Dia akan cari pembenaran, menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal, demi untuk menyenangkan kepada siapa yang
memberi.
Dengan demikian Allah Akan sesatkan dia dengan
kepintarannya dia sendiri, Dan Allah SWT akan meng menutup pendengarannya,
menutup hatinya, dan Allah jadikan didalam pandangannya penyakit (yang benar
dia lihat salah, dan salah dia liat benar) yang mestinya diluruskan, dia
belokkan, sekalipun dia seorang ulama! Naudzu billahi min zaalik!
Marilah kita cermati sikap
kita. Jangan ummat islam salah dalam memilih pemimpin. Sebab, kesalahan
memilih pemimpin akan berpengaruh besar terhadap nasib kita untuk satu
periode politik ke depan.
Semoga Allah memberi kita
kekuatan untuk menapaki jalan yang benar dan memilih pemimpin yang amanah
yang jujur, dan penuh keikhlasan, sehingga negeri ini betul-betul menjadi baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafur. Negeri yang jauh dari bencana
karena pemimpinnya semakin dekat pada Allah Swt. Amien ya robbal
‘alamin.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Prof. Dr. H. Dailami Firdaus, SH
Guru
Besar Fakultas Hukum UIA / Wakil Rektor II UIA Jakarta, disampaikan pada
khutbah Iedul Fitri 1433 H di Masjid Al Barkah, Kampus UIA, Jakarta.
|
Last Updated on Monday, 03
September 2012 06:47
|
anggung Jawab Setiap Pemimpin Umat Islam
Submitted
by firman on Wed, 2007-01-17 13:26
Apabila kita memperkatakan pemimpin umat
Islam,terbayang oleh kita bahwa mereka terbagi kepada berbagai peringkat dan
pemimpin di berbagai bidang dan jurusan. Pemimpin di kalangan umat Islam itu
ada pemimpin-pemimpin besar dan ada juga yang kecil. Ada yang umum (negara,
daerah, dll) ada yang khusus (pendidikan, ketentaraan, ekonomi, dll). Juga ada
yang terbatas ketika pemimpin itu juga dipimpin.
Setelah kita mengetahui pemimpin dan kepemimpinan
dalam Islam itu berperingkat-peringkat, maka di sini akan memperkatakan apa
tanggung jawab setiap pemimpin itu?
Di sini tidak akan dibahas secara luas dan
menyeluruh namun secara ringkas saja. Di peringkat manapun pemimpin itu
memimpin maka ada dua kewajiban yang tidak dapat dihindari dan akan
dipertanggungjawabkan karena mereka adalah pemimpin Islam. Agama Islam
mewajibkan setiap pemimpin umat Islam bertanggung jawab yaitu agama dan akhlak
orang yang di bawah pimpinannya.
Setiap pemimpin di akhirat kelak akan ditanya
oleh ALLAH Ta’ala setiap orang di bawah pimpinannya, tidak terkecuali pemimpin
besar atau kecil, umum atau khusus. Mereka tidak boleh memikirkan bidangnya
saja. Dalam ajaran Islam, masalah agama terutama di sudut fardhu ain mesti
diketahui, dihayati dan diamalkan oleh setiap mukallaf (muslim, baligh, berakal
yang telah dapat dikenai hukum). Oleh sebab itu siapa saja yang menjadi
pemimpin bertanggung jawab memastikan perkara agama dan akhlak untuk
keselamatan bersama di dunia dan akhirat.
Tidak seperti halnya dalam bidang fardhu kifayah,
seperti ketentaraan, ekonomi, pertanian dll. Sebagai contoh kalau ada satu
golongan yang berkecimpung di bidang itu dan mencukupi keperluan umum, maka
sudah memadai. Orang lain yang tidak ambil bagian di bidang itu terlepas dari
dosa. Sedangkan mengetahui halal dan haram serta akhlak yang mulia, yatu
memiliki sifat-sifat mahmudah, seperti adil, jujur, tawadhuk, pemurah, kasih
sayang, sabar, redha, tawakal, tenggang rasa, lapang dada, pemaaf, meminta
maaf, amanah diwajibkan bagi setiap orang, baik pemimpin maupun bukan.
Setiap pemimpin Islam itu tidak bisa dia berkata,
“Saya pemimpin di bidang ketentaraan. Saya hanya bertanggung jawab dengan
ketentaraan saja. Soal agama dan akhlak itu bukan tanggung jawab saya.”
Pemimpin ekonomi pun berkata senada dan juga pemimpin-pemimpin yang lain.
Begitulah setiap pemimpin berfikir demikian. Soal agama dan akhlak itu tanggung
jawab ulama, ustadz, pendakwah, pemimpin dakwah. Itulah bidang khusus mereka,
begitu dalam fikiran para pemimpin itu. ALLAH dan Rasul tidak menghendaki
demikian. Islam memerintahkan setiap pemimpin umat Islam, baik dia memimpin
negara, pemimpin ketentaraan, politik, ekonomi, dll, wajib bertanggung jawab
kepada anak pimpinannya mengenai agama dan akhlak mereka.
Di akhir zaman inilah kelemahan umat Islam,
dimana pemimpin hanya memimpin di bidangnya saja. Terhadap agama dan akhlak
mereka meringan-ringankannya. Itulah rahasia mengapa setiap golongan itu, susah
disatukan satu sama lain. Hati berjauhan meski tidak bertengkar karena tali
pengikat di kalangan umat Islam adalah agama dan akhlak sudah diputuskan.
Kalaupun ada tali, tapi sudah hampir putus. Maka dari itu banyak terjadi gejala
yang negatif dalam golongan—golongan manusia. Hal ini berlaku karena mereka
tidak diarahkan kepada agama dan akhlak mulia oleh pemimpin, jika ada progam
keagamaan pun hanya sekali-sekali. Pemimpin hanya mengutamakan bidangnya saja
seolah-olah agama dan akhlak adalah persoalan individu.
Padahal umat Islam menghendaki agama dan akhlak
mesti sama walaupun berasal dari berbagai bidang, karena hal itu merupakan
keperluan bersama. Kalau pemimpin memperhatikan akhlak dan agama maka akan
lahir ahli-ahli yang berkemajuan, berdisiplin dan berakhlak mulia karena
disuluh oleh ruh Islam. Sehingga visi mereka sejalan, syiar mereka bersama dan
akhlak mulianya sama.
Umat Islam sudah berfikir bahawa agama hanya
untuk guru-guru agama dan ustadz-ustadz. Apakah ada di dalam kalangan umat
Islam berfikir bahwa dengan berdisiplin agama dan berakhalak mulia akan
merugikan umat Islam dan manusia? Apakah dengan berakhak mulia dan berdisiplin
dalam agama akan menciptakan kemunduran?
Sebenarnya kepatuhan dalam agama serta akhlak
mulia itulah yang menjadikan umat Islam berdisiplin. Akan memperindah dan
memperbaiki setiap profesi dalam bidang-bidang kemajuan, sehingga dapat
meningkatkan kehormatan umat Islam, karena akhlak adalah universal, bahkan
orang bukan Islam akan senang terhadap Islam. Dan yang terpenting adalah ALLAH
dan RasulNya akan suka dan redha terhadap kita. Amin.
MAGHFIROH AZZAHRA
Fakultas Pertanian Jurusan Agroteknologi
‘10
PEMIMPIN paling mendasar dalam
pemerintahan. Sistem pemerintahan tidak akan berjalan baik tanpa pemimpin yang
baik. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu mengadakan perjalanan secara
berkelompok, maka tunjuklah salah satunya sebagai imam (pemimpin perjalanan).” Begitu
pentingnya pemimpin sehingga dalam kelompok diskusi pun butuh pemimpin agar
diskusi berjalan lancar dan tertib.
Rasulullah pernah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu, “Wahai
Abdul Rahman bin Samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin.
Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan (kamu),
maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu
diberikan kepada kamu bukan karena permintaan (kamu), maka kamu akan dibantu
untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Ada tiga hal pemimpin yang memiliki hikmah. Pertama, kasrotun ‘ilmi,
yaitu orang-orang cerdas yang menguasai berbagai kemampuan, baik komunikasi
maupun wirausaha. Orang yang punya pemikiran luas, tidak hanya berpikir apa
yang akan ia dapat melainkan apa yang telah ia beri untuk kemaslahatan orang
yang dipimpinnya. Orang-orang yang berpikir cerdas, memberikan seluruh
pemikirannya untuk kemajuan orang yang ia pimpin.
Seperti kisah Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah begitu paham
dengan taktik dakwah yang dilakukannya sehingga pada awal perjanjian disetujui
banyak sahabat. Padahal isi perjanjian agak diragukan kaum Muslimin, namun
kenyataannya 2 tahun kemudian malah kaum Quraisy yang melanggar perjanjian.
Puncaknya fathu Makkah (penaklukan Makkah) yang dilakukan pasukan
Muslimin. Mereka persembahkan kemenangan gemilang.
Rasulullah SAW juga memimpin dengan cara sederhana. Namun kesederhanaan yang
dimilikinya tak melunturkan rasa cinta para sahabat dan umat kepadanya. Begitu
pula dengan Umar bin Khatab, merelakan dirinya berjalan di padang gurun saat
hari telah gelap demi memeriksa keadaan rakyatnya. Umar bin Abdul Aziz yang
semula bertubuh gemuk, saat menjadi khalifah jadi kurus. Sifat mereka perlu
dicontoh. Pemimpin yang benar-benar menjadi hikmah bagi rakyatnya.
Kedua, kasrotul hilmi ialah mereka yang punya kedewasaan dan kesabaran
yang matang. Mereka pantang menyerah, tak mudah mengeluh apalagi menyalahkan
orang lain. Mereka bekerja keras untuk memajukan kasejahteraan umat,
mempertanggung jawabkan posisi pemimpin yang ia pangku. Mereka yang tak
terbiasa duduk santai sementara keadaan rakyat begitu menyedihkan.
Kedewasaan menjadikan mereka bertindak lebih bijak. Kesabaran diazamkan ketika
mereka tidak akan mengeluh apapun ujian yang menimpa kepe-mimpinannya, bersabar
ketika isu yang akan menjatuhkan namanya telah digembar-gemborkan. Seperti
kisah Sa’id bin ‘Amir Al-Jamhi yang menjabat sebagai Gubernur. Suatu hari
serombongan kaum mengadukan celanya kepada khalifah Umar. Dengan tenang Sa’id
mejelaskan alasan mengapa ia melakukan hal itu, dan sungguh ia melakukannya
semata-mata hanya karena Allah SWT. Setelah penjelasan Sa’id berkatalah
khalifah Umar, “Alhamdulillah, aku tidak keliru memilih pejabat yang
membantuku.” Sungguh kesabaran akan mendatangkan hikmah.
Ketiga adalah kasrotul unah, yakni orang yang memiliki kehati-hatian
dan kewaspadaan. Mereka sangat hati-hati dalam bertindak. Kehati-hatian serta
kewaspadaan itu juga disertai kepahaman dan kecerdasan yang dimikinya. Seperti
kisah Ma’iz bin Malik Al-Aslami yang mengadukan bahwa dirinya telah berzina dan
meminta agar ia dibersihkan dari dosa tersebut.
Pertama kali Ma’iz mengakui kesalahannya, Rasulullah SAW menyuruhnya pulang.
Bukan berarti Rasulullah tidak mau melakukan hukum Allah, namun semuanya harus
jelas dan bila perlu disertakan bukti yang kuat. Begitulah kehati-hatian
Rasulullah dalam bertindak, bahkan untuk orang yang telah mengakui kesalahannya
sekalipun.
Begitulah setidaknya seorang pemimpin, selalu bisa jadi panutan bagi kaumnya.
Seharusnya ini juga diazamkan kepada mereka yang berniat jadi pemimpin.
Pemimpin itu sebuah amanah dan ia akan dipertanggung jawabkan di akhirat.
Memimpinlah dengan ikhlas yang hanya mengharap ridha Allah saja. Jika sudah
berazam begitu, maka tak akan segan ia berkorban dengan ikhlas apa yang ia
punya, baik jiwa, raga, waktu, harta dan segala sesuatu untuk kebaikan orang
yang ia pimpin. Karena, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang
mukmin, diri dan harta mereka dengan balasan surga.” (At-Taubah: 111).#
Perspektif Kepemimpinan Dalam Islam
Cipto Sudarmo
Di dalam konsep (manhaj) Islam, pemimpin
merupakan hal yang sangat final dan fundamental. Ia menempati posisi tertinggi
dalam bangunan masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjama'ah, pemimpin ibarat
kepala dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam
pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapannya dalam memimpin
akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin dicapai, yaitu kejayaan dan
kesejahteraan ummat dengan iringan ridho Allah (Qs. 2 : 207).
Dalam bangunan masyarakat Islami, pemimpin berada
pada posisi yang menentukan terhadap perjalanan ummatnya. Apabila sebuah
jama'ah memiliki seorang pemimpin yang prima, produktif dan cakap dalam
pengembangan dan pembangkitan daya juang dan kreativitas amaliyah, maka dapat
dipastikan perjalanan ummatnya akan mencapai titik keberhasilan. Dan
sebaliknya, manakala suatu jama'ah dipimpin oleh orang yang memiliki banyak
kelemahan, baik dalam hal keilmuan, manajerial, maupun dalam hal pemahaman dan
nilai tanggung jawab, serta lebih mengutamakan hawa nafsunya dalam pengambilan
keputusan dan tindakan, maka dapat dipastikan, bangunan jama'ah akan mengalami
kemunduran, dan bahkan mengalami kehancuran (Qs. 17 : 16)
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu
negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah (kaum elit
dan konglomerat) di negeri itu (untuk menaati Allah), akan tetapi mereka
melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnyalah berlaku
terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya." (Qs. 17 : 16)
Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa
kepemimpinan memiliki posisi yang sangat strategis dalam terwujudnya masyarakat
yang berada dalam Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur (Qs. 34 : 15), yaitu
masyarakat Islami yang dalam sistem kehidupannya menerapkan prinsip-prinsip
Islam. Begitu pentingnya kepemimpinan atau imam dalam sebuah jama'ah atau kelompok,
sampai-sampai Rasulullah bersabda yang maksudnya:
"Apabila kamu mengadakan perjalanan secara
berkelompok, maka tunjuklah salah satunya sebagai imam (pemimpin
perjalanan)."
Demikian juga jika kita lihat dalam sejarah Islam
(Tarikh Islam) mengenai pentingnya kedudukan pemimpin dalam kehidupan ummat
muslim. Kita lihat dalam sejarah, ketika Rasulullah saw. wafat, maka para
shahabat segera mengadakan musyawarah untuk menentukan seorang khalifah. Hingga
jenazah Rasulullah pun harus tertunda penguburanya selama tiga hari. Para
shahabat ketika itu lebih mementingkan terpilihnya pemimpin pengganti
Rasulullah, karena kekhawatiran akan terjadinya ikhlilaf (perpecahan) di
kalangan ummat muslim kala itu. Hingga akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai
khalifah yang pertama setelah Rasulullah saw. wafat.
Dalam perspektif Islam, ada beberapa
komponen yang menjadi persyaratan terwujudnya masyarakat Islami, yaitu :
Adanya wilayah teritorial yang kondusif
(al-bi'ah, al-quro)
Adanya ummat (al-ummah)
Adanya syari'at atau aturan (asy-syari'ah)
Adanya pemimpin (al-imamah, amirul ummah)
Pemimpin pun menjadi salah satu pilar penting dalam upaya kebangkitan ummat.
Islam yang telah dikenal memiliki minhajul hayat (konsep hidup) paling teratur
dan sempurna dibandingkan konsep-konsep buatan dan olahan hasil rekayasa dan
imajinasi otak manusia, telah menunjukkan nilainya yang universal dan dinamis
dalam penyatuan seluruh komponen ummat (Qs. 21 : 92).
Ada empat pilar kebangkitan ummat, yang
kesemuanya saling menopang dan melengkapi, yaitu :
Keadilan para pemimpin (umaro)
Ilmunya para ‘ulama
Kedermawanan para aghniya (orang kaya)
Do'anya orang-orang faqir (miskin)
Definisi Pemimpin
Ada beberapa istilah yang mengarah kepada
pengertian pemimpin, diantaranya :
Umaro atau ulil amri yang bermakna pemimpin
negara (pemerintah)
Amirul ummah yang bermakna pemimpin (amir) ummat
Al-Qiyadah yang bermakna ketua atau pimpinan kelompok
Al-Mas'uliyah yang bermakna penanggung jawab
Khadimul ummah yang bermakna pelayan ummat
Dari beberapa istilah tadi, dapat disimpulkan
bahwa pemimpin adalah orang yang ditugasi atau diberi amanah untuk mengurusi
permasalahan ummat, baik dalam lingkup jama'ah (kelompok) maupun sampai kepada
urusan pemerintahan, serta memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat
dengan memberikan perhatian yang lebih dalam upaya mensejahterakan ummatnya,
bukan sebaliknya, mempergunakan kekuasaan dan jabatan untuk mengeksploitasi
sumber daya yang ada, baik SDM maupun SDA, hanya untuk pemuasan kepentingan
pribadi (ananiyah) dan kaum kerabatnya atau kelompoknya (ashobiyah).
Kriteria dalam Menentukan Pemimpin
Jika kita menyimak terhadap perjalanan siroh
nabawiyah (sejarah nabi-nabi) dan berdasarkan petunjuk Al-Qur'an (Qs. 39 : 23)
dan Al-Hadits (Qs. 49 : 7), maka kita dapat menyimpulkan secara garis besar
beberapa kriteria dalam menentukan pemimpin.
Beberapa faktor yang menjadi kriteria yang
bersifat general dan spesifik dalam menentukan pemimpin tersebut adalah antara
lain :
a. Faktor Keulamaan
- Dalam Qs. 35 : 28, Allah menerangkan bahwa diantara
hamba-hamba Allah, yang paling takut adalah al-‘ulama. Hal ini menunjukkan
bahwa apabila pemimpin tersebut memiliki kriteria keulamaan, maka dia akan
selalu menyandarkan segala sikap dan keputusannya berdasarkan wahyu
(Al-Qur'an). Dia takut untuk melakukan kesalahan dan berbuat maksiat kepada
Allah.
- Berdasarkan Qs. 49 : 1, maka ia tidak akan
gegabah dan membantah atau mendahului ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan
Rasul-Nya. Dalam pengambilan keputusan, ia selalu merujuk kepada petunjuk Al-Qur'an
dan Al-Hadits.
- Berdasarkan Qs. 29 : 49, maka seorang pemimpin
yang berkriteria ulama, haruslah memiliki keilmuan yang dalam di dalam dadanya
(fii shudur). Ia selalu menampilkan ucapan, perbuatan, dan perangainya
berdasarkan sandaran ilmu.
- Berdasarkan Qs. 16 : 43, maka seorang pemimpin
haruslah ahlu adz-dzikri (ahli dzikir) yaitu orang yang dapat dijadikan rujukan
dalam menjawab berbagai macam problema ummat.
b. Faktor Intelektual (Kecerdasan)
- Seorang calon pemimpin haruslah memiliki
kecerdasan, baik secara emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).
- Dalam hadits Rasulullah melalui jalan shahabat
Ibnu Abbas r.a, bersabda :
"Orang yang pintar (al-kayyis) adalah orang
yang mampu menguasai dirinya dan beramal untuk kepentingan sesudah mati, dan
orang yang bodoh (al-‘ajiz) adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan
pandai berangan-angan atas Allah dengan segala angan-angan." (HR. Bukhari,
Muslim, Al-Baihaqy)
Hadits ini mengandung isyarat bahwa seorang
pemimpin haruslah orang yang mampu menguasai dirinya dan emosinya. Bersikap
lembut, pemaaf, dan tidak mudah amarah. Dalam mengambil sikap dan keputusan, ia
lebih mengutamakan hujjah Al-Qur'an dan Al-Hadits, daripada hanya sekedar nafsu
dan keinginan-nya. Ia akan menganalisa semua aspek dan faktor yang mempengaruhi
penilaian dan pengambilan keputusan.
- Berdasarkan Qs. 10 : 55, mengandung arti bahwa
dalam mengambil dan mengajukan diri untuk memegang suatu amanah, haruslah
disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas (kafa'ah) yang dimiliki (Qs. 4 :
58).
- Rasulullah berpesan : "Barangsiapa
menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah
kehancurannya."
c. Faktor Kepeloporan
- Berdasarkan Qs. 39 : 12, maka seorang pemimpin
haruslah memiliki sifat kepeloporan. Selalu menjadi barisan terdepan (pioneer)
dalam memerankan perintah Islam.
- Berdasarkan Qs. 35 : 32, maka seorang pemimpin
haruslah berada pada posisi hamba-hamba Allah yang bersegera dalam berbuat
kebajikan (sabiqun bil khoiroti bi idznillah)
- Berdasarkan Qs. 6 : 135, maka seorang pemimpin
tidak hanya ahli di bidang penyusunan konsep dan strategi (konseptor), tetapi
haruslah juga orang yang memiliki karakter sebagai pekerja (operator). Orang
yang tidak hanya pandai bicara, tetapi juga pandai bekerja.
- Berdasarkan Qs. 6 : 162 - 163, maka seorang
pemimpin haruslah orang yang tawajjuh kepada Allah. Menyadari bahwa semua yang
berkaitan dengan dirinya, adalah milik dan untuk Allah. Sehingga ia tidak akan
menyekutukan Allah, dan selalu berupaya untuk mencari ridho Allah (Qs. 2 : 207)
- Berdasarkan Qs. 3 : 110, sebagai khoiru ummah
(manusia subjek) maka seorang pemimpin haruslah orang yang selalu menyeru
kepada yang ma'ruf, mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan senantiasa
beriman kepada Allah.
d. Faktor Keteladanan
- Seorang calon pemimpin haruslah orang yang
memiliki figur keteladanan dalam dirinya, baik dalam hal ibadah, akhlaq, dsb.
- Berdasarkan Qs. 33 : 21, maka seorang pemimpin
haruslah menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi dirinya. Sehingga, meskipun
tidak akan mencapai titik kesempurnaan, paling tidak ia mampu menampilkan
akhlaq yang baik layaknya Rasulullah.
- Berdasarkan Qs. 68 : 4, maka seorang pemimpin
haruslah memiliki akhlaq yang mulia (akhlaqul karimah), sehingga dengannya
mampu membawa perubahan dan perbaikan dalam kehidupan sosial masyarakat.
- Faktor akhlaq adalah masalah paling mendasar
dalam kepemimpinan. Walaupun seorang pemimpin memiliki kecerdasan intelektual
yang luar biasa, tetapi apabila tidak dikontrol melalui akhlaq yang baik, maka
ia justru akan membawa kerusakan (fasada) dan kehancuran.
e. Faktor Manajerial (Management)
- Berdasarkan Qs. 61 : 4, maka seorang pemimpin
haruslah memahami ilmu manajerial (meskipun pada standar yang minim). Memahami
manajemen kepemimpinan, perencanaan, administrasi, distribusi keanggotaan, dsb.
- Seorang pemimpin harus mampu menciptakan
keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial lembaganya (tandhim), baik
aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota, pencapaian hasil,
serta parameter-parameter lainnya.
- Dengan kemampuan ini, maka akan tercipta
tanasuq (keteraturan), tawazun (keseimbangan), yang kesemuanya bermuara pada
takamul (komprehensif) secara keseluruhan.
Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati
dalam menentukan imam atau pemimpin kita. Karena apapun akibat yang
dilakukannya, maka kita pun akan turut bertanggung jawab terhadapnya. Jika
kepemimpinannya baik, maka kita akan merasakan nikmatnya. Sebaliknya, apabila
kepemimpinannya buruk, maka kita pun akan merasakan kerusakan dan kehancurannya.
Wallahu a'lam bish-showwab
(Sumber : Al Qur'an Al Karim)
"Al Haqqu min robbika, fala takuu nanna
minal mumtariin"
(Qs. Al Baqarah (2) : 147)
Penulis : Slamet
Muliono Redjosari
Promotor : Prof.
Achmad Jainuri MA. Ph.D., dan Prof. Kacung Marijan MA. Ph.D
Penelitian
ini adalah sebuah kajian kepemimpinan dalam pandangan kaum Salafi. Ada beragam
tanggapan gerakan Islam terhadap sistem demokrasi dalam pemilihan
pemimpin yang memunculkan pertanyaan apakah Islam mengatur prinsip dan
mekanisme dalam pemilihan pemimpin. Dalam perspektif Islam, seorang pemimpin
harus mempunyai tanggungjawab tidak hanya pada kehidupan di dunia namum juga
pada kehidupan di akherat. Tanggungjawab seorang pemimpin pada akherat dapat
dilihat dari caranya menjaga dan menegakkan keberadaan agama. Oleh karena
itu kekosongan pemimpin dalam sebuah negara dapat dianggap sebagai
masalah besar terhadap keberadaan agama. Selanjutnya tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui pandangan kaum salafi terhadap prinsip dan prosedur
dalam pemilihan pemimpin.
Dalam
penelitian ini, untuk mengetahui pandangan kaum salafi terhadap prinsip dan
prosedur dalam pemilihan pemimpin menggunakan metode deskriptif–kualitatif dan
metode interpretatif, dan semua data diambil melalui pengamatan dan wawancara
mendalam (depth interview).
Kemudian semua data dianalisis dengan menggunakan metode interpretatif.
Selanjutnya, hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa kaum Salafi
memiliki prinsip dan prosedur baku dalam pemilihan pemimpin, sebagaimana telah
dilakukan oleh tiga generasi Islam pertama. Mekanisme pemilihan pemimpin
dilakukan dengan beberapa opsi. Pertama, mekanisme penunjukan dengan
menggunakan isyarat, yang demikian itu seperti pemilihan Abu Bakar yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad. Kedua, mekanisme penunjukan secara langsung, yang
demikian itu seperti pemilihan Umar bin Khat{t{ab yang dilakukan oleh Abu
Bakar. Ketiga, mekanisme dengan membentuk Ahl
al –Halli wa al-Aqdi, mekanisme yang demikian itu seperti pemilihan
Utsman Bin Affa>n yang dilakukan oleh Umar bin Khat{t{ab. Keempat, mekanisme
turun-temurun, Mekanisme yang demikian itu seperti pemilihan Mu’awiyah bin Abu
Sufyan. Namun demikian, opsi yang ketiga bagi pandangan kaum Salafi diakui
sebagai mekanisme paling ideal untuk pemilihan pemimpin.
Kerangka
James Wood dan Herbert Blummer dapat digunakan untuk mengetahui proses lahirnya
gerakan melalui lima tahapan, yaitu agitasi, pengembangan esprit de corp,
pengembangan moral gerakan, pembentukan ideologi, dan pengembangan
taktik-taktik operasional. Kerangka ini dapat digunakan untuk memperlihatkan
gerakan kaum Salafi ketika sedang menyebarkan ideologi agamanya. Kemudian,
teori tindakan social dari Weber dapat digunakan untuk memperlihatkan tindakan
sosial sebagai sebuah perwujudan kesadaran untuk menerapkan sebuah nilai yang
dianggap mutlak.
Dalam
hal ini, kaum salafi ingin mewujudkan suatu prinsip dan prosedur dalam
pemilihan pemimpin dengan mengacu pada nilai dan cara yang dilakukan dari para
pendahulu generasi Islam. Selanjutnya, pendekatan ideologi dan utopia dari Karl
Mannheim dapat digunakan untuk memperlihatkan bahwa ada suatu gerakan.
Ideologi tersebut dapat digunakan untuk memotret gerakan yang
memproyeksikan masa depan yang berdasarkan pada sistem yang berlaku. Di samping
itu, Utopia dapat digunakan untuk memotret gerakan yang memproyeksikan masa
depan yang berdasarkan pada sistim yang lain. Hal ini untuk memperlihatkan
pandangan kaum salafi yang lebih dekat dengan pandangan Utopis karena ingin
mewujudkan adanya nilai yang bertolak belakang dengan realitas empirik.
Hasil
penelitian ini memperlihatkan bahwa kaum salafi memiliki pandangan bahwa Islam
telah menempatkan pemimpin pada posisi yang sangat penting untuk mewujudkan
tegaknya agama. Oleh karena itu, ketaatan kepada pemimpin merupakan kewajiban
selama kebijaksanaan pemimpin tersebut seiring sejalan dengan Al Qur’an dan
Sunnah. Kaum Salafi memandang bahwa Islam telah mengatur tugas dan kewajiban
pemimpin itu dengan menerapkan prinsip dan mekanismenya. Full Text
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat
hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalu berinteraksi dengan sesame serta
lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun kecil.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi
disbanding dengan makhluk Tuhan yang lainnya. Manusia dianugerahi kemampuan
untuk berpikir, kemampuan memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang
buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mamapu mengelola lingkungan
dengan baik.
Tidak hanya lingkungan yang perlu dikelola dengan
baik, kehidupan sosial manusi pun perlu dikelola dengan baik. Untuk itulah
dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berjiwa
pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri.Dengan berjiwa pemimpin
manusia akan dapat mengelola diri, kelompok dan lingkungannya dengan baik.
Khususnya penanggulan masalah. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin
dalam mengambil keputusan dengan baik.
1.2 Rumusan Masalah
- Pengertian kepemimpinan
- Fungsi kepemimpinan
- Gaya kepemimpinan
- Teori-teori kepemimpinan
- Kepemimpinan dalam persfektif islam
1.3 Tujuan
- Untuk memenuhi tugas matakuliah Pengantar Manajemen
- Untuk mengetahui pengertian kepemimpinan
- Untuk mengetahui fungsi kepemimpinan
- Untuk mengetahui gaya kepemimpinan
- Untuk mengetahui kepemimpinan dalam pesfektif islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Tugas Pemimpin
A. Pengertian
Kepemimpinan sering disebut dengan leadership
yaitu suatu proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan
dengan pekerjaan dari anggota kelompok. Kepemimpinan juga didefinisikan dengan
berbagai cara yang berbeda oleh berbagai orang yang berbeda pula. Menurut
Stoner, kepemimpinan manajerial dapat didefinisikan sebagai proses pengarahan
dan pemberian pengaruh pada kegiatan – kegiatan dari sekelompok anggota yang
saling berhubungan tugasnya.
Sedangkan pemimpin adalah terjemahan
leader/head/manager, yang juga disebut kepala/ketua/direktur, dan lain
sebagainya. Menurut Drs.H.Malayu S.P.Hasibuan, pemimpin adalah seseorang dengan
wewenang kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari
pekerjaannya dalam mencapai tujuan. Manajer adalah seseorang yang mencapai
tujuannya melalui kegiatan – kegiatan orang lain. Jadi, pemimpin itu harus
mempunyai bawahan, harus membagi pekerjaannya, dan harus tetep bertanggung
jawab terhadap pekerjaan tersebut. Pemimpin harus mengutamakan tugas, tanggung
jawab, dan membina hubungan yang harmonis, baik dengan atasan maupun dengan
para bawahannya. Jadi, pemimpin harus mengadakan komunikasi ke atas dan ke
bawah, baik komunikasi formal maupun informal.
B. Tugas Pemimpin
Tugas seorang pemimpin adalah
- Managerial cycle adalah siklus “ pengambilan keputusan,
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengendalian, penilaian dan
pelaporan. Dengan demikian tugas – tugas manajer adalah siklus yang
berulang – ulang mulai dari pengambilan keputusan menerima laporan.
- Memotivasi, artinya seorang manajer harus dapat mendorong para
bawahannya untuk bekerja giat dan membina bawahan dengan baik, sehingga
tercipta suasana kerja yang baik dan harmonis.
- Manajer harus berusaha memenuhi kebutuhan – kebutuhan para
bawahannya, supaya loyalitas dan partisipasinya meningkat.
- Manajer harus dapat menciptakan kondisi yang akan membantu
bawahannya mendapat kepuasan dalam pekerjaannya.
- Manajer harus berusaha agar para bawahannya bersedia memikul
tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas – tugasnya dengan baik.
- Manajer harus bisa berusaha membina bawahannya, agar dapat
bekerja efektif dan efisien.
- Manajer harus membenahi fungsi – fungsi fundamental manajemen
secara baik.
- Manajer harus mewakili dan membina hubungan yang harmonis dari
pihak – pihak luar.
- Manajer harus bertanggung jawab atas keselamatan kerja para
bawahannya selama melakukan pekerjaan.
- Manajer harus mengadakan pembagian pekerjaan dan mengkordinasi
tugas – tugas supaya terintegrasi kepada tugas – tugas yang diinginkan.
- Manajer harus bersedia menjadi penanggung jawab terakhir
mengenai hasil yang dicapai dari proses manajemen itu.
2.2 Fungsi Kepemimpinan
Fungsi Kepemimpinan (Leadership Function) yaitu
aktivitas yang dipertahankan kelompok dan berkaitan dengan tugas yang harus
dilaksanakan oleh pemimpin, atau seseorang lain, agar kelompok dapat berfungsi
secara efektif.
Para peneliti yang mengamati fungsi
kepemimpinan sampai pada kesimpulan bahwa agar beroperasi secara
efektif kelompok memerlukan seseorang melakukan dua fungsi utama:
- Fungsi yang berhubungan dengan tugas atau memecahkan
masalah
- Fungsi memelihara kelompok atau sosial, termasuk
tindakan yang menengahi perselisihan dan memastikan bahwa individu merasa
dihargai.
Seseorang yang mampu melaksanakan keduanya dengan
sukses akan menjadi pemimpin yang efektif. Akan tetapi dalam prakteknya seorang
pemimpin mempunyai keterampilan atau yang hanya menggunakan 1 saja. Walaupun
demikian tidak berarti kelompok ini bernasib malang.
2.3 Gaya Kepemimpinan
Kedua fungsi kepemimpinan berhubungan dengan
tugas dan pemeliharaan kelompok, yang diekspresikan dalam dua gaya
kepemimpinan yang berbeda.
Dua gaya kepemimpinan tersebut adalah:
- Gaya dengan orientasi tugas (task-oriented)
Sebagai pemimpin mengawasi dan mengarahkan
bawahan secara tertutup untuk menjamin bahwa tugas telah dilaksanakan sesuai
yang diinginkan. Gaya ini lebih memperhatikan pelaksanaan pekerjaan dari pada
kepuasan pribadi.
- Gaya dengan orientasi karyawan (employee-oriented)
Gaya ini klebih menekankan pada motivasi daripada
mengawasi mereka.
Mereka mencari hubungan bersahabat, saling
percaya, dan saling menghargai sesama karyawan, dan memberikan kesempatan
kepada karyawan untuk mengambil keputusan.
2.4 Teori Kepemimpinan
Kreitner (2007) menyebutkan adanya empat teori
kepemimpinanyang terentang sejak tahun 1950-an sampai saat ini. Keempat teori
adalah trait theory, behavioral styles theory, situational theory,
dan transformational theory.
Selain empat teori tersebut, masih terdapat empat
teori kepemimpinan yang secara luas dikenal dalam kepustakaan manajemen.
- 1.
Teori Orang-orang Besar (Great Man Theory)
Menurut teori ini seorang pemimpin besar terlahir
sebagai pemimpin yang memiliki berbagai cirri-ciri individu yang sangat berbeda
dengan kebanyakan manusia lainnya. Cirri-ciri tersebut mencakup karisma,
intelegensia, kebijaksanaan, dan dapat menggunakan kekuasaan yang dimilikinya
untuk membuat berbagai keputusan yang member dampak besar bagi manusia. Karisma
sendiri menunjukkan kepribadian seseorang yang dicirikan oleh pesona pribadi,
daya tarik.
- 2.
Teori Ciri-ciri Pemimpin (Trait Theory)
Teori ini memfokuskan perhatiannya untuk
mengidentifikasi berbagai karakteristik pemimpin yang menyebabkan seseorang
dapat menjalankan kepemimpinan secara efektif.
Ciri-ciri pemimpin efektif menurut Stogdill
(1974) dalam Trait Theory
- Kecerdasan
- Pengetahuan dan keahlian
- Dominasi
- Rasa percaya diri
- Toleransi
- Kematangan
Berbagai cirri tersebut sangat dibutuhkan oleh
pemimpin agar dapat menjalankankepemimpinannya secara efektif.
Contohnya:
Ciri pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan
cepat sangat diperlukan dalam berbagai situasi. Apabila keputusan itu lambat
akan member pengaruh buruk bagi perusahaan.
- 3.
Teori Perilaku (Behavioral Styles Theory)
Pemikiran teori ini adalah kepemimpinan merupakan
perilaku seorang individu ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu kelompok
ke arah pencapaian tujuan.
Didalam teori ini juga disimpilkan 3 gaya
kepemimpinan (leadership styles) menurut (Kreitner, 2007) yaitu:
- 1.
Gaya kepemimpinan otoriter (Authoritarian leadership style)
Sifat kepemimpinan otoriter:
- Biasanya pemimpin menahan seluruh kewenangan dan tanggung
jawab.
- Pemimpin menugaskan seseorang melaksanakan tugas tertentu.
- Komunikasi lebih banyak mengalir dari atas kebawah.
Kekuatan utama dalam gaya kepemimpinan ini
memberikan tekanan untuk menghasilkan kinerja yang teratur. Tetapi juga
memiliki kelemahan utama yang dapat memandulkan inisiatif pribadi.
- 2.
Gaya kepemimpinan demokratis (democratic leadership style)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya
karyawan lebih menyukai gaya kepemimpinan demokratis, karena karyawan merasa
dilibatkan dalam pegambilan keputusan.
Sifat kepemimpinan demokratis
- Pemimpin memberikan sebagian wewenang dan tetep mempertahankan
tanggung jawab utama
- Pekerjaan dibagi berdasarkan partisipasi seseorang dalam
pengambilan keputusan
- 3.
Gaya kepemimpinan laissez-fair (Laissez faire leadership style)
Dengan demikian pemimin yang menggunakan gaya
kepemimpinan ini cenderung memberikan kebebasan yang sangat besar kepada
bawahannya untuk melakukan suatu pekerjaan.
Sifat kepemimpinan ini adalah:
- Pemimpin menyerahkan tanggung jawab dan wewenang
kepada kelompok.
- Para anggota kelompok diminta untuk mengerjakan
sesuai dengan kehendak mereka dan sesuai dengan kemampuan mereka.
- Komunikasi lebih banyak diantara para rekan kerja
Kekuatan utama dalam kepemimpinan ini adalah
memungkinkan timbulnya inisiatif untuk melakukan suatu pekerjaan yang dianggap
sesuai tanpa harus ada campur tangan dari atasan.Kelemahan dalam kepemimpinan
ini adalah tanpa adanya arahan yang jelas dari pimpinan, maka kelompom dapat
terombang-ambing tanpa tujuan yang jelas.
Menurut peneliti lain yang termasuk dalam
kelompok Behavioral Styles Theory yaitu Robert R. Blake dan Jane S. Mouton yang
menggunakan factor “perhatian terhadap produksi (concern for production)” Pada
sumbu horizontal yang mencakup didalamnya keinginan untuk mencapai jumlah
pengeluaran produksi yang lebih besar. Sedangkan pada sumbu vertikal, Blake dan
Mouton menggunakan “perhatian terhadap manusia (concern for people) yang
mencakup didalamnya peningkatan persahabatan, membantu rekan kerja dalam
menyel esaikan suatu tugas. Dengan menggunakan
dua faktor tersebut, Blake dan Mouton mengidentifikasi adanya lima gaya
kepemimpinan:
- Gaya kepemimpinan 9,1 (9,1 style) yakni gaya
kepemimpinan yang mengutamakan perhatian terhadap produksi dan
menomorduakan perhatian terhadap manusia.
- Gaya kepemimpinan 1,9 (1,9 style) yakni gaya
kepemimpinan yang mengutamakan perhatian terhadap manusia dan
menomorduakan perhatian terhadap produksi.
- Gaya kepemimpinan 1,1 (1,1 style) yakni gaya
kepemimpinan yang memiliki perhatian yang sangat kecil terhadap manusia
maupun produksi.
- Gaya kepemimpinan 5,5 (5,5 style) yakni gaya
kepemimpinan yang memberikan perhatian secara moderat, baik terhadap
manusia maupun produksi.
- Gaya kepemimpinan 9,9 (9,9 style) Yakni gaya
kepemimpinan yang memberikan perhatian yang besar, baik terhadap manusia
maupun produksi.
Jika digambarkan dalam grafik seperti gambar
dibawah ini:
- 4.
Teori Situasional (Situational Theory)
Para penganut teori ini memiliki keyakinan
berdasarkan penelitian yang mereka lakukan bahwa efektivitas gaya kepemimpinan
sangat bergantung kepada situasi yang melingkupinya. Oleh sebab itu mereka
mempunyai suatu asumsi bahwa kepemimpinan sesuai dengan situasi.Salah seorang
peneliti yang termasuk ke dalam teori ini adalah Fred E. Fiedler (Kreitner
2007). Teori dari Fiedler dibangun dari beberapa asumsi utama sebagai berikut:
Kinerja seorang pemimpin bergantung kepada kepada
dua factor yang saling berhubungan, yaitu:
- Sejauh mana situasi tertentu dapat memberikan
pemimpin tersebut kendali dan pengaruh-pengaruh sehingga dapat
menyelesaikan tugas dengan sukses.
- Motivasi mendasar dari seorang pemimpin yakni apakah
kepuasan diri pemimpin tersebut bergantung terutama pada penyelesaian
pekerjaan ataukan bergantung kepada hubungan erat yang bersifat mendukung
dengan pihak lain.
- 5.
Teori Kepemimpinan Transaksi (Transactional Leadership Theory)
Menurut teori ini karyawan akan termotivasi oleh
imbalan maupun hukuman. Menurut teori ini, seorang pemimpin akan dapat
menjalankan kepemimpinannya secara efektif apabila ia mampu mengembangkan
struktur kerja yang jelas sehingga para manajer tersebut akan dapat merumuskan
dengan tepat apa saja yang dibutuhkan oleh para bawahanagar bias melaksanakan
pekerjaan dengan baik serta memberikan imbalan yang sesuai dengan kinerjanya.
- 6.
Teori Kepemimpinan Transformasi (Transformational Leadership Theory)
Teori kepemimpinan transformasi didasari oleh
hasil penelitian mengenai adanya perilaku kepemimpinan di mana para pemimpin
yang kemudian di kategorikan sebagai pemimpin transformasi (Transformational
Leader) yang memberikan inspirasi kepada sumber daya manusia yang lain dalam
organisasi untuk mencapai sesuatu melebihi apa yang di rencanakan oleh
organisasi.
Karakteristik pemimpin transformasi memiliki
perbedaan dengan pemimpin transaksi, yaitu pemimpin transaksi biasanya
mengarahkan sumber daya manusia untuk mencapai sesuatu sesuai dengan rencana
dan lebih mengandalkan kepemimpinannya kepada kekuasaan legitimasi atau
otoritas formal.
2.5
Kepemimpinan Dalam Persfektif Islam
Syarat kepemimpinan dalam persfektif Islam yaitu:
- Sebelum orang dipilih menjadi pemimpi, harus memenuhi syarat
bahwa dia merupakan seorang pejuang
- Jujur, dapat dipercaya
- Menguasai organisatoris, dan strategi
- Mampu mengambil keputusan
- Mampu mengambil keputusan dalam berbagai alternatif
- Bertanggung jawab, berani mengambil resiko
Kepemimpinan dalam pandangan Islam merupakan
amanah dan tanggung jawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada
anggota-anggota yang dipimpinnya, tetapi juga akan dipertanggung jawabkan di
hadapan Allah SWT. Jadi, pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak
hanya bersifat horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat
vertikal-moral, yakni tanggung jawab kepada Allah SWT di akhirat. Kepemimpinan
sebenarnya bukanlah sesuatu yang menyenangkan, tetapi merupakan tanggung jawab
sekaligus amanah yang amat berat dan harus diemban sebaik-baiknya. Hal tersebut
dijelaskan dalam (QS Al-mukminun 8-1)
Artinya:
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat
(yang dipikulnya) dan janji mereka dan orang-orang yang memelihara sholatnya,
mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka kekal di
dalamnya. Dan dijelaskan dalam hadist
ا ع و كلكم مسئو ل عن ر عيته كلكم…
Artinya: Setiap kalian adalah pemimpin, dan
kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya (H. R. Bukhori)
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
- Kepemimpinan sering disebut dengan leadership yaitu
suatu proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan
pekerjaan dari anggota kelompok.
- Kepemimpinan dalam pandangan Islam merupakan amanah dan
tanggung jawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada
anggota-anggota yang dipimpinnya, tetapi juga akan dipertanggung jawabkan
di hadapan Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Solihin Ismail. Pengantar Manajemen,
Yogyakarta : Erlangga, 2009
T. Hani Handoko. Manajemen, BPFE-Yogyakarta, 1986
Sayaka, Bambang. Manajemen, Jakarta : PT
Prenhallino,2001
Malayu S.P. Hasibuan. Manajemen, Bumi Aksar, 2005
Related posts:
- KEPEMIMPINAN
Pemimpin dalam Islam
Written by Doddy Koesdijanto |
|
"Setiap kalian adalah pemimpin dan
bertanggung jawab atas apa yang di pimpinnya, Seorang penguasa adalah pemimpin
bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka, seorang istri adalah pemimpin
di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atasnya. Seorang hamba sahaya
adalah penjaga harga tuannya dan dia bertanggung jawab atasnya. (HR Bukhari)
Beberapa kriteria kepemimpinan
dalam islam :
1.
Menggunakan Hukum Allah
Dalam berbagai aspek dan lingkup kepemimpinan, ia senantiasa menggunakan hukum
yang telah di tetapkan oleh Allah, hal ini sebagaimana ayat ;
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya". (Qs : 4:59)
Melalui ayat di atas ta'at kepada pemimpin adalah satu hal yang wajib dipenuhi,
tetapi dengan catatan, para pemimpin yang di ta'ati, harus menggunakan hukum
Allah, hal ini sebagaimana di nyatakan dalam ayat-Nya yang lain :
"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya .
Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)". (Qs: 7 :3)
"..Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir..." (Qs :5:44)
"..Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim..." (Qs: 5 45)
"..Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.." (Qs: 5 :47)
" Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?". (Qs : 5
:50)
Dan bagi kaum muslimin Allah telah dengan jelas melarang untuk mengambil
pemimpin sebagaimana ayat;
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi
dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin
bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim". (Qs : 5 : 51)
Dari beberapa ayat diatas, bisa disimpulkan, bahwa pemimpin dalam islam adalah
mereka yang senantiasa mengambil dan menempatkan hukum Allah dalam seluruh
aspek kepemimpinannya.
2.
Tidak meminta jabatan, atau menginginkan jabatan tertentu..
"Sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada seseorang yang
memintanya, tidak pula kepada orang yang sangat berambisi untuk
mendapatkannya" (HR Muslim).
"Sesungguhnya engkau ini lemah (ketika abu dzar meminta jabatan dijawab
demikian oleh Rasulullah), sementara jabatan adalah amanah, di hari kiamat dia
akan mendatangkan penyesalan dan kerugian, kecuali bagi mereka yang menunaikannya
dengan baik dan melaksanakan apa yang menjadi kewajiban atas dirinya". (HR
Muslim).
Kecuali, jika tidak ada lagi kandidat dan tugas kepemimpinan akan jatuh pada
orang yang tidak amanah dan akan lebih banyak membawa modhorot daripada
manfaat, hal ini sebagaimana ayat ;
"Jadikanlah aku bendaharawan negeri (mesir), karena sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan". (Qs : Yusuf :55)
Dengan catatan bahwa amanah kepemimpinan dilakukan dengan ;
1. Ikhlas.
2. Amanah.
3. Memiliki keunggulan dari para kompetitor lainnya.
4. Menyebabkan terjadinya bencana jika dibiarkan jabatan itu diserahkan kepada
orang lain.
3.
Kuat dan amanah
"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling
baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya." (Qs : 28: 26).
4.
Profesional
"Sesungguhnya Allah sangat senang pada pekerjaan salah seorang di antara
kalian jika dilakukan dengan profesional" (HR : Baihaqi)
5.
Tidak aji mumpung karena KKN
Rasulullah SAW, "Barang siapa yang menempatkan seseorang karena hubungan
kerabat, sedangkan masih ada orang yang lebih Allah ridhoi, maka sesungguhnya
dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang mukmin". (HR Al Hakim).
Umar bin Khatab; "Siapa yang menempatkan seseorang pada jabatan tertentu,
karena rasa cinta atau karena hubungan kekerabatan, dia melakukannya hanya atas
pertimbangan itu, maka seseungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya
dan kaum mukminin".
6.
Menempatkan orang yang paling cocok
"Rasulullah menjawab; jika sebuah perkara telah diberikan kepada orang
yang tidak semestinya (bukan ahlinya), maka tunggulah kiamat
(kehancurannya)". (HR Bukhari).
Dalam konteks hadits ini, setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita
cermati,
1.
Seorang pemimpin harus bisa melihat potensi seseorang.
Setiap manusia tentunya diberikan kelebihan dan kekurangan.Kesalahan
terbesar bagi seorang pemimpin adalah ketika dirinya tidak bisa melihat
potensi seseorang dan menempatkannya pada tempat yang semestinya. Begitu
pentingnya perhatian bagi seorang pemimpin terhadap hal ini, maka Rasulullah
saw bersabda sebagaiman hadits pada poin 5 di atas.
Ketidakmampuan pemimpin dalam hal ini hanya akan membuat jama'ah atau
organisasi yang di pimpinnya menjadi tidak efektif dan efisien, bahkan
tidak sedikit kesalahan pemimpin dalam hal ini menimbulkan kekacauan yang
membawa kepada kehancuran.
2.
Bisa mengasah potensi seseorang.
Selain ia bisa melihat potensi pada diri seseorang, seorang pemimpin dengan
caranya yang paling baik, ia bisa mengasah potensi mereka yang berada
dalam kepemimpinannya. Mengasah potensi seseorang berbeda dengan
"memaksa" seseorang untuk menjadi seseorang yang tidak di
inginkannya.
3.
Menempatkan seseorang sesuai dengan potensi yang ia miliki.
"Right man in the right place", adalah ungkapan yang seringkali
kita dengar. Bahwa menempatkan seseorang itu harus berada pada tempat
yang paling tepat bagi orang tersebut serta penugasannya.
4.
Mengatur setiap potensi dari mereka yang di pimpinnya menjadi satu kekuatan
yang kokoh.
Bangunan yang baik, kokoh dan indah tentunya tidak hanya terdiri dari satu
elemen, tetapi terdiri dari berbagai elemen yang ada di dalamnya. Tentunya,
penempatan dan penggunaan masing-masing elemen itulah yang sangat mempengaruhi
bagaimana sebuah bangunan itu. Perumpamaan sederhana ini bisa kita
gunakan untuk memahami tugas seorang pemimpin dalam menempatkan, menggunakan
mereka yang berada dalam kepemimpinannya.
HADITS TENTANG PEMIMPIN
PENDAHULUAN
Hadits atau sunnah merupakan salah satu sumber
ajaran islam yang menduduki posisi sangat signifikan, baik secara structural
menduduki posisi kedua setelah al-qur’an, namun jika dilihat secara fungsional,
ia merupakan bayan (ekspanasi) terhadap ayat-ayat al-qur’an yang bersifat umum,
global atau mutlaq. Secara tersirat, al-qur’an pun mendukng ide tersebut.
Antaran lain firman Allah swt.
“dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan,” ( QS. An-Nahl: 44)
Adanya perintah agar Nabi saw menjelaskan kepada
umat manusia mengenai al-qur’an, baik melalui ucapan, perbuatan atau taqrirnya.
Dan hadits berfungsi sebagai bayan (penjelas) terhdapa al-qur’an.
Mengenai pentingnya hadits (as-sunnah) dalam
ajaran Islam, Nabi saw sendiri pernah bersabda melalui hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Malik, yaitu:
قال النبى صلى الله عليه
وسلم: تركت فيكم امرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما، كتاب الله وسنة رسوله (امام مالك)
“Aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua hal. Jika
kalian mau berpegang teguh kepadanya niscaya kamu sekalian tidak akan sesat
selama-lamanya, dua hal itu adalah kitab Allah (al-qur’an) dan sunnah Rasul-Nya
(al-Hadits). (HR Imam Malik)
PEMBAHASAN
Hadits Tentang Pemimpin Memikul Tanggung
Jawab
حديث عبد الله بن عمر رضي
الله عنهما. ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: كللكم راع فمسؤل عن رعيته
فالامير الذي على الناس راع وهو مسؤل عنهم. والرجل راع على اهل بيته وهو مسؤل عنهم. والمرأة راعية على بيت بعلها
وولده وهي مسؤلة عنهم. والعبد راع على مال سيده وهو مسؤل عنه، الا فكلكم راع و
كللكم مسؤل عن رعيته
- اخرجه البخارى فى 490
كتاب العتق: 17- باب كرهية التطاول على الرقيق
Hadits Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya
Rasulullah saw bersabda: “setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan
rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya.
Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang
wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta pertanggungjawaban
tentang hal mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda
tuannya, ia kan diminta pertanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah,
kamu semua adalah pemimpin dan semua akan diminta pertanggung jawaban tentang
kepemimpinannya.
[1]
Dalam sejarah riyadhus shalihin dijelaskan, bahwa
seorang wajib menegakkan keadilan dalam diri dan keluarganya, dan orang-orang
yang menjadi tanggung jawabnya. Adil dalam dirinya dengan tidak memberatkan
pada sesuatu yang tidak dieprintahkan Allah, dia harus memperhatikannya hingga
kepada masalah kebaikan, jangan memberatkan dan membebankannya terhadap sesuatu
yang tidak mampu dilakukannya.
Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang
suami terhadapkeluarganya. Seperti orang yang memiliki dua orang istri, ia
wajib bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula bersikap adil kepada
anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri yang juga seorang pemimpin dalam
rumah suaminya. Baik dalam menjaga harta suaminya dan tidak
menghambur-hamburkannya.
[2]
Hadits Tentang Pemimpin Pelayan Masyarakat
حديث معقل بن يسار عن
الحسن، ان عبيد الله بن زياد عاد معقل بن يسار فى مرضه الذي مات فيه، فقال له
معقل: انى محدئك هديئا سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ما من عبد
استرعاه الله وعية فلم يحطلها بنصيحة الا لم يجد رائحة الجنة
- اخرجه البخارى فى 930
كتاب الاحكام: 8- باب من استرعى رعية فلم ينصح
Hadits ma’qil bin Yasar, dari hasan bahwasanya
Ubaidillah bin yazid mengunjungi Ma’qil bertanya kepadanya: bahwasanya saya
akan ceritakan kepadamu suatu hadits yang saya dengar dari Rasulullah saw saya
mendengar nabi saw bersabda: “tidak ada seorang hamba yang diberi tugas oleh
Allah untuk memelihara segolongan rakyat, lalu ia tidak melakukan sesuai dengan
petunjuk, melainkan ia tidak memperoleh bau saya”
[3]
Dalam syarah riyadhus shalihin yang dijelaskan
oleh syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, wajib bagi seorang yang memegang
tonggak kepemimpinan untuk bersikap lemah lembut kepada rakyatnya, berbuat baik
an selalu memperhatikan kemaslahatan mereka dengan mempekerjakan orang-orang
yang ahli dalam bidangnya. Menolak bahaya yang menimpa mereka. Karena seorang
pemimpin akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya dihadapan Allah ta’ala.
selengkapnya silahkan donwload di:
[1]
Muhammad Fuad Abdul Baqi,
Al-Lu’lu Wal Marjan, (Semarang: Al-Ridha,
1993), Hal. 562-563
[2] Syaikh
Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin,
Syarah Riyadhus Shalhin, Jilid 2,
Cet. 2, (Jakarta Timur: Darussunnah Press, 2009), Hal. 1030-1031
[3]
Muhammad Fuad Abdul Baqi,
Op. Cit., Hal. 263-264
Menuntut Tanggung Jawab Pemimpin
“Tiap-tiap
diri bertangung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” ( QS Al-Mudatstsi :
38)
Dalam sejarah ulama salaf diriwayatkan, khalifah Umar bin Abdil Aziz ra dalam
Shalat tahajjudnya membaca surat ash-Shaff : 22-24 “ (Kepada para malaikat
diperintahkan). ‘Kumpulkanlah orang yang zalim berserta teman sejawat mereka
dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah, selain Allah : maka
tunjukkanlah kepada mereka di tempat perhentian karena mereka sesungguhnya akan
ditanya (dimintai pertanggugjawaban)”
Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali dalam rangka mentadabburi
besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat bila melakukan kezaliman.
Dalam riwayat lain. Umar bin Khathab ra mengungkapkan besarnya tanggung jawab
seorang pemimpin di akhirat nanti, “ seandainya seekor keledai terperosok di
kota Baghdad niscaya umar akan diminta pertanggung jawabannya, seraya akan
ditanya, mengapa tidak kau ratakan jalan untuknya?” Itulah keteladanan yang
dilukiskan para salafus shalih tentang beratnya tanggung jawab pemimpin di
hadapan Allah kelak.
Pada perinsipnya, Tanggung jawab dalam islam berpijak atas dasar perbuatan
individu semata, “Dan tidak lah seorang membuat dosa melainkan kemudhratannya
kembali kepada dirinya sendiri dan sorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain,”(QS Al- An’am:164).
Dalam surat Al-Mudatstsir ayat 38 dinyatakan, “Tiap-tiap diri bertanggung jawab
atas apa yang telah diperbuatnya.” Perbuatan individu merupakan suatu gerakan
yang dilakukan seroang pada waktu, tempat dan kondisi-tertentu yang mungkin
bisa meninggalkan bekas atau pengaruh tanggung-jawab seorang terbatas pada
amalannya saja ataukah bisa melewati waktu yang tak terbatas bila akibat dan
pengaruh amalannya itu masih terus berlangsung, bahkan sekalipun pelakunya
telah tiada?
Seorang yang cerdas selayaknya merenungi hal ini sehingga tidak meremehkan
perbuatan baik sekecil apapun dan tidak gegabah dalam berbuat dosa sekecil biji
sawi. Mengapa demikian ? Boleh jadi perbuatan baik atau jahat itu mula-mula
amat kecil saat dilakukan. Bila pengaruh dan akibatnya terus berlangsung lama,
bisa jadi akan amat besar pahala atau dosanya.
Allah
SWT berfirman, “Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas
yang mereka tinggalkan,” (QS Yasin: 12). Ayat ini menegaskan bahwa tanggung
jawab itu bukan saja terhadap apa yang diperbuatnya, tapi melebar sampai semua
akibat dan berbagai ekses dari perbuatan tersebut. Orang yang meninggalkan ilmu
bermanfaat, sedekah jariyah atau anak yang shalih, semuanya itu akan
meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapan pun. Jadi orang
yang berbuat baik atau berbuat jahat akan mendapat pahala atau menanggung
dosanya, ditambah dengan pahala atau dosa 0rang-orang lain yang meniru
perbuatannya.
Marilah kita merenung sejenak seraya bertanya, apabila yang memerintah
kejahatan atau kedurhakaan itu seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan penuh,
apakah dia saja yang akan menanggung dosanya dan dosa rakyatnya karena mereka
dipaksa ? Ataukah rakyat juga harus menanggung dosanya walau ia lakukan di
bawah ancaman paksaan tersebut ?
Seorang penguasa dianggap tidak memaksa selama rakyat masih bisa memiliki
kehendak yang ada dalam dirinya. Perintah seorang pimpinan secara lisan maupun
tulisan tidak berarti melepaskan seorang bawahan dari tanggung jawab atas semua
perbuatannya. Al-Qur’an mencela orang-orang yang melakukan dosa dengan alasan
pimpinannya menyuruh berbuat dosa. “Pada hari ketika muka mereka di
bolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata : “Alangkah baiknya, andaikata kami
taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul” Dan mereka berkata : “Ya Tuhan
kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar
kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar,” (QS Al-Ahzab :
66-67).
Allah membantah mereka dengan tegas, “Harapanmu itu sekali-kali tidak akan
memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah menganiaya dirimu
sendiri. Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu.”(QS Az-Zukhruf : 39).
Pemimpin zalim tidak akan bisa memaksa hati seseorang kendati mampu memaksa
lahiriahnya. Untuk itu, yang dipimpin pun harus bertanggung jawab terhadap
akidahnya dan perbuatannya meski disana ada perintah dan larangan pimpinan.
Berbeda dengan hukum paksaan yang menimpa orang-orang lemah yang ditindah
penguasa yang mengancam akan membunuhnya dan memang bisa dilaksanakan. Ini
pernah terjadi pada masa awal Islam di Makkah dimana orang yang masuk islam
dipaksa Murtad seperti Bilal Bin Rabbah, Keluarga Yasir, dan lainnya. Mereka
dipaksa menyatakan kekufuran (QS an-Nahl: 106 dan an-Nisa : 97-99)
Tanggung
jawab seseorang berkait erat dengan kewajiban yang diembannya. Makin tinggi
kedudukannya di masyarakat, makin tinggi pula tanggungjawabnya. Seorang
pemimpin negara bertanggung jawab atas prilaku diri, keluarga, saudara-sudara,
masyarakat dan rakyatnya.” Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan
dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.”(Al hadist)”
Tanggung jawab vertikal ini bertingkat-tingkat tergantung levelnya. Kepala
keluarga, Kepala Desa, camat, bupati, gubernur, dan kepala negara, semuanya itu
akan dimintai pertanggungjawabannya sesuai dengan ruang lingkup yang
dipimpinnya. Seorang mu’min yang cerdas tidak akan menerima kepemimpinan
kecuali dengan ekstra hati-hati dan senantiasa akan memberbaiki diri, keluarga
dan semua yang menjadi tanggungannya. Para salafus shalih sekiranya ia khawatir
tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Bila tidak hati-hati, seorang
pemimpin akan memikul banyak dosa. Setiap orang yang dizalimi olehnya akan
memikulkan dosa kepadanya.
Pemimpin dalam level apa pun akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah
atas semua perbuatannya, di samping seluruh apa yang terjadi pada rakyatnya.
Baik dan buruknya perilaku dan keadaan rakyat tergantung pemimpinnya.
Sebagaimana rakyat juga akan dimintai pertanggungjawabannya ketika memilih
seorang pemimpin. Bila mereka memilih pemimpin yang bodoh dan tidak memiliki
kapabilitas serta akseptabilitas sehingga kelak pemimpin itu akan membawa
rakyatnya ke jurang kedurhakaan, rakyat juga dibebani pertanggunjawaban itu dan
menanggung dosanya. Wallhu a’lam.#
PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN MENURUT ISLAM
Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan dua elemen
yang saling berkaitan. Artinya, kepemimpinan (style of the leader) merupakan
cerminan dari karakter/perilaku pemimpinnya (leader behavior). Perpaduan atau
sintesis antara “leader behavior dengan leader style” merupakan kunci
keberhasilan pengelolaan organisasi; atau dalam skala yang lebih luas adalah
pengelolaan daerah atau wilayah, dan bahkan Negara.
Banyak pakar manajemen yang mengemukakan pendapatnya tentang kepemimpinan.
Dalam hal ini dikemukakan George R. Terry (2006 : 495), sebagai berikut:
“Kepemimpinan adalah kegiatan-kegiatan untuk mempengaruhi orang orang agar mau
bekerja sama untuk mencapai tujuan kelompok secara sukarela.”
Dari defenisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kepemimpinan ada
keterkaitan antara pemimpin dengan berbagai kegiatan yang dihasilkan oleh
pemimpin tersebut. Pemimpin adalah seseorang yang dapat mempersatukan
orang-orang dan dapat mengarahkannya sedemikian rupa untuk mencapai tujuan
tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh seorang pemimpin, maka ia
harus mempunyai kemampuan untuk mengatur lingkungan kepemimpinannya.
Kepemimpinan menurut Halpin Winer yang dikutip oleh Dadi Permadi (2000 : 35)
bahwa : “Kepemimpinan yang menekankan dua dimensi perilaku pimpinan apa yang
dia istilahkan “initiating structure” (memprakarsai struktur) dan
“consideration” (pertimbangan). Memprakarsai struktur adalah perilaku pemimpin
dalam menentukan hubungan kerja dengan bawahannya dan juga usahanya dalam membentuk
pola-pola organisasi, saluran komunikasi dan prosedur kerja yang jelas.
Sedangkan pertimbangan adalah perilaku pemimpin dalam menunjukkan persahabatan
dan respek dalam hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya dalam suatu
kerja.”
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan:
bahwa kepemimpinan adalah “proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau
kelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.”
Dari defenisi kepemimpinan itu dapat disimpulkan bahwa proses kepemimpinan
adalah fungsi pemimpin, pengikut dan variabel situasional lainnya. Perlu
diperhatikan bahwa defenisi tersebut tidak menyebutkan
suatu jenis organisasi tertentu. Dalam situasi apa pun dimana seseorang
berusaha mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok, maka sedang berlangsung
kepemimpinan dari waktu ke waktu, apakah aktivitasnya dipusatkan dalam dunia
usaha, pendidikan, rumah sakit, organisasi politik atau keluarga, masyarakat,
bahkan bangsa dan negara.
Sedangkan George R Terry (2006 : 124), mengemukakan 8 (delapan) ciri mengenai
kepemimpinan dari pemimpin yaitu :
(1) Energik, mempunyai kekuatan mental dan fisik;
(2) Stabilitas emosi, tidak boleh mempunyai prasangka jelek terhadap
bawahannya, tidak cepat marah dan harus mempunyai kepercayaan diri yang cukup
besar;
(3) Mempunyai pengetahuan tentang hubungan antara manusia;
(4) Motivasi pribadi, harus mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin dan
dapat memotivasi diri sendiri;
(5) Kemampuan berkomunikasi, atau kecakapan dalam berkomunikasi dan atau
bernegosiasi;
(6) Kemamapuan atau kecakapan dalam mengajar, menjelaskan, dan mengembangkan
bawahan;
(7) Kemampuan sosial atau keahlian rasa sosial, agar dapat menjamin kepercayaan
dan kesetiaan bawahannya, suka menolong, senang jika bawahannya maju, peramah,
dan luwes dalam bergaul;
(8) Kemampuan teknik, atau kecakapan menganalisis, merencanakan,
mengorganisasikan wewenang, mangambil keputusan dan mampu menyusun konsep.
Kemudian, kepemimpinan yang berhasil di abad globalisasi menurut Dave Ulrich
adalah: “Merupakan perkalian antara kredibilitas dan kapabilitas.” Kredibilitas
adalah ciri-ciri yang ada pada seorang pemimpin seperti kompetensi-kompetensi,
sifatsifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang bisa dipercaya baik oleh
bawahan maupun oleh lingkungannya.
Sedangkan kapabilitas adalah kamampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan
strategi serta dalam mengembangkan sumber-sumber daya manusia untuk kepentingan
memajukan organisasi dan atau wilayah
kepemimpinannya.” Kredibilitas pribadi yang ditampilkan pemimpin yang
menunjukkan kompetensi seperti mempunyai kekuatan keahlian (expert power)
disamping adanya sifat-sifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang positif
(moral character) bila dikalikan dengan kemampuan pemimpin dalam menata visi,
misi, dan strategi organisasi/ wilayah yang jelas akan merupakan suatu kekuatan
dalam menjalankan roda organisasi/wilayah dalam rangka mencapai tujuannya.
Kepemimpinan Dalam Islam
Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh
karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi.
Setelah para imam atau khalifah tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para
faqih yang memenuhi syarat-syarat syariat. Bila tak seorang pun faqih yang
memenuhi syarat, harus dibentuk ‘majelis fukaha’.”
Sesungguhnya, dalam Islam, figur pemimpin ideal yang menjadi contoh dan
suritauladan yang baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia (rahmatan linnas)
dan rahmat bagi alam (rahmatan lil’alamin) adalah Muhammad Rasulullah Saw.,
sebagaimana dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS.
al-Ahzab [33]: 21).
Sebenarnya, setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin terhadap seluruh
metafisik dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas
segala kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah
Saw., yang maknanya sebagai berikut :
“Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban
tentang kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan
dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin
bagi kehidupan rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai
pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah
sebagai pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban
tentang kepemimpinannya,” (Al-Hadits).
Kemudian, dalam Islam seorang pemimpin yang baik
adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam
menjalankan kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah
(STAF):
(1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya;
(2) Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi;
(3) Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya;
(4) Fathanah (cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan
mengimplementasikannya.
Selain itu, juga dikenal ciri pemimpin Islam dimana Nabi Saw pernah bersabda:
“Pemimpin suatu kelompok adalah pelayan kelompok tersebut.” Oleh sebab itu,
pemimpin hendaklah ia melayani dan bukan dilayani, serta menolong orang lain
untuk maju.
Dr. Hisham Yahya Altalib (1991 : 55), mengatakan ada beberapa ciri penting yang
menggambarkan kepemimpinan Islam yaitu :
Pertama, Setia kepada Allah. Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan
kesetiaan kepada Allah;
Kedua, Tujuan Islam secara menyeluruh. Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan
saja berdasarkan kepentingan kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup
kepentingan Islam yang lebih luas;
Ketiga, Berpegang pada syariat dan akhlak Islam. Pemimpin terikat dengan
peraturan Islam, dan boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang teguh pada
perintah syariah.
Dalam mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam, khususnya
ketika berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham;
Keempat, Pengemban amanat. Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari
Allah Swt., yang disertai oleh tanggung jawab yang besar. Al-Quran
memerintahkan pemimpin melaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap
yang baik kepada pengikut atau bawahannya.
Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman :
“(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi
niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala
urusan.” (QS. al-Hajj [22]:41).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya
prinsip-prinsip
dasar dalam kepemimpinan Islam yakni : Musyawarah; Keadilan; dan Kebebasan
berfikir.
Secara ringkas penulis ingin mengemukakan bahwasanya pemimpin Islam bukanlah
kepemimpinan tirani dan tanpa koordinasi. Tetapi ia mendasari dirinya dengan
prinsip-prinsip Islam. Bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya secara obyektif
dan dengan penuh rasa hormat, membuat keputusan seadil-adilnya, dan berjuang
menciptakan kebebasan berfikir, pertukaran gagasan yang sehat dan bebas, saling
kritik dan saling menasihati satu sama lain sedemikian rupa, sehingga para
pengikut atau bawahan merasa senang mendiskusikan persoalan yang menjadi
kepentingan dan tujuan bersama. Pemimpin Islam bertanggung jawab bukan hanya
kepada pengikut atau bawahannya semata, tetapi yang jauh lebih penting adalah
tanggung jawabnya kepada Allah Swt. selaku pengemban amanah kepemimpinan.
Kemudian perlu dipahami bahwa seorang muslim diminta memberikan nasihat bila
diperlukan, sebagaimana Hadits Nabi dari :Tamim bin Aws
meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Agama adalah nasihat.” Kami berkata: “Kepada siapa?”
Beliau menjawab: “Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Pemimpin umat Islam dan
kepada masyarakat kamu.”
Nah, kepada para pemimpin, mulai dari skala yang lebih kecil, sampai pada
tingkat mondial, penulis hanya ingin mengingatkan, semoga tulisan ini bisa
dipahami, dijadikan nasihat dan sekaligus dapat dilaksanakan dengan baik. Insya
Allah. Amiin !
Itu saja. Dan terima kasih.
TANGGUNGJAWAB
PEMIMPIN DALAM MENGATUR
Oleh:
Afrizal Woyla Saputra Zaini
BAB
I
PENDAHULUAN
Gelar
pemimpin umat adalah layak diberikan kepada mereka yang mampu memecahkan segala
persoalan yang dihadapi umat itu dan menghantarkannya dengan selamat sampai
pada tujuan yang dicita-citakan. Orang yang menghantarkan tidak harus berjalan
di depan, kadang-kadang disamping, di tengah, di mana saja menurut jalan
keadaan jalannya, diperlukan guna keselamatan orang yang diantarkannya.
Tidak
hanya sekedar mengantar para anggotanya agar sampai pada tujuan yang
diharapkannya. Seorang pemimpin juga harus memilki suatu komitmen yang didukung
oleh kemampuan, integritas, kepekaan terhadap perubahan dan perkembangan yang
terjadi di sekelilingnya dan juga dia memiliki keberanian untuk menegakkan
keadilan dan kebenaran.
Namun
dewasa ini kalau kita melihat realita yang ada sulit sekali kita mendapati
pemimpin yang memiliki kriteria yang telah disebutkan di atas. Banyak pemimpin
kita yang sudah tidak lagi mementingkan nasib dan kemauan rakyat. Mereka hanya
mementingkan ego pribadi demi mementingkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri
dan keluarganya. Mereka tidak pernah tahu kalau suatu saat kepemimpinannya
bakal dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Adanya hal semacam ini
dikarenakan lemahnya tingkat keimanan seorang pemimpin sehingga dia mudah
terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.
Berangkat
dari kenyataan yang terjadi tersebut, maka perlu adanya reformulasi ulang
terhadap bagaimana cara menjadi pemimpin yang senantiasa bertanggung jawab
terhadap rakyatnya dan mampu melayani masyarakat dengan baik dan sesuai dengan
apa yang diperintahkan oleh agama. Melalui pembacaan hadis, makalah yang kami
buat berusaha menyajikan suatu pemahaman terhadap bagaimana mencetak pemimpin
yang bertanggung jawab dan mampu memberikan pelayanan terhadap masyarakat
secara baik.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Disebutkan
dalam kamus lisanul arab, kata al-qaudu ”memimpin atau menuntun” lawan kata
dari as-sauqu ”menggiring”, seperti perkataan menuntun binatang dari depan dan
menggiring binatang dari belakang. Dalam makna bahasa ini terdapat isyarat yang
menarik. Intinya, posisi pemimpin adalah di depan agar menjadi petunjuk bagi
anggota-anggotanya dalam kebaikan dan menjadi pembimbing bagi mereka kepada
kebenaran.
Pengertian
pemimpin secara umum adalah orang yang mampu membimbing, mengontrol dan
mempengaruhi pikiran, perasaan dan tingkah laku seseorang. Dari pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa pemimpin merupakan seseorang yang menyebabkan
seseorang atau kelompok lain untuk bergerak menuju ke arah tujuan-tujuan
tertentu sehingga ia memiliki tanggung jawab agar orang yang dipimpinnya dapat
meraih tujuan yang akan dicapainya.
Sedangkan
pengertian dari kepemimpinan adalah suatu proses yang membutuhkan tanggung
jawab dalam membimbing, mengontrol dan mempengaruhi pikiran, perasaan dan
tingkah laku seseorang ataupun kelompok sehingga dapat mencapai tujuan-tujuan
yang diharapkan akan membawa seseorang atau kelompok tersebut menuju ke arah
yang lebih baik dan selalu berada dalam jalan kebenaran.[1]
Hal ini sesuai dengan apa yang pernah disabdakan Rasulullah dalam sebuah hadis
yang berbunyi:
عن بن عمررضي الله عنه, سمعت رسو ل
الله صلى الله عليه وسلم يقول: كلكم راع, ومسئول عن رعيته, الإمام راع, ومسئول عن
رعيته, والرجل راع في أهله, ومسئول عن رعيته, والمرأة راعية في بيت زوجها ومسئولة
عن رعيتها, والخادم راع في مال سيده ومسئول عن رعيته.
Dari
ibnu Umar RA, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,
‘’Setiap kalian adalah seorang pemimpin dan bertanggungjawab terhadap kepemimpinannya.
Seorang imam adalah pemimpin yang bertanggung jawab terhadap kepemimpinanya,
seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab
terhadap kepemimpinannya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah
suaminya dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya, seorang pelayan adalah
seorang pemimpin pada harta majikannya dan dia bertanggung jawab terhadap
kepemimpinannya.”(HR. Muttafaq ‘alaih)[2]
B.
Sebab-Sebab Timbulnya Pemimpin
Berdasarkan analisis empiris dapat dikemukakan bahwa ada beberapa penyebab
timbulnya pemimpin dalam perkembangan masyarakat baik modern maupun tradisional
yaitu:
- Sebagai polarisasi dari
terbentuknya suatu kelompok yang berawal dari bersatunya individu-individu
yang memiliki perbedaan-perbedaan kemudian membentuk suatu komunitas
tertentu karena adanya suatu sikap saling membutuhkan satu sama lain dalam
rangka mencapai kehidupan yang aman, tentram, damai dan lebih baik sesuai
dengan jalan kebenaran
- Sebagai pencerminan kemampuan
seseorang yang dapat dilihat melalui kepribadian, komitmen, kemampuan
intelektual, integritas, kepekaan terhadap perubahan situasi, kondisi,
zaman serta tempat dan kemampuannya dalam mencapai tujuan-tujuan sehingga
orang dapat memberikan penilaian terhadap dia dan menjadikan reputasinya
naik menjadi orang yang dipercaya sebagai pemimpin.
- Sebagai jawaban dari
faktor-faktor situasional dan kondisional seperti keturunan, kejiwaan
ataupun lingkungan yang memungkinan seseorang dipercaya untuk membina
sebuah komunitas masyarakat dalam mencapai suatu tujuan tertentu.[3]
C.
Kepribadian Pemimpin
Pada
hakekatnya, seorang pemimpin yang brilliant adalah seorang pemimpin yang
memiliki segala sifat kepemimpinan yang diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Keberanian
Keberanian
adalah kemampuan batin yang mengakui adanya rasa takut, akan tetapi mampu
menghadapi bahaya atau rintangan dengan tenang dan tegas atau dapat dikatakan
bahwa keberanian adalah kemampuan berpikir yang memungkinkan seseorang dapat
menguasai tingkah lakunya dan dapat menerima tanggung jawab serta dapat mudah
bertindak dalam keadaan bahaya. Rasulullah pernah bersabda: ”Sesungguhnya
manusia itu seperti unta, dalam seratus unta belum tentu terdapat unta
raahilah” (HR. Bukhari). Unta raahilah adalah unta yang kuat dan dapat berjalan
kuat. Unta seperti ini susah didapatkan. Begitu pula unsur kepemimpinan dalam
jiwa seseorang. Kita jarang memiliki seorang pemimpin yang berwibawa,
pemberani, konsisten, memiliki sifat yang lurus.
2.
Menguasai Permasalahan
Seorang
pemimpin harus memiliki kemampuan dalam bidang yang dipimpinnya. Ia tahu benar
akan seluk-beluk bidang kegiatannya, baik dari dalam maupun dari luar. Ia
memang melakukan spesialisasi dalam bidang itu. Meskipun sifatnya hanya
mengkoordinir, akan tetapi tetap harus mengetahui bidang gerak yang
dipimpinnya. Rasulullah pernah bersabda: “Bila suatu perkara diserahkan kepada
yang bukan ahlinya, maka nantikan saat kehancuran”.
3.
Kredibilitas
Dunia
tidak akan menjadi aman dan makmur, apabila keadilan tidak dijadikan neraca
dalam hubungan-hubungan kemanusiaan di segala bidang Islam tidak membenarkan
adanya dominasi yang kuat terhadap yang lemah dan hak asasi manusia tidak boleh
hilang karena semata-mata dunia sudah biasa dihadapkan pada tindakan-tindakan
yang zalim. Hidup berdampingan dapat aman dan tentram dapat terwujud apabila
keadilan dan kebenaran ditegakkan. Semua dasar-dasar kemanusiaan seperti
toleransi, kemerdekaan dan lain-lain hanya dapat hidup di bawah naungan
keadilan. Oleh karena itu, rasulullah menyarankan agar mencari seorang pemimpin
yang memiliki sikap yang adil dalam memutuskan setiap permasalahan. Beliau
pernah bersabda :
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: يوم من إمام عادل أفضل من عبادة ستين سنة, و حد
يقام في الأرض بحقه أزكي لمن فيها من مطر أربعين صباحا
Dari
ibnu Abbas RA, ia berkata, ”Rasulullah SAW bersabda, “Satu hari bagi seorang
pemimpin yang adil lebih baik daripada ibadah selama enam puluh tahun dan
hukuman yang ditegakkan di muka bumi secara benar lebih suci bagi penduduk yang
ada padanya daripada hujan selama empat puluh hari di pagi hari”. (HR. at-thabranidi dalam al-Kabir dan al-Ausath. Sanad yang
terdapat dalam al-Kabir adalah hasan dan diriwayatkan pula oleh al-Ashbahani
dari hadis abu Hurairah dengan lafadz, “keadilan satu hari lebih baik daripada
ibadah enam puluh tahun, melakukan shalat pada malam hairi dan berpuasa di
siang harinya” dan dia menambahkan, ”Wahai abu Hurairah, kelaliman sesaat dalam
memberikan hukum lebih berat dan lebih besar di sisi Allah daripada
kemaksiatan selama enam puluh tahun.”)[4]
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: ثلا ثة لاترد دعوتهم: الصائم حين يفطر, والإمام
العادل, والمظلوم
Dari
abu Hurairah RA,, ia berkata,”Rasulullah saw bersada,”Tiga golongan yang tidak
akan ditolak doanya, yaitu: orang yang puasa saat berbuka, pemimpin yang adil
dan orang yang teraniaya.” (HR.
Ahmad, at-Tirmidzi, ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Khuzaimah dan ibnu
Hibban)[5]
Selain sikap adil seorang pemimpin juga harus melmiliki suatu sikap jujur.
Karena kejujuran merupakan salah satu instrument bagi terciptanya kemakmuran
rakyat. Dengan sifat jujur seorang pemimpin akan dipercaya oleh rakyat sebagai
pengemban amanah yang baik. jujur berati ada persesuaian antara perbuatan dan
tindakan sehingga dalam menggunakan haknya dia tidak berlebihan. Rasulullah
bersabda:
“Barangsiapa
menduduki suatu jabatan dan tidak mempunyai seorang istri, hendaknya
memperistri seorang wanita, dan apabila dia tidak memiliki seorang pelayan,
hendaklah ia mengambil seorang pelayan, dan barangsiapa tidak memiliki rumah
kediaman, atau ia tidak memiliki binatang tunggangan, hendaknya dia
mengambilnya. Dan setelah itu, barangsiapa mengambil lebih dari itu, maka ia
adalah seorang koruptor atau seorang pencuri.”
4.
Percaya diri
Keyakinan
pemimpin akan keahlian dan potensinya dalam meraih tujuan dan bertindak dengan
cara yang membuat para pengikut percaya pada kemampuannya.
5.
Motivasi
Keinginan
dari dalam diri yang dimiliki seorang pemimpin untuk menggunakan kekuatannya
dalam menggerakkan seseorang mencapai tujuan-tujuan mereka dengan menggunakan
hubungan sosial dan kemanusiaan. Motivasi dapat disampaikan dengan cara maknawi
maupun dengan cara-cara materi, seperti kisah rasulullah yang memberikan
kambing yang banyak kepada seorang laki-laki, maka orang itu pulang kepada
kaumnya kemudian berkata kepada mereka, ”Wahai kaum! Masuklah islam, karena
Muhammad memberikan pemberian yang ia tidak takut miskin karenanya.” (HR.
Muslim)
6.
Pengawasan diri
Pemimpin
yang efektif memiliki kontrol diri yang memungkinkan untuk merasakan setiap
perubahan yang ada di sekitarnya walaupun sangat kecil dan mengubah
kebijakannya agar sesuai dengan keadaan di sekitarnya.[6]
D.
Urgensi Adanya Kepemimpinan
Rasulullah
saw. mengingatkan kita bahwa: Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang
yang bukan pakarnya, maka tunggulah kehancurannya. Ini berarti bahwa tidak
semua orang mempunyai skills dalam segala perkara, setiap urusan ada
orang-orang tertentu yang telah dikaruniai Allah untuk menguasai termasuk
perkara kepemimpinan. Apalagi jika dikaitkan dengan upaya Islamisasi khususnya
di kalangan umat Islam sendiri.[7]
Dari
penjelasan di atas kita merasakan urgensi dan pentingnya pemimpin yang efektif
melelui lima poin berikut:
- Kepemimpinan harus ada dalam
kehidupan sehingga kehidupan bisa teratur dengan rapi, keadilan bisa
ditegakkan dan kesewenang-wenangan yang kuat terhadap yang lemah bisa
dihalang-halangi.
- Mendukung tingkah laku yang
positif dan mengeliminasi hal-hal yang negatif. Dalam hal ini, pemimpin
bertindak sebagai kapten kapal.
- Membuat strategi yang terpadu
dalam proses penggerakan yang dinamis menuju tujuan yang mulia.
- Menyesuaikan diri dengan
perubahan yang ada disekitarnya dan memanfaatkan perubahan untuk
kepentingan organisasi
- Mengembangkan, melatih dan
menjaga anggota.[8]
E.
Tanggung Jawab Pemimpin Dalam Melayani Masyarakat
Islam
adalah agama yang sempurna, di antara kesempurnaan Islam ialah mengatur seluruh
aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah Swt (Hablum
minallah) maupun hubungan dengan manusia (Hablumminannas), termasuk di
antaranya masalah kepemimpinan di pemerintahan.
Karena
kepemimpinan merupakan suatu amanah maka untuk meraihnya harus dengan cara yang
benar, jujur dan baik. Dan tugas yang diamanatkan itu juga harus dilaksanakan
dengan baik dan bijaksana. Karena itu pula dalam menunjuk seorang pemimpin
bukanlah berdasarkan golongan dan kekerabatan semata, tapi lebih mengutamakan
keahlian, profesionalisme dan keaktifan.
Kepemimpinan
di satu sisi dapat bermakna kekuasaan, tetapi di sisi lain juga bisa bermakna
tanggungjawab. Ketika kepemimpinan dimaknai sebagai kekuasaan, Allah
SWT.mengingatkan kita bahwa hakikat kekuasaan itu adalah milik Allah SWT. Allah
SWT yang memberi kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah pula
yang mencabut kekuasaan dari siapa pun yang dikehendaki-Nya (lihat : al-Qur’an
surat Ali Imran : 26).
Katakanlah:
“Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang
Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau
Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Adanya
kesadaran seorang mu’min terhadap hal ini memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap kepribadiannya, ketika ia memegang kekuasaan, ia akan tetap bersikap
rendah hati, tidak ada keangkuhan dalam dirinya sedikit pun, tidak akan menyelewengkan
kekuasaannya dalam bentuk apa pun, dan ia gunakan kekuasaannya itu sebagai alat
untuk menghambakan dirinya dan alat untuk mencapai ridha Allah SWT. Sehingga ia
akan betul-betul melaksanakan amanah dan tanggung jawab jabatannya seoptimal
mungkin untuk kepentingan masyarakat, bukannya untuk memenuhi
kepentingan-kepentingannya pribadi maupun golongan-golongan tertentu saja.
Karena, dalam kehidupan bermasyarakat, diperlukan adanya pemimpin yang
mengatur, membawahi, dan mengarahkan kehidupan masyarakat itu. Pemimpin harus
menjadi abdi masyarakat. Dia harus melayani dan menjadi fasilitator bagi
keperluan-keperluan rakyat.[9]
Dalam
Islam, hampir semua ulama menyepakati bahwa pemimpin adalah abdi masyarakat.
Sebab, kepemimpinan sesungguhnya adalah suatu amanah (titipan) yang setiap saat
harus dipertanggungjawabkan dan diambil wewenangnya. Amanah itu diperoleh dari
Allah SWT lewat pemilihan yang dilakukan oleh manusia, kecuali para Nabi dan
Rasul yang langsung dipilih oleh Allah. Oleh karena itu, dalam melaksanakan
amanah, manusia diharapkan senantiasa berbuat baik dan bertanggung jawab. Jika
manusia bisa menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah, maka mereka tidak akan
berebut kekuasaan dengan temannya sendiri, atau memaksakan diri untuk menjadi
pemimpin demi keuntungan materi semata.
Substansi kepemimpinan dalam
perspektif Islam merupakan sebuah amanat yang harus diberikan kepada orang yang
benar-benar “ahli”, berkualitas dan memiliki tanggungjawab yang jelas dan benar
serta adil, jujur dan bermoral baik. Inilah beberapa kriteria yang Islam
tawarkan dalam memilih seorang pemimpin yang sejatinya dapat membawa masyarakat
kepada kehidupan yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera dan
tentram.
Di
samping itu, pemimpin juga harus orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. karena
ketaqwaan ini sebagai acuan dalam melihat sosok pemimpin yang benar-benar akan
menjalankan amanah. Bagaimana mungkin pemimpin yang tidak bertaqwa dapat
melaksanakan kepemimpinannya dengan baik? Karena dalam terminologinya, taqwa
diartikan sebagai melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya. Taqwa berarti ta’at dan patuh, yakni takut melanggar atau mengingkari
dari segala bentuk perintah Allah SWT.
Manusia diciptakan oleh Alah
SWT di dunia ini dengan misi untuk mengabdi atau beribadah dan menjadi khalifah
di bumi Allah SWT ini. Misi kekhalifahan adalah misi yang sangat mulia, karena
ia menjadi sarana guna melakukan hal-hal yang bermakna dan menyejahterakan
sesamanya. Oleh sebab itu, amanah menjadi hal sangat vital yang harus
ditanamkan dan dijadikan pedoman dalam menjalankan aktivitas kepemimpinan
seseorang.
Amanah juga menjadi salah satu prinsip kepemimpinan yang dimiliki Nabi Muhammad
SAW. Sebagai pemimpin umat, Nabi SAW memiliki empat ciri kepemimpinan: shidiq
(jujur), fathanah (cerdas dan berpengetahuan), amanah (dapat dipercaya), dan
tabligh (berkomunikasi dan komunikatif dengan bawahannnya dan semua orang).
Sifat-sifat Nabi SAW itu tecermin pada kebijakan dan tingkahlaku beliau
sehari-hari, baik sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat dan
negara. Sifat kepemimpinan beliau dan Khulafaur Rasyidin dapat dijadikan cermin
oleh semua pemimpin. Mereka senantiasa mengabdi, menerima keluh kesah,
memfasilitasi, dan siap menjadi “budak” rakyatnya, bukannya menjadi “tuan” bagi
masyarakatnya. [10]
Seorang pemimpin yang ideal tentu saja adalah yang selalu berpegang teguh pada
akhlak kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin. Kisah Umar bin
Khattab atau Umar bin Abdul Azis yang rela tidak makan sebelum rakyatnya makan,
rela tidak tidur sebelum rakyatnya tidur, tidak mau menggunakan fasilitas
negara di luar jam kerja untuk kepentingan keluarga, memberikan contoh hidup
sederhana dan dermawan, adalah sebuah tipe kepemimpinan yang ideal. Mereka
mempunyai moralitas dan budi pekerti yang luhur.
Selain itu, seorang pemimpin yang ideal haruslah mampu bekerja secara
profesional, visioner, kreatif dan punya kemampuan berstrategi, berani, serta
mampu menjadikan team work yang dipimpinnya menjadi solid dan berkualitas.
Dengan kata lain, kita sangat mengharapkan adanya pemimpin yang mampu
menjadikan masyarakat berubah menjadi lebih baik dalam segala sisi kehidupannya
yang diberkahi oleh Allah SWT karena adanya pemimpin yang mampu mendorong
masyarakatnya menuju peningkatan penghambaan umat manusia kepada Sang Khaliq. [11]
Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah gembala, dan kamu sekalian akan
dimintai pertanggungjawaban mengenai gembalaannya. Seorang pemimpin tertinggi
adalah gembala bagi rakyatnya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai
rakyatnya. (HR. Bukhari)
عن أبي ذررضي الله عنه قال: قلت:
يارسول الله,ألا تستعملني؟ قال: فضرب بيده على منكبي, ثم قال: يا أبا ذر, إنك ضعيف
وإنها أمانة, وإنها يوم القايمة خزي, وندامة إلا من أخذهابحقها, وأدى الذي عليه
فيها
Dari
abu Dzar RA, ia berkata, ”Aku pernah berkata, wahai rasulullah tidakkah engkau
memberi jabatan kepadaku?” ia berkata, ”Maka beliau memukul pundakku dengan
tangannya dan berkata, ”Wahai Abu Dzar sesungguhya engkau adalah orang yang
lemah, sedangkan jabatan adalah amanah, dan ia di hari kiamat merupakan suatu
bencana serta penyesalan kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya
dan menunaikannya sesuai yang wajib atasnya dirinya” (HR. Muslim)[12]
Jadi
pemimpin seperti apa yang sebaiknya diangkat di era seperti sekarang ini?
Secara umum Al-Qur’an sudah memberikan gambaran kriteria pemimpin yag harus
dipilih, yaitu seperti yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang
artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (sesudah
Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku
yang shaleh” (QS Al-Anbiya’ :105). Jadi yang mendapat mandat mengurusi manusia
beserta isinya dimuka bumi ini sesuai rekomendasi Allah SWT ternyata hanyalah
orang-orang shaleh, bukan orang-orang yang suka membuat kerusakan di
BAB
III
KESIMPULAN
Islam
adalah agama yang sempurna, di antara kesempurnaan Islam ialah mengatur seluruh
aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah Swt (Hablum
minallah) maupun hubungan dengan manusia (Hablumminannas), termasuk di
antaranya masalah kepemimpinan di pemerintahan.
Karena
kepemimpinan merupakan suatu amanah maka untuk meraihnya harus dengan cara yang
benar, jujur dan baik. Dan tugas yang diamanatkan itu juga harus dilaksanakan
dengan baik dan bijaksana. Karena itu pula dalam menunjuk seorang pemimpin
bukanlah berdasarkan golongan dan kekerabatan semata, tapi lebih mengutamakan
keahlian, profesionalisme dan keaktifan.
Dalam
Islam, pemimpin adalah abdi masyarakat. Sebab, kepemimpinan sesungguhnya adalah
suatu amanah (titipan) yang setiap saat harus dipertanggungjawabkan dan diambil
wewenangnya. Amanah itu diperoleh dari Allah SWT lewat pemilihan yang dilakukan
oleh manusia, kecuali para Nabi dan Rasul yang langsung dipilih oleh Allah.
Oleh karena itu, dalam melaksanakan amanah, manusia diharapkan senantiasa berbuat
baik dan bertanggung jawab. Jika manusia bisa menyadari bahwa kepemimpinan
adalah amanah, maka mereka tidak akan berebut kekuasaan dengan temannya
sendiri, atau memaksakan diri untuk menjadi pemimpin demi keuntungan materi
semata.
[1]
Abul A’la Al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan (Bandung:Karisma. 2007) 374
[2]
Al Hafizh Syihabbuddin Ahmad bin Ali bin Hajar Al Asqalani, Ringkasan
Targhib wa Tarhib (Jakarta; Pustaka Azzam, 2006), 525
[3]
Khatib Pahlawan Kayo, Kepemimpinan Islam dan Dakwah (Jakarta: AMZAH,
2005), 225-226
[6]
Ibnu Taimiyah, Tugas Negara Menurut Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.,
2004), 360
[8]
Thariq M As-Suwaidan dan Faishal Umar Basyarahil, Melahirkan Pemimpin
Masa Depan (Jakarta: Gema Insani, 2005), 301
[10]
http://www. Suara karya.online.com
Perihal
Afrizal WS Zaini
BIODATA Nama : Afrizal Woyla Saputra Zaini Tempat/Tanggal Lahir : Seuradeuk/29
Juli 1990 Agama : Islam Jenis Kelamin : Laki-Laki Nama Orang Tua : - Ayah :
Zaini Djambi (Alm) Ibu : Mariyah Alamat di Aceh : Ds. Seuradeuk Kec.Woyla Timur
Kab. Aceh Barat Alamat di Malang : Asrama Mahasiswa Aceh, Jl. Bendungan
Jatigede No. 03 Telp 0341-576156/HP 085277784400. Malang Pekerjaan : Mahasiswa
Fak/Jurusan : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik/ Ilmu Pemerintahan Perguruan Tinggi
: Universitas Muhammadiyah Malang E-mail : awszaini@yahoo.com Twitter
:@afrizalwoyla Riwayat Pendidikan : 1.Sekolah Dasar Negeri Meutulang :
1997-2003 2.Madrasah Tsanawiyah Negeri Peureumeu : 2003-2006 3.Sekolah Menengah
Atas Muhammadiyah 6 Meulaboh : 2006-2009 4.Universitas Muhammadiyah Malang :
2009 - Sekarang
Pengalaman
Organisasi : 1. Sekretaris Umum Ikatan Pelajar
Pemuda & Mahasiswa Aceh (IPPMA) Malang 2009-2010, dan 2010-2011. 2.
Sekretaris Asrama Mahasiswa Aceh Malang 2009-2010. 3. Ketua Panitia Pembangunan
Asarama Aceh Malang Anggaran 2010 4. Ketua Umum Angkatan 2009 Jurusan Ilmu
Pemerintahan UMM. 5. Ketua Departemen Politik Hukum Dan HAM Himpunan Mahasiswa
Ilmu Pemerintahan UMM 2010 - 2011. 6. Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Komisariat FISIP UMM. 7. Anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat
FISIP UMM. 8. Sekretaris Panitia Day Of Tsunami ” Masa Depan Aceh Pasca
Tsunami” Tahun 2009. 9. Anggota Paskibraka Kabupaten Aceh Barat Angkatan 63
Tahun 2008. 10. Anggota Nasional Demokrat DPC Kabupaten Aceh Barat.
Tanggung Jawab Seorang Pemimpin
Saat
ini kita diperhadapkan pada hiruk pikuk ke-pemimpinan. Banyak yang sangat
bangga dengan pemimpinnya namun tak sedikit pula yang sudah merasa gerah. Hal
ini disebabkan 2 faktor, yakni pertama, soal kinerja pemerintahan yang belum
maksimal dan yang kedua adalah sikap atau perilaku pemimpin dalam merespon
kritikan. Saya kira kita semua mafhum kalau pemimpin adalah bahagian terpenting
dalam kehidupan kita sebab tanpa kepemimmpinan, maka kita pun akan sulit menuju
harapan serta tujuan yang dituju. Paling tidak karakter dan jiwa kepemimpinan
ada disetiap jiwa kita masing-masing. Dalam bahasa Islam, sebuah hadits
menjelaskan bahwa “ kalian semua adalah pemimpin, dan kalian semua bertanggung
jawab terhadap apa yang dipimpinnya”.
Pemimpin
akan selalu berkorelasi dengan tanggung jawab, sebab tanggung jawab itu menjadi
domain kuasa terhadap apa yang dipimpinnya. Jika kemudian pemimpin tidak bisa
memainkan atau tepatnya memerankan tanggung jawab itu, maka kredibilitas
pemimpin tersebut harus di pertanyakan. Dalam artian, tanggung jawab inilah
yang menjadi “stempel” atau legitimasi atas kepemimpinan tersebut. Terlepas
kemudian hasil dari tanggung jawab itu baik atau buruk yang menjadi hal penting
adalah pemimpin itu punya sikap, visi, pendirian serta komitmen atas tanggung jawab
tersebut. Dan hal yang lumrah jika kemudian pemimpin dicibir sebagai respon
perlakuannya atau sikapnya pada tanggung jawab yang diemban tersebut. Seberapa
keras pun cibiran itu, pemimpin harus pintar-pintar dan strategi menyikapinya.
Bahkan bisa dijadikan sebagai bahan masukan untuk kerja dan juga semangat untuk
memperbaiki kinerja.
Namun
jika, kemudian pemimpin meresponnya dengan reaksioner, kelabakan sampai harus
diumber didepan publik dengan nada keluh kesah, maka publik pun akan menilainya
variatif. Bisa saja ada yang bersimpatik namun juga tidak sedikit yang merasa
“aneh-geli” sebab dinilai (juga) diluar kepatutan dan kepantasan seorang
pemimpin. Entah apa yang ingin dicapai ketika melakukan hal ni, mungkin
membangun image, pencitraan bahwa pemimpin ini (sekarang) sedang difitnah,
digoyah dan tak dihormati. Dan tidak akan memperkarakannya secara hukum,
meskipun ada penyelesaian jalur hukum. Makanya, kamu harus merasa kasihan
melihat pemimpinmu diperlakukan seperti ini. cara membuat pemimpin tersebut “seakan”
teraniaya, bisa merebut simpatik.
pemimpin
yang seperti ini pasti paham betul kondisi sosial-psikologis masyarakatnya.
Yaitu cepat merasa kasihan, iba terhadap orang yang teraniaya atau yang
tersudutkan. dan jika sudah berperasaan kasihan maka, rasa simpatik terhadap
yang merasa di aniaya akan muncul dimana-mana. Gejala ini bisa diraba dan
diperikasa di media-media. Mungkin kita masih ingat betul, beberapa tahun
silam, salah satu konteks akademi di stasiun TV swasta yang diseleksi lewat
polling SMS oleh pemirsa. Maka munculkanlah salah satu peserta konteks
bernyanyi tersebut dari kalangan orang miskin, masyarakat pinggiran, orang yang
tak berpunya lau kemudian dibesar-besarkan oleh media tersebut. Walhasil,
juaralah dia dengan perolehan SMS yang tinggi. Selain dari pada hal ini,
reality-reality show dan tentu saja sinetron yang marak cukup mempengaruhi pola
pikir dan karakter masyarakat kita. Kondisi seperti ini, menjadikan masyrakat
kita lemah terhadap pembentukan daya kritisnya serta minus pembelajaran yang
bisa digapai. Maka jadilah masyaraat kita sabar dengan keadaanya sekarang.
Namun disisi lain juga, mereka bahkan jarang mengeluh. Ketika minyak tanah
langka, harga sembako naik, bencana datang silih menghampiri. Mereka tetap
sabar menghadapinya dan rasa ibanya juga ikut terpelihara.
Tapi
juga merupakan kesalahan fatal, sebab pemimpin bukan hanya seorang yang
diserahi setumpuk kepercayaan dalam hal melakukan perubahan, akan tetapi yang
tidak kalah pentingnya juga adalah pemimpin itu harus jadi panutan atau role of
model dan sumber pengetahuan. Pemimpin juga punya tanggung jawab untuk membuat
bawahan dan masyarakat untuk menjadi cerdas. Pemimpin yang demikian juga malah
memperdaya “kelemahan pemahaman” masyarakatnya untuk meraih popularitas dan
juga memperpanjang keterbelakangan masyarakatnya. Karena ketika pemimpin
mengedepankan sebuah moralitas yang patut dianut maka dengan sendirinya akan
banyak berdampak di lapisan masyarakat.
Tugas
Pemimpin
Tugas
utama seorang pemimpin adalah:
1.
Pemimpin bekerja dengan orang lain : Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk
bekerja dengan orang lain, salah satu dengan atasannya, staf, teman sekerja
atau atasan lain dalam organjsasi sebaik orang diluar organisasi.
2.
Pemimpin adalah tanggung jawab dan mempertanggungjawabkan (akontabilitas):
Seorang pemimpin bertanggungjawab untuk menyusun tugas menjalankan tugas,
mengadakan evaluasi, untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin bertanggung
jawab untuk kesuksesan stafhya tanpa kegagalan.
3.
Pemimpin menyeimbangkan pencapaian tujuan dan prioritas : Proses kepemimpinan
dibatasi sumber, jadi pemimpin hanya dapat menyusun tugas dengan mendahulukan
prioritas. Dalam upaya pencapaian tujuan pemimpin harus dapat mendelegasikan
tugas-tugasnya kepada staf. Kemudian pemimpin harus dapat mengatur waktu
secaraefektif,dan menyelesaikan masalah secara efektif.
4.
Pemimpin harus berpikir secara analitis dan konseptual : Seorang pemimpin harus
menjadi seorang pemikir yang analitis dan konseptual. Selanjutnya dapat
mengidentifikasi masalah dengan akurat. Pemimpin harus dapat menguraikan
seluruh pekerjaan menjadf lebih jelas dan kaitannya dengan pekerjaan lain.
5.
Manajer adalah forcing mediator : Konflik selalu terjadi pada setiap tim dan
organisasi. Oleh karena itu, pemimpin harus dapat menjadi seorang mediator
(penengah).
6.
Pemimpin adalah politisi dan diplomat: Seorang pemimpin harus mampu mengajak
dan melakukan kompromi. Sebagai seorang diplomat, seorang pemimpin harus dapat
mewakili tim atau organisasinya.
7.
Pemimpin membuat keputusan yang sulit : Seorang pemimpin harus dapat memecahkan
masalah.
Oleh: Wulan Aprilyani_Sekretaris Media Online LDK
Al Hurriyyah 2012
Pada hakikatnya setiap manusia adalah seorang
pemimpin dan setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Hadits berikut:
را ع و كلكم مسئو ل عن ر
عيته كلكم…
Artinya: Setiap kalian adalah pemimpin, dan
kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya (H. R. Bukhori)
Definisi pemimpin menurut para ahli sangat beragam, namun beberapa aktivitas
yang tak lepas dari seorang pemimpin adalah:
- Sebagai pengatur, agar apa yang menjadi visi dan
misinya tercapai
- Penanggungjawab dan pembuat kebijakan-kebijakan
- Pemersatu dan memotivasi bawahannya dalam
melaksanakan aktivitas
- Pelopor dalam menjalankan aktivitas manajemen, yaitu
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan serta
pengelolaan sumberdaya yang ada
- Sebagai pelopor dalam memajukan organisasi yang
dipimpinnya
Dalam pandangan Islam, kepemimpinan tidak jauh
berbeda dengan model kepemimpinan pada umumnya, karena prinsip-prinsip dan sistem-sistem
yang digunakan terdapat beberapa kesamaan. Kepemimpinan dalam
Islam pertama kali dicontohkan oleh Rasulullah SAW, kepemimpinan
Rasulullah tidak bisa dipisahkan dengan fungsi kehadirannya sebagai pemimpin
spiritual dan masyarakat. Prinsip dasar kepemimpinan beliau adalah keteladanan.
Dalam kepemimpinannya mengutamakan uswatun hasanah pemberian contoh kepada para
sahabatnya yang dipimpin. Rasulullah memang mempunyai kepribadian yang sangat
agung, hal ini seperti yang digambarkan dalam al-Qur’an:
Artinya: “Dan Sesungguhnya engkau Muhammad
benar-benar berada dalam akhlak yang agung”. (Q. S. Al-Qalam: 4)
Dari ayat di atas menunjukkan bahwa Rasullullah
mempunyai kelebihan yaitu akhlak yang mulia, sehingga dalam hal memimpin dan
memberikan teladan memang tidak lagi diragukan. Kepemimpinan Rasullullah memang
tidak dapat ditiru sepenuhnya, namun setidaknya sebagai umat Islam harus
berusaha meneladani kepemimpinan-Nya.
Berikut adalah karakteristik yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin, agar ia
dapat melaksanakan tugasnya dengan baik adalah:
- Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Senantiasa berpegang teguh kepada kitabullah dan
menjadikannya landasan dalam mengambil setiap keputusan
- Ikhlas karena Allah semata, selalu bertindak benar
dan jujur kepada-Nya
- Peka terhadap pengawasan dan penjagaan Allah SWT
- Memiliki rasa tanggung jawab, bertindak jujur dan
adil
- Sederhana dalam segala hal
- Berperangai penyantun, kasih saying, lemah lembut dan
ramah terhadap sesama
- Bersungguh-sungguh dalam merencanakan program yang
tepat, menentukan tujuan, tahapan, cara, sarana, persiapan-persiapan yang
sesuai dengan kebutuhan
- Harus memiliki cita-cita dan semangat juang yang
tinggi
Kepemimpinan dalam pandangan Islam merupakan
amanah dan tanggung jawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada
anggota-anggota yang dipimpinnya, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan di
hadapan Allah SWT. Jadi, pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak
hanya bersifat horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat
vertikal-moral, yakni tanggung jawab kepada Allah SWT di akhirat.
Kepemimpinan sebenarnya bukanlah sesuatu yang
menyenangkan, tetapi merupakan tanggung jawab sekaligus amanah yang amat berat
dan harus diemban sebaik-baiknya. Hal tersebut dijelaskan dalam Al Qur’an surat
Al-Mu’minun:
Artinya: Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janji mereka dan orang-orang yang memelihara sholatnya, mereka Itulah
orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya. (Q.S.
al-Mukminun 8-11)
Dari penjelasan Al Qur’an surat al-Mukminun 8-11
dan kedua Hadits di atas dapat diambil suatu benang merah bahwa dalam ajaran
Islam seorang pemimpin harus mempunyai sifat amanah, karena seorang pemimpin
akan diserahi tanggung jawab, jika pemimpin tidak memiliki sifat amanah, tentu
yang terjadi adalah penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk hal-hal yang
tidak baik. Oleh karena itu, kepemimpinan tidaklah dilihat sebagai fasilitas
untuk menguasai, tetapi justru dimaknai sebuah pengorbanan dan amanah yang harus
diemban sebaik-baiknya. Selain bersifat amanah, seorang pemimpin harus
mempunyai sifat yang adil. Hal tersebut ditegaskan oleh Allah dalam firmannya:
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat (Q. S. al- Nisa’:
58)
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan… (Q. S. al-Nahl: 90)
Dari penjelasan di atas dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah sebuah amanah yang harus diemban dengan
sebaik-baiknya, dengan penuh tanggung jawab, profesional dan keikhlasan.
Sebagai konsekuensinya pemimpin harus mempunyai sifat amanah, profesional dan
juga memiliki sifat tanggung jawab. Kepemimpinan bukan kesewenang-wenangan
untuk bertindak, tetapi kewenangan melayani untuk mengayomi dan berbuat seadil-adilnya.
Kepemimpinan adalah keteladanan dan kepeloporan dalam bertindak yang
seadil-adilnya. Kepemimpinan semacam ini hanya akan muncul jika dilandasi
dengan semangat amanah, keikhlasan dan nilai-nilai keadilan yang
tinggi.(arn:ed)
(Dikutip dari berbagai sumber dengan beberapa
penyesuaian)
7 Sumber Pengentasan Kemiskinan
KEMISKINAN
itu dekat dengan kekufuran, oleh karenanya dalam salah satu do’a pagi dan
petang yang dicontohkan -do’a berlindung dari kemiskinan/kefakiran itu
dirangkai dengan do’a berlindung dari kekufuran. Bukan hanya do’a saja, Islam
memberi begitu banyak jalan konkrit untuk menjadi sumber pengentasan kemiskinan
ini. Berikut saya sarikan 7 diantaranya, saya yakin ada yang bisa kita lakukan.
1. Kerja
Kerja adalah cara yang paling efektif dan elegan untuk mengentaskan kemiskinan.
Orang yang bekerja dan oleh karenanya menerima penghasilan dari pekerjaan tersebut
akan terbebas dari meminta-minta dan ketergantungan terhadap orang lain. Bukan
hanya bagi orang yang bekerja itu sendiri yang terbebas dari kemiskinan tetapi
juga anggota keluarganya dan bahkan juga kerabat dekatnya.
Menciptakan lapangan kerja yang halal, yang baik dan yang berkelanjutan
insyaallah akan menjadi amal shaleh pengentasan kemiskinan yang utama.
2. Tanggung Jawab
Kerabat Dekat
Banyak ayat yang menekankan tanggung jawab kita terhadap kerabat dekat dan
orang miskin di sekitar kita seperti “Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan…”(QS 17 :26).
Menolong keluarga dekat ini bahkan insyaallah dapat mendatangkan dua pahala
sekaligus yaitu pahala sedekah dan menyambungkan silaturahim. Kalau
masing-masing orang yang relatif mampu menolong keluarga dekatnya yang kurang
mampu, maka kemiskinan itu sudah akan banyak berkurang.
3. Zakat
Banyak sekali sumber-sumber zakat mulai zakat maal , zakat profesi, zakat
tanaman, zakat ternak sampai zakat fitrah yang apabila diefektifkan penarikan
dan penyalurannya akan menjadi sumber pengentasan kemiskinan yang sangat
memadai.
Lebih-lebih karena persentase zakat ini cukup besar terhadap turn-over suatu
system perekonomian. Mulai dari 2.5 % untuk barang dagangan sampai 10 % bagi
zakat hasil pertanian yang tidak menggunakan irigasi teknis.
4. Tanggung Jawab Para
Pemimpin
Negara memiliki berbagai pendapatan dan oleh karenanya para pemimpin negara
tersebut bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya. Dasarnya antara
lain adalah ayat “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul,
kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnusabil, …” (QS 8 :41)
dan beberapa ayat lain yang senada.
Tetapi bukan hanya pemimpin negara yang bertanggung jawab terhadap rakyat yang
dipimpinnya, masing-masing kita juga menjadi pemimpin dalam kapasitas kita
masing-maing dan kita akan dimintai pertanggung jawaban terhadap kepemimpinan
kita. Tanggung jawab terhadap orang-orang dalam ruang lingkup kepemimpinan kita
inilah yang juga dapat menjadi sumber pengentasan kemiskinan itu.
5. Pemenuhan
Kewajiban-kewajiban Tertentu
Di luar zakat, kita memiliki banyak kewajiban yang juga dapat menjadi sumber
pengentasan kemiskinan. Lihatlah misalnya di ayat berikut, betapa luas tanggung
jawab kita itu : “… Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu...” (QS 4 :
36)
Untuk tetangga bahkan ada tanggung jawab lebih yang terkait langsung dengan
keimanan kita sebagaimana hadits shahih yang berbunyi : “ Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah menghormati tetangganya…”. Juga
hadits lain yang berbunyi “Tidaklah beriman barang siapa yang kenyang dan
tetangganya lapar sedangkan dia mengetahui…”.
Bayangkan bila masing-masing kita memperhatikan dan memuliakan sampai tetangga
yang dekat dan yang jauh-tidak ada diantara mereka yang lapar ketika kita
kenyang, kemiskinan pasti lebih mudah diatasi.
6. Pelaksanaan
Ibadah-ibadah Tertentu
Bahkan ketika kita orang Islam melaksanakan tuntunan ibadah-ibadah
tertentu-pun, itu bisa menjadi sumber pengentasan kemiskinan. Ketika kita
memotong hewan qurban-dagingnya untuk orang miskin, ketika kita tidak
melaksanakan nadzar dendanya memberi makan orang miskin, ketika orang tua kita
sakit tua sehingga tidak bisa berpuasa-fidyahnya adalah memberi makan
orang miskin . dlsb. dlsb.
7. Amalan Diluar
Yang Wajib
Diluar sumber-sumber yang sifatnya keharusan atau kewajiban tersebut di atas,
umat Islam juga didorong untuk berbuat maksimal dalam mengentaskan kemiskinan
dalam berbagai bentuknya.
Ayat berikut misalnya menggambarkan betapa Allah menghargai dan memberi pahala
yang berlipat untuk amalan seperti ini :
“Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir:
seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.
Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS 2 : 261)
Dengan begitu banyaknya jalan
untuk mengentaskan kemiskinan, insyaallah beberapa diantaranya pasti kita bisa
aktif terlibat didalamnya-yang dibutuhkan tinggallah melaksanakan mulai dari
yang kita bisa, just do it
!. InsyaAllah
Oleh :
Muhaimin Iqbal
pentingnya pemimpin dalam islam
Pemimpin dalam kehidupan manusia
merupakan sesuatu yang urgen untuk ditegakkan. Sebab tanpa pemimpin kehidupan
manusia mudah mengalami keretakan sosial, ekonomi, politik dan hukum. Dengan
adanya pemimpin maka rakyat dapat berharap ditegakkannya supremasi hukum,
tegaknya keadilan serta menghilangkan kerusakan dan terjaminnya kemakmuran.
Menegakkan dan mengangkat pemimpin menjadi tanggung jawab umat melalui
mekanisme konstitusional-yang telah baku dan menjadi kesepakatan bangsa
bersangkutan. Sejarah perpolitikan Islam telah memberikan banyak pilihan soal
bagaimana menentukan pemimpin, dan mekanisme musyawarah adalah mekanisme yang
oleh beberapa kalangan dinilai modern pada masanya. Dengan kata lain, apapun
mekanisme yang hendak digunakan dalam mengangkat pemimpin yang terpenting
adalah proses tersebut harus diletakkan dalam bingkai akidah, akal, dan
kesimbangan moral, sehingga out put yang dihasilkan secara konsisten menapaki
basisnya. Al-Māwardi mengelompokkan pentingnya keberadaan pemimpin sama seperti
tugas agama dalam rangka melanjutkan tugas kenabian. Artinya kepemimpinan
bagian penting dari eksistensi agama, dan agama membutuhkan figur pemimpin
untuk menerapkan segala hal yang berkaiatan dengan agama. Al-Qur’ān secara
tegas menghendaki sebagian dari masyarakat memiliki peranan penting dalam
pemberantasan kemaksiatan dan menegakkan kebaikan sebagaimana terungkap dalam
surat Ali ’Imrān ayat 104 : وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ أُمَّةٌ
یَّدْعُوْنَ إِلَى اْلخَیْرِ وَیَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَیَنْھَوْنَ عَنِ اْلمُنْكَرِ
وَأُولَئِكَ ھُمُ اْلمُفْلِحُوْنَ . “Dan hendaklah ada
diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh yang
ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merakalah orang-orang yang beruntung” .
(Q.S Ali Imran: 104) Tegaknya kebaikan dan menghilangkan segala bentuk
kemungkaran rupanya suatu pekerjaan yang tak bisa disepelekan mengingat teks
telah mengutarakan secara lugas. Agar tuntutan tersebut dapat diaktualkan maka
harus diupayakan oleh kekuatan yang secara konsisten menjalankannya demi mencapai
tatanan kehidupan yang lebih bermartabat.33 Pengupayaannya akan lebih efektif
jika didukung oleh kekuatan politik yang berorientasi pada aktualisasi pesan
tuhan. Kegiatan amar ma’ruf dan nahy ’an al-mungkar dilaksanakan sesuai
pertimbangan kemampun yang dimiliki oleh manusia sebagaimana terungkap dalam
hadīth nabi: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فًلْیُغَیِّْر
بِیَدِهِ فَإِنْ لمَّْْْ یَسْتَطِعْ فَبِلِسَنِھِ
فَإِنْ لمَّ یَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِھِ
وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلاِیْمَانِ (رواه مسلم ) “Barang siapa diantara kalian melihat
kemungkaran maka rubahlah (cegahlah) dengan tangannya, dan apabila tidak mampu,
maka upayakan dengan lisannya, bila juga tidak bisa, maka upayakan dengan sikap
hatinya, yang demikian itu adalah iman yang lemah” Hal penting yang menjadi
tujuan utama nalar hadith di atas adalah bahwa manusia beriman tanpa terkecuali
memiliki tanggung jawab menegakkan kebaikan demi eksisnya: al-dīn, al-Aql,
al-nafs, a-nasl, dan almāl dari berbagai hal yang menyebabkan ketidak
berfungsian, tujuan ini merupakan bagian penting dari seluruh kekuatan otoritas
yang dimiliki manusia, terlebih pemimpin yang sedang berkuasa. Untuk memenuhi
harapan tersebut, dibutuhkan pemimpin yang tegas, terampil, adil dan mau
bekerja keras guna meningkatkan kualitas kehidupan masyarkat secara spritual
dan material.
MEMILIH PEMIMPIN DALAM ISLAM
Written By Belajar Memahami Diri Sendiri on
28/08/12 | 28.8.12
Bismillahirrahmanirrahiim
Islam
adalah rahmat bagi seluruh alam, semua aspek kehidupan sudah diatur dan ditata
dengan baik dalam agama Islam. Sejarah selama 1.500 tahun menunjukkan bagaimana
peradaban dunia kemajuannya sangat didorong oleh perkembangan Islam. Hal
tersebut karena di awal sejarah Islam melalui kepimpinan Baginda Rasulullah
saw. Figur kepemimpinan Nabi Muhammad yang :
1. Shiddiq (berkata
jujur)
2. Fathonah
(cerdas)
3. Tabligh (mampu
berkomunikasi)
4. Amanah (bisa
dipercaya)
|
Pilihlah pemimpin sesuai dengan
tuntunan AlQur'an dan hadist
|
Kepemimpinan yang
baik sangat ditunjang oleh pribadi dan akhlak pemimpinnya. Ada beberapa
kriteria yang perlu diperhatikan seorang muslim dan muslimat dalam memilih
pemimpin sesuai tuntunan AlQur'an dan hadist sebagai berikut:
1.
Pemimpin yang beragama Islam :
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَمِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً
وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada
Allah kembali (mu).” (Ali Imran(3):28)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ آمِنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيَ أَنزَلَ مِن قَبْلُ وَمَن يَكْفُرْ بِاللّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah
(untuk menyiksamu)?” (An Nisa(4):144)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Al
Maidah(5):51)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang
membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang
yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang
musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang
beriman.” (Al Maidah(5):57)
2. Diutamakan Laki-laki
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.”
(An Nisa(4):34)
“Tidak akan
beruntung suatu kaum yang mengangkat seorang wanita sebagai pemimpinnya.” (HR. Bukhari)
3. Dewasa (Baligh)
Yakni memiliki kualitas yang baik dalam membedakan sesuatu
yang benar dan salah, mana yang haq dan mana yang batil, yang ditunjang oleh
ketaqwaan kepada Allah SWT., pengetahuan serta pengalaman bermasyarakat yang
baik pula.
وَلاَ تُؤْتُواْ السُّفَهَاء أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللّهُ لَكُمْ قِيَاماً وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُواْ لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا
“Dan janganlah kamu
serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada
dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
kata-kata yang baik.” (An Nisa(4):5)
4. Amanah dan ditunjang oleh disiplin Ilmu yang baik
Seorang pemimpin yang amanah dapat dipercaya dalam
melaksanakan kepercayaan dan tanggung jawab dengan baik harus pula ditunjang
oleh ilmu yang sesuai dengan bidangnya. Dengan memiliki ilmu yang baik dan
berkualitas diapun akan jauh dari kendali dari golongan tertentu yang akan
menjadikannya hanya sebagai pemimpin boneka demi kepentingan segolongan atau
kelompok tertentu.
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“Berkata Yusuf:
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang
pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf(12):55)
Sabda Baginda Nabi saw.:
“Apabila suatu
urusan dipercayakan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu
kehancurannya.”(HR. Bukhari)
5. Adil
Adil adalah tidak berat sebelah. Semua yang dipimpinnya
haruslah disayangi dan diperlakukan dengan baik sesuai yang sudah diamanahkan,
baik itu dulunya yang memilihnya ataupun yang tidak memilihnya ketika proses
pemilihan pemimpin.
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
“Hai Daud,
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shaad(38):26)
6. Sehat Jasmani maupun secara mental/kejiwaan
Menjadi pemimpin diperlukan fisik yang kuat serta mental yang
tangguh dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang sudah diamanahkan. Mental
yang kuat dalam menghadapi serangan-serangan dan provokasi lawan politiknya
yang harus diselesaikan secara arif dan bijaksana.
Rasulullah saw bersabda:
“Dari Abu Dzar
berkata, saya bertanya kepada Rasululloh SAW, mengapa engkau tidak meminta saya
memegang sebuah jabatan?; Abu Dzar berkata lagi, lalu Rasululloh SAW menepuk
punggung saya dengan tangannya seraya berkata; Wahai Abu Dzar,sesungguhnya kamu
seorang yang lemah. Padahal, jabatan itu sesungguhnya adalah amanat (yang berat
untuk ditunaikan)” (HR. Muslim)
Demikianlah beberapa kriteria dalam memilih seorang pemimpin.
Bagi saudara-saudara kita yang tinggal di daerah mayoritas non muslim dan dalam
pemilihan pemimpin hanya ada pilihan-pilihan pemimpin non muslim (contohnya di
Amerika Serikat, Inggeris dan lain-lainnya) pilihlah yang cakap, adil dan
memiliki krediblitas yang baik. Namun jika ada pilihan yang seagama dengan kita
tentu sesuai dengan tuntanan AlQur'an dan Hadist harus dan wajib memilih yang seagama.
Wallohu'alam.
Kepemimpinan Menurut Islam dan Implementasi
Bhinneka Tunggal Ika
REP |
29 August 2012 | 00:42 Dibaca: 2672 Komentar: 282 22 aktual
Pasca seminar “Kepemimpinan menurut Islam” yang
dihadiri seluruh kepengurusan Fatayat NU DKI Jakarta dengan narasumber Marzuki
Alie selaku Ketua Dewan Ahli Ikatan Sarjana NU, menuai kritik dari berbagai
golongan dan kepercayaan. Kritik yang tidak sehat sudah menjadi bias jauh dari
substansi materi seminar dan berkembang luas di media masa, terutama berbagai
media sosial yang bersumber dari berita yang dimuat di salah satu media online.
Namun, selaku muslim yang berbicara dalam komunitas muslim, dalam kelompok
warga NU Ahlussunnah wal Jamaah, referensi tulisan dan ceramah saya tentu
bersumber dari hukum Islam, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, sebagaimana sering
saya khotbahkan sebagai khotib Jum’at , ataupun kegiatan keagamaan lainnya.
Materi seminar tersebut bisa didownload di alamat: http://www.marzukialie.com/?show=makalah.
Sudah seharusnya, sebagai sebuah negara yang
menjunjung kebhinnekaan sebagai salah satu pilar kebangsaan, siapapun tidak
bisa mengintervensi keyakinan orang lain, khususnya bagi yang berbeda
keyakinan. Disinilah sebenarnya implementasi dari nilai keberagaman tersebut,
saling menghormati di antara ummat beragama yang berbeda keyakinan. Sama halnya
saya menghargai keyakinan sahabat-sahabat saya dan masyarakat Indonesia lainnya
yang berbeda keyakinan dengan saya. Menurut saya, intervensi terhadap keyakinan
saya sebagai Muslim, justru merupakan provokator, biang konflik SARA yang
sebenarnya.
Pendapat, kritik dan saran yang termuat di
berbagai media, umumnya mempersoalkan status saya sebagai Ketua DPR, sehingga
tidak sepantasnya berbicara demikian. Kesan yang dimunculkan adalah, bahwa
Ketua DPR telah berbicara SARA, memecah persatuan dan kesatuan bangsa dan tidak
memahami berdirinya negara oleh the founding fathers yang berlandaskan nilai
nilai keberagaman. Saya dituding tidak berperilaku negarawan.
Kritik dan berbagai pendapat tersebut sebenarnya
tidak sepenuhnya salah apabila konteks waktu dan tempat saya berbicara dan
bertindak selaku Ketua DPR sebagai Pejabat Negara dan berdiri di atas semua
golongan, etnis, suku, agama dan kepentingan.
Yang menjadi pertanyaan, apakah di luar tugas
saya selaku Ketua DPR, tidak boleh menjalani kehidupan sosial dan agama sebagai
seorang Marzuki Alie dalam kapasitas pribadi yang harus bermasyarakat dan
mempunyai kewajiban sebagai seorang Muslim?
Saya mempunyai sisi private yang harusnya
dihargai, yang tidak bisa dikaitkan dengan jabatan saya selaku Ketua DPR,
Pejabat Negara. Itulah hak asasi setiap orang, yang seharusnya tidak harus
selalu dicampur adukkan antara kehidupan private dengan posisi sebagai Pejabat
Negara. Jangan hak asasi saya selalu dieliminasi dengan jabatan tersebut, namun
juga perlu diperhatikan konteks dan waktunya.
Manakala saya berbicara dalam komunitas muslim
saya, maka acuannya adalah nilai-nilai Islam sesuai tuntunan Al Qur’an dan As
sunnah, bukan UU atau Peraturan Pemerintah.
Manakala saya berbicara dan bergaul dalam
masyarakat di lingkungan, maka nilai-nilai kemasyarakatan tersebut yang harus
saya junjung, terlepas dan tidak terkait dengan posisi saya sebagai Pejabat
Negara.
Manakala saya menjalani kehidupan pribadi dalam
keluarga besar saya, tidak ada status Pejabat Negara, karena ada norma
kebiasaan dan norma agama yang harus saya laksanakan.
Demikian pula, manakala dalam lingkup tugas saya
selaku Ketua DPR, maka saya harus berperilaku sebagai negarawan, yang mengayomi
semuanya tanpa diskriminasi berpayung kepada peraturan dan perundangan yang
berlaku.
Berbagai profesi saya dalam kehidupan sehari-hari
ini, hendaklah dipahami secara utuh, sehingga penilaian menjadi proporsional.
Tidak tepat bila dalam berbagai profesi itu semuanya dikaitkan dengan jabatan
selaku Ketua DPR. Saya berusaha untuk menempatkan diri dalam posisi yang tepat,
sesuai dengan profesi saya, baik di dalam kehidupan keluarga, beragama,
bemasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan, untuk menghindari pemahaman yang
keliru, sudah menjadi kewajiban saya untuk merespon dengan memberikan
penjelasan, walaupun ruang untuk itu sangat terbatas.
Terus terang, melayani kritik yang mengalir
seperti air bah dalam media sosial, ibarat memukul angin, atau membelah air,
sehingga sangat memeras pikiran, waktu dan tenaga. Satu direspon, muncul kritik
yang sama dari sumber yang berbeda dengan jumlah yang lebih banyak.
Saya berkesimpulan bahwa keberagaman yang menjadi
landasan berdirinya bangsa ini telah salah diartikan, seolah kebhinnekaan
mengharamkan adanya dinamika dalam kehidupan beragama, agama dipersepsikan
sebagai wilayah yang sangat private, padahal ada kewajiban agama kepada
pengikutnya untuk selalu memberikan pencerahan kepada ummatnya sesuai tuntunan
agama dan kepercayaannya masing-masing, artinya ada wilayah eksklusif yang
harus dihargai sebagai bentuk penghormatan kita kepada saudara-saudaranya yang
berbeda agama dan keyakinan. Misalnya tempat ibadah, perkumpulan komunitas agama
tertentu, acara-acara keagamaan lainnya yang dilakukan oleh kelompok pemeluk
agama tertentu.
Harus dipahami juga bahwa agama tidak hanya
memberikan tuntunan ritual dalam beribadah kepada Tuhannya, tapi memberikan
tuntunan dalam berbagai aspek kehidupan, baik kehidupan sosial kemasyarakatan,
kehidupan rumah tangga, kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk politik.
Sepanjang pencerahan tersebut dilakukan sesuai
dengan tuntunan agamanya dalam ruang eksklusif, di dalam komunitas agama
tertentu, maka tidak boleh ada yang mengintervensi. Itulah pemahaman
kebhinnekaan yang seharusnya.
Kata kuncinya, apabila seluruh masyarakat
Indonesia menjalankan keyakinan agamanya masing masing dengan baik dan benar,
maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar, bangsa yang damai, aman,
adil dan sejahtera, karena tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan.
Semua agama mengajarkan kedamaian, persaudaraan, keadilan, kebenaran yang
universal.
Lalu mengapa banyak yang mempersoalkan seminar
“Kepemimpinan menurut Islam” dalam komunitas muslim saya? Padahal walaupun
eksklusif, saya tetap taat terhadap peraturan perundangan, yaitu tidak boleh
melakukan kampanye, itulah hukum positif yang harus saya taati sebagai warga
negara Indonesia. Dalam seminar tersebut, tidak ada satu pun kalimat saya
membicarakan tentang Pemilukada DKI. Tidak ada satu pun kalimat saya
menyebut kandidat gubernur. Lalu mengapa ada berita, ajakan saya untuk memilih
gubernur yang seiman,yang kemudian berkembang liar menjadi berita yang menyesatkan.
Setelah acara seminar dengan Fatayat NU pada 26
Agustus yang lalu, beberapa media menyampaikan pertanyaan kepada saya, selaku
kader PD, tentang Pemilukada DKI.
Saya tegaskan selaku kader, merupakan kewajiban
bagi kami diminta atau tidak, Timses atau tidak, bekerja memberikan kontribusi
untuk kemenangan calon yang diusung oleh partai saya, yaitu Foke-Nara.
Menyusul pertanyaan berikutnya, yaitu apa kaitan
substansi materi seminar dengan Pemilukada DKI.
Menurut saya, apa yang disampaikan dalam seminar
itu menjadi tuntunan bagi ummat Islam, namun semuanya tergantung yang
bersangkutan, apakah akan melaksanakan tuntunan agamanya atau tidak, karena hal
tersebut menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing kepada Tuhannya.
N Sebenarnya demokrasi ini memberikan
ruang bagi mayoritas untuk terpilih menjadi pemimpin, tetapi sekali lagi, tidak
menutup ruang minoritas untuk terpilih. Contoh, di Sulawesi utara dan
NTT, dimana mayoritas masyarakatnya non-muslim, terpilih gubernurnya
non-muslim. DKI mayoritasnya muslim, kalau mereka mengikuti tuntunan, maka
muslim yang akan terpilih menjadi gubernur. Namun ini bukan keharusan, kalau
bersifat keharusan, maka itu berarti pemaksaan dan tidak demokratis. Apabila
nantinya yang terpilih non-muslim, sebagai keniscayaan demokrasi, maka semuanya
harus menerima dengan ikhlas, dan itulah takdir Allah, tidak ada alasan apapun
untuk menolak hasil pemilukada tersebut.
Inilah catatan lengkap seminar yang dilaksanakan
dan dihadiri oleh Fatayat NU, dan saya sebagai narasumber tunggal selaku Ketua
Dewan Ahli Ikatan Sarjana NU, bukan selaku Ketua DPR. Semoga menjadi jelas, dan
mohon maaf bagi yang tidak berkenan. Terima kasih.
Dr. H. Marzuki Alie
MEMBANGUN KOMPETENSI KEPEMIMPINAN SEKTOR PUBLIK
DALAM PERSPEKTIF ISLAM DEMI TERWUJUDNYA PELAYANAN PRIMA
Oleh:
Choirul Saleh
A. PENDAHULUAN
Berangkat dari kajian teoritis yang dibangun oleh para teoritis dari dunia
barat, pemimpin atau leader adalah orang atau sekelompok orang yang secara
struktutal menempati posisi tertentu yang bersifat strategis. Sedangkan
kepemimpinan atau leadership memiliki pengertian yang sangat kompleks,
terkadang diartikan sebagai suatu sifat yang melekat pada diri seseorang
misalnya; keteguhan/kepribadian, stamina/daya tahan ataupun kharisma. Sedang pada
saat yang lain dianggap sebagai keistimewaan yang melekat pada diri seseorang
karena secara posisional ia mempunyai kedudukan atau kekuasaan, kewenangan dan
tanggungjawab. Beberapa literatur yang membahas tentang kepemimpinan mengatakan
bahwa banyak mazhab atau aliran yang mendifinisikan kepemipinan secara
berbeda-beda. Namun terdapat sebuah konsensus terbatas yang telah disepakati
oleh anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD)
dalam bukunya yang berjudul Public Sector Leadership for 21st Century
mengatakan sebagai berikut: That definition of leadership is that of “social
influence process”, although the same may be said for most experiences that
involve more one person. Sedangkan para negara anggota PUMA mengatakan: We take
the position that the core of leadership is how “individual’s influence
others”, particularly in respect to accessing their inner motivation.
Berangkat dari kedua definisi tersebut seolah-olah terdapat kesepakatan bahwa
inti dari sebuah kepemimpinan adalah terletak pada tingkat kemampuan seseorang
dalam “mempengaruhi orang lain”, terutama yang memiliki kemampuan dalam
membangkitkan inner motivasi mereka. Dalam kepemimpinan sektor bisnis, inner
motivation yang harus dibangkitkan hanya terbatas pada para pekerja yang ada di
dalam organisasi, sedangkan dalam kepemimpinan sektor publik, ada dua pihak
yang harus dibangkitkan inner motivation nya yakni; pertama pihak karyawan atau
pegawai yang ada di dalam sebuah lembaga/Instansi pemerintah, kedua semua warga
negara atau masyarakat yang berada di bawah kewenangannya. Dengan demikian
kepemimpinan sektor publik harus memiliki ability to influence yang lebih besar
dan kompleks dibandingkan dengan kepemimpinan di dalam organisasi organisasi
bisnis.
Berbeda dengan pandangan umum dari para teotitisi yang mengatakan bahwa core
dari sebuah kepemimpinan itu adalah to influence, dalam perspektif Islam
berkeyakinan bahwa responsibility lah yang menjadi core atau inti dari sebuah
kepemimpinan, baik itu kepemimpinan sektor publik maupun kepemimpinan
non-sektor publik. Pernyataan ini di dasarkan pada salah satu Hadist Rasulullah
yang seara tegas beliau telah bersabda sebagai berikut;
An ‘Abdullahini ‘Umaro rodhiyallohu ‘anhumaa yaqulu sami’tu rosulallaahu
wassalam yaqulu; wa kullukum mas uulun ‘anra’iyatin al imaamu raa’in wa mas
uulun ‘an ra’iyatihi warrajulu ra’in fii ahlihi wahuwa mas uulun ‘an ra’iyati
wal mar atu ra’iyatun fi baiti zaujihaa wa mas uulahu ‘an ra’iyatiha wal
choodimu ra’in fimaali sayidihi wamas uulun ‘an ra’iyatihi. ra’iyatihi (Dari
Abdullah bin Amr ra, dia berkata, aku mendengar Rorululah SAW bersabda;
“Masing-masing dari kamu sekalian adalah pemimpin, dan masing-masing dari kamu
sekalian bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Imam adalah pemimpin dan
bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Orang laki-laki adalah pemimpin dalam
keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Orang perempuan adalah
pemimpin dalam rumah suaminya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya, dan
pelayan adalah pemimpin atas harta tuannya (majikannya) dan bertanggung jawab
atas kepemimpinannya. (H.R. Buchari).
Sedang narasi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim ditambah dengan
kalimat: “warrojulu ra’in fimaali abiihi wa mas uulun ‘an ra’iyyatihi. Yang
artinya: “seorang anak adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan
harta ayahnya.)” (H.R Al-Bukhari dan Muslim)
Apabila kita cermati secara seksama antara inti kepemimpinan yang telah
ditetapkan oleh kedua perspektif tersebut jelas memiliki perbedaan konsekwensi
dan implikasi yang sangat tajam, yang dapat diuraikan sebagai berikut;
1. Dalam konsep umum aspek pemimpin dan kepemimpinan sektor publik selalu
ditempatkan pada posisi yang hirarkhis, dimana seorang pemimpin harus menempati
posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan para pengikutnya. Penempatan
posisional ini merupakan salah satu aspek penting yang dipergunakan oleh sang
pemimpin dalam menjalankan tugasnya, yakni proses mempengaruhi orang lain agar
dapat dilakukan secara efektif terhadap para pengikutnya, baik pengikut dalam
arti bawahan maupun masyarakat atau warga negaranya. Oleh karena tugas mereka
adalah influence to others, maka berdasarkan perhitungan logika seseorang yang
menduduki posisi strategis akan lebih mudah di dalam mempengaruhi orang lain
ketimbang mereka-mereka yang tidak memiliki posisi. Dengan demikian agar
kinerja seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya berjalan secara
efektif, mereka harus diposisikan pada tempat-tempat yang strategis itu.
2. Hampir semua teori kepemimpinan dan manajemen
sependapat bahwa bagi seorang pemimpin yang ingin menjalankan kepemimpinannya
secara efektif, dalam mempengaruhi orang lain, proses boleh dilakukan dengan
cara yang persuasive maupun dengan cara yang coercive, namun tidak pernah
dikatakan harus dilakukan dengan cara yang benar dan dengan penuh tanggung
jawab. Inti kepemimpinan semacam ini terfokus pada aspek “kekuasaan” atau power
yang sering kali kekuasaan atau power itu bersifat “memaksa” tanpa harus
mempertimbangkan aspek benar atau salah, tetapi selalu didasarkan pada
pertimbangan efektifitas tindakannya. Hal ini sejalan dengan pengertian dari
kekuasaan yang didefinisikan sebagai berikut; power is the ability to get
someone else to do something you want done, or the ability to make things happen
or get things done the way you want. Oleh karena process to influence yang
dilakukan seorang pemimpin intinya terletak pada kemampuannya untuk membuat
orang lain mau dan bersedia mengerjakan sesuatu yang diinginkan oleh sang
pemimpin. Pola-pola yang seperti ini, dalam hal tertentu akan menimbulkan
dampak yang negatif, karena, pertama, tidak menutup kemungkinan bahwa pihak
yang diperintah akan melaksanakan pekerjaannya dengan terpaksa, dan kedua,
besar kemungkinan pekerjaan yang diinginkan oleh sang pemimpin itu justru
pekerjaan yang tidak benar, melanggar hukum atau justru melanggar norma-norma
agama, karena di dalam memberikan perintah, tidak dikaitkan secara langsung
dengan “tanggung jawab”, melainkan hanya sebatas terjadinya aktivitas akibat
adanya sebuah pengaruh yang efektif.
Sedangkan dalam perspektif Islam, kepemimpinan sektor publik tidak selalu
bernuansah hirarkhis, karena inti pokok dari tugas mereka bukan terletak pada
aspek influence to others, melainkan to responsibility with their jobs sebagaimana
yang tertuang dalam hadist di atas. Dengan demikian keberadaan seorang pemimpin
tidak harus diposisikan secara hirarkhis, karena aspek tanggung jawab tidak
berkaitan dengan kedudukan semata, melainkan berkaitan dengan bentuk tindakan
yang dilakukannya. Dengan kata lain Islam mengajarkan bahwa yang disebut
pemimpin dan kepemimpinan itu tidak hanya terbatas pada mereka-mereka yang
menduduki posisi-posisi yang stratetegis semata, karena tugas seorang pemimpin
dalam menjalankan kepemimpinannya tidak bertumpu pada influence to others,
melainkan terletak pada bagaimana mereka harus mempertanggungjawabkan atas
pekerjaan yang diembannya. Oleh karena tugas utama sang pemimpin adalah memikul
beban tanggungjawab, maka idealnya seorang pemimpin itu adalah menjalankan
tugasnya dengan cara yang serius, jujur, adil, berhati-hati, dan penuh amanah.
Dengan demikian menurut konsep yang Islami, seorang atau sekelompok orang yang
kebetulan memperoleh kepercayaan untuk menduduki public official, apapun
posisinya baik sebagai orang yang berposisi sebagai top leader sampai dengan
worker adalah pemimpin, yang tugas utama mereka bukan untuk mempengaruhi pihak
lain, melainkan untuk mempertanggungjawabkan atas serangkaian tugas yang
dipercayakan kepadanya. Dengan keyakinan dan semangat yang semacam ini,
semestinya perilaku dan tindakan mereka selalu berdasar pada akidah Islamiah,
bertindak jujur, bersikap adil dan bijaksana, serta selalu memegang amanah
dalam menjalankan tugas pekerjaan dan kewenangan yang dipercayakan padanya.
Dalam pemahaman yang filosofis, apa yang tertera dalam Hadist Rasulullah
tersebut, mengisyaratkan bahwa sesungguhnya semua orang adalah pemimpin atas
diri pribadinya sesuai dengan kadar dan ukuran serta posisi mereka
masing-masing. Baik mereka itu sebagai pejabat ataupun sebagai rakyat harus
bertanggungjawab atas kepemimpinan “diri-pribadinya”, yang pada hakekatnya
kepemimpinan pribadi itu adalah pengendalian atas hawa nafsu mereka. Apabila
semua diantara kita menyadari atas kandungan filosofis dari Hadist Rasulullah
tersebut, pastilah kehidupan ini menjadi indah, tenteram, damai dan sejahtera,
karena diantara kita tidak ada yang saling menuntut pada orang lain, tidak ada
yang bertindak korup dan tidak pula saling sikut dalam berebut kekuasaan dan
harta yang jumlahnya hanya sejumput.
Mereka yang kebetulan memiliki posisi di aras yang strategis, mereka tahu dan
sadar akan tanggungjawab kepemimpinannya, sehingga mereka selalu hormat dan
menghargai kepada para anak buah/karyawan dan rakyatnya. Mereka tidak bertindak
semena-mena, tidak sombong dan selalu bersikap adil serta jujur dalam
memutuskan sebuah perkara. Dimikian pula halnya dengan para bawahan atau
karyawan mereka, mereka selalu ramah, tunduk dan patuh terhadap atasan serta
serius dan cekatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat atau rakyatnya.
Sedangkan rakyatnyapun sadar akan kebutuhannya, tidak ngawur dalam berperilaku,
bakti dan tunduk kepada para aparat, dan cinta akan kedamaian bagi negerinya.
Sudah barang tentu situasi dan kondisi yang semacam ini adalah sangat ideal,
dan baru bisa diciptakan ketika semua pihak patuh, ta’at dan konsekwen dalam
memegang ajaran agamanya yakni “Islam”.
B. SYARAT-SYARAT KEPEMIMPINAN SEKTOR PUBLIK
Di atas telah dijelaskan bahwa core atau inti kepemimpinan adalah mengemban
tanggungjawab. Secara normatif dan aplikatif konsep tangggungjawab dalam
kepemimpinan Islam ini bersifat multi dimensional yang terdiri dari;
1. Dimensi Ilahiah
Dalam hal ini setiap orang yang berkedudukan sebagai pemimpin dalam menjalankan
tugas-tugas kepemimpinannya, harus dipertanggungjawabkan dihadapan Ilahi Robbi,
sebagai Dzat yang memiliki kekuasaan luas yang telah memberikan kesempatan dan
kepercayaan kepada mereka sebagai khalifah atau wakilnya di bumi ini.
Ditunjukknya manusia sebagai khalifah ini adalah agar manusia bertanggungjawab
kedapada Allah kelak atas tugas utamanya dalam memakmurkan bumi dan segenap
isinya, sebagaimana Firman Allah yang mengatakan; Huwa ansya akumminal ardhi
was ta’rakum fiiha Artinya: Allah telah menciptakan kamu dari bumi, dan Allah
menjadikan kamu sebagai pemakmurnya (Q.S. Hud:61).
2. Dimensi Individual
Sebagai seorang pemimpin yang telah diberi kesempatan dan kepercayaan oleh sang
Khaliq untuk menjalankan kepemimpinan sektor publik demi terciptanya
kemaslakahatan hidup berbangsa dan bernegara bukanlah merupakan tugas dan
tanggungjawab yang ringan. Oleh sebab itu sebelum mereka menjalankan
kepemimpinan yang luas itu, Ia harus mampu memimpin dirinya sendiri terlebih
dahulu. Bagi seorang pemimpin sektor publik yang hanya suka mempengaruhi dan
memerintahkan orang lain, sementara dirinya sendiri tidak mampu menjalankan
tindakan itu disindir oleh Allah melalui Frmannya dalam Al-Qur’an yang artinya
sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa-apa
yang tidak kamu perbuat?. Amat besar kebencian Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (Q.S As-Saff :2 dan 3).
Bertolak dari Firman Allah inilah yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi
seorang pemimpin sektor publik, agar mereka tidak saja pandai berbicara, dan
main perintah sementara dirinya tidak pernah berbuat apapun sebagaimana yang
mereka bicarakan atau mereka perintahkan kepada bawahan mereka atau kepada
warga masyarakatnya. Bagi seorang pemimpin yang di dalam menjalankan kepemimpinannya,
hanya pandai bicara tanpa kerja, mereka akan mendapat kebencian dari Allah SWT,
karena mereka dianggap sebagai orang yang tidak memiliki tanggungjawab.
3. Dimensi Sosial
Apabila mereka telah mampu memimpin diri sendiri, dalam arti mampu mengendalikan
emosi dan nafsu amarahnya secara baik, maka mereka dianggap layak untuk
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara luas, karena
seorang pemimpin sektor publik yang Islami adalah seorang pemimpin yang mampu
menciptakan kesejahteraan bagi dirinya, keluarganya dan masyarakatnya baik di
dunia ini maupun di akhirat kelak.
Dengan demikian apabila terdapat seorang pemimpin sektor publik yang mampu
mengaplikasikan ketiga dimensi tersebut dalam menjalankan kepemimpinannya maka
merekalah yang disebut sebagai seorang pemimpin sektor publik yang “amanah”.
Pola-pola kepemimpinan yang seperti inilah yang harus dilaksanakan dan
dijalankan dengan baik oleh seorang pemimpin sektor publik, karena kelak Allah
pasti akan meminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu
Adapun beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menunjuk seseorang yang
akan diberi tanggungjawab dalam menjalankan kepemimpinan sektor publik adalah
sebagai berikut;
1. Niat yang Lurus
Hendaklah seseorang yang ditunjuk atau dipilih untuk mengemban tanggungjawab
kepemimpinan sektor publik itu adalah seseorang yang memiliki niat yang lurus
sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan. Lalu hal itu diiringi pula
dengan mengharapkan keridhaan-Nya semata. Kepemimpinan atau jabatan adalah
tanggungjawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan, semboyan inilah yang
raus tertanan pada diri seorang pemimpin yang ideal. Sebenarnyalah bahwa bagi
seseorang yang sedang memagang tampuk pimpinan, mereka harus mampu menjalankan
kepemimpinannya itu dengan niat yang lurus dalam menciptakan kemaslahatan bagi
rakyatnya, karena kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas
kepemimpinannya itu. Pemahaman yang seperti inilah yang harus ditanamkan secara
kuat kepada mereka yang akan dan sedang memegang tampuk kepemimpinan sektor
publik, agar mereka selalu berhati-hati dan waspada dalam menajalankan tugasnya
tersebut.
2. Tidak Meminta Jabatan
Tanggungjawab kepemimpinan sektor publik hendaknya diberikan kepada
mereka-mereka yang tidak ambisius, dan kepada mereka-mereka yang tidak mengemis
atau meminta-minta atas jabatan. Hal ini sesuai dengan Hadist Rasullullah yang
sabdanya ditujukan kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu, yang
artinya:
”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin.
Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka
kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan
kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk
menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Disamping itu, larangan untuk memberikan jabatan kepemimpinan kepada orang yang
ambisius itu, karena dapat diduga dengan sangat bahwa mereka yang ambisius pada
umumnya memiliki kepentingan pribadi yang justru berakibat negative bagi
terlaksananay proses kepemimpinan yang baik.
3. Berpegang pada Hukum Allah.
Selayaknya seseorang yang diberi tanggungjawab kepemimpinan sektor publik
adalah seseorang yang selalu berpegang teguh pada hukum-hukum Allah. Prinsip
ini harus mendapat perhatian secara seksama sebab salah satu kewajiban utama
seorang pemimpin adalah membuat suatu keputusan, dan keputusan terbaik dalam
menanggulangi sebuah permasalahan adalah sebuah keputusan yang di dasarkan pada
hukum Allah. Hal ini sesuai dengan Firman Allah, yang artinya: ”Dan hendaklah
kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (Q.S Al-Maaidah:49)..
4. Memutuskan Perkara Dengan Adil
Tampuk kepemimpinan sektor publik hanya layak diberikan kepada seseorang yang
mampu memutuskan perkara secara adil dan bijaksana, karena di pundak orang yang
seperti inilah kehidupan yang damai bisa diciptakan. Hal ini berlandaskan pada
salah satu Hadist Rasulullah ketika beliau memberikan peringatan kepada para
pemimpin agar dalam mejalankan kepemimpinannya mereka selalu bertindak adil,
karena tindakan ini disamping dapat menyelamatkan kehidupan masyarakat di dunia
ini, karena mereka akan dapat hidup damai harmonis, tenteram dan sejahtera,
disamping itu juga dapat dijadikan sebagai aspek penyelamatkan bagi dirinya
kelak di akhirat. Berkaitan dengan hal ini, secara eksplisit Allah telah
berfirman yang artinya;
“Hai orang-orang yang beriman!, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu
bapakmu dan kaum kerabatm. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan kata-kata atau enggan
menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yang
kamu kerjakan” (Q.S. An-nisa’:135).
Sedangkan pada kesempatan yang lain Allah juga memerintahkan Rasulullah untuk
bertindak adil melalui firmanya yang artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya
telah kami turunkan Al-Qur’an kepadamu hai Muhammad dengan haq, agar kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena membela
orang-orang yang berkhianat” (Q.S An-Nisa’:105)
Berangkat dari dua firman Allah tersebut jelaslah bahwa Islam telah
menggariskan dan mewajibkan agar seorang pemimpin itu harus benar-benar
menjalankan pola-pola kepemimpinannya secara adil demi terbentuknya
kemaslahatan bagi hidup dan kehidupan ummat manusia di muka bumi ini. Begitu
pentingnya sikap dan tindakan pimpinan yang adil ini, sehingga Rasulullah juga
bersabda dalam salah satu Hadist yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Abu
Hurairah dalam kitab Al-Kabir, yang artinya adalah sebagai berikut; ”Tidaklah
seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari
kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau
akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah
dalam kitab Al-Kabir).
Berdasarkan hadist ini Rasulullah telah menginformasikan kepada segenap kaum
muslim agar dalam menjalankan amanah kepemimpinannya selalu dilaksanakan dengan
cara yang seadil adilnya. Hanya dengan tindakan yang adil sajalah yang mampu
menyelamatkan seorang pemimpin dari segala kesulitan dan siksaan di akhirat
kelak. Apabila mereka mampu berbuat adil terhadap segenap rakyatnya mereka akan
terselamatkan, namun apabila tidak maka mereka akan mengalami kesusahan dan
bahkan siksaan.
5. Tidak Menutup Diri Saat Diperlukan Rakyat.
Kepemimpinan sektor publik hanya pantas dipercayakan kepada seseorang yang
ramah dan selalu membuka diri atas kehadliran rakyat atau masyarakatnya, ketika
masyarakat itu dilanda berbagai persoalan hidup yang berat yang membutuhkan
solusi dengan segera dari sang pemimpin. Dalam hal ini Rasulullah bersabda yang
artinya; ”Tidaklah seorang pemimpin atau pemerintah yang menutup pintunya
terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup
pintu-pintu langit terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam
Ahmad dan At-Tirmidzi).
6. Penasehat Bagi Rakyat
Seorang pemimpin sektor publik yang ideal adalah mereka-mereka yang mampu
bertindak sebagai penasehat bagi masyarakat atau rakyatnya agar mereka selalu
berperilaku terpuji dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagi
seorang pemimpin sektor publik yang tidak mampu memberikan nasehat yang baik
kepada bawahan dan masyarakatnya akan diancam dengan siksa neraka sebagaimana
tertuang dalam Hadist Nabi SAW yanga artinya sebagai berikut; ”Tidaklah seorang
pemimpin yang memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh
dan tidak menasehati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk surga
bersama mereka (rakyatnya).”
Namun yang perlu diingat oleh sang pemimpin, sebelum Ia menasihati bawahan dan
masyarakat atau rakyatnya, terlebih dahulu Ia harus mampu menasehatai pada
dirinya sendiri. Prosedur penyampaian nasehat ini secara tegas telah diabadikan
oleh Allah melalui Firmannya yang tertuang dalam (Q.S At-Tahrim: 6) yang
artinya sebagai berikut;
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.
Hal penting lainnya yang berkaitan dengan tugas sang pemimpin sebagai penasehat
ini adalah, agar seorang pemimpin itu selalu dapat mencegah kemungkaran yang
mungkin terjadi ditengah-tengah masyarakat yang dipimpinnya, dimana perintah
ini merupakan salah satu Sabda Rasulullah yang tertuang dalam sebuah Hadist
yang bunyinya sebagai berikut;
“Man ra aaminkum munkaraan fal yughayirhu biyadihi fa inlam yastathi’ fabi
lisanihi fa inlam yastathi’ fabi qalbihi wa dhaalika adh ‘aful iimaani” (Barang
siapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tanganmu. Jika
tidak bisa, maka ubahlah dngan lisanmu. Jika tidak bisa juga, maka ubahlah
dengan hatimu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman)
(H.R Muslim)
Melalui pernyataan Hadist tersebut, menunjukkan bahwa “menasehati” atau
mencegah “kemungkaran” adalah merupakan sebuah kewajiban bagi seorang pemimpin,
terutama bagi seorang pemimpin sektor publik yang dijadikan sebagai panutan
atau teladan bagi para pengikutnya.
7. Tidak Menerima Hadiah/Suap
Tindakan terpuji dan ideal yang harus dimiliki seorang pemimpin di public
sector adalah keberanian mereka dalam menolak hadiah atau pemberian yang
dilakukan oleh bawahan maupun masyarakatnya, dan apabila mereka tidak mampu
menolak atas hadiah itu, maka hadiah tersebut sesungguhnya akan menjadi milik
negara. Salah satu Hadist Rasulullah yang dapat dijadikan sebagai pedoman atau
rujukan atas kejadian ini adalah sebuah Hadist yang menceritakan adanya
kejadian ketika Rasulullah memerintahkan salah seorang sahabatnya sebagai amil
untuk memungut zakat. Ketika itu sahabat tersebut menginformasikan kepada
Rasulullah bahwa ketika Ia memungut zakat Ia juga menerima hadiah dari salah
seorang pembayar zakat untuk dirinya, dan Ia bermaksud untuk mengambilnya. Atas
informasi tersebut Rasulullah ternyata tidak berkenan, dan menyarakan agar hadiah
tersebut menjadi miliknya baitul mal (negara), karena hadiah itu diberikan atas
dasar jabatan yang melekat pada diri sang pemungut zakat. Dalam hal ini
Rasulullah bersabda yang artinya kurang lebih sebagai berikut;
Hadist Abu Humaid As Sa’idy, bahwasannya Rasulullah SAW, mengangkat seorang
amil, lalu amil itu datang kepada Nabi SWA, ketika selesai dari pekerjaannya.
Ia berkata; Ya Rasulullah ini untuk engkau, sedang ini dihadiahkan untukku.
Maka Nabi bersabda kepadanya: Apakah kamu sebaiknya tidak duduk di rumah ayah
atau ibumu sambil menunggu apakah kamu akan diberi atau tidak?. Kemudian
Rasulullah berdiri pada suatu petang setelah shalat, lalu Nabi tasyahud dan
memuji Allah dengan hal yang pantas bagi allah. Kemudian Nabi bersabda: Amma
ba’du, maka mengapakah amil yang kami angkat, lalu datang kepada kami seraya
mengatakan: Inilah hasil dari pekerjaanmu yang ditugaskan kepadaku, dan ini
dihadiahkan kepadaku. Maka apakah tidak sebaiknya dia duduk dirumah ayah dan
ibunya sambil menunggu apakah ia akan diberi hadiah apa tidak?. Demi Tuhan yang
diri Muhammad berada di tanganNya. Tiadalah salah seorang diantara kamu
menghianati sesuatu dari harta zakat, melainkan ia datang membawa unta dalam
keadaan bersuara. Apakah yang dikhianati merupakan seekor lembu maka iapun
datang membawanya dalam keadaan bersuara. Apabila yang dikhianati seekor
kambing iapun datang membawanya dalam keadaan bersuara. Sesungguhnya aku telah
menyampaikan lalu Abu Humaid berkata: Kemudian Rasulullah SWA, menagngkat
tangannya, sehingga kami melihat warna ketiaknya yang keabu-abuan.
Disamping itu hadiah yang diberikan oleh bawahan atau masyarakat kepada sang
pemimpin dapat disinyalir sebagai riswah atau uang suap, sedangkan menurut
ajaran Islam, hukum dari riswah adalah haram, sebagaimana yang ternukil dalam
Hadist Rasulullah sebagai berikut; “La anallaahurraasyii wal murtasyii
warraaisya baynahumaa” (Allah melaknat penyuap, penerima suap dan yang member
peluang bagi mereka (H.R Ahmad). Sedangkan pada Hadist yang lain Rasulullah
bersabda; “Arraswatuu filhukmikufrun ( Menyuap dalam urusan hukum adalah kufur”
(H.R Athabrani dan Ar-Rabii) Pada kesempatan yang lain Rasulullah juga mengutuk
dengan keras kepada bawahan atau masyarakat yang memberikan hadiah kepada
seorang pejabat sektor publik, sebagai penghianat melalui sabda beliau yang
artinya sebagai berikut; Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah
pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani). Peringatan Rasulullah ini sangat beralasan
sebab pada umumnya seorang bawahan maupun warga masyarakat yang memberikan
hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin
mendekati atau mengambil hati demi kepentingan diri pribadinya, walaupun harus
mengorbankan kepentingan pihak lain.
8. Lemah Lembut Dan Suka Mempermudah urusan Orang Lain
Seseorang yang sedang memegang kepemimpinan sektor publik, sebaiknya bersikap
ramah dan memiliki budi pekerti yang halus serta bersifat lemah lembut di dalam
menjalankan kepemimpinannya. Dengan sikap, sifat dan tindakan semacam inilah
maka seorang pemimpin akan dapat menciptakan situasi damai, harmonis dan penuh
kekeluargaan. Bahkan Rasulullah pada suatu hari pernah berdo’a kepada Allah
yang artinya sebagai berikut; ”Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara
umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang
mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka
berlemah lembutlah kepadanya.
Apabila kita simak secara seksama, sesungguhnya do’a yang dipanjatkan oleh
Rasulullah tersebut mengandung dua dimensi, yakni dimensi motivasi dan dimensi
koersi.
1) Dalam dimensi motivasi, sesungguhnya Rasulullah berupaya untuk memotivasi
terhadap para sang pemimpin agar di dalam menjalankan kepemimpinannya selalu
berorientasi untuk membantu kesulitan pihak lain yang membutuhkan, karena
dengan tindakan yang semacam ini akan berimplikasi secara positif bagi sang
pemimpin agar Ia selalu mendapatkan kemudahan dari Allah ketika Ia mengalami
kesulitan, karena sesungguhnya sang pemimpin jenis ini selalu mempermudah
urusan orang lain dalam menjalankan kepemimpinannya.
2) Dalam dimensi koersi, bagi seorang pemimpin yang sering bahkan selalu
mempersulit urusan orang lain, maka Ia pun akan dipersulit pula oleh Allah SWT
ketika Ia menghadapi problema kehidupannya. Oleh sebab itulah bagi seorang
pemimpin yang bijaksana semestinya Ia selalu memiliki semboyan; Apabila urusan
masyarakat itu bisa dipermudah mengapa harus dipersulit, dan bukan malah suka
melakukan tindakan yang sebaliknya.
9. Tidak bertindak Intimidatif.
Tindakan intimidatif adalah sebuah tindakan yang bertujuan menakut-nakuti dan
memaksa serta berbuat kerusakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Karena melalui tindakan ini dapat menimbulkan keraguan, kekacauan,
saling fitnah yang berakibat pada situasi yang resah dan mencekam di kalangan
masyarakat. Oleh sebab itu tindakan intimidatif merupakan tindakan yang tidak
terpuji, apalagi apabila tindakan tersebut dilakukan oleh seorang pimpinan
sektor publik di dalam menjalankan kepemimpinannya. Rasulullah pernah bersabda
melalui Hadist beliau yang artinya sebagai berikut; ”Jika seorang pemimpin
menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam
Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim). Berkaitan dengan Hadist tersebut maka dapatlah
disimpulkan bahwa siapa saja yang suka bertindak intimidatif, maka sesungguhnya
mereka tidak layak untuk diangkat atau dipilih sebagai seorang pemimpin, karena
sesungguhnya orang yang semacam ini tidak memiliki rasa kasih sayang dan cinta
kasih terhadap sesama, apalagi kepada bawahan atau warga masyarakat yang
dianggap memiliki derajad yang lebih rendah dari sang pimpinannya. Oleh sebab
itu dalam Hadist yang lain Rasullulah juga pernah mengingatkan yang artinya
sebagai berikut;
”Sebaik-baiknya pemimpin kamu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka pun
cinta kepadamu, kamu menghormati mereka dan mereka menghormatimu. Sejelek-jelek
pemimpin kamu adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun benci kepadamu, kamu
melaknat mereka dan mereka pun melaknatmu”.
Berdasar pada Hadist ini dapatlah diambil sebuah pemahaman bahwa pimpinan
sektor publik yang ideal itu adalah seseorang yang memiliki hubungan sosial
yang baik dengan warga masyarakat dan bawahannya, sehingga suasana kehidupan
bernegara kita berada dalam dinamika yang stabil tenteram dan penuh harmoni,
baik hubungan antara warga masyarakat maupun hubungan antara warga masyarakat
dengan sang pemimpinnya.
Dengan mempertimbangkan ke Sembilan (9) syarat dalam mencari figur pemimpin
sektor publik yang dianggap layak memegang tampuk kepemimpinan yang digariskan
oleh syari’at Islam, diharapkan sebuah masyarakat “negara” akan dapat hidup
berbangsa, bernegara secara baik, sehingga negara tidak akan mengalami
keterpurukan yang dalam. Oleh sebab itu mencari pimpinan sektor publik dengan
cara yang benar yang berlandaskan pada rambu-rambu agamawi hukumnya wajib,
karena rambu-rambu atau pedoman tersebut baik secara implisit maupun eksplisit
telah tertuangkan dalam Al-Qur’an maupun dalam beberapa Hadist Rasulullah SAW.
Salah satu Hadist Rasulullah yang memerintahkan untuk mencari pemimpin sektor
publik secara baik dan benar adalah sebuah hadist yang artinya sebagai berikut;
Rasulullah bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan
seorang khalifah(pemimpin) kecuali ada bersama mereka itu golongan pejabat
(pembantu).Yaitu pejabat yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana,
dan pejabat yang menyuruh kepada kemungkaran dan mendorongnya ke sana. Maka
orang yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari
Abu said Radhiyallahu’anhu).
Makna yang terkandung dari Hadist tersebut adalah bahwa seorang pemimpin yang
ideal itu adalah mereka-mereka yang mampu berbuat amar ma’ruf dan nahi munkar,
yakni yang mampu mengarahakan kepada para pengikutnya untuk selalu berbuat baik
dan mencegah untuk berbuat keji dan jahat. Sudah barang tentu sebelum sang
pemimpin ber amar ma’ruf dan nahi munkar kepada pihak atau orang lain, Iapun
harus ber amar ma’ruf nahi munkar terhadap dirinya dan keluarganya terlebih
dahulu, agar Ia tidak diancam oleh Allah sebagaimana yang tertuang dalam (Q.S
As-Saff 62 : 2 dan 3), sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya.
C. KRITERIA KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Begitu pentingnya kedudukan pemimpin dan kepemimpinan dalam pandangan Islam,
sehingga Islam memberikan perhatian yang sangat serius dan penuh kehati-hatian
terhadap aspek-aspek kepemimpinan. Islam sangat memiliki keyakinan yang sangat
kuat bahwa di dalam hidup dan kehidupan masyarakat manusia itu harus selalu ada
yang memimpin dan tidak boleh ada kekosongan. Dalam pandangan Islam,
kepemimpinan merupakan aspek yang sangat penting, maka pada awal kebangkitan
Islam tampuk kepemimpinan kaum muslimin pada waktu itu secara langsung di bawah
kepempinan oleh Rasulullah dengan bimbingan wahyu Allah. Ketika itu Rasulullah
juga pernah memberikan nasehat kepada para sahabatnya agar mempunyai perhatian
yang sangat khusus, yang berkaitan dengan kepemimpinan itu. Bahkan dalam
melakukan perjalananpun, apabila didalam perjalanan itu terdiri dari 3 orang
atau lebih haruslah diangkat seorang pemimpin diantara mereka, sebagaimana
Sabda beliau yang artinya kurang lebih sebagai berikut; “Apabila ada 3 orang
sedang berpergian (musyafir) maka hendaklah kamu mengangkat salah seorang imam
(pemimpin) diantara kalian”.(H.R. Abu Daud). Pada Hadist yang lain Rasulullah
bersabda yang artinya: Abdullah Bin Amr RA, mengabarkan, Muhammmad Rasulullah
SAW bersabda “tidak hahal bagi tiga orang yang berada dalam suatu perjalanan di
bumi ini, melainkan mereka harus mengangkat seseorang diantara mereka itu
sebagai kepala atau pemimpin” (HR. Achmad)
Dalam perkembangan selanjutnya, betapa pentingnya kepemimpinan dalam Islam itu,
bisa dilihat dalam sejarah saat-saat meninggalnya Nabi Muhammad SAW. Ketika itu
sempat tertunda pemakaman Rasulullah, dimana para sahabat berkumpul dirumah
bani Saits untuk memilih kepemimpinan para kaum muslimin. Para shahabat
mendahulukan pemilihan kepemimpinan ini karena menyadari betapa pentingnya
keberadaan seorang pemimpin dan kepemimpinan itu sehingga tidak boleh dalam
kondisi kosong. Kita ketahui bersama bahwa waktu itu terpilih Abu Bakar sebagai
pemimpin kaum muslimin dan kita harus ketahui bersama pula tentang apa saja
alasan para shahabat memilih Abu Bakar menjadi pemimpin pada waktu itu. Alasan
tersebut seperti: 1) Abu Bakar paling tua diantara para shahabat. 2) Paling
dekat kepada Nabi, terlihat sebagai orang yang menemani Rasulullah saat hijrah.
3) Ketika Nabi sedang sakit parah, maka Abu Bakar lah yang ditunjuk Rasulullah
sebagai imam sholat. 4) Abu Bakar lah orang yang pertama kali membenarkan Isra’
Mi’raj Rasulullah dan mendapat gelar ash-shidiq.
Apabila difahami secara filosifis, terpilihnya Abu Bakar sebagai pengganti
Rasulullah dalam memegang tampuk kepemimpinan tersebut adalah, karena Abu bakar
diapandang sebagai satu-satu orang yang paling dekat dengan nabi, sebagai
seorang kepercayaan utama, dan lebih senior dari para sahabat lainnya, sehingga
dianggap sebagai satu-satu orang yang mampu mengemban amanah dan meneruskan
kebijakan Nabi dalam membina kehidupan ummatnya. Lebih dari itu tingkat ke
salehan Abu Bakar tidak perlu diragukan, sementara itu kreteria utama dari
seorang pemimpin sektor publik haruslah dipegang oleh seorang yang memiliki
predikat saleh, sebagaimana Firman Allah yang artinya; “Dan sesungguhnya telah
kami tulis di dalam Zabur, sesudah kami tulis di dalam Lauh Mahfudzh,
bahwasannya bumi ini dipusakai oleh hamba-hambaku yang saleh” (Q.S Al-Ambiya”
105). Dengan demikian seseorang yang paling pantas untuk dijadikan sebagai
khalifah filardh atau sebagai wakil Allah di muka bumi ini adalah seseorang
yang berpredikat sebagai orang yang “saleh”. Orang-orang yang semacam inilah
yang pantas mendapatkan mandat untuk mengurusi kehidupan manusia di muka bumi
ini. Sedangkan kreteria atau ukuran dari orang yang saleh menurut Firman Allah
adalah “Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan salat, memunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada
Allah“ (Q.S Al-Maidah:55). Jadi kriteria orang saleh menurut Al-Qur’an yang
patut untuk dijadikan sebagai seorang pemimpin sektor publik adalah meliputi:
- Mendirikan sholat,
- Membayar zakat,
- Tunduk pada aturan Allah
Sedangkan menurut ketentuan sunnah Rasulullah kreteria tersebut masih perlu dilengkapi
dengan unsur-unsur lain yang diantaranya adalah:
a. Orang yang lebih fasih bacaannya.
b. Orang yang lebih paham sunah-sunnah Nabi.
c. Orang yang lebih dulu berhijrah/masuk Islam.
d. Orang yang lebih tua dalam umur/lebih cerdas.
Disamping itu juga bisa disandarkan pada sifat Nabi Muhammad SAW sebagai
kriteria untuk menjadikan seseorang sebagai pemimpin, yaitu:
a. Shidiq, orang yang benar.
b. Amanah, orang yang jujur.
c. Tabligh, menyampaikan pesan-pesan Illahiyah.
d. Fathonah, orang yang cerdas, meliputi kecerdasan intektual, kecerdasan
emosional, dan kecerdasan spiritual.
Aspek lain yang perlu mendapat perhatian secara khusus berkaitan dengan
kepemimpinan sektor publik dalam perspektif Islam adalah power and religion.
Dalam hal ini aspek kekuasaan bukan dipergunakan sebagai alat untuk memaksakan
kehendak kepada orang atau pihak lain, tetapi lebih dipergunakan sebagai
piranti atau alat untuk memegang prinsip agar seorang pemimpin sektor publik
tidak mudah diintervensi atau digoyahkan oleh kekuasaan pihak lain, terutama
pihak-pihak yang non-muslim. Oleh sebab itu apabila dijumpai ada dua calon
pemimpin yang sama-sama cerdas, tetapi dalam hal kedekatan pada orang kafir
berbeda, maka haruslah dipilih seorang calon pemimpin yg dibenci oleh orang
kafir tersebut dan tinggalkanlah untuk memilih calon pemimpin yang dekat pada
orang kafir, karena orang yang seperti ini imannya mudah goyah, sehingga kurang
teguh dalam mempertahankan kekuasaannya, yang pada gilirannya nanti akan rela
mengorbankan kepentingan umat dan agamnya demi ambisi pribadinya. Dalam hal ini
Ibnu Taimiyyah pernah berkata sebagai berikut: “Agama Islam tidak akan bisa
tegak atau abadi tanpa ditunjang oleh kekuasaan dan kekuasaan tidak bisa
langgeng tanpa ditunjang dengan agama” Dengan demikian bagi suatu negara yang
penduduk atau warga negaranya mayoritas Muslim, maka sudah seharusnya apabila
selalu berpegang pada syari’at agamanya dalam menentukan atau memilih seorang
pemimpin sektor publik.
D. PRINSIP-PRINSIP KEPEMIMPINAN SEKTOR PUBLIK
Dalam uraian di atas telah dijabarkan berbagai persyaratan agamawi bagi
seseorang yang akan diberikan kewenangan untuk menjalankan tugas-tugas
kepemimpinan sektor publik, dengan asumsi bahwa berbagai persyaratan tersebut
secara akumulatif mampu membingkai secara rapi dan tegas agar sang pemimpin
dapat menjalankan wewenang dan tanggung jawab kepemimpinannya secara benar dan
sunggung-sungguh. Tanpa kesungguhan yang kuat mustahil seorang pemimpin sektor
publik dapat menjalankan prinsip-prinsip kepemimpinannya secara maksimal dan
sempurna. Sedangkan prinsip-prinsip kepemimpinan sektor publik dilihat dari
perspektif Islam, secara garis besar dapat dikategorikan menjadi tiga (3)
prinsip utama yang terdiri dari;
1. Prinsip Keteladanan
Pada bagian atas telah disinggung bahwa seorang pemimpin yang ideal itu adalah
mereka yang mampu mengendalikan diri dan keluarganya terlebih dahulu sebelum
mereka memerintahkan sesuatu kepada orang lain. Dengan kata lain bahwa seorang
pimpinan adalah sebuah panutan bagi para pengikutnya. Oleh sebab itu efektif
atau tidaknya kinerja sang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya sangat
dipengaruhi oleh perilaku dari pribadi dan anggota keluarga sang pemimpinnya.
Bilamana tindakan mereka rusak dan tidak terpuji, maka jangan harap mereka akan
mampu memperbaiki kehidupan para anak buah dan warga masyarakatnya. Namun
apabila sikap dan tindakan serta perilaku sang pemimpin dan keluarganya selalu
baik dan terpuji di hadapan para pengikutnya maka dapat dijamin bahwa sikap,
tindakan dan perilakunya itu akan terpancar keseluruh jiwa para pengikutnya,
sehingga kedamaian dan keserasian dan kestabilan dalam kehidupan bernegara
bangsanyapun dapat terjelma pula. Tentang contoh dan perintah bagi seorang
pemimpin sektor publik untuk selalu menteladari berbagai kebaikan kepada para
warga masyarakatnya itu secara eksplisit tertuang dalam salah satu Firman Allah
yang artinya; Sesungguhnya di dalam diri Rasulullah itu telah ada suri teladan
yang baik bagimu, yaitu bagi bagi orang yang mengharap rahmat Allah….. (Q.S 33:
21).
Bertolak dari ayat tersebut apabila dicermati secara seksama, terdapat dua
pesan utama yang ingin disampaikan kepada umat manusia, yakni disamping pesan
yang ditujukan kepada sang pemimpin agar selalu memberikan keteladanan yang
baik kepada para pengkutnya, juga berpesan kepada sang pengikut agar selalu
mengikuti atau menteladani berbagai kebaikan yang diperbuat oleh sang pemimpin,
agar semua pihak dapat menerima rahmat yang datang dari Allah. Apabila sang
pengikut acuh terhadap berbagai keteladanan yang dilakukan oleh sang pemimpin
maka jangan harap rahmat Allah akan menghampiri kehidupan kita dalam bernegara
bangsa. Jadi sebenarnyalah Allah telah bertindak maha bijak karena kedua pihak
(baik sang pemimpin maupun sang pengikut) harus saling bersambut dalam berbuat
kebaikan agar rahmat Allah relatif mudah untuk di dapatkan, tetapi apabila sang
pengikut tidak bersambut terhadap keteladanan yang dilakukan oleh sang pemimpin
jangan harap rahmat Allah akan menghampiri kita.
Disamping itu berkaitan dengan keteladan sang pemimpin ini, maka dalam
perspektif Islam seorang pemimpin sering disebut sebagai Imam, yang berarti
orang yang harus ada di depan. Secara etimologis, imam berasal dari kata
(bahasa arab) amma, ya’ummu yang artinya menuju, menumpu dan meneladani. Itulah
sebabnya maka seorang imam atau pemimpin harus selalu di depan guna memberi
keteladanan atau kepeloporan dalam segala bentuk kebaikan dan kebajikan. Hal
ini senada dengan konsep kepemimpinan jawa yang salah satunya menyebutkan bahwa
seorang pemimpin itu haruslah mempunyai sifat in ngarso sung tulodo, sedangkan
menurut team OECD diistilahkan sebagai Leading by example, kepemimpinan
berdasarkan contoh atau keteladanan. Bertolak dari uraian ini, telah
menjelaskan kepada kita bahwa seorang pemimpin itu secara ideal adalah
seseorang yang perilakunya dapat diteladani oleh masyarakat, bawahannya atau
bagi para pengikutnya. Dengan kata lain bahwa seorang pemimpin itu pada
dasarnya merupakan panutan dari ummat atau masyarakatnya.
2. Prinsip Inspirasional
Menurut salah satu prinsip yang terdapat di dalam teori kepemimpinan
transformasional, menjelaskan bahwa seorang pemimpin yang ideal itu adalah
seorang pemimpin yang mampu membangun isnpirasi secara positif terhadap para
bawahan dan pengikutnya. Alasannya dengan memberikan kesempatan berinspirasi
terhadap para pengikut dan bawahan akan dapat meningkatkan daya kreativitas
mereka ketika mereka dihadapkan pada permasalahan yang bersifat mendesak dan
membutuhkan penyelesaian dengan segera (lihat Hunt dan Osborn 1998 : 519).
Kendatipun teori kepemimpinan transformasional ini merupakan salah satu teori
kepemimpinan terkini, sebanarnya prinsip-prinsip ini telah diterapkan oleh
Rasulullah dalam menjalankan kepemimpinannya pada beberapa abad yang lalu.
Tindakan isnpirasional yang pernah dilakukan oleh Rasulullah tersebut, telah
diabadikan dalam sebuah Sabda beliau yang artinya sebagai berikut;
Dari Mu’adz bin Jabal, bahwasannya Rasulullah SAW ketika mengutusnya ke Yaman
Rasulullah bertanya kepadanya; Wahai Mu’adz bagaimana caranya kamu memutuskan
perkara yang diajukan terhadapmu?, Mu’az menjawab, “saya akan memutuskannya
sessuai dengan yang tertera dalam Kitabullah (Al-Qur’an)”. Rasulullah bertanya
lagi, “kalau kamu tidak menemukannya di dalam Kitabullah?”, Jawab Mu’adz, “saya
akan memutuskannya sesuai dengan sunnah Rasulullah”, Kalau kamu tidak menemukan
dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula ditemukan di dalam Kitabullah,
bagaimana”? Mu’dz menjawab, “Ketika itu saya akan berijtihad, mencurahkan
segala pikiran saya tanpa ragu sedikitpun”. Mendengar jawaban itu, Rasulullah
meletakkan tangannya ke dadanya seraya berkata: Segala puji bagi Allah yang
telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah sehingga menyenanghkan hati
Rasulullah”. (H.R Imam Abu Dawud & Imam Tirmidzi).
Inilah salah satu prinsip kepemimpinan yang baik, yang mampu memberikan
isnpirasi kepada para bawahannya untuk berimprovisasi dan ber ijtihat secara
benar. Namun meskipun ruang inspirasi telah diberikan kepad bawahan dengan cara
yang seluas-luasnya, tetapi pelaksanannya masih tetap berada pada situasi
terkontrol dengan baik, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah pada
waktu itu. Barang kali prinsip ini juga sesuai dengan prinsip kepemimpinan jawa
yang terkenal dengan semboyan ing madyo mangun karso. Disampingh itu dalam
prinsip yang dijalankan oleh Rasulullah tersebut jauh dan terhindar dari budaya
minta petunjuk, karena pihak bawahan diberi kesempatan lebih dahulu untuk
mengutarakan ide-idenya, dan ketika ide itu cocok atau sesuai dengan harapan sang
pemimpin, maka sang pemimpin tidak segan-segan untuk mendukung dan mengakui
eksistensinya dan kebenaran dari hasil pemikirannya.
3. Prinsip Motivasional
Secara konseptual, pemimpin dalam perspektif Islam disebut juga dengan istilah
khalifah yang berasal dari kata (bahasa arab) khalafa yang artinya wakil,
pengganti atau di belakang. Oleh karena khalifah dinyatakan sebagai pengganti,
atau wakil, maka posisi dan tugasnya memang untuk mewakili atau menggantikan
pihak yang diwakilinya, sehingga keberadaannya harus ada di belakang atau
datang sesudah yang digantikan. Kalau pemimpin itu disebut khalifah, yang
diberikan tugas menjalan kepemimpinan di muka bumi ini, maka artinya adalah
sang khalifah harus bisa berada di belakang untuk menjadi pendorong dan memberikan
dorongan atau memotivasi kepada orang yang dipimpinnya. Sudah barang tentu
pemberian motivasi dan dorongan itu bertujuan untuk kepentingan dan kemajuan
dalam menjalani kehidupan yang baik dan benar. Disamping itu juga sekaligus
mengarahkan kehendak dan langkah yang harus diambil oleh orang yang dipimpinnya
kearah kebenaran, yang menurut konsep kepemimpinan jawa disebut sebagai tut
wuri handayani.
Merujuk dari berbagai konsep tentang prinsip-prinsip kepemimpinan sektor publik
sebagaimana yang teruraikan di atas telah memberikan pemahaman bahwa konsep
kepemimpinan Islam merupakan konsep yang dapat diterapkan di segala jaman dan
disegala lingkungan sosial manapun. Oleh sebab itu apabila di dalam sebuah
lingkungan sosial (negara) yang kondisinya serba semrawut, mengalami berbagai
krisis dan lain sebagainya, tentu itu semua akibat dari ketidak mampuan warga
masyarakat itu (baik pemimpinannya maupun masyarakatnya) dalam menjalankan
konsep kepemimpinan secara benar.
E. HAKIKAT KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
Semua orang pasti telah bersepakat bahwa dalam kehidupan sehari-hari,
masyarakat selalu membutuhkan adanya pemimpin, yang bertugas menjalankan
kepemimpinanya secara baik dan benar demi terciptanya kemaslahatan hidup
masyarakat manusia. Apabila di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya
pemimpin atau kepala keluarga, begitu pula halnya di masjid dalam menjalankan
shalat berjamaah bisa membutuhkan seorang pemimpin yang disebut sebagai Imam.
Bahkan di dalam salah satu Hadist Rasulullah sebagaimana ternukil pada bagian
sebelumnya, juga mewajibkan untuk menunjuk seorang pemimpin, kepada kaum
muslimin yang sedang melakukan perjalanan, yang apabila dalam perjalanan itu
terdiri dari tiga (3) orang anggota atau lebih.
Ini memberikan bukti bahwa betapa pentingnya kedudukan seorang pemimpin yang
harur menjalankan tugas-tugas kepemimpinan dalam mengatur kehidupan manusia di
muka bumi ini. Betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat, baik
dalam skala yang kecil apalagi pada skala yang besar. Untuk tujuan memperbaiki
kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik, maka seorang muslim tidak boleh
mengelak dari tugas kepemimpinan, apabila masyarakat memang menghendakinya,
sehingga Rasulullah bersabda yang artinya sebagai berikut; “Rasulullah Saw
bersabda: Barangsiapa yang diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar
(mengelak) melayani kaum lemah dan orang-orang yang membutuhkannya, maka Allah
tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat” (HR.Ahmad).
Namun demikian tampuk kepemimpinan, menurut Islam sangat tidak layak untuk
diberikan kepada seseorang yang sangat berambisi untuk menduduki atau menjadi
seorang pemimpin, terutama dalam kepemimpinan sektor publik sebagaimana
tertuang dalam salah satu Hadist Rasulullah yang berbunyi; Lan nasta’mila ‘alaa
‘amalinaa man araadahu (Kami tidak mengangkat orang yang berambisi berkedudukan
(H.R Muslim). Alasan Islam untuk tidak mengangkat seseorang yang berambisi
untuk diberi kedudukan sebagai seorang pemimpin sektor publik, sebab hakekat
kepemimpinan sektor publik itu adalah sebagai berikut:
1. Tangung Jawab, Bukan Keistimewaan.
Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memegang tampuk kepemimpin suatu
lembaga atau institusi, apalagi suatu negara, maka Ia sebenarnya sedang
mengemban tanggungjawab yang besar. Sementara itu Pada bagian depan telah
diuraikan bahwa suatu tanggungjawab kepemimpinan itu terdiri dari tiga demensi
yakni dimensi ilahia, dimensi individual dan dimensi sosial. Dengan demikian
seorang pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang mampu, mau dan berani mempertanggungjawabkannya
kepemimpinannya, tidak saja dihadapan manusia (bawahan atau masyarakatnya)
tetapi yang lebih penting lagi adalah berani bertanggungjawab dihadapan Allah
SWT.
Itulah sebabnya maka jabatan kepemimpinan sektor publik itu, di level manapun
bukan merupakan keistimewaan melainkan sebuah beban. Dengan demikian maka tidak
sepatutnya apabila seorang pemimpin atau pejabat itu merasa sebagai manusia
yang istimewa sehingga mereka merasa harus diistimewakan dan mereka sangat
marah apabila orang lain tidak mengistimewakan dirinya. Bahkan Rasulullah telah
mengingatkan kepada semua pemimpin yang merasa memperoleh keistimewaan atas
tampuk kepemimpinan yang diembannya, sementara itu mereka lupa akan amanah dan
tanggungjawab berat yang dipikulnya melalui sabdanya sebagai berikut;
Ila maaratu awwaluhaa nadaamatun wa ausyatuhaa gharaamatun wa akhiruhaa
‘adhaabu yaumal qiyaamah (Jabatan (kedudukan/ sebagai seorang pemimpin itu)
pada permulaannya adalah penyesalan, pada pertengahannya adalah kesengsaraan (kekesalan
hati) dan pada akhirnya adalah adzab pada hari kiamat) (H.R. Athabrani)
Akan tetapi apabila sang pemimpin tersebut mampu menjalankan amanah
kepemimpinannya secara baik dan benar, serta mampu menciptakan kemaslahatan
bagi kehidupan para bawahan dam masyarakatnya, maka Hadist tersebut pastilah
tidak berlaku baginya. Begitu besarnya beban amanah dan tanggungjawab seorang
pemimpin sektor publik ini, maka ketika Umar bin Abdul Aziz memegang jabatan
sebagai khalifah, beliau tidak segan-segan untuk datang ke sebuah pasar yang
bertujuan untuk mengetahui langsung keadaan pasar, maka ia datang sendirian
dengan penampilan biasa, bahkan sangat sederhana sehingga ada yang menduga
kalau ia seorang kuli panggul lalu orang itupun menyuruhnya untuk membawakan
barang yang tak mampu dibawanya. Umar membawakan barang orang itu dengan maksud
menolongnya, bukan untuk mendapatkan upah. Namun ditengah jalan, ada orang
memanggilnya dengan panggilan yang mulia sehingga pemilik barang yang semula
tidak begitu memperhatikannya itu, menjadi memperhatikan siapa orang yang telah
disuruhnya membawa barangnya. Setelah ia tahu bahwa Umar sang khalifah yang
disuruhnya, iapun meminta maaf, namun Umar merasa hal itu bukanlah suatu
kesalahan. Karena kepemimpinan itu pada dasarnya adalah tanggung jawab atau
amanah yang tidak boleh disalahgunakan, maka pertanggungjawaban menjadi suatu
kepastian. “Sejalan dengan hal ini Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban
tentang kepemimpinan kamu” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Pengorbanan, Bukan Fasilitas
Menurut konsep dan ajaran Islam bahwa menjadi pemimpin atau pejabat bukanlah
untuk menikmati kemewahan atau kesenangan hidup dengan berbagai fasilitas
duniawi yang menyenangkan. Sebaliknya justru merupakan perjuangan dan
pengorbanan. Oleh sebab itu bagi seorang pemimpin, mereka justru harus mau
berkorban dan menunjukkan pengorbanan, apalagi ketika masyarakat yang
dipimpinnya berada dalam kondisi sulit dan sangat sulit. Ada suatu riwayat,
dimana diceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz sebelum menjadi khalifah beliau
terbiasa menghabiskan dana untuk membeli pakaian yang harganya 400 dirham, tapi
ketika ia menjadi khalifah ia hanya membeli pakaian yang harganya 10 dirham,
hal ini ia lakukan karena kehidupan yang sederhana tidak hanya harus dihimbau,
tapi harus dicontohkan langsung kepada masyarakatnya.
Berdasarkan diskripsi tersebut, maka menjadi terasa aneh bila dalam anggaran
belanja negara atau propinsi dan tingkatan yang dibawahnya terdapat anggaran
dalam puluhan bahkan ratusan juta untuk membeli pakaian bagi para pejabat,
padahal ia sudah mampu membeli pakaian dengan harga yang mahal sekalipun dengan
uangnya sendiri sebelum ia menjadi pemimpin atau pejabat.
3. Kerja Keras, Bukan Santai.
Pada dasarnya para pemimpin sektor publik di dalam mengemban amanah untuk
menjalankan kepemimpinannya, mereka selalu dihadapkan kepada berbagai persoalan
hidup para warga masyarakat yang dipimpinnya. Oleh sebab itu idealnya sebagai
seorang pemimpin Ia harus mampu mengarahkan kehidupan masyarakat untuk bisa
menjalani kehidupan yang baik dan benar serta mencapai kemajuan dan
kesejahteraan. Agar kesemuanya itu bisa dicapai maka, para pemimpin dituntut
bekerja keras dengan penuh kesungguhan dan penuh optimis. Salah satu riwayat
telah menginformasikan kepada kita bahwa ketika terjadi krisis ekonomi di jaman
kekhalifahan Umar, Khalifah Umar bin Khattab membagikan sembako (bahan pangan)
kepada rakyatnya. Meskipun pada sore harinya Ia sudah menerima laporan tentang
pembagian yang merata, namun pada malam hari itu juga, di saat masyarakat sudah
mulai tidur, Umar mengecek langsung dengan mendatangi lorong-lorong kampung,
Kebetulan pada saat itu Khalifah Umar mendapati masih ada rakyatnya yang sedang
memasak batu sekedar untuk memberi harapan kepada anaknya yang menangis karena
lapar karena belum mendapatkan jatah sembako yang telah dibagikan. Meskipun
malam sudah semakin larut, untuk mengatasi hal tersebut Khalifah Umar pulang
kerumahnya dan selanjutnya Ia memanggul sendiri satu karung bahan makanan untuk
diberikan kepada rakyatnya yang memang belum memperoleh jatah sebagamana
mestinya. Bagi seorang pemimpin sektor publik yang tidak mau bekerja keras bagi
ummat atau masyarakatnya, mereka akan celaka kelak di akhirat. Hal ini sesuai
dengan Hadist Rasulullah yang artinya kurang lebih sebagai berikut; Abu
Hurairah RA, menuturkan, Muhammad Rasulullah bersabda: “Celakalah para umaro’
(pemimpin Negara), celakalah bagi pengurus organisasi, dan celakalah bagi
penerima amant. Sungguh akan berangan-angan beberapa kaum pada hari kiamat
kelak, sesungguhnya jambul-jambul mereka selalu tergantung di bintang sambil
berputar-putar antara langit dan bumi, sedang mereka tidak pernah mengerjakan
sesuatu apapun” (H.R Akhmad)
Dari berbagai uraian dan penjelasan di atas, kita bisa menyadari betapa penting
kedudukan pemimpin dan kepemimpinan bagi suatu masyarakat, karenanya jangan
sampai kita salah memilih pemimpin, baik dalam tingkatan yang paling rendah
seperti kepala rumahtangga, ketua RT, pengurus masjid, lurah dan camat apalagi
sampai tingkat tinggi seperti anggota parlemen, bupati atau walikota, gubernur,
menteri dan presiden. Karena itu, orang-orang yang sudah terbukti tidak mampu
memimpin, menyalahgunakan kepemimpinan untuk misi yang tidak benar dan
orang-orang yang kita ragukan untuk bisa memimpin dengan baik dan kearah
kebaikan, tidak layak untuk kita percayakan menjadi pemimpin, khususnya pada
kepemimpinan sektor publik.
Lebih dari itu oleh karena tugas kepemimpinan sektor publik bukan merupakan
tugas, amanah dan tanggungjawab yang ringan maka sejak awal Islam telah
menggariskan bahwa tampuk kepemimpinan harus diserahkan kepada orang-orang yang
mampu dan berkompeten dalam mengemban tugas tersebut. Itulah sebabnya agar
tampuk kepemimpinan sektor publik dapat dilaksanakan dengan hasil yang
maksimal, maka diperlukan strategi pengembangan kompetensi bagi mereka-mereka
yang akan diserahi wewenang dan tanggungjawab dalam menjalankan kepemimpinan di
bidang ini.
4. Pengabdian, bukan cari keuntungan
Dalam salah satu Hadist, Rasulullah pernah bersabda sebaai berikut; “sayyidul
qoumi haadhimuhum (sesungguhnya pemimpin suatu kaum itu adalah pengabdi atau
pelayan bagi mereka (H.R. Abu Na’im). Hadist inilah yang semestinya dipahami
secara mendalam dan dijadikan sebagai salah satu pijakan atau dasar bagi
seorang pimpinan sektor publik dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya di
tengah-tengah masyarakat. Apabila seorang pemimpin selalu berpijak pada aspek
pelayanan ini dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya pastilah Ia akan
bekerja secara ikhlas tanpa pamrih, dan selalu mempermudah urusan yang
dibutuhkan oleh masyarakatnya. Perintah agama agar sang pemimpin selalu
mempermudah urusan bagi warga masyarakat/atau pengikutnya ini, karena sesunguhnya
bahwa seorang pemimpin itu adalah seorang abdi atau pelayan bagi pengikutnya,
sebagaimana sabda Rasulullah tersebut di atas. Dengan demikian maka sudah
selayaknya apabila seorang pemimpin itu harus selalu berorientasi pada
terselenggaranya pelayanan publik yang baik.
F. MEMBANGUN KOMPETENSI KEPEMIMPINAN SEKTOR PUBLIK
Dalam bukunya yang berjudul Public Sector Leadership for the 21st Century, Team
OECD mengajukan perubahan asumsi bahwa yang disebut kepemimpinan itu tidak
hanya terbatas pada mereka-mereka yang memiliki posisi dan otoritas formal
belaka, melainkan juga mencakup seluruh ”public officials” yang berada di semua
tingkatan yang mempunyai pengaruh terhadap orang lain. Dalam khasanah
perkembangan teori kepemimpinan menilai bahwa asumsi yang dibangun oleh Team
OECD tersebut akan mengarah pada terbentuknya ”paradigma” tersendiri di dalam
kepemimpinan sektor publik, yang juga akan membawa implikasi teoritis
tersendiri bagi perkembangan teori kepemimpinan sektor publik. Namun apabila
kita menengok kembali tentang konsep kepemimpinan Islam sebenarnya pandangan
yang diajukan oleh Team OECD tersebut bukanlah merupakan temuan baru, melainkan
prinsip-prinsip kepemimpinan lama yang dimunculkan Islam sekian abad silam,
yang selama ini telah terlupakan. Salah satu bukti bahwa pandangan tersebut
merupakan prinsip-prinsip kepemimpinan yang dibangun atas dasar sendi-sendi
Islamiah adalah sebagaimana yang tertuang dalam salah satu Hadist Rasulullah
yang telah termuat di bagian atas dari tulisan ini. Namun untuk kepentingan
pembahasan sengaja penulis cuplik kembali yang terjemahannya kurang lebih
sebagai berikut;
“Masing-masing dari kamu sekalian adalah pemimpin, dan masing-masing dari kamu
sekalian bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Imam adalah pemimpin dan
bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Orang laki-laki adalah pemimpin dalam
keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Orang perempuan adalah
pemimpin dalam rumah suaminya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya, dan
pelayan adalah pemimpin atas harta tuannya (majikannya) dan bertanggung jawab
atas kepemimpinannya. (H.R. Buchari)
Sedang narasi yang diriyawatkan oleh Bukhari dan Muslim ditambah dengan kalimat
“seorang anak adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta
ayahnya”. (H.R Al-Bukhari dan Muslim).
Tanpa harus memperdebatkan apakah pandangan Team OECD tersebut merupakan
jiplakan dari konsep Islam, ataukah hanya suatu kebetulan saja, yang jelas
dengan berpedoman dari Hadist Rasulullah tersebut, semakin memperjelas dan
memperkuat bahwa sebenarnya konsep-konsep kepemimpinan yang dibangun oleh Islam
sekian abad yang lalu itu ternyata bersifat universal dan sehingga tingkat
keberlakukannya mampu menembus dimensi ruang dan waktu, sehingga tidak pernah
usang. Kendatipun kedua konsep tersebut mengandung persamaan, namun dalam
implementasinya keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar, dimana
perbedaan yang dimaksud secara singkat dapat dideskripsikan di bawah ini.
Menurut Team OECD keberadaan kepemimpinan sektor publik memang bisa merembes ke
dalam semua level, sepanjang orang-orang yang ada di dalamnya memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sesuai kehendak atau keinginan sang
pemimpinnya. Dengan demikian apabila di dalam praktik-praktik berorganisasi
ataupun bernegara terdapat seorang bawahan yang mampu mempengaruhi
atasan/pemimpinya maka secara hakiki orang yang mempengaruhi itulah yang sedang
menjalankan tugas kepemimpinan. Kendatipun pendapat ini sekilas tampak “benar”,
namun karena dalam konsep ini tidak menggariskan bentuk dan sifat “pengaruh”
secara riil, maka bisa jadi bentuk dan sifat pengaruh itu sebenarnya bernuansah
negatif yang justru akan dapat menimbulkan kekacauan atau kegagalan dalam
berorganisasi maupun bernegara.
Berbeda dengan konsep yang dibanun oleh Team OECD, meskipun Islam juga
berpandangan bahwa kepemimpinan itu melingkupi semua level kehidupan, namun
dalam menjalankan prinsip-prinsip kepemimpinan tidak di dasarkan pada kemampuan
mereka untuk mempengaruhi pihak lain, melainkan berbasis pada tanggungjawab
atas sebuah aktivitas yang telah dilakukan. Sudah barang tentu bentuk, sifat
dan kualitas tanggungjawab yang dimaksud dalam konsep Islam ini disesuaikan
dengan bidang dan pekerjaan serta kompetensi masing-masing pemimpin. Atas dasar
inilah maka konsep kepemimpinan Islam sangat memperhatikan pentingnya
kompetensi dan keahlian yang harus dimiliki para pemimpin dalam menjalankan
kepemimpinan sektor publik, sebagaimana pernyataan Rasulullah dalam sabdanya
yang terjemahannya sebagai berikut; Apabila kamu menyerahkan suatu urusan
kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat-saat kehancurannya.
Sedangkan dalam narasi yang lain Muhammad Rasulullah WAS bersabda: “ Apabila
amanat disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya”. Bagimana menyia-nyiakan
amanat itu ya Rasulullah?, Tanya seorang sahabat; Rasulullah bersabda “apabila
perkara itu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat
kehancurannya” (HR. Bukhari).
Menurut definisi dari Tillman dalam Ansarullah (2007:2) competency is
knowledge, skill and attitude to perform an ability to certain job. Oleh karena
menurut definisi tersebut mengatakan bahwa kompetensi itu selalu menujuk pada
adanya pengetahuan, keahlian dan sikap yang melekat pada diri seseorang yang
dapat digunakan untuk menilai kemampuan oleh seseorang dalam mengerjakan suatu
pekerjaan tertentu, maka pekerjaan atau suatu urusan yang dilaksanaan oleh
orang yang memiliki kompetensi, maka hasilnya akan memuaskan. Itulah sebabnya
Rasulullah jauh sebelum dunia ini mengalami perubahan yang dahsat seperti kita
rasakan saat ini beliau telah berpesan agar suatu urusan itu selalu diserahkan
pada ahlinya atau orang-orang yang berkompeten untuk itu. Untuk melihat apakah
seseorang itu memiliki kompetensi atau tidak atas sebuah urusan Spencer (1990)
mengatakan; competency is any individual characteristic that can be measured or
counted reliably and that can be shown to differentiate significantly between
effective and ineffective performance. Sedangkan untuk melaksanakan tugas-tugas
kepemimpinan pada sektor publik, seorang pemimpin harus dimiliki oleh lima
kompetensi pokok yakni;
1. Communicative effectively to the public and professional colleagues.
2. Work in a team in the delivery of service
3. Be aware of their roles as scientist and expertise in the community.
4. Have an elementary knowledge of organization and management of practice
5. Demonstrate a capability to conduct themselves in a professional manner
regarding their professions
Apabila kelima aspek kompetensi tersebut dikaitkan dengan proses pemberian
pelayanan publik yang selalu dibutuhkan masyarakat di dalam kehidupan
organisasi pemerintahan, maka kesemuanya memiliki relevansi yang sangat kuat,
sehingga tinggi rendahnya kompetensi yang dimiliki oleh seseorang baik secara individual
maupun secara kolektif akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat yang membutuhkannya. Ingat dengan hadist nabi yang
intinya mengatakan bahwa sesungguhnya seorang pemimpin itu adalah pelayan atau
abdi bagi masyarakatnya. Seorang pemimpin sektor publik yang berkompeten dalam
menjalankan misi dan visi kepemimpinannya selalu di dasarkan pada keahlian
inteletualnya, keahlian psikomotoriknya dan keahlian dalam bersikap serta
berperilaku, yang kesemuanya itu terintegrasikan secara sempurna dalam
bertindak, sehingga mereka tidak gegabah dalam membuat suatu keputusan atas
perkara yang dihadapinya.
Oleh karena keberadaan kompetensi menempati posisi yang sangat sentral, maka
apabila masyarakat akan memilih sosok pemimpin, haruslah dilihat apakah Ia
memiliki kompetensi atau tidak, yang berkaitan dengan amanah dan beban
tanggungjawab yang akan diberikan kepadanya. Disamping itu untuk kepentingan
jangka panjang, maka sudah selayaknya apabila calon-calon pemimpin masa depan
itu harus dipersiapkan secara matang dengan cara membangun kompetensi mereka,
baik kompetensi yang bersifat hard skill, soft skill, maupun kompetensi yang
berkaitan dengan moral skill bagi calon sang pemimpin. Adapun kiat dan strategi
Islam dalam membangun kompetensi kepemimpinan yang kuat dan amanah harus
diorientasikan kepada tiga (3) hal pokok yang teridiri dari;
1. Person/people oriented
Dalam perspektif Islam, langkah pertama untuk mencari figur kepemimpinan pada
umumnya, dan kepemimpinan sektor publik pada khususnya harus atau wajib
diorientasikan pada kualitas kemampuan, kompetensi dan integritas personalnya.
Negara yang baik hanya dapat diwujudkan melalui keberadaan sosok pemimpin yang
baik, yang tidak ambisius dan siap bertindak sebagai abdi bagi warga negara
atau masyarakatnya. Lebih dari itu, dalam kehidupan nyata, prinsip-prinsip
kepemimpinan akan dapat dilaksanakan secara maksimal apabila sang pemimpinnya
memliki tiga unsur dasar yang teridiri dari; hard skill, soft skill dan morals
skill yang memadai. Namun demikian apabila seseorang yang memiliki ketiga aspek
tersebut sangat ambisius untuk memperoleh jabatan atau kedudukan, maka Islam
melarang keras untuk menyerahkan tampuk kepemimpinan pada sosok yang demikian,
karena dikhawatirkan apabila Ia telah memperoleh kedudukan yang sangat
diidamkannya itu, kelak mereka lupa dengan amanah yang seharusnya Ia
laksanakan. Akibatnya akan dapat merusak tatanan dan merugikan banyak pihak
termasuk bagi sang pemimpin itu sendiri. Itulah sebabnya Rasulullah memberikan
peringatan kepada kita melalui Sabda beliau yang artinya adalah sebagai
berikut; “Sesungguhnya kalian akan memiliki ambisi untuk dapat memegang suatu
jabatan, padahal di Hari Kiamat nanti jabatan itu menjadi suatu penyesalan.
(HR-Al-Bukhari, an-Nasa’i dan Ahmad).
Dengan berpedoman pada Hadist tersebut dapat diambil sebuah pemahaman bahwa
walaupun kompetensi itu adalah faktor penting bagi pelaksanaan sebuah
kepemimpinan, namun yang lebih penting lagi adalah aspek “moral” atau “akhlak”
yang harus dimiliki sang pemimpin, karena bagi seorang yang bermoral dan ber
akhlak muliah sesungguhnya Ia akan terbebas dari sifat ambisius. Disamping itu
pula tugas lain dari seorang pemimpin terhadap para pengikut atau masyarakatnya
adalah untuk selalu membina akhlak dan moral bagi mereka, sebagaimana Sabda
Rasulullah yang berbunyi “Innama buistu li utamimma makarimal akhlaqa”
(Sesungguhnya aku diturunkan ke bumi ini adalah untuk memperbaiki akhlak
mereka). Oleh karena salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah
membangun akhlak masyarakatnya, apabila moralnya sendiri jelek atau tidak baik,
maka sudah dapat dipastikan bahwa sang pemimpin itu akan mengalami kegagalan
besar dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya.
Apa lagi apabila akibat dari jeleknya moral sang pemimpin tersebut, sehingga Ia
berani melakukan penipuan, pembohongan kepada rakyat atau masyarakat yang
dipimpinnya, maka sudah dapat di duga bahwa kehidupan masyarakatnya akan
mengalami kerusakan, terjadinya dekadensi moral dan menimbulkan terjadinya
krisis kepercayaan dan lain sebagainya. Bagi sosok pimpinan sektor publik yang
melakukan tindakan amoral semacam ini, kelak di akhirat oleh Allah akan
diharamkan baginya untuk memasuki surga. Hal ini sesuai dengan Hadist
Rasulullah yang terjemahannya kurang lebih sebagai berikut; ‘Tidaklah seorang
pemimpin memimpin rakyat dari kalangan kaum Muslim, lalu ia mati dalam keadaan
menipu rakyatnya, kecuali diharamkan baginya masuk surga. (Hr. al-Bukhari dan
Muslim).
2. System and Law Oriented
Di atas telah dijelaskan bahwa aspek manusia dengan skill dan moral atau
ahlaknya merupakan faktor penting, namun kesemua itu bukan berarti segalanya,
karena mahluq manusia itu oleh Allah dilengkapi dengan akal, pikiran dan nafsu,
sehingga dalam kadar tertentu sering kali manusia lebih menonjolkan nafsu atau
emosinya dibandingkan dengan akal pikirannya, sehingga manusia sering kali
salah, khilaf dan lupa. Ketika aspek-aspek negatif yang melekat pada diri
manusia itu muncul dan tak terkendalikan maka sesungguhnya manusia yang
berpredikat sebagai pemimpin itu tidak akan segan-segan lagi untuk membuat
kerusakan di muka bumi ini sebagaimana Firman Allah yang ternukil dalam dalam
Al-Qur’an yang berbunyi;
“Dhaharal fasaadu fil barri wal bakhri bima kasabat aidiinnasi……. ( Telah terjadi
kerusakan di darat dan di lautan yang disebabkan oleh perbuatan tangan manusia)
(Q.S Ar-Rum: 41).
Untuk mengeliminir atau mencegah kondisi yang
semacam ini maka dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang dikomandani oleh
sang pemimimpin dalam menjalankan kepemimpinan sektor publik, dianggap perlu
untuk diciptakan sebuah sistem dan hukum yang baik. Keberadaan sistem inilah
yang harus digunakan untuk mengendalikan perilaku sang pemimpin dan
masyarakatnya. Menururt Ust Rakhmat Kurnia (2007) sistem dan hukum yang paling
lengkap dalam mengatur perilaku pemimpin dan masyarakatnya itu tiada lain
adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, karena di dalam kedua kitab itulah
sesungguhnya telah berisi berbagai hal tentang aturan hidup didunia ini secara
jelas dan lengkap. Dalam hal ini Allah berfirman yang artinya; Tidaklah wajar
bagi seorang mukmin atau mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu hukum, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentag urusan mereka (Q.S
Al-Ahzab: 36), Sedang dalam ayat yang lain Allah juga berfirman yang artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya, dan ulil
amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat mengenai suatu hal,
maka kembalikanlah kepada jiwa ajaran allah (A-Qur’an) dan jiwa ajaran Rasul
(Sunnah) nya, karena yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik
akibatnya (Q.S Al-Nisa’ :59).
Kedua ayat tersebutlah yang semestinya selalu dijadikan rujukan oleh seorang
yang memegang kepemimpinan sektor publik, ketika mereka diminta untuk
memecahkan sebuah persoalan rumit yang dihadapi oleh para pengikutnya.
Kendatipun demikian, ajaran Islam terutama yang berkaitan dengan kepemimpinan
sektor publik bukanlah sebuah doktrin otoriter tanpa bisa ditawar-tawar, oleh
sebab itu apabila hal-hal yang menjadi inti permasalahan yang diperselisihkan
itu hanya bersifat duniawi an sich, maka sang pemimpin sangat diperbolehkan
melakukan ij’tihad secara bersungguh-sungguh dengan rasa penuh tanggungjawab,
demi tercapainya keadilan, kebenaran dan kedamaian serta berkesejahteraan bagi
ummatnya, dengan berbedoman pada Sabda Rasulullah di bawah ini: Antum a’lamu
biumuuri dunyaakum yang artinya: kalian lebih mengetahui persoalan dunia kanian
(H.R. Imam Muslim). Sedangkan Hadist lain menyebutkan: Maa kaana min amri
diinakum failaiya wamaa kaana min amri dunyaakum fa antum a’lamubihi Artinya:
Yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka kepadaku rujukannya, dan yang
berkaitan dengan urusan dunia kalian, maka kalian lebih ,mengetahuyinya (H.R.
Ahmad).
3. Control oriented
Ada sebuah Hadist yang mengatakan bahwa Al Insanu mahallul khotto’ wannisyan
yang artinya sesunggunya manusia itu sebagai mahluq yang selalu tertempati
sikap salah dan lupa. Dengan demikian sebaik apapun seseorang yang sedang
memegang tampuk kepemimpinan sektor publik itu tidak mungkin terhindarkan dari
tindakan yang salah, baik kesalahan itu disengaja atau karena lupa. Oleh sebab
itu perlu adanya sistem control dan pengawasan serta koreksi yang baik dari
pihak rakyat sebagai pengikutnya, termasuk dari pihak ulama yang semestinya
berkedudukan sebagai penasehatnya. Pemimpin bukanlah malaikat, karenanya,
mereka bisa saja salah. Jika pemimpin yang salah dibiarkan, kedzaliman akan
menjadi hal yang dianggap wajar. Untuk itulah Islam mewajibkan adanya koreksi
terhadap penguasa yang diistilahkan sebagai muhasabah li al-hukkam. Imam
Ath-Thabari dalam Kitab At-Tarikh menyampaikan bahwasanya Rasulullah telah
bersabda yang artinys kurang lebih sebagai berikut; ”Siapa saja yang melihat
penguasa lalim, yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, melanggar
janji Allah, Menentang sunnah Rasulullah, melakukan dosa dan permusuhan
terhadap hamba Allah, lalu dia tidak mengubah dengan perkataan atau perbuatan,
maka Allah berhak untuk memasukkannya ke tempat mereka masuk, “nereka”.
Berangkat dari hadist tersebut, maka jelaslah bahwa agar di dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bisa berjalan dengan situasi dan kondisi
yang sebaik-baiknya, diperlukan adanya sistem dan pola-pola pengawasan yang
baik. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan dari adanya tindakan yang salah
dari pihak sang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, khususnya
kepemimpinan sektor publik
G. PELAYANAN PRIMA DALAM KEPEMIMPINAN SEKTOR PUBLIK
Salah satu karakter dari sebuah organisasi publik adalah merupakan
lembaga/Instansi yang hasil atau produknya tidak berbentuk barang atau
material, melainkan berbentuk jasa pelayanan yang lazim disebut sebagai public
services. Menurut Norman dan Stapleton (1995:62) bahwa pelayanan adalah
merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dalam organisasi untuk
kepentingan orang lain, dimana pekerjaan tersebut tidak melibatkan tindakan
atau aktivitas pengalihan barang-barang. Dengan demikian, walaupun sebuah
pelayanan publik itu berakhir pada munculnya sebuah barang atau material, namun
yang dilihat bukanlah barang yang dihasilkan melainkan proses dan prosedur dari
munculnya barang tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Moenir (1995:27) yang
mengatakan bahwa pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas
orang lain secara langsung yang pada hakekatnya merupakan serangkaian kegiatan
tertentu. Jadi pelayanan merupakan suatu proses, dan sebagai proses demi
terpenuhinya kebutuhan khalayak atas “sesuatu”, yang didahului oleh adanya
serangkaian tindakan yang melibatkan lebih dari seorang personel dengan
“kompetensi” yang berbeda-beda.
Di atas telah disinggung bahwa dalam perspektif Islam tugas pokok dan fungsi
utama dari kepemimpinan sektor publik itu adalah untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat dengan cara yang sebaik-baiknya, sebagaimana Sabda Rasulullah
yang berbunyi “Syayyidul qoumi haadimuhum” yang artinya setiap pemimpin suatu
kaum/masyarakat itu adalah pengabdi atau pelayan bagi mereka. Sejalan dengan
perintah Rasulullah tersebut, maka sudah selayaknyalah bahwa apabila setiap
orang yang sedang memegang tampuk kepemimpinan sektor publik, baik mereka yang
berada pada posisi top leaders maupun sebagai official workers selalu berupaya
untuk menciptakan atas terwujudnya pelayanan prima atau excellet services bagi
warga negara yang membutuhkannya. Dalam rangka menciptakan excellent services
yang berbasis pada kepuasan pelanggan itu, maka fokus dari paradigma pelayanan
publik, harus memiliki karakteristik sebagai berikut;
1) Lebih memfokuskan diri kepada fungsi pengaturan, melalui berbagai kebijakan
yang memfasilitasi berkembangnya kondisi yang kondusif bagi kegiatan pelayanan
bagi masyarakat.
2) Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat mempunyai
rasa memiliki yang tingi terhadap fasilitas pelayanan yang telah dibangun
bersama.
3) Menerapkan sistem kompetensi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu,
sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas.
4) Terfokus pada pencapaian dengan visi, misi, tujuan, dan sasaran, yang
berorientasi pada hasil outcomes, yang sesuai dengan input yang digunakan.
5) Lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
6) Pada hal tertentu, pemerintah juga berperan untuk memperoleh pendapat dari
pelayanan yang dilaksanakan
7) Lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan 8) Lebih
mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan
9) Menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan.
Dalam pandangan Islam kesembilan karakteristik pelayanan prima yang
berorientasi pada kepuasan masyarakat yang diposisikan sebagai customers ini
secara ideal baru bisa diwujudkan apabila para pimpinan sektor publik yang
menjalankan fungsi pelayanan mampu bertindak adil, sesuai dengan Firman Allah
yang berbunyi; “u’diluu huwa aqrabu litaqwa”, yang artinya: “berlaku adillah,
karena sesunguhnya adil itu lebih dekat kepada takwa”. (Q.S Al-Maidah: 8).
Perintah Allah agar selalu berbuat “adil” dala Al-Qur’an dilukiskan dalam tiga
bentuk kata yakni; al-adl”, al-qisth dan “al mizan”, sedangkan kata “al-adl”
sendiri dengan berbagai bentuk dan pengulangannya tercatat sebanyak 28 kali.
Hal ini merupakan bukti nyata bahwa pemberian pelayanan yang harus dilakukan
oleh seorang pemimpin sektor publik harus bertumpu pada betuk-bentuk tindakan
yang mencerminkan adanya keadilan.
Apabila dipahami dari perspektif teoritis, secara konseptual, pelayanan ataupun
pelayanan publik yang dilakukan oleh pimpinan sektor publik kepada masyarakat ,
bentuknya tidak terlepas dari tiga macam pelayanan, yang terdiri dari;
a) Pelayanan dengan lisan.
Pelayanan dengan bentuk lisan adalah merupakan pelayanan pemberian informasi
tentang sesuatu hal yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam hal ini masyarakat
akan merasa senang dan puas apabila informasi yang diperikan adalah informasi
lugas, tepat dan benar. Informasi yang berkarakater seperti ini bisa juga
disebut sebagai informasi yang adil. Dalam hal ini Allah memerintahkan agar
seseorang yang bertugas memberikan informasi atau pelayanan dengan lisan ini
harus berlaku adil, sebagaimana tertuang dalam Firman Allah yang berbunyi: “Wa
idha quultum fa’diluu walau kaana dhaaqurba”, artinya “Dan apabila kamu
berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil walaupun terhadap kerabat”. (Q.S
Al-An’am: 152)
b) Pelayanan dengan tulisan.
Selain pelayanan dalam bentuk informasi yang bersifat lisan, bentuk pelayanan
publik yang paling banyak dijumpai dan dirasakan oleh masyarakat adalah
pelayanan yang berbentuk tulisan, yang bentuk nyatanya bisa berupa berbagai macam
surat keterangan dan lain sebagainya. Dalam hal inipun Allah telah mengingatkan
dan memerintahkan agar kepemimpinan sektor publik yang tugas utamanya
memberikan pelayanan berbentuk tulisan kepada masyarakat juga harus pula
dilakukan dengan cara adil sebagaimana Firman-Nya yang berbunyi: sebagai
berikut;
“Wal yaktub baynakum kaatibun bil ‘adli”, yang artinya: “ Dan hendaklah ada
diantara kamu seorang penulis yang adil” (Q.S Al-Baqarah: 282)
c) Pelayanan yang berbentuk perbuatan.
Sedangkan untuk pelayanan yang berbentuk perbuatan atau aktivitas, misalnya
untuk memutuskan sebuah “perkara” yang sedang dialami/dilanda oleh
masyarakatnya, ada beberapa ayat Al-Qur’an yang harus dijadikan sebagai pedoman
dalam melakukan tindakan yang dimaksud. Beberapa Ayat yang terdapat dalam
Al-Qur’an itu diantaranya yang artinya “Katakanlah, Tuhanku memerintahkan
menjalankan keadilan”. (Q.S Al-A’raf:29), dan yang artinya “Sesungguhnya Allah
memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan atau kebajikan” (Q.S Al-Nahl:90).
Sedangkan ayat lain berbunyi: “Laqad arsalnaa rusulanaa bil bayyinaati wa
anjalnaa ma ahumul kitaaba wal miizaana liyaquumannaasu bil qisth”. Artinya;
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan membawa bukti-bukti
nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan)
agar manusia dapat melaksanakan keadilan (Q.S. Al-Hadid: 25). Demikian pula
halnya dengan Firman Allah yang berbunyi: “Wa idha hakamtum baynannasi
antahkumuu bil adli” Artinya: Apabila kamu memutuskan perkara diantara manusia,
maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil” (Q.S. Al-Nisa’ 58).
Dengan berpedoman pada berbagai dalil yang
bersifat Qur’ani tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan atau pedoman oleh
kepemimpinan sektor publik dalam rangka menciptakan terwujudnya pelayanan prima
yang diharapkan oleh semua pihak. Sedangkan untuk mewujudkan realitas keadilan
di kalangan masyarakat, dapat diklasifikasi menjadi beberapa bagian yakni; adil
dalam memberi, adil dalam bersikap, dan adil dalam bertindak, yang secara operasional
harus disesuaikan dengan konteknya masing-masing. Hal lain yang lebih penting
lagi berkaitan dengan tindakan pelayanan kepada masyarakat yang disebut
berbasis pada keadilan adalah:
1. Tindakan adil itu bersifat universal, baik kepada mereka yang memiliki
hubungan baik maupun kepada mereka yang sedang dalam kebencian, sebagaimana
Allah berfirman: “Wala yajrimannakum sana aanu qaumin ‘alaa allata’diluu”.
Artinya: “Dan janganlah sekali-kali kebenciannu terhadap suatu kelompok
menjadikan kamu tidak berlaku adil” (Q.S Al-Nisa’ 135).
2. Mendahulukan kepentingan umum, dimana tindakan kepemimpinan sektor publik
yang benar menurut syar’i, itu harus mendahulukan untuk kepentingan masyarakat
umum dibandingkan dengan kepentingannya sendiri, kelompok, maupun keluarganya,
sebagaimana Allah berfirman: “wayu’siruuna ‘ala anfusihim walau kaana bihim
hashaashahu”. Artinya: “Mereka mengutamakan kepentingan orang lain atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka membutuhkan apa yang mereka berikan itu”.
(Q.S. Al-Hasyir:9)
Di dalam praktek kesehariannya, proses pemberian
pelayanan publik, di satu sisi masing-masing bentuk layanan bisa bersifat
parsial, sedang pada sisi yang lain ketiga aktivitas layanan tersebut bisa
berupa serangkain kegiatan integratif yang melibatkan banyak divisi dan banyak
personnel yang terdapat dalam sebuah Instansi atau organisasi di bawah
kepemimpinan sektor publik. Bahkan proses layanan publik yang kedua inilah yang
sering dan lazim dijumpai dilapangan. Dengan demikian maka terciptanya pelayanan
prima bagi masyarakat luas juga membutuhkan keterlibatan banyak divisi dan
banyak personnel yang secara otomatis membutuhkan bentuk kompetensi yang
berbeda-beda pula, namun harus dilaksanakan secara terintegratif.
Dalam aktivitas pemberian pelayanan publik yang bersifat komplek (meliputi;
pelayanan lisan, tulisan dan aktivitas/perbuatan) akan membutuhkan unsur-unsur
kompetensi yang meliputi; pertama; soft skill (yang terdiri dari; oral
communications skill, logical skill, ability to work in team settings, ability
to work independently, written communication skill, analiytical skills), dan
kedua hard skill (yang terdiri dari; knowledge of field dan knowledge of
technology) Ansarullah (2007:3).
Sudah barang tentu dalam pendayagunaan kedua unsur tesebut harus dibarengi
dengan sikap dan tindakan penuh kejujuran dan tangungjawab serta melibatkan
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat etika moral. Hal ini selaras dengan
pernyataan dari Losey (1999:99) yang mengatakan bahwa The key components in
measuring competency – intelligence, education, experience, ethics and interest
– and the importance of each in regard to human resource management. Idealnya,
Kesemua kemampuan yang secara komulatif menggambarkan tentang kompetensi ini
harus didayagunakan secara maksimal, serius, sungguh-sunggu dan penuh tanggung
jawab serta terintegrasikan secara baik demi terciptanya exellent services.
H. PENUTUP
Dalam perspektif Islam, aspek kepemimpinan, khususnya kepemimpinan sektor
publik mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting, sehingga perlu
mendapatkan perhatian yang sangat serius dan penuh kehati-hatian, karena inti
pokok dari sebuah kepemimpinan itu adalah “aspek tanggungjawab”, yang membawa
konsekwensi berat bagi yang mendudukinya. Tanggungjawab kepemimpinan dalam
Islam mengandung tiga dimensi utama, yakni; dimensi Ilahiah, dimensi individual
dan dimensi sosial.
Ketiga dimensi pertanggungjawaban kepemimpinan tersebut, tidak hanya terbatas
pada pertanggungjawaban duniawi, melainkan juga harus dilakukan di akhirat
kelak, ketika sang pemimpin menghadap Rabbnya yang telah memberikan kepercayaan
kepadnya sebagai khalifah di dunia, dalam rangka mengabdi kepada rakyat dan
sebaga pihak yang diberikan tugas untuk memakmurkan bumi ini. Islam
berpandangan bahwa hakekat pemimpin itu adalah sebagai pelayan, oleh sebab itu
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat seorang pemimpin harus bersikap
adil, baik adil dalam bersikap, adil dalam berbuat, adil dalam bertindak dan
adil dalam member atau membagi. Bahkan perintah Allah agar seorang pemimpin
berikap adil ini tertuang dalam Al-Qur’an sebanyak 28 kali. Hal ini menunjukkan
betapa pentingnya keadilan itu dalam mengatur kehidupan masyarakat manusia di
muka bumi ini.
Hal lain yang tak kalah pentingnya bahwa dalam rangka mewujudkan pelayanan
prima, maka seorang pimpinan sektor publik dalam menjalankan kepemimpinannya
yang berupa pelayanan, mereka harus mendahulukan kepentingan umum, karena
tindakan kepemimpinan sektor publik yang benar menurut syar’i, itu adalah harus
mendahulukan kepentingan masyarakat umum dibandingkan dengan kepentingannya
sendiri, kelompok, maupun keluarganya, sebagaimana Allah berfirman:
“wayu’siruuna ‘ala anfusihim walau kaana bihim hashaashahu”. Artinya: “Mereka
mengutamakan kepentingan orang lain atas kepentingan diri mereka sendiri,
sekalipun mereka membutuhkan apa yang mereka berikan itu”. (Q.S. Al-Hasyir: 9).
Dengan kata lain, apabila kepemimpinan sektor publik, dalam menjalankan aspek
pengabdian atau pelayanan kepada masyarakat telah sesuai dengan ketentuan yang tertulis
secara syar’i, sebagaimana yang telah digariskan dalam Al-Qur’an dan Hadist,
pastilah prinsip-prinsip pelayanan publik dalam rangka terciptanya pelayanan
prima dapat dilaksanakan dengan cara yang sebaik-baiknya.
DAFTAR BACAAN
Al-Mahami, Hasan, Kamil Muhammad, Al-Mausu’ah Al-Qur’aniyyah, Edisi Indonesia,
Alih Bahasa, Ahmad Fawaid Syadzili, Buku Jilid 1,2,3,4,5,6, Penerbit, Kharisma
Ilmu, Indonesia
Al-Qaradhawi, Yusuf, 2000, Kaifa Nata’amalu Ma’a
Al-Qur’ani al-Azhmi, Edisi Indonesia, Alih Bahasa Abdul Hayyie al-Kattani, Gema
Insani Press, Jakarta Indonesia
Buhkari dan Muslim, 1997, Koleksi Hadits Nabi
Muttafaqun “Alaih, Edisi Indonesia, Alih Bahasa Ust. Labib, MZ, Penerbit
Yayasan Amanah Tuban, Indonesia
Conger, Jay, A and Ronald E. Riggio, (Ed), 2007, The
Practice of Leadership, Developing the Next Generation of Leaders, John Wiley
& Son, Inc,
Faiz, Almath, Muhammad, 1991, 110 Hadits
Terpilih, Sinar Ajaran Muhammad, Penerbit, Gema Insani, Jakarta
Hamid, Syamsul Rijal, 2005, Buku Pintar Hadist,
Bhuana Ilmu, Bogor, Indonesia
Imarah, Muhammad Mustafa, 1993, Jawahirul
Bukhari, Edisi Indonesia, Alih Bahasa Muhammad Zuhri, Penerbit, Darul Ihya’
Indonesia
OECD Team, 2001, Public Sector Leadership for the 21st Century, Clearence
Centrer, Customer Service, France
Shihab, Quraish, M, 1999, Wawasan Al-Qur’an,
Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Ummat, Penerbit, Mizan, Bandung
epemimpinan, politik
dalam perpekstif islam — Presentation Transcript
- 1. POLITIK, KEPEMIMPINAN, DAN KEADILAN DALAM
PERSPEKTIF ISLAM Oleh : WALUYO, Drs. M.Si Disampaikan Dalam Pertemuan
Bulanan Pengurus Majelis Tafsir Al-qur’an Perwakilan bandung Rabu, 19
Desember 2007
- 2. Politik Dalam Perspektif Islam Politik di dalam
bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah . Oleh sebab itu, di dalam buku-buku
para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah , misalnya.
Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu . Dalam kalimat Sasa
addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha
(mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra
artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).
- 3. Lanjutan…………………… Jadi, asalnya makna siyasah
(politik ) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan.
Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan
pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (
siyasiyun ). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri
mengurusi ( yasûsu ) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya,
dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan : ‘
Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara ( masûsah ) bila pemeliharanya
ngengat ( sûsah )’, artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik
bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan
demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah),
pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan
(ta`dib).
- 4. Lanjutan……………………… Rasulullah SAW sendiri
menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah
Bani Israil , mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul
anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya.
Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah "
(HR. Bukhari dan Muslim ) . Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna
awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat .
- 5. Lanjutan………………….. Berkecimpung dalam politik
berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan
kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh
kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa
dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya,
menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada
saat terjadi kekufuran yang nyata ( kufran bawahan ) seperti ditegaskan
dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui
Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW
bersabda : "Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya
bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun
pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari
golongan mereka." (HR. Al Hakim ) Rasulullah ditanya oleh sahabat
tentang jihad apa yang paling utama. Beliau menjawab :
"Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad
). Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan
seluruh umat Muslim .
- 6. Lanjutan………………………… Namun, realitas politik
demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini
baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang
dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme , baik dari kalangan
non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan
kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi
maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam ,
kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka
dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan,
dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan
sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu
propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama
(Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT
sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang aktifitasnya
didominasi perbuatan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya .
Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian kaum
muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal
propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan (Samih
‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33 ). Jadi
secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.
- 7. Pengertian Politik Sebagai Ilmu Politik yg
Dipahami Selama ini Politik adalah proses pembentukan dan pembagian
kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan
keputusan , khususnya dalam negara . Pengertian ini merupakan upaya
penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat
politik yang dikenal dalam ilmu politik . Politik adalah seni dan ilmu
untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional . Di
samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu
antara lain: politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk
mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles) politik adalah hal
yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara politik
merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan di masyarakat politik adalah segala sesuatu tentang proses
perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik . Dalam konteks memahami
politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain : kekuasaan politik ,
legitimasi , sistem politik , perilaku politik , partisipasi politik ,
proses politik , dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk
beluk tentang partai politik
- 8. Teori Politik Teori politik merupakan kajian
mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan
tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik antara
lain adalah filsafat politik , konsep tentang sistem politik , negara ,
masyarakat , kedaulatan , kekuasaan , legitimasi , lembaga negara ,
perubahan sosial , pembangunan politik , perbandingan politik , dsb.
Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara negara
di dunia antara lain: anarkisme , autoritarian , demokrasi , diktatorisme
, fasisme , federalisme , feminisme , fundamentalisme keagamaan ,
globalisme , imperialisme , kapitalisme , komunisme , liberalisme ,
libertarianisme , marxisme , meritokrasi , monarki , nasionalisme ,
rasisme , sosialisme , theokrasi , totaliterisme , oligarki dsb.
- 9. Tinjaun Islam Terhadap Politik Ada 2 Jenis
Tinjauan Islam Thd Politik yaitu : Politik kualitas tinggi ( High
Politics) dan politik kualitas rendah ( low politics ) Ada 3 ciri yg harus
dimiliki dalam mencapai high politics yaitu : Setiap jabatan politik pd
hakekatnya berupa amanah ( trust ) dari Umat/masyarakat yg hrs dipelihara
sebagik-baiknya. Erat kaitannya dgn yg pertama bahwa setiap jabatan
politik mengandung dalam dirinya mas’uliyyah atau pertanggungjawaban (
accountability ). Sebagaimana diajarkan Nabi bahwa” setiuap orang pada
dasarnya pemimpin yg hrs mempertanggungjawabkan kepemimpinannya atau
tugas-tugasnya. Kegiatan politik hrs dikaitkan secara ketat dgn prinsip
ukhuwah ( brotherhood )yakni persaudaraan antara sesama umat
manusia.Ukhuwah dlm arti luas melampaui batas-batas etnik, ras, agama,
latar belakang sosial, keturunan dls. Gaya politik tingkat tinggi akan
menghindari gaya politik konfontatifyg penuh dgn konflik dan melihat pihak
lain sebagai lawan dan hrs dieliminasi.
- 10. Lanjutan………………. “ High politics ” dgn ciri-ciri
minimal sebagaimana tersebut diatas sangat kondusif bagai pelaksana amar
ma’ruf nahi munkar. Dan inilah sebenarnya yg dimaksud dalam Surat Al Hajj
ayat : 41 sbg berikut : “ Mereka adl orang-orang yg apabila kami beri
kekuasaan yg teguh di muka bumi niscaya menegakkan sholat, membayar zakat,
dan menyuruh manusia berbuat kebaikan serta mencegah kejahatan, dan bagi
Allah sajalah kembalinya segala macam urusan ”
- 11. Lanjutan ………………………. “ High politics ” dlm
kenyataannya memang terasa sangat ideal, tdk saja di negara-negara
berkembang bahkan di negara-negara maju sekalipun. Bahkan dinegara Amerika
yg merupakan jagonya demokrasi kata banyak pakar, politik kualitas tinggi
merupakan barang yang sangat mewah dan langka. Oleh karenanya, ada seorang
politikus Amerika yg mengakui bahwa Amerika adalah “ a country that holds
a dengereous disdain for politicians “ atau sebuah negeri yang punya
cemooh berbahaya bagai para politisi.
- 12. Lanjutan………………………… Mengapa demikian ? Karena di
Amerika berlaku politik sekuler yg cendrung menjurus pada “ Low Politics “
atau politik kualitas rendah . Di negara-negara berkembang, bahkan
dinegara-negara muslim , politik kualitas rendahan pada umumnnya justru
dominan. Ditinjau dari sudut pandang Islam , politik semacam itu justru
tidak mendukung maksud-maksud dakwah , tetapi justru kontra produktif dgn
maksud-maksud dakwah bahkan menjgal dakwah dan merusak rekontruksi
masyarakat yg islami . Ciri-ciri Low Politics perlu kita pahami agar kita
tidak terjebak didalamnya, sgb contoh adalah politik Machiavelli
- 13. Ciri-ciri Politik Machiavelli atau Low Politics
Bahwa kekerasan ( violence, brutalisme, dan kekejaman ) merupakan
cara-cara yg sah yg seringkali perlu diambil oleh penguasa dan dapat
digunakan kapan saja bila diperlukan; sehingga dikenal dgn semboyan : “
Tujuan menghalalkan segala cara ”. Pandangan ini mendorong manusia
menerapkan atau bergerak dibidang politik menjadi “ Tega atau Tegel “
Penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai summum bonum
atau kebajikan puncak . Musuh tdk boleh diberikan kesempatan utk bangkit
dan kalau perlu diperlakukan sbg sesuatau yg bukan manusia. Disini konsep
ukuwah atau persaudaraan diantara umat tdk sedikitpun terlintas dalam
benaknya. Dalam menjalankan kehidupan politik seorang penguasa hrs dpt
bermain seperti binatang buas, seperti singa atau anjing pemburu , sebag
yg dapat berperan seperti itu akan jadi pemain politik yang terbaik
menurut mereka. Politik gaya machiavelli seperti ini mudah dan gampang
diserap oleh nafsu-nafsu yang rendah yg ingin berebut kekuasaan belaka
tanpa memperhatikan etia dan moral politik sgb yg diajarkan islam
- 14. Islam dan Demokrasi Demokrasi sering diartikan
sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam
pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian
muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality
(keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst.
- 15. Lanjutan……………. Dalam tradisi Barat, demokrasi
didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi “pemerintah”
bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang
bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga
legislatif di dunia Barat menganggap sebagai pioner dan garda depan
demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan
berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Keberadaan
wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua
rakyat dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang
terlalu besar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di sini
lantas prinsip amanah dan tanggung jawab ( credible and accountable)
menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada tindakan
pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik
rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunya perwakilan rakyat yang
kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah
- 16. Lanjutan……………. Secara normatif, Islam menekankan
pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang, baik
sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara.
Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun
dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera. Nah,
bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif
Islam memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip dan
idiom-idiom demokrasi, bagaimana realitas empirik politik Islam di
negara-negara Muslim? Bagaimana dengan pengalaman demokrasi di
negara-negara Islam? Benarkah Samuel Huntington dan F. Fukuyama, yang
menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan
demokrasi? Tulisan ini ingin mengkaji demokrasi dalam perspektif Islam
dari aspek elemen-elemen pokok yang dikategorikan sebagai bagian
terpenting dalam penegakan demokrasi, dan hubungannya dengan realitas
demokrasi dalam negara yang berbasis mayoritas Islam. Jika dilihat basis
empiriknya, menurut Aswab Mahasin (1993:30), agama dan demokrasi memang
berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari
pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki
dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan
bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Dalam perspektif Islam
elemen-elemen demokrasi meliputi: syura, musawah, adalah, amanah,
masuliyyah dan hurriyyah, bagimana makna masing-masing elemen tersebut
- 17. Lanjutan………………….. Pertama, Syura merupakan suatu
prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit
ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38
dan Ali Imran:159 Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling
dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman
khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas
memilih kepala negara atau khalifah (Madani, 1999: 12). Jelas bahwa
musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbanagan dan tanggung
jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan
begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan
menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk
dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat
yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama .
- 18. Lanjutan…………………………. Kedua , al-‘adalah adalah
keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai
jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak
boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah
pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara
lain dalam surat an-Nahl:90; QS. as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58
dst. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan,
sehingga ada ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan
akan lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan
hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam”. (lihat Madani,
1999:14).
- 19. Lanjutan……………………... Ketiga, al-Musawah adalah
kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang
lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan
kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif.
Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari
hegemoni penguasa atas rakyat. Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah
orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat
melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan
peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah
memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada
Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku
yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah
ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah.
Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat
al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain
tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim
(Tolchah, 199:26).
- 20. Lanjutan……………………… Keempa t, al-Amanah adalah
sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain.
Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik.
Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan
kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut
dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan
sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa’: 58. Karena
jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa
diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan
malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam. Kelima ,
al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa,
kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan
nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang
pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini
mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan
di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan
Tuhan.
- 21. Lanjutan………………….. Seperti yang dikatakan oleh Ibn
Taimiyyah (Madani, 1999:13), bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam
mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur
dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggung jawaban (al-masuliyyah)
ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang
terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak
ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan
sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dus dengan demikian, kemaslahatan
umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan
keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat
ditinggalkan. Keenam , al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap
orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk
mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang
bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr
bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi
penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya
kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan
kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol
dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.
- 22. Lanjutan…………………… Jika suatu negara konsisten
dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen demokrasi di atas,
maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dus dengan
demikian maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil. Watak ajaran
Islam sebagaimana banyak dipahami orang adalah inklusif dan demokratis.
Oleh sebab itu doktrin ajaran ini memerlukan aktualisasi dalam kehidupan
kongkret di masyarakat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas
demokrasi di dunia Islam dalam sejarahnya? Dalam realitas sejarah Islam
memang ada pemerintahan otoriter yang dibungkus dengan baju Islam seperti
pada praktek-praktek yang dilakukan oleh sebagian penguasa Bani
‘Abbasiyyah dan Umayyah. Tetapi itu bukan alasan untuk melegitimasi bahwa
Islam agama yang tidak demokratis. Karena sebelum itu juga ada eksperimen
demokratisasi dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nabi dan
khulafaurrasyidin (lihat Mahasin, 1999:31)
- 23. Sinergi Demokrasi dan Islam “ Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imran
[3]: 159) Konsep demokrasi secara umum berarti dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat. Secara politik juga berarti kedaulatan tertinggi ada di
tangan rakyat dalam membuat undang-undang dan peraturan negara. Tapi
karena tidak mungkin seluruh rakyat dari pelbagai penjuru berkumpul guna
membuat perundang-undangan, maka rakyat memilih wakilnya yang mereka
percayai sebagai penyambung lidah. Rakyat memilih sekelompok orang yang bertugas
menyusun undang-undang (legislatif), menjalankan pemerintahan (eksekutif),
dan menegakkan hukum (yudikatif). Dengan sistem demokrasi kehidupan
bernegara dapat menjamin terealisasinya prinsip-prinsip kemanusiaan
seperti kebebasan, persamaan dan keadilan
- 24. Lanjutan…………….. Memang harus diakui, karena
kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja-raja Islam, demokrasi
sering dijadikan tumbal. Seperti pengamatan Mahasin (1999:31), bahwa di
beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan
pemerintahan raja-raja yang korup dan otoriter. Tetapi realitas seperti
itu ternyata juga dialami oleh pemeluk agama lain. Gereja Katolik misalnya
, bersikap acuh-tak acuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena sikap
tersebut kemudian Katolik disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang sama
ternyata juga dialami oleh agama Kristen Protestan, diamana pada awal
munculnya, dengan reformasi Martin Luther Kristen memihak elit ekonomi,
sehingga merugikan posisi kaum tani dan buruh. Tak mengherankan kalau
Kristen pun disebut tidak demokratis. Melihat kenyataan sejarah yang
dialami oleh elit agama-agama di atas, maka tesis Huntington dan Fukuyama
yang mengatakan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak kompatibel
dengan demokrasi” adalah tidak benar. Bahkan Huntington mengidentikkan
demokrasi dengan the Western Christian Connection (lihat Imam, 1999:x-xi,
Hefner, 2000:4-5). Inilah memang, betapa sulitnya menegakkan demokrasi,
yang di dalamnya menyangkut soal: persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara,
penegakan musyawarah, keadilan, amanah dan tanggung jawab. Sulitnya
menegakkan praktik demokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa di atas,
seiring dengan kompleksitas problem dan tantangan yang dihadapinya, dan
lebih dari itu adalah menyangkut komitmen dan moralitas sang penguasa itu
sendiri. Dengan demikian, meperhatikan relasi antara agama dan demokrasi
dalam sebuah komunitas sosial menyangkut banyak variabel, termasuk
variabel independen non-agama
- 25. Lanjutan……………….. Dalam ajaran Islam, konsep yang
sejiwa dengan demokrasi adalah musyawarah. Musyawarah berasal dari kata
syawara-yusyawiru yang berarti saling memberi dan meminta nasihat atau
saran. Imam at-Tabrasi mendefinisikan term as-syura sebagai diskusi untuk
menemukan hak. Sedangkan Raqib al-Asfahani menegaskan bahwa syura adalah
upaya menemukan pemikiran yang selaras dengan pendapat orang banyak. Ibnu
Arabi dalam bukunya Ahkam Al-Qur’an menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
as-syura adalah pertemuan yang mendiskusikan silang pendapat untuk
menemukan pemikiran terbaik. Dengan demikian, esensi musyawarah adalah
proses pengambilan keputusan yang melibatkan orang banyak demi
menghasilkan keputusan yang terbaik bagi masyarakat atau demi kebaikan
bersama. Rasulullah Saw tidak pernah malu meminta nasihat atau saran
kepada sahabatnya tentang suatu masalah. Bahkan musyawarah adalah salah
satu kunci sukses kepemimpinan beliau. Dalam sebuah hadits dijelaskan
bahwa Abu Hurairah mengatakan, “Aku tidak menemukan orang lain yang paling
sering bermusyawarah selain Rasulullah Saw.,” (HR. Tarmizi). Dalam hadits
lain dinyatakan, “Sesungguhnya umatku tidak dibenarkan untuk berkumpul
dalam satu kebatilan, apabila menemukan perbedaan selesaikanlah dengan
musyawarah.” (HR. Ibnu Majah )
- 26. Titik Temu Islam dan Demokrasi Konsep demokrasi
memberikan perhatian besar kepada masalah-masalah yang berkaitan dengan
hak asasi manusia, kebebasan, dan keadilan sosial. Sebagai ideologi, yang
mengatur kemaslahatan bermasyarakat dan bernegara, ajaran demokrasi tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang sangat menjunjung tinggi nilai
keadilan, egalitarianisme dan prinsip-prinsip kebebasan individu maupun
kelompok. Ada beberapa prinsip yang menjadi titik temu Islam dan
demokrasi. Pertama , prinsip keadilan. Menurut Ragib al-Asfahani yang
dimaksudkan dengan keadilan adalah keseimbangan yang selaras. Kata adil
dalam Al-Quran dalam bentuk kata dasar dan kata kerja muncul sebanyak 28
kali. Sinonimnya kata al-Qisti (keseimbangan) disebutkan sebanyak 25 kali.
Sedangkan dalam hadits kata adil juga sering disebutkan. Untuk itu tidak
ada alasan bagi umat Islam untuk tidak menjadi umat yang adil Sebagai
komunitas yang beriman harus mampu menegakkan keadilan dalam setiap
perkataan dan perbuatan. Jika terjadi perselisihan di tengah masyarakat,
seorang mukmin wajib mengedepankan rekonsiliasi antar sesama mukmin untuk
menjaga perdamaian. Dalam menetapkan hukum hendaklah berlaku adil dan
amanah. Tempatkanlah segala sesuatu pada tempatnya. Jangan berbuat zalim.
Berlaku adil adalah keharusan dalam menetapkan keputusan hukum di antara
manusia. (Lihat, QS an-Nahl [16]: 90; an-Nisa [4]: 58. al-Hujurat [49]:
9-10; al-Mumtahanah [60]: 8-9; dan al-Baqarah [2]: 177).
- 27. Lanjutan………………… Kedua , prinsip persamaan. Islam
hanya mengenal satu umat. Mereka diikat dalam satu ikatan persaudaraan.
Islam tidak mengenal perbedaan. Manusia semua sama, dalam hak dan
kewajiban. Karena itu, manusia diciptakan untuk bisa menerima perbedaan
agama, warna kulit, dan suku bangsa. Dalam Islam ditegaskan bahwa tidak
ada perbedaan di mata Sang Maha Pencipta, kecuali dalam hal ketakwaan. Ini
adalah hal yang sangat substansial, mengingat kekuasaan Sang Maha Pencipta
tidak hanya berhenti pada titik penciptaan manusia, namun juga kepada
penciptaan akhir dari segala kehidupan. Kekayaan, kekuasaan, kehormatan,
popularitas dan lainnya tidak menjadi hal yang diperhitungkan di mata
Allah Swt, jika tidak ada ketakwaan. (Lihat, QS an-Nisa [4]: 1; al-Hujarat
[49]: 13; al-Hijr [15]: 28; Huud [11]: 61; dan ar-Rum [30]: 22). Ketiga ,
prinsip kebebasan. Prinsip kebebasan berada pada tempat istimewa dalam
konsep syariah. Prinsip kebebasan adalah tameng untuk terhindar dari
segala bentuk kezaliman. Prinsip ini didasari oleh konsep yang menghormati
nilai-nilai kemanusiaan. Manusia adalah makhluk terhormat yang diberikan
kemuliaan oleh Allah untuk mempunyai kebebasan memilih. Kebebasan adalah
fitrah. Untuk itu manusia mempunyai kebebasan untuk memilih kebaikan atau
keburukan, manusia juga mempunyai kebebasan untuk bertanggung jawab
- 28. Lanjutan…………………………….. Walaupun demikian, manusia
tidak dibenarkan untuk menggunakan kebebasannya secara semena-mena.
Kebebasan seseorang tidak berakhir pada saat orang lain mulai menghirup
kebebasannya. Namun demikian, kebebasan seseorang dibatasi oleh perintah
dan larangan syari’ah ataupun perintah dan larangan yang disusun dalam
kesepakatan bersama. Jadi kebebasan bergerak dalam batasan nilai-nilai
agama dan sosial. (lihat, QS al-Isra’ [17]: 15; QS al-Baqarah [2]: 256;
dan QS Yunus [10]: 99) Keempat , prinsip hak asasi manusia. Dalam
perspektif Islam hak asasi manusia adalah hak permanen yang dimiliki
setiap anak manusia sejak dari lahir hingga akhir hayatnya. Sang Maha
Pencipta menganugerahkan akal kepada manusia, agar manusia tidak
berperilaku seperti hewan dalam menjalani kehidupannya. Untuk itu, hak dan
kewajiban setiap orang harus bisa diterima secara egaliter sebagai
pengakuan dari keberadaannya dalam sebuah komunitas. Rasulullah Saw
menyampaikan dalam pidatonya pada saat pelaksanaan haji wada’:
“Sesungguhnya darah kalian, harta dan kehormatan kalian adalah hal yang
diharamkan untuk merusaknya dalam keseharian hidup di negara kalian.”
Kemudian dalam sebuah hadist disampaikan bahwa “ Seorang muslim adalah
orang yang dapat menjaga keselamatan orang lain dari lisan dan tangannya
.”
- 29. Lanjutan……………………….. Itulah beberapa prinsip
kehidupan berbangsa dan bernegara yang mampu mempertemukan dan
menyinergikan antara prinsip-prinsip demokrasi dan nilai-nilai Islam.
Diharapkan, sinergi antara demokrasi dan Islam ini menjadi solusi bagi
bangsa kita dalam menghadapi permasalahan yang ber-kaitan dengan
kemajemukan masyarakat
- 30. Kepemimpinan Menurut Perspekstif Islam Status
pemimpin dari sudut pandangan Islam merupakan wakil bagi seluruh umat ,
bahkan boleh pula disebut sebagai pekerja hak umat terhadapnya . “ Abu
Muslim al-Khulani ” seorang tabi’in dan Ulama Fiqah termasyur yang kuat
berzuhud pernah memasuki istana Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan memberi
salam ‘assalamualikum wahai ajir (pekerja upahan) orang-orang yang ada di
sekeliling Khalifah pun marah dan menyuruhnya untuk mengulangi salamnya
dengan assalamualaikum, wahai amir (pemimpin). Belau mengulangi salamnya
tetapi tetap mengucapkan perkataan (ajir) akhirnya Muawiyah pun berkata
biarkanlah Abu Muslim itu. Beliau lebih mengerti tentang apa yang
diucapkan
- 31. Lanjutan …………………………. Pemimpin dalam Islam
mempunyai peranan dan tanggungjawab yang besar dalam menyampaikan risalah
Islam ke seluruh pelosok alam. Sebab risalah dan dakwah Islamiah merupakan
rahmat Allah kepada seluruh manusia. Siapa pun tidak berhak menghalang
sampainya rahmat Allah tersebut kepada para hambanya. Rasulullah SAW telah
memulakan misi dakwah tersebut dengan menghantar warkah kepada para raja
dan penguasa dunia. Negara-negara yang mengaku sebagai pendukung Islam dan
memiliki sarana yang lengkap harus berani dalam menyampaikan seruan Islam
ke seluruh dunia. Jika mereka enggan melaksanakan misi tersebut maka
mereka bertanggungjawab terhadap berjuta-juta manusia yang hingga kini
belum pernah mendengar g hakikat kebenaran tentang Islam atau mengenalinya
hanya sepintas lalu saja. Menurut pandangan Ulama besar Abu al-Hassan Ali
an Nabawi negara Islam, negara hidayah kerana sebahagian besar tugas
pemimpin tertumpu kepada pembangunan dakwah dan penyampaian risalah Islam
ke seluruh dunia.
- 32. Etika Kepemimpinan Dalam Islam Dalam Hadist
djelaskan bahwa : “ Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan
diminta pertanggung- jawaban atas orang-orang yang dipimpinnya di Hari
Kiamat kelak. [1] ”
- 33. Pengertian Pemimpin Menurut Lughah a. Imam : Asal
katanya ‘ Amama ’ karena ia: Berada di depan (amam), mengasuh (ummah),
menyempurnakan (atammah), menenangkan (yanamma). Berkata Imam Al-Jauhary :
Imam adalah orang yang memberi petunjuk (yuqtada)[2]. b. Amir : Yang
memberi perintah (seperti dalam ayat : Amarna mutrafiha), juga sesuatu
yang mengagumkan (seperti dalam ayat : laqad ji’ta syai’an imra)[3]. c.
Waliyy : Dekat, akrab ( Jalasa mimma yali = duduk dengan orang
didekatnya); tempat memberikan loyalitas ( ALLAHumma man waliya min amri
ummati )[4]. d. Qadah/qiyadah : Penggiring ternak, orang yang memberi
petunjuk, pemandu atau penunjuk jalan[5]. e. Khalifah : Para fuqaha’
mendefinisikannya sbg suatu kepemimpinan umum yg mencakup urusan keduniaan
& keagamaan, sbgm yg dilakukan oleh Nabi SAW yg wajib dipatuhi oleh
seluruh ummat Islam. Menurut Imam Al-Mawardi sama dengan al-Imamah, karena
inilah asal dari kepemimpinan di masa Nabi SAW, yaitu untuk memimpin agama
& keduniaan[6]. Menurut Ibnu Khaldun yaitu penanggungjawab umum dimana
seluruh urusan kemaslahatan syari’at baik ukhrawiyyah maupun dunyawiyyah
kembali kepadanya[7].
- 34. Pemahaman Kepemimpinan Menurut Al-qur’an a .
Memiliki Loyalitas yang Mutlak : “Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah
Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa
mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi
Pemimpinnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti
menang.[8]” b . Kuat & Amanah : “Berkata salah seorang diantara
anaknya (Syu’aib) : Wahai ayahanda, jadikanlah ia sebagai pegawai, karena
sebaik-baik pegawai adalah yang kuat lagi bisa dipercaya.[9]”
- 35. Lanjutan………………………….. c . Sehat & Berilmu : “…
Sesungguhnya ALLAH SWT telah memilihnya (Thalut) sebagai rajamu, karena ia
memiliki kekuatan fisik dan berilmu. Sesungguhnya ALLAH memberikan
kekuasaan-NYA kepada siapa yang dikehendaki-NYA, sesungguhnya IA Maha Luas
(ilmu-NYA) lagi Maha Mengetahui.[10]” d . Merupakan Ujian ALLAH SWT : “Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
Sesungguhnya AKU akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim
berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: Janji-Ku
(ini) tidak mengenai orang-orang yang zhalim.[11]“ e . Merupakan Tanda
Ketaqwaan : “ Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah
kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.[12]”
- 36. Pemahaman Kepemimpinan Menurut Sunnah Jujur dan
Tidak Menipu : Nabi SAW melaknat pemimpin yang dipercaya untuk mengurus
urusan ummat lalu ia malah menipu atau menyengsarakan mereka, sebagaimana
dalam sabdanya SAW : “Ya ALLAH, siapa saja yang diberikan kekuasaan untuk
mengurusi ummatku lalu ia menyengsarakan mereka, maka persulitlah ia. Dan
siapa saja yang diberi kekuasaan lalu ia mempermudah mereka, maka mudahkanlah
ia.[13]” Dan Islam menyatakan bahwa pemimpin yang tidak memperhatikan
kebutuhan, kedukaan dan kemiskinan ummat maka ALLAH SWT tidak akan
memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinannya pada Hari Kiamat
kelak[14].
- 37. Lanjutan…………………… Adil & Amanah : Islam
menempatkan pemimpin yang adil dan amanah dalam derajat manusia yang
tertinggi, yang memperoleh berbagai penghargaan dan kehormatan.
Diantaranya ia termasuk kelompok pertama yang dinaungi oleh ALLAH SWT
diantara 7 kelompok utama yang dinaungi-NYA pada Hari Kiamat kelak[15];
Iapun akan berada di atas mimbar dari cahaya nanti di Hari Kiamat[16]; Dan
pemimpin yang demikianlah yang akan senantiasa dicintai dan didoakan oleh
rakyatnya karena kebijaksanaannya memimpin rakyatnya[17]; Sehingga dalam
salah satu haditsnya, nabi SAW sampai menyatakan bahwa pemimpin yang
demikian termasuk 3- golongan manusia yang paling utama dan paling berhak
masuk Jannah, disamping orang yang lembut dan penyayang pada keluarganya
dan orang miskin yang menjaga dirinya dari meminta-minta[18].
- 38. Lanjutan………………… Tidak Wajib Taat pada Pemimpin
yang Memerintahkan Maksiat : Oleh karena itu di dalam Islam pemimpin yang
memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutkan diataslah yang berhak dan
wajib untuk ditaati (Tafsir QS An-Nisaa’, 4:59), syarat taat pada pemimpin
dalam ayat tersebut adalah mu’allaq/tergantung pada apakah ia taat pada
ALLAH SWT dan Rasul SAW atau tidak, dimana cirinya adalah ia senantiasa
kembali kepada ALLAH SWT dan rasul-NYA SAW jika terjadi perbedaan pendapat
ataupun perselisihan) dan bukan pemimpin yang memiliki sifat sebaliknya,
jika ia memiliki sifat sebaliknya maka tidak wajib sama sekali untuk
didengar dan ditaati[19].
- 39. Lanjutan………………………. Tidak ada Batasan
Ras/Kebangsaan : Tentang siapa pemimpin itu Islam tidak membatasi ia dari
ras dan kelompok apapun, asal mengikuti dan menegakkan syariat maka wajib
ditaati, sekalipun ia adalah seorang yang berkulit sangat hitam yang
kepalanya bagaikan kismis (saking hitamnya)[20]. Kendatipun demikian,
afdhal memilih pemimpin disesuaikan dengan suku/kebangsaan rakyat yg
dipimpinnya[21]
- 40. Lanjutan…………………………. Pemimpin Wajib Memilih
Bawahan yang Jujur : Seorang pemimpin yang adil tentunya akan memilih
pembantu-pembantu, wakil-wakil dan menteri-menteri yang adil pula. Tidak
mungkin seorang yang baik (tanpa keterpaksaan) akan mengangkat atau
memilih wakil dan menteri yang merupakan para musuh ALLAH SWT, seperti
para koruptor, kaum oportunis apalagi para kolaborator asing[22]. Benarlah
pernyataan pemimpin abadi kita nabi Muhammad SAW : “Jika ALLAH SWT
menghendaki kebaikan kepada seorang penguasa, maka IA akan memberikan
untuknya menteri-menteri yang jujur, (yaitu) yang jika ia khilaf maka
selalu mengingatkan dan jika ia ingat maka selalu dibantu/didorong. Dan
jika ALLAH SWT menghendaki keburukan kepada seorang penguasa, maka IA akan
memberikan untuknya para menteri yang jahat. Jika penguasa itu lupa, maka
tidak diingatkan dan jika ia ingat maka tidak didorong/dibantu.[23]
- 41. Kewajiban Taat Kepada Pemimpin Yang Islami Wajib
Taat pada Pemimpin yang Islami : Bersabda Nabi SAW : “Barangsiapa yg taat
kepadaku maka ia telah taat kepada ALLAH, dan barangsiapa yg tidak taat
kepadaku maka berarti tidak taat kepada ALLAH. Barangsiapa yg taat kepada
Pimpinan (yg nyunnah) maka berarti ia telah taat kepadaku, dan barangsiapa
yg tidak taat kepada pimpinan (yg nyunnah) maka berarti ia telah tidak
taat kepadaku.[24]” b . Ketaatan tersebut tetap Berlaku Walaupun Di Satu
Sisi Seolah Mengorbankan Kepentingan sebagian Rakyatnya : Dari Abu
Hunaidah, Wa’il bin Hajar ra berkata : Bertanya Salmah bin Yazid al-Ju’fiy
pd Rasulullah SAW : Wahai Nabi Allah … bgm pendptmu jk ada seorg pemimpin
yg selalu meminta ketaatan dari kami tapi tidak memberikan hak kami, apa
yg anda perintahkan pd kami ? Maka Rasulullah SAW memalingkan wajahnya, mk
Salmah bertanya lagi yg kedua kali, maka jawab Rasulullah SAW : Dengarlah
oleh kalian semua dan taatilah ia, karena bagi kalian pahala ketaatan
kalian dan baginya dosa ketidakadilannya.[25
- 42. Lanjutan……………………. Dosanya Memisahkan Diri dari
Ketaatan pada Pimpinan yang Islami : Bersabda Nabi SAW : “Barangsiapa yang
melepaskan tangannya dari ketaatan, maka ia kelak akan bertemu dengan
ALLAH SWT tanpa dapat mengemukakan argumentasi apapun.[26]” Dalam hadits
lainnya: “Barangsiapa meninggalkan ketaatan lalu memisahkan dirinya dari
Jama’ah lalu ia meninggal maka ia mati Jahiliyyah.[27]” Perhatikan
baik-baik dalam hadits tersebut disebutkan Al-Jama’ah, yg maksudnya
Jama’ah Islam, bukan sembarang pemerintahan, (lihat pula judul bab pada takhrij
hadits tersebut di dalam Shahih Muslim).
- 43. Bentuk- bentuk Ketaatan Mendengarkan dan memahami
perintah dengan sebaik-baiknya, memohon penjelasan sampai jelas kemudian
melaksanakannya dengan tidak menunda-nunda dan dengan sebaik-sebaiknya.
Lihat kisah Ali bin Abi Thalib ra dalam perang Khaibar dalam Shahih
Bukhari[28]. Melipatgandakan kesabaran saat melaksanakan perintah
tersebut, ikhlas dan tidak menguranginya atau menambahinya sedikitpun.
Lihat kisah Jundub bin Makits al-Juhni saat dalam Sariyah[29].
Melaksanakan dengan segera perintah tersebut, walaupun tidak sesuai dengan
pendapatnya atau berbeda dengan keinginannya, lihat kisah Hudzaifah bin
Yaman saat perang Ahzab[30]. Saling memberi dan menerima nasihat. Lihat
kisah Umar bin Khattab ra saat perjanjian Hudhaibiyyah dengan Nabi SAW
& Abubakar ra[31]. Meminta izin dalam setiap urusan pentingnya atau
sebelum mengambil keputusannya[32].
- 44. Catatan Kaki: [1] HR Bukhari, XXII/43 no. 6605;
Muslim, IX/352 no. 3408 [2] Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, XII/22 [3] Lisanul
Arab, III/370 [4] Ash-Shihah fil Lughah, Al-Jauhary, I/22 [5] Al-Qamus
Al-Fiqhi, I/388 [6] Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal.3 [7]
Al-Muqaddimmah, Ibnu Khaldun, hal.180 [8] QS Al-Maidah, 5/55-56 [9] QS
Al-Qashshash, 28/26 [10] QS Al-Baqarah, 2/247 [11] QS Al-Baqarah, 2/124
[12] QS Al-Furqan, 25/74 [13] HR Muslim no. 1828 [14] HR Abu Daud no.
2948; Tirmidzi no. 1332; al-Hakim IV/93-94; menurut Imam al-Mundziri
sanad-nya shahih karena ada syahid dari hadits Muadz ra yang diriwayatkan
oleh Ahmad V/238-239. [15] HR Bukhari II/119 dan 124; Muslim no. 1031 [16]
HR Muslim no. 1827; Nasa’i VIII/221; Ahmad II/160 [17] HR Muslim no. 1855
[18] HR Muslim no. 2865 [19] Bukhari XIII/109; Muslim no. 1839; Abu Daud
no. 2626; Tirmidzi no. 1707; Nasa’i VII/160 [20] HR Bukhari XIII/108 [21]
HR Bukhari, XXII/44, bab Al-Umara’u min Quraisy; Muslim, IX/333-338
- 45. Islam dan Nilai-Nilai Keadilan Sepanjang sejarah
manusia, penjabaran nilai-nilai dan konsep keadilan tidak selamanya
berjalan mulus, sesuai substansinya. Ada kalanya konsep itu diaplikasikan
sesuai nilai-nilainya yang hakiki, tetapi juga ada masa di mana konsep itu
direduksi dan mengalami suatu distorsi. Dalam perspektif Islam , keadilan
-sebagai prinsip yang menunjukkan kejujuran, keseimbangan, kesederhanaan,
dan keterusterangan-merupakan nilai-nilai moral yang sangat ditekankan
dalam Al Quran. Majid Khadduri (1999:14) menemukan, dalam kitab suci itu
tidak kurang dari seratus ungkapan yang memasukkan gagasan keadilan , baik
dalam bentuk kata-kata yang bersifat langsung ataupun tidak langsung.
Demikian pula di dalam kitab itu ada dua ratus peringatan untuk melawan
ketidakadilan dan yang seumpamanya. Semua itu mencerminkan dengan jelas
komitmen Islam terhadap keadilan .
- 46. Lanjutan…………………….. Nabi Muhammad SAW sebagai
pembawa risalah Islam telah melaksanakan nilai-nilai keadilan secara utuh,
total, dan konsisten. Gagasan tentang keadilan menjadi perhatian khusus,
dan ia menghadapi masalah-masalah kesehariannya dengan penuh kelurusan,
keseimbangan, dan kejujuran(lihat Khadduri, 1999: 12). Keadilan adalah
bagian tidak terpisahkan dari sejarah hidupnya. Contoh konkretnya, dalam
satu peristiwa-karena sikapnya yang sangat peduli terhadap keadilan itu-ia
tidak sungkan-sungkan didudukkan sebagai tertuduh ketika ada seorang
Yahudi yang menuduhnya mencuri baju besi milik orang Yahudi itu. Pada
zaman Nabi Islam muncul sebagai gerakan moral dan nilai dasar kehidupan
yang menjadi pijakan total bagi segala aktivitas umat. Keadilan sebagai
bagian integral dari Islam juga diimplementasikan secara menyeluruh.
- 47. Lanjutan……………………….. Apa yang dilakukan Rasulullah
itu lalu diteladani keempat Khalifah sesudahnya. Contohnya Umar (w.644 M).
Khalifah Rasul yang kedua, dengan segala keterbukaannya, ia menerima
kritik seorang Yahudi tua-renta karena tidak menerima santunan. Maka, Umar
lalu memberlakukan santunan bagi semua orang tua, tanpa membedakan agama
yang dianutnya. Pada dasarnya, semua khalifah yang empat melaksanakan
prinsip keadilan itu secara utuh dalam seluruh kehidupan mereka. Dalam
ungkapan sederhana, mereka memberikan hak kepada siapa saja yang berhak
menerima dan menuntut kewajiban terhadap siapa pun yang harus melaksanakan
kewajiban itu. Mereka tidak membedakan antara muslim dan nonmuslim, kaya
atau miskin, antara yang pejabat dan rakyat jelata yang kerabat dan orang
lain. Namun, ketika Islam berada di tangan generasi-generasi penerus,
konsep keadilan mulai mengalami pembiasan. Ada kecenderungan-disengaja
atau tidak-untuk meletakkan keadilan dalam terma-terma eksklusif sehingga
tidak mampu menjangkau seluruh masyarakat. Hal itu terjadi bersamaan saat
Islam diidentikkan dengan kekuasaan
- 48. Lanjutan……………………. Misalnya, pada masa Dinasti
Amawiyah (661-750 M), kebijakan-kebijakannya tampak sekali mendiskreditkan
orang-orang non-Arab. Hal itu secara implisit menyiratkan, keadilan hanya
untuk orang-orang Arab. Adanya distorsi arti keadilan juga terjadi pada
Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) yang datang sesudah wangsa Amawiyah. Pada
masa itu, Islam nyaris tidak beda dengan kekuasaan. Para khalifah umumnya
menggunakan suatu gelar yang mengidentikkan mereka dengan agama; sebagai "bayangan
Allah di muka bumi" dan sebagainya. Maka, keadilan hanya milik
penguasa in toto. Kasus Ibn Hanbal (w.855 M), pendiri aliran fiqh Hanbali
dan tokoh ternama Islam sampai saat ini, yang dipenjara bertahun-tahun
karena tak sependapat dengan penguasa tentang keterciptaan Al Quran
membuktikan hal itu dengan jelas. Paparan di atas menyimpulkan, ketika
Islam muncul sebagai gerakan moral dan nilai-nilai kemanusiaan, maka
keadilan sebagai bagian nilai moral memunculkan dirinya secara utuh dan
holistik. Namun, ketika Islam dijadikan bagian kekuasaan, dan dijadikan
semacam alat legitimasi bagi kekuasaan tertentu, maka keadilan mengalami
penyempitan arti. Nilai keadilan diperas sesuai kehendak penguasa; atau
keadilan diberi arti dengan arti baru yang tidak sesuai atau bahkan
bertentangan dengan nilai keadilan itu sendiri. Itulah yang terjadi pada
fase-fase tertentu di masa setelah berlalunya zaman Nabi dan penggantinya
yang empat.
- 49. Lanjutan…………………. Dalam kaitannya dengan
Indonesia, hal semacam itu pula yang telah dilakukan Orde Baru. Saat itu
Islam -atau agama secara umum-dibahasakan dengan ungkapan-ungkapan yang
sarat dengan karakteristik penguasa. Demikian pula halnya dengan keadilan
. Keadilan menjadi bahasa politis dan dikerangkeng dalam tembok bahasa
rezim yang sedang berkuasa. Dengan demikian, semua yang diundangkan dan
dilakukan pemerintah adalah benar dan adil, dan segala sesuatu yang
menyimpang (atau berbeda) dari hal itu dianggap sewenang-wenang. Pada saat
itu telah terjadi sakralisasi terhadap segala persoalan-persoalan yang
berbau politik. Ideologi negara telah menjadi "agama
kedua" yang harus disucikan. Sedang Rezim Soeharto telah menjadi
"semacam nabi" bagi agama baru itu. Pancasila sebagai
kitab suci-nya harus ditafsirkan secara tunggal sesuai kehendak rezim yang
sedang berkuasa. Akibatnya, terjadi penyeragaman dalam segala bentuknya,
dari hal-hal yang substansial sampai yang bersifat artifisial.
Pandangan-pandangan lain di luar itu dianggap bid'ah yang heretik, karena itu
harus ditolak dan tidak boleh hidup di bumi Indonesia. Bahkan penggagasnya
dianggap "kafir", misalnya, dituduh sebagai komunis.
- 50. Lanjutan…………………………….. Karena sudah menjadi
kesepakatan bangsa bahwa orde reformasi adalah orde yang akan berupaya
sungguh-sungguh untuk mewujudkan prinsip-prinsip yang demokratis-dan
keadilan salah satu bagian terpenting di dalamnya-maka keharusan umat
Islam (sebagai bagian terbesar bangsa) untuk melakukan reformulasi
keadilan (dan nilai-nilai keagamaan yang lain) sehingga diletakkan kembali
sesuai nilai-nilai universal keagamaan dan kemanusiaan yang sebenarnya.
Untuk melangkah ke arah itu, rumusan tentang Deklarasi Universal Islam
tentang hak-hak asasi manusia (HAM), khususnya yang berhubungan dengan
keadilan perlu diperhatikan dan menjadi salah satu bahan rujukan. Pada
intinya, deklarasi itu menyimpulkan tentang kesamaan hak setiap orang
untuk memperoleh keadilan, dan kesamaan hak setiap orang untuk mengajukan
keberatan atau menolak untuk diperlakukan tidak adil. (lihat Universal
Islamic Declaration of Human Right: poin IV). Pada deklarasi itu tidak
dibedakan lagi antara muslim-nonmuslim, laki-laki-perempuan dan
seterusnya. Semua orang berhak diperlakukan setara.
- 51. Lanjutan…………………….. yang ada dalam Al Quran dan
Sunah Nabi; atau dalam kata lain, merupakan manifestasi nilai substansial
keagamaan universal. Berdasarkan hal itu, umat Islam Indonesia hendaknya
merumuskan kembali dalam konteks keindonesiaan dan kehidupan bangsa yang
konkret. Untuk itu, nilai-nilai Islam secara umum dan keadilan secara
khusus perlu dilepaskan dari segala atribut dan interes yang ada di luar
nilai-nilai itu. Nilai-nilai agama hendaknya tidak dijadikan alat untuk
mendukung masalah-masalah yang bersifat politik praktis, yang akan berakibat-menurut
Tibi (1991)-repoliticization of the scared. Agama diharapkan tidak
ditempatkan sebagai alat pencapaian kepentingan kelompok atau pribadi.
Agama perlu dikembalikan kepada fungsi asal sebagai pedoman dan nilai
kehidupan dalam semua aspek. Namun, dalam perumusan itu, umat Islam
hendaknya jangan sampai terperangkap ke dalam rumusan yang kaku dan
menjadi tafsir eksklusif yang tidak dapat disentuh lagi. Di sana
diharapkan ada ruang cukup luas guna menciptakan dialog yang bebas
sehingga selalu ada upaya untuk menyempurnakannya dari waktu ke waktu
dengan tetap memperhatikan dan mengacu kepada nilai universal keagamaan.
Itulah sebenarnya yang telah dilakukan Abdurrahman Wahid melalui
serangkaian pernyataan dan tindakannya; mulai dari kritiknya terhadap keberadaan
Departemen Agama, pernyataannya mengenai perlunya pemilihan presiden
secara langsung, sampai usulannya untuk mencabut Ketetapan (Tap) MPRS
Nomor XXV/MPRS/1966. Apa yang dinyatakan adalah dalam rangka meletakkan
agama sebagai agama, kepada fungsinya yang asal; bukan untuk mendukung
kepentingan tertentu, sebagaimana hal itu telah terjadi sepanjang sejarah
Orde Baru. Dengan demikian, nilai-nilai moral diharapkan akan menjadi
pijakan utama bagi seluruh aktivitas kehidupan bangsa. Untuk itu, marilah
kita sikapi semua itu dengan penuh kearifan dan tanggung jawab
- 52. SEKIAN DAN TERIMAKSAH WASSALAMU'ALAIKUM WR.WBR
KEPEMIMPINAN DALAM DAKWAH ISLAM
(Kajian Tafsir Tematik terhadap Konsep uli
al amri
dalam Q.S. An Nisaa ayat 59 dan 83)
oleh
Firman Nugraha
Abstract
The presence of a leader is very important,
both sociological and theological claims. In the Quran mentioned one term
leader with uli al amri. This study tried to dissect the meaning uli al-amri
who he is, what characteristics and what should be the attitude of Muslims
towards them. With thematic interpretation methods ranging from the selection
of relevant clause in this case QS al-Nisa verse 59 and 83, then the
translation, rank them according sabab nuzul and try to understand it based
studies scholars interpretation. From the results of the study it can be
concluded that Uli al amri are those who have the authority of expertise in
their respective fields, and are affected by the charge of faith, trust and
fair Characteristics; led Muslims are obliged to comply with the decision uli
al-amri form of discipline. Being technical compliance and termination of a
case can be made through consensus.
Key words: ulu al-quwah, ulu ba's-in, uli
al-aydi, ahlul halli wal 'aqdi, amanah, ‘adil, mu’tamar, musyawarah
A.
Pendahuluan
Pemimpin dan kepemimpinan menjadi isu penting
kaitannya dengan dinamika kemasyarakatan. Kepemimpinan merupakan kemampuan yang
harus dimiliki oleh setiap pemimpin dalam memimpin suatu kelompok, baik
terorganisasi maupun tidak. Peranannya sangat penting, mengingat pemimpin
adalah sentral figur dalam kelompok tersebut. Fungsi ini bukan hanya harus
ditemukan dalam konteks keorganisasian dalam sebuah struktur yang baku, namun
juga dalam konteks dakwah dimana para Dai termasuk penyuluh agama menjadi tokoh
dalam struktur masyarakat yang akan menjadi acuan dalam dinamika sosial umat
Islam.
Secara sosiologis, para pemimpin memiliki tugas
pokok untuk memberikan kerangka acuan yang jelas dalam setiap tindakan kelompok
dan anggota kelompok, sehingga memunculkan skala prioritas dalam setiap
tindakan. Kemudian bertugas untuk mengawasi jalannya setiap pilihan tindakan
agar tidak terjadi penyelewengan serta ia menjadi duta ke luar wilayah
kelompoknya. Ketika dakwah dimaknai bukan hanya tanggungjawab individual, dan
agama bukan hanya hadir dalam wilayah privat anggota masyarakat, niscaya upaya
dakwah menjadi upaya dan tanggung jawab bersama. Dengan demikian keberadaan
sosok kader dakwah yang sekaligus memiliki dimensi kepemimpinan menjadi
penting.
Term pemimpin dalam al Quran salah satunya
disebutkan dengan term uli l amri. Untuk memahami makna Uli l Amri
ini, perlu dilakukan upaya pencarian makna yang dikehendaki oleh al Quran
(kerja tafsir tematik). Fokus kajian dalam makalah ini adalah: Apa dan siapa uli
al amri ; bagaimana ciri uli al amri ; bagaimana sikap umat Islam
terhadap uli al amri .
B. Uli
al amri dalam Al Quran
- Uli al amri :
Apa dan Siapa
Dalam al-Qur'an dapat dijumpai istilah-istilah
yang serupa dengan
ulu al-amri. Misalnya, dalam al-Qur'an surat
al-Qashash/28:76, ada istilah
ulu al-quwah, orang yang memiliki
kekuatan;
uli al-aydi, dalam al-Qur'an surat
Shad/38:45,
orang yang memiliki kekuatan yang dilambangkan dengan tangan yang kuat; atau
ulu
ba's-in, dalam al-Qur'an surat
Bani Isra'il/17:5 dan al-Qur'an
surat
al-Fath/48:16. Dalam al-Qur'an surat
al-Ahqaf/46:35,
disebut
ulu al-'azm-i, yaitu orang-orang yang keputusan ada
ditangannya atau orang yang memiliki keunggulan, yaitu beberapa nabi dan rasul
yang terkemuka, Nuh, Ibrahim, Musa, 'Isa, dan Muhammad
[1]. Istilah
Uli
al amri oleh Nazwar Syamsu, diterjemahkan-nya menjadi
functionaries,
orang yang mengemban tugas, atau diserahi menjalankan fungsi tertentu dalam
suatu organisasi.
[2]
Hal yang menarik memahami
Uli al amri ini
adalah keragaman pengertian yang terkandung dalam kata
amr. Istilah
yang mempunyai akar kata yang sama dengan
amr dan berinduk kepada kata
a-m-r, dalam al-Qur'an berulang sebanyak 257 kali. Sedang kata
amr
sendiri disebut sebanyak 176 kali dengan berbagai arti, menurut konteks
ayatnya. Kata
amr bisa diterjemah-kan dengan perintah (sebagai
perintah Tuhan), urusan (manusia atau Tuhan), perkara, sesuatu, keputusan (oleh
Tuhan atau manusia), kepastian (yang ditentukan oleh Tuhan), bahkan juga bisa
diartikan sebagai tugas, misi, kewajiban, dan kepemimpinan. Dalam bahasa
Inggris, diterjemahkan ke dalam beberapa pengertian seperti
a command
commandment, bidding, task, matter, affair, dan
a thing.
[3]
Namun sebenarnya, istilah Uli al amri ,
hanya terdapat di dua tempat saja, yaitu dalam al-Qur'an surat an-Nisaa’/4:59
dan 83. Dan yang terutama mendapat pusat perhatian adalah al-Qur'an s. an-Nisaa’/4:59
yang artinya sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (nya), dan
Uli al amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
[4]
b.
Sabab Nuzul
Imam Jalaluddin As Suyuthi dengan mengutip hadits
Bukhari bab at tafsir (4584) bahwa Ibnu Abbas berkata ’Ayat ini turun kepada
Abdullah bin Hudzafah bin Qais ketika dia diutus oleh Rasulullah bersama satu
pasukan.’
Sementara itu dari Ad Dawudi berkata, “Ini adalah
suatu kesalahan—maksudnya kebohongan yang dinisbatkan kepada ibnu Abbas. Karena
sesungguhnya Abdullah bin Hudzaifah memimpin serombongan pasukan. Dia marah dan
memulai peperangan dengan berkata. ‘Serang!’ Sebagian dari pasukannya tidak mau
melakukannya dan sebagian lain lagi ingin melaksanakannya.”
Ad Dawudi berkata lagi, ’Jika ayat ini turun
sebelum peristiwa ini, bagaimana mungkin ia mengkhususkan ketaatan kepada
Abdullah bin Hudzaifah bin Qais dan tidak kepada yang lain? Dan jika ayat ini
turun setelah peristiwa itu, seharusnya hanya dikatakan kepada mereka,
‘Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam kebaikan,’ dan bukan ‘Mengapa kalian
tidak menaatinya?’ ’
Al Hafidz Ibnu Hajar mejawab pertanyan ini, bahwa maksud dari kisah ayat, ’Kemudian
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu….’ adalah mereka berselisih dalam
menunaikan perintah untuk taat dan tidak melaksanakan perintah itu karena
menghindari api peperangan. Jadi, ayat ini sesuai jika turun pada mereka untuk
memberitahukan mereka apa yang hendaknya mereka lakukan ketika berselisih,
yaitu mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada Allah dan Rasulullah
saw..
Selain mengutip pendapat yang senada di atas, As Suyuthi juga mengutip pendapat
Ibnu Jarir yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa yang
terjadi pada Ammar bin Yasir bersama Khalid bin Walid. Ketika itu Khalid adalah
Gubernur. pada suatu hari Ammar mengupah seseorang tanpa perintah Khalid, maka
keduanyapun berselisih, lalu turunlah ayat ke 59 surat an Nisaa ini.
[5]
Namun demikian dari dua penjelasan yang disampaikan As Suyuthi tersebut,
tampaknya yang paling mendekati konteks sosio historis turunnya ayat ini ialah
yang diriwayatkan pertama melalui Bukhari.
c.
Tafsir Mufrodat
Pendapat ulama berbeda-beda tentang makna kata
ulu
al amr. Dari segi bahasa,
uli adalah bentuk jamak dari
waliy
yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata
tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak, sedang kata
al-amr
adalah perintah atau urusan.
[6] Dengan
demikian,
uli al-amr adalah orang. orang yang berwewenang mengurus
urusan kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani
persoalan-persoalan kemasyarakatan. Siapakan mereka? Ada yang berpendapat bahwa
mereka adalah para penguasa/pemerintah. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka
adalah ulama, dan pendapat ketiga menyatakan bahwa mereka adalah yang mewakili
masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya.
'Ali
[7] menyebut bahwa
al-amr atau "urusan" (ia menerjemahkannya dengan istilah
"perkara") itu bisa bermacam-macam dan dapat ditangkap dengan
pengertian "bidang," seperti bidang militer, keduniawian (politik),
atau keagamaan. Tentang soal-soal politik (keduniawian) ada patokan sebuah
Hadits nabi: "Mereka yang diserahi pemerintahan, jangan sekali-kali
dilawan, kecuali jika terang-terangan melihat mereka menjalankan kekafiran yang
kamu mempunyai tanda bukti dari Allah." 'Ali menyebut kasus pengiriman
sekitar seratus orang sahabat nabi untuk berhijrah ke Abesinia, sebuah kerajaan
Kristen. Di situ umat Islam diwajibkan tunduk kepada undang-undang yang
berlaku. Namun, "apabila orang disuruh mendurhakai Allah, ia tidak boleh
mendengar dan bertaat kepada pihak yang berkuasa," seperti kata nabi.
Di satu pihak, 'Ali menyebut bidang-bidang
kehidupan kemasyarakatan yang menimbulkan kekuasaan. Di lain pihak, ia
memfokuskan hubungan antara seseorang dengan penguasa. Uli al amri ,
adalah pemegang kekuasaan, pemegang komando, pemegang keputusan atas perkara,
pemegang otoritas, kepada siapa kaum Muslim harus taat, kecuali untuk
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Dapat kita tafsirkan bahwa titik sentral ayat
itu adalah soal ketaatan kepada Uli al amri, karena ketaatan kepada
Allah dan Rasul-Nya bukan merupakan persoalan, sebab sudah menjadi diktum
kebenaran yang tidak dipersoalkan oleh kaum yang beriman. Masalahnya timbul,
ketika kaum Muslim dihadapkan pada penguasa kafir, penguasa yang beragama lain,
atau penguasa yang tidak adil.
Perlu dicatat bahwa kata
al-amr
berbentuk
makrifat atau
difinite. Ini menjadikan banyak ulama
membatasi wewenang pemilik kekuasaan itu hanya pada persoalan-persoalan
kemasyarakatan, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni. Selanjutnya,
karena Allah memerintahkan umat Islam taat kepada mereka, maka ini berarti
bahwa ketaatan tersebut bersumber dari ajaran agama, karena perintah Allah
adalah perintah agama. Di sisi lain, bentuk jamak pada kata
uli
dipahami oleh sementara ulama dalam arti mereka adalah kelompok tertentu, yakni
satu badan atau lembaga yang berwewenang menetapkan dan membatalkan sesuatu
—katakanlah— misalnya dalam hal pengangkatan kepala negara, pembentukan
undang-undang dan hukum, atau yang dinamai
ahlu al-halli wa al-'aqd.
Mereka terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat, para ulama, petani, buruh,
wartawan, dan kalangan profesi lainnya serta angkatan bersenjata.
[8] Pendapat ini
antara lain dikemukakan oleh pengarang tafsir al-Manar, yakni Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha, juga oleh al-Maraghi.
Berkenaan dengan hal ini Quraish Shihab
berpendapat, bentuk jamak itu tidak mudah dipahami dalam arti badan atau
lembaga yang beranggotakan sekian banyak orang, tetapi bisa saja mereka terdiri
dari orang perorang, yang masing-masing memiliki wewenang yang sah untuk
memerintah dalam bidang masing-masing. Katakanlah seorang polisi lalu lintas
(polantas) yang mendapat tugas dan pelimpahan wewenang dari atasannya untuk
mengatur lalu lintas. Ketika menjalankan tugas tersebut, dia berfungsi sebagai
salah seorang
Uli al amri .
[9]
Wewenang yang diperoleh, baik sebagai badan
maupun perorangan, bisa bersumber dari masyarakat yang akan diatur urusan
mereka —katakanlah melalui pemilihan umum— dan bisa juga melalui Pemerintah
yang sah, yang menunjuk kelompok orang atau orang tertentu untuk menangani satu
urusan. Bahkan bisa juga —menurut Thahir Ibn 'Asyur— karena adanya pada
orang-orang tertentu sifat-sifat dan kriteria terpuji, sehingga mereka menjadi
teladan dan rujukan masyarakat dalam bidangnya. Ulama dan cendekiawan yang
jujur adalah orang-orang yang memiliki otoritas di bidangnya. Bagi mereka,
tidak perlu ada penunjukan dari siapa pun, karena ilmu dan kejujuran tidak
memerlukannya. Masyarakat sendiri dengan meneladani dan merujuk kepada mereka
dan berdasarkan pengalaman masyarakat selama ini, yang langsung memberi
wewenang tersebut secara faktual, walau tidak tertulis.
[10]
Berangkat dari pembahasan pada poin pertama ini,
maka tampa jelas bahwa uli al amri juga dapat melekat pada sososk
pejuang atau kader dakwah. Mereka memenuhi persayaratan karena keahliannya
dalam bidang keagamaan, sebagai mana ditunjukkan oleh Shihab di atas.
- Ciri Uli
al amri
Menurut KH. Munawar Cholil,
[11]
"
Uli al amri " yang wajib ditaati oleh segenap umat pada
tiap-tiap masa itu bukanlah para hakim dan bukan pula para ulama ahli ijtihad
saja, sekalipun mereka termasuk juga di dalamnya; tetapi yang dikehendaki
dengan "
Uli al amri" itu
ahlul halli wal 'aqdi
daripada kaum muslimin yang terdiri dari beberapa puluh orang yang mempunyai
keahlian atau mempunyai keistimewaan dalam ilmu pengetahuan.
Apabila
ahl al-halli wa al- 'aqdli,
sebagai salah satu dari
Uli al amri , adalah mereka yang
berurusan dengan soal "keduniaan" atau kemashlahatan umum, yang
dasarnya adalah keahlian dan kewibawaan (dengan ukuran-ukuran obyektif), maka
mereka itu tidak harus seorang Muslim. Memang K.H. Moenawar Chalil masih
menambahkan keterangan "dan pada kaum Mu’min," tetapi hal itu
dikatakan sebagai seyogyanya. Tetapi, kalau tidak semuanya dapat diambil dan
kaum Muslim sendiri, maka dan pemeluk agama lain juga bisa. Secara tidak
langsung K.H. Moenawar Chalil mengatakan: Karena soal-soal yang dihajatkan oleh
umat, urusan yang menjadi kepentingan masyarakat dan hal-hal yang mengenai
kemashlahatan umum itu, bukan hanya urusan kehakiman, urusan yang mengenai
hukum fiqh dan soal-soal yang berkenaan dengan politik saja, tetapi sewaktu
demi sewaktu adalah berbagai macam soal dan urusan, menurut keadaan yang
terjadi pada tiap-tiap masa, yang masing-masing menghajatkan pikiran dan pandangan
pada orang yang ahli.
[12]
Dari kesimpulan itu dapat diketahui bahwa K.H.
Moenawar Chalil bermaksud untuk menyempurnakan pengertian mengenai Uli al
amri secara lebih luas, yang tersimpul dalam apa yang disebut ahl
al-halli wa al-'aqdli dari kalangan kaum Muslim. Dari kesimpulan baru ini,
maka ada tiga kelompok Uli al amri, yaitu: (1) Para penguasa politik,
(2) Para ulama dan ahli hukum syara', dan (3) Segenap ahl al-halli wa al-
'aqdli, yang terdiri dari ahli ilmu pengetahuan umum.
Kriterianya bukanlah iman (seagama) melainkan
keahlian, walaupun kriteria iman bisa pula dipakai. Sungguhpun demikian,
berbagai kriteria lain yang berasal dari ajaran al-Qur'an yang sifatnya non
imani, dapat pula diterapkan dalam menyeleksi ahl al-halli wa al- 'aqdli,
misalnya nilai amanah, darma, atau keadilan. Ayat yang menjadi fokus
pem-bahasan ini perlu dikaitkan dengan ayat sebelumnya (munasabah ayat)
yang berkata:
Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.
Memang banyak pula para ulama yang menetapkan
kritena keadilan kepada
Uli al amri. Dalam perkembangan teori politik,
di kalangan Sunni berkembang suatu pendapat tentang perlunya kekuasaan yang
beda sama sekali. "
Juga kata-kata: "Enam puluh tahun bersama
pemimpin yang jahat, lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin."
[13]
Karena itu demi keamanan dan kestabilan, kaum Muslim wajib taat kepada
Uli
al amri, walaupun mereka itu bukan dari kalangan agama sendiri, guna
mendukung keamanan dan stabilitas. Namun ketaatan itu tentu ada batasannya
yaitu sepanjang mereka tidak disuruh kufur kepada Allah. Dan sekalipun ketaatan
kepada kekuasaan itu merupakan kewajiban, namun setiap Muslim memiliki hak
untuk tidak taat penguasa yang zhalim.
Tetapi yang menjadi fokus gagasan 'Abduh dan
Rasyid Ridla' bukan soal kezaliman dan keadilan, melainkan soal ruang lingkup
otoritas Uli al amri. Rasyid Ridla' umpamanya dia memasukkan mereka
yang menjadi otoritas di bidang-bidang kesehatan, perniagaan dan kerajinan.
Arah pandangan itu lebih tegas lagi ketika ia meminta perhatian tentang peranan
para pemimpin surat kabar, para pengarang, dan pemimpin buruh.
Jujur dan adil niscaya menjadi persyaratan
penting dalam konteks dakwah kontemporer. Dakwah dalam lingkup keorganisasian
yang tidak hanya dilakukan secara verbal melainkan juga dalam aksi atau
tindakan sosial. Dewasa ini banyak sekali kelompok kelompok dakwah yang
menerima dan mengelola amanah berupa sumberdaya ekonomi dari umat untuk umat.
Kejujuran dan keadilan dalam pengelolaan ini tentu tidak bisa tidak menjadi
tolok ukur kepercayaan umat Islam kepada Dai kaitannya sebagai bagian deri uli
al amri dalam bidang ini.
- Sikap Umat terhadap Uli
al amri
Ayat ini dan ayat-ayat sesudahnya—dalam
perspektif munasabah ayat—masih berhubungan erat dengan ayat-ayat yang
lalu, mulai dari ayat yang memerintahkan untuk beribadah kepada Allah, tidak
mempersekutukan-Nya serta berbakti kepada orang tua, menganjurkan berinfak dan
lain-lain. Perintah-perintah itu, mendorong manusia untuk menciptakan
masyarakat yang adil dan makmur, anggotanya tolong menolong dan bantu membantu,
taat kepada Allah dan Rasul, serta tunduk kepada Uli al amri,
menyelesaikan perselisihan berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan al-Qur'an dan
Sunnah, dan Iain-lain yang terlihat dengan jelas pada ayat ini dan ayat-ayat
mendatang, sampai pada perintah berjuang di jalan Allah. Demikian hubungan
ayat-ayat ini secara umum.
Secara khusus dapat dikatakan bahwa setelah ayat
yang lalu memerintahkan untuk menetapkan hukum dengan adil, maka ayat di atas
memerintahkan kaum mukminin agar menaati putusan hukum dari siapa pun yang
berwewenang menetapkan hukum. Secara berurut dinyatakan-Nya;
Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dalam perintah-perintah-Nya yang
tercantum dalam al-Qur'an
dan taatilah Rasul-Nya, yakni Muhammad saw.
dalam segala macam perintahnya, baik peiintah melakukan sesuatu, maupun
petintah untuk tidak melakukannya, sebagaimana tercantum dalam sunnahnya yang
sahih, dan perkenankan
juga perintah Uli al amri , yakni yang
berwewenang menangani urusan-urusan kamu, selama mereka merupakan bagian
di
antara kamu wahai orang-orang mukmin, dan selama perintahnya tidak
bertentangan dengan perintah Allah atau perintah Rasul-Nya. Maka
jika kamu
tarik menarik, yakni b
erbeda pendapat tentang sesuatu karena
kamu tidak menemukan secara tegas petunjuk Allah dalam al-Qur'an dan tidak juga
petunjuk Rasul dalam sunnah yang shahih,
maka kembalikanlah ia
kepada nilai-nilai dan jiwa firman
Allah yang tercantum dalam
al-Qur'an, serta nilai-nilai
dan jiwa tuntunan
Rasul saw.
yang kamu temukan dalam sunnahnya,
jika kamu benar-benar beriman
secara mantap dan bersinambung
kepada Allah dan hari Kemudian.
Yang
demikian itu, yakni sumber hukum ini adalah baik lagi sempurna, sedang
selainnya buruk — atau memiliki kekurangan, dan di samping itu, ia juga
lebih
baik akibatnya, baik untuk kehidupan dunia kamu maupun kehidupan akhirat
kelak.
[14]
M. Quraish Shihab menerangkan bahwa apabila
perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya digabung dengan menyebut hanya sekali
perintah taat, maka hal itu mengisyaratkan bahwa ketaatan yang dimaksud adalah
ketaatan yang diperintahkan Allah swt, baik yang diperintahkan-Nya secara
langsung dalam al-Qur'an, maupun perintah-Nya yang dijelaskan oleh Rasul
melalui hadits-hadits beliau. Perintah taat kepada Rasul saw. di sini
menyangkut hal-hal yang bersumber dari Allah swt., bukan yang beliau
perintahkan secara langsung. Adapun bila perintah taat diulangi seperti pada
QS. an-Nisa'/4: 59 di atas, maka di situ Rasul saw. memiliki wewenang serta hak
untuk ditaati walaupun tidak ada dasarnya dari al-Qur'an. Itu sebabnya perintah
taat kepada
Uli al amri tidak disertai dengan kata taatilah
karena mereka tidak memiliki hak untuk ditaati bila ketaatan kepada mereka
bertentangan dengan ketaatan kepada Allah swt. atau Rasul saw.
[15]
Perintah taat kepada Rasul saw. adalah perintah
tanpa syarat, menunjukkan bahwa tidak ada perintah Rasul yang salah atau keliru
ada juga yang bertentangan dengan perintah Allah swt., karena jika maka tentu
kewajiban taat kepada beliau tidak sejalan dengan taat kepada Allah, dan tentu
juga ada di antara perintah beliau yang keliru.
Sementara itu M. Dawam Rahardjo mengutip dari
'Ali, menyatakan bahwa ayat ini menggariskan tiga aturan tentang hal yang
berhubungan dengan kesejahteraan umat Islam, teristimewa dengan urusan
pemerintahan: (1) Taat kepada Allah dan utusan, (2) Taat kepada yang memegang
kekuasaan di antara kaum Muslim, (3) Mengembalikan kepada Allah dan utusan-Nya
jika terjadi perselisihan dengan pihak yang berkuasa. Kata
Uli al amri
, berarti "orang yang memegang kekuasaan." Ini mempunyai
arti yang luas, sehingga perkara apa saja yang bertalian dengan kehidupan
manusia, mempunyai
Uli al amri sendiri-sendiri.
[16]
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang menjadi fokus perhatian Muhammad 'Ali sebenarnya berkisar kepada
soal "ketaatan." Dengan begitu ayat di atas disimak untuk menjawab
pertanyaan, kepada siapa seorang Muslim itu harus taat? Hal itu didasarkan
kepada asumsi ajaran Islam bahwa taat kepada otoritas itu adalah wajib
hukumnya. Ketaatan adalah suatu prinsip yang mengatur hubungan antara seseorang
dengan otoritas atau orang yang berkuasa.
Kalau pada ayat 58 ditekankan kewajiban
menunaikan amanah, antara lain dalam bentuk menegakkan keadilan, maka
berdampingan dengan itu, dalam ayat 59 ditetapkan kewajiban atas masyarakat
untuk taat kepada
Uli al amri, walaupun - sekali lagi — harus
digarisbawahi penegasan Rasul saw. bahwa:
la tha'ata li makhluqin ft
ma'shiyati al-khaliq tidak dibenarkan taat kepada seorang makhluk dalam
kemaksiatan kepada Khaliq. Tetapi, bila ketaatan kepada
Uli al amri tidak
mengandung atau mengakibatkan kedurhakaan, maka mereka wajib ditaati, walaupun
perintah tersebut tidak berkenan di hati yang diperintah. Dalam konteks ini,
Nabi saw. bersabda: "Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat
menyangkut apa saja (yang diperintahkan oleh
Uli al amri) suka atau
tidak suka. Tetapi bila ia diperintahkan berbuat maksiat, maka ketika itu tidak
boleh memperkenankan, tidak juga taat"
[17]
.
Apabila ayat 59 surat al-Nisaa/4 di atas
dikaitkan dengan satu ayat lain yang memuat istilah Uli al amri, yaitu
ayat 83 surat yang sama, maka inti dari makna surat itu adalah ’disiplin warga
masyarakat’ dan penyerahan masalah kepada ’ahlinya’ dan bukannya tentang hak
untuk berbeda pendapat atau menentang suatu otoritas, dengan alasan tertentu,
misalnya memandang yang berkuasa itu zhalim. Hal mi berkaitan dengan
perilaku tidak berbudaya dan kecenderungan bertindak sendiri, tanpa organisasi
dan tanpa pemimpin. Dengan perkataan lain, ayat itu berkaitan sikap untuk
menghapus anarki. Hal ini sangat kentara ayat 83:
Dan apabila datang kepada
mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Uli al amri
di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan Uli al amri ).
kalau tidaklah Karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu
mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (Depag RI. 1989:
132-133)
b.
Sabab Nuzul
Muslim (dalam
Kitabithalaq, No. 2704)
meriwayatkan bahwa Umar Ibnul Khaththab berkata, “Ketika Nabi saw. tidak
mendatangi istri-istrinya, saya masuk ke dalam masjid. Disana saya mendapati
orang-orang mengetuk-ngetukkan jari-jari mereka pada kerikil-kerikil di lantai
masjid. Dan mereka berkata, ’Rasulullah saw. telah menceraikan istri-istrinya.’
Maka saya segera bangkit seraya berdiri di pintu masjid, lalu saya berseru
dengan lantang, ’Beliau tidak menceraikan istri-istrinya!.” lalu turunlah
firman Allah ayat ke 83 suat an Nisaa ini. ”
[18]
Dalam konteks ayat di atas, Uli al amri,
adalah mereka yang dapat mengambil keputusan mengenai suatu urusan dengan
sebaik-baiknya, karena mengetahui masalah dan menyelidiki duduk perkara suatu
masalah.
Hubungannya dengan soal disiplin dan kepercayaan
kepada pimpinan, akan nyata jika dibaca pada ayat sebelumnya, yaitu ayat 80 dan
81 yang berbunyi :
Barangsiapa yang menaati
Rasul, maka sesungguhnya la telah menaati Allah. Dan barangsiapa berpaling
(dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutus kamu untuk menjadi pemelihara
bagi mereka. Dan mereka (orang yang munafik) mengatakan: ("kewajiban kami
hanyalah) taat." Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebagian
dari mereka mengatur siasat di malam hari dan (mengambil keputusan) lain dari
yang telah mereka katakan tadi.
[19]
Ayat 80 merujuk pada soal ketaatan kepada rasul,
sebagai seorang pemimpin. Mereka yang taat kepada rasul berarti taat kepada
Allah. Jadi sebenarnya taat kepada Allah itu identik dengan taat kepada rasul,
karena rasul adalah pemilik otoritas dalam penyampaian wahyu Illahi. Di sini
rasul juga berperan sebagai pemelihara kepentingan umat. karena itu ia wajib
ditaati.
Masalahnya adalah bagaimana jika sudah tidak ada
lagi rasul? Di sini umat sudah diberi warisan pegangan yang memimpin dalam
hidup, yaitu al-Qur'an sebagai manifestasi kepemimpinan Allah, dan al-Sunnah
sebagai manifestasi kepemimpinan Rasul. Sehingga yang tinggal aktual hanyalah Uli
al amri. Maka menjadi kewajiban para Uli al amri, dalam hal ini
bisa ditafsir sebagai ahl al-halli wa al- 'aqdli, untuk menyerap
tuntutan Al Qur’an dan al-Sunnah ke dalam corak kepemimpinan mereka. Tetapi
adalah kewajiban masyarakat untuk taat kepada pimpinan, tentu saja pimpinan
yang telah melaksanakan perintah yang lain, yaitu wa syawir hum fi al-amr-i
(Q. s. Alu Imran/3:159), melaksanakan musyawarah. Atau dengan menunjuk kepada
al-Qur'an surat al-Thalaq/65:6, ada istilah ta'mir yang kini
berkembang menjadi istilah mu'tamar. Baik dalam pemilihan pemimpin,
maupun dalam melakukan fungsi legislatif, al Quran memerintahkan musyawarah
dalam lembaga mu'tamar.
Soal ketaatan kepada pimpinan, selain kepada
orang maupun gagasannya (idea), juga menyangkut soal jika terjadi perselisihan
atau perbedaan pendapat. Ada tiga cara menyelesaikan masalah, Pertama,
mengembalikan kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (Sunnah). Jika
masalahnya sedemikan sulit, detail atau teknis memerlukan ijtihad, maka cara
kedua adalah menyerahkan melakukan konsultasi dengan Uli al amri. Dan
cara ketiga adalah melakukan musyawarah atau mu'tamar.
Berdasarkan hal itu, tampaknya ada perbedaan
dalam interpretasi mengenai musyawarah dalam kaitannya dengan ketaatan.
Pertama, adalah musyawarah antara umat dan pimpinan. Kedua, musyawarah di
antara umat sendiri. Dan ketiga, musyawarah di antara ahl al-halli wa al-
'aqdli. Ketiga-tiganya tentulah harus berpedoman kepada al-Qur'an dan
Sunnah Nabi Dan jika tidak dijumpai (karena keterbatasan kemampuan melakukan
penafsiran umpamanya) dalam al-Qur'an maupun Sunnah, maka yang harus dilakukan
adalah ijtihad atau mengonsultasikan masalahnya kepada Uli al amri maupun
ahl al-halli wa al- 'aqdli yang telah terbentuk dan melembaga dalam
masyarakat.
C. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa kontekstualisasi Uli al amri dalam dakwah
Islam dapat disarikan dalam beberapa hal berikut:
1. Uli
al amri (dalam Q.S. 4: 59) adalah mereka yang memiliki
otoritas keahlian di bidang masing-masing, dan otoritas ini terpengaruhi oleh
muatan iman (agama) termasuk bidang-bidang tertentu (sosial kemasyarakatan
maupun ilmu alam).
2.
Merujuk kepada Q.S. 4: 58, ada kualifikasi lain yang harus dipenuhi
seorang Uli al amri , yaitu amanah dan adil. hal ini semakin
menegaskan bahwa seorang pemimpin selain harus seorang ahli, juga memiliki
integritas moral yang positif ditandai dengan kejujuran dan keadilannya.
3. Seorang
pemimpin (dalam Q.S. 4: 83) memiliki kewenangan untuk memutus suatu perkara
berdasarkan keahliannya tersebut, dan sebagai umat yang dipimpin wajib untuk
menaati keputusan tersebut sebagai bentuk kedisiplinan. Wujud ketaatan dan
teknis pemutusan suatu perkara dapat dilakukan melalui musyawarah, sebagaimana
ditemukan dalam munasabah ayat tersebut pada Q.S. Alu Imran ayat 159
dan Q.S. Ath Thalaq ayat 6.
Daftar Pustaka
Abu Zayd, Nasr Hamd.
2001 Mafhûm an Nash Dirâsah
fi ‘Ulûm Alqurân (terj. Khoiron Nahdliyyin) Yogyakarta: LKiS.
Al Farmawi, Abdul Hayy. 2002. Metode
Tafsir Maudhu’i. (terj. Rosihon Anwar) Bandung: Pustaka Setia.
Al Qattan, Manna Khalil. 2001.
Studi Ilmu Al Quran (Terj. Mudzakir AS.) Bogor: Litera Antar Nusa.
Ali, Abdullah Yusuf. 1988. The
Holly Quran, text, translation and commentary. New York: The Tabrike Tarsile
Quran.
As Suyuthi, Jalaludin. 2008. Sebab
turunnya ayat alQuran. Jakarta: Gema Insani Press.
Chalil, Munawar KH. 1984. Ulil
Amr. Semarang: CV. Ramadani.
Depag RI. 1989. Al Quran
dan Terjemahannya. Semarang: CV. Toha Putra.
Faiz, Fakhrudin. 2003. Hermeneutika
Qurani antara teks, konteks dan kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam.
Kassis, Hanna E. 1983. A
Concordance of the Quran.
Rahardjo, M. Dawam. 1996. Ensiklopedi
Al Quran, Tafsir Sosial berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta:
Paramadina.
Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsir
Al misbah—Pesan kesan dan Keserasian Al Quran. Vol. 2. Cet. VIII.
Jakarta Lentera Hati.
Syamsu, Nazwar, 1980. Kamus
Al Quran: Al Quran Indonsesia Inggris, berisi petunjuk surat dan ayat.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
[1]
Dawam Rahardjo, 2002: 466
[3] Hanna E.
Kassis, 1983.
[5] Jalaludin As
Suyuthi, 2008: 173-174.
[6] M. Quraish
Shihab, 2007: 484.
[7] Abdullah
Yusuf ‘Ali, 1988.
[8] Muhammad
Quraish Shihab,
Loc. Cit: 484
[11] K.H.
Moenawar Cholil, 1984.
[13] Suatu
ungkapan yang terkenal dari Ibnu Taymiah.
[14] Muhammad
Quraish Shihab,
Op.
Cit.: 483
[16] Dawam
Rahardjo,
Loc. Cit. 468.
[17] HR. Bukhari dan
Muslim melalui Ibn'Umar.
[18] Jalaludin As
Suyuthi,
Op. Cit: 181-182
[19] Depag RI.
Op.
Cit.: 131-132
Keprihatinan yang mendalam atas pergeseran
nilai-nilai kepemimpinan yang terjadi saat ini yang ternyata telah banyak
meninggalkan kaedah-kaedah normatif dalam kepercayaan moral (Morality Faith)
baik pada sisi keagamaan maupun sisi kemasyarakatannya. Yang berujung pada pelanggaran-pelanggaran
terhadap kaedah-kaedah Normatif tersebut, seperti meningkat-nya kasus-kasus
korupsi, Kepentingan Golongan atau kelompok tertentu lebih diutamakan dari pada
kepentingan orang-orang yang dipimpinnya atau Masyarakat umum, Nepotisme dan
Kolusi merajalela, . Dekadensi Moral Kepemimpinan memang telah terjadi hampir
disetiap tingkatan kepemimpinan, baik dalam kepemimpinan keluarga, kepemimpinan
sosial kemasyarakatan, kepemimpinan dalam perusahaan atau badan usaha,
kepemimpinan partai hingga kepemimpinan kepemerintahan dalam berbagai
tingkatan. Sehingga perlu kiranya kita ummat islam mawas diri dan melakukan
introspeksi diri atas persitiwa-peristiwa pelanggaran tersebut apakah sudah
benar dengan kaedah-kaedah Normatif dalam kepercayaan agama kita ?… Meski kita
tidak bisa memfonis diri bahwa dari masyarakat muslim lah
pelanggaran-pelanggaran normative tersebut terjadi, Banyak juga
pelanggaran-pelanggaran yang sama dilakukan oleh warga dari kalangan Non
Muslim, seperti yang baru-baru ini terkuak. Atau korupsi yang terjadi di Negara
lain yang Mayoritas masyarakatnya beragama Non Muslim, seperti di Filipina,
Taiwan, Argentina, dan Italy. Meskipun demikian kita tetap harus melakukan
Introspeksi diri dan mawas diri atas dekadensi moral Kepemimpinan yang terjadi
di negeri ini. Berikut ini adalah ulasan pemahaman Kepemimpinan dalam
Perspektif Islam semoga bisa menjadi bahan renungan dan jawaban untuk sebagian
orang yang mempertanyakannya.
AL MAALIKUL MULKI (Zat yang
mempunyai kekuasaan)
Pemimpin dan Pimpinan adalah dua kata yang seakan
sama, namun memiliki dua makna yang berbeda. Sudah barang tentu Pemimpin dan
Pimpinan memiliki bawahan atau ada sesuatu yang dipimpinnya. Namun dalam segi
pemahamannya memilki makna yang berbeda jauh. Ketika kita berbicara Pemimpin
maka akan tercipta sebuah stereotip yang sebenarnya harus berbeda dengan makna
Pimpinan.
Pimpinan memiliki pemahaman bahwa seseorang yang
ditunjuk untuk memiliki tanggung jawab memimpin oleh karena Pengangkatan, dalam
artian bahwa suka atau tidak suka dari bawahannya, ia akan tetap memimpin
bawahan-bawahannya tersebut.
Sedangkan Pemimpin adalah seseorang yang ditunjuk
untuk memiliki tanggungjawab memimpin oleh karena kodrat alamiahnya sebagai
Manusia.
Sebagaimana yang tercantum didalam firman Allah :
“Sesungguhnya Kami sudah kemukakan tanggungjawab
amanah (Kami) kepada langit dan bumi serta gunung-gunung (untuk memikulnya),
maka mereka enggan memikulnya dan bimbang tidak dapat menyempurnakannya (kerana
tidak ada pada mereka persediaan untuk memikulnya); dan (pada ketika itu)
manusia (dengan persediaan yang ada padanya) sanggup memikulnya. (Ingatlah)
sesungguhnya tabiat kebanyakan manusia adalah suka melakukan kezaliman dan suka
pula membuat perkara-perkara yang tidak patut dikerjakan.” – (Surah al-Ahzab,
ayat 72)
Di ayat lain Allah juga menjelaskan :
“Kaum lelaki adalah pemimpin dan pengawal yang
bertanggungjawab terhadap kaum perempuan, oleh kerana Allah melebihkan lelaki
(dengan beberapa keistimewaan) atas perempuan dan kerana lelaki sudah
membelanjakan (memberi nafkah) sebahagian dari harta mereka. Maka perempuan
salih itu ialah yang taat (kepada Allah dan suaminya) dan yang memelihara
(kehormatan dirinya dan apa juga yang wajib dipelihara) ketika suami tidak
hadir bersama, dengan pemuliharaan Allah dan pertolongan-Nya. Dan perempuan
yang kamu bimbang melakukan perbuatan derhaka (nusyuz) hendaklah kamu
menasihati mereka, dan (jika mereka berdegil) pulaukanlah mereka di tempat
tidur dan (jika mereka masih degil) pukullah mereka (dengan pukulan ringan yang
bertujuan mengajarnya). Kemudian jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi, lagi Maha Besar.” – (Surah An-Nisa’, ayat 34)
Tidak mudah menghasilkan Pemimpin jika dibandingkan
dengan Pimpinan. Seorang pimpinan entah itu mampu atau tidak, mau tidak mau
harus memimpin karena ia diangkat meski terkadang dia tidak memiliki jiwa
Pemimpin. Namun seorang Pemimpin itu memang layak untuk dicari dan
diperjuangkan.
Dengan kata lain :
Pemimpin sudah berarti Pimpinan namun Pimpinan tidak berarti Pemimpin.
Pemimpin diangkat oleh orang-orang yang dipimpinnya karena suka dan
kemampuannya sehingga ikhlas saat dipimpin, sedangkan Pimpinan diangkat oleh
seseorang atau sekelompok orang yang disebut atasan untuk memenuhi tujuan dan
tanggungjawab tertentu, meski orang-orang yang akan dipimpinnya belum tentu
menyukainya.
Mari kita coba berfikir sama-sama, Apakah memang
sudah banyak Pemimpin di negeri ini, mari kita perhatikan hadist rasulullah saw
ini :
“Setiap kalian adalah Pemimpin dan setiap kalian
akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang Imam adalah Pemimpin dan akan
dimintai pertanggungjawabanya, Seorang Suami adalah Pemimpin terhadap
keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawabanya, seorang Istri adalah
pemimpin dalam rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawabanya, Seorang
pembantu adalah Pemimpin terhadap harta majikannya, dan akan dimintai
pertanggungjawabannya. Setiap kalian adalah Pemimpin dan akan dimintai
pertanggungjawabannya” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Berbicara pimpinan bisa siapa saja untuk
memimpin, namun yang harus kita kritisi adalah apakah memang dia pantas jadi
Pimpinan atau apa benar ia memiliki jiwa Pemimpin ?. Sebenarnya yang harus kita
cari adalah Pemimpin yakni orang-orang yang bertanggungjawab dengan segala
kesadarannya untuk menjaga amanah yang diberikan kepadanya, yang berani ambil
resiko untuk kepentingan umum meski dirinya sendiri harus menderita. Dan
seorang Pemimpin juga seharusnya memiliki kesadaran bahwa masih ada yang lebih
tinggi dari nya dan kekuasaan yang lebih luas darinya serta suatu ketika khelak
akan dimintakan pertangungjawaban oleh Penguasa yang maha tinggi ini, yaitu
Allah subhannahu wata’ala. Masalahnya masih banyak Pemimpin dari kalangan Muslim
sendiri yang kurang atau bahkan tidak memahami kepemimpinan Islami atau paham
namun tidak menerapkannya selama masa kepemimpinannya dan cenderung terbuai
dengan otoritas dan kemudahan yang dimilikinya.
MUHAMMAD RASULULLAH
Contoh kepemimpinan Ideal yang islami dan sesuai
dengan kondisi jaman saat ini adalah kepemimpinan Rasulullah salallahu alaihi
wasalam. Begitu banyak contoh-contoh tauladan yang beliau berikan kepada kita
yang bisa diterapkan untuk menjadi Pemimpin atau Pimpinan yang ingin memiliki
jiwa Pemimpin Ideal. Sebagaimana yang Rasulullah contohkan seorang Pemimpin
yang Ideal haruslah memiliki karakter sebagai berikut :
Mempunyai tingkat Religiusitas yang tinggi, ini adalah fungsi kontrol dari
seorang Pemimpin bahwa dalam kepemimpinannya ada Pemimpin/ Penguasa tertinggi
yang mengawasi dan kelak akan meminta pertanggungjawabannya di alam akhirat
nantinya. meski jaminan Surga telah diberikan oleh Allah subhana huwata’ala
kepada Rasulullah namun beliau tetap menjalankan Ibadah secara teratur tanpa berkurang
sedikitpun. Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan
kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka,
kecuali pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”
Mempunyai tingkat kesabaran yang tinggi, sehingga mampu mengendalikan emosi.
Tindakan seorang pemimpin/ Pimpinan tidak boleh dilakukan dengan cara
emosional. Efek nya akan sangat fatal apabila melakukannya. Sebagaimana yang
rasulullah contohkan saat menghadapi masalah-masalah sulit untuk kepentingan
ummat dan demi tegaknya agama Allah ini, Rasulullah menyegerakkan melakukan
Shalat sunnah dua raka’at terlebih dahulu sebelum menentukan kebijakannya,
sehingga membantu beliau dalam mengambil keputusan, karena efek dari berwudhu dan
shalat adalah dapat memberikan rasa tenang dan kepasrahan diri kepada sang
Khaliq.
Mempunyai tingkat kepedulian yang tinggi, Peduli terhadap permasalahan yang
terjadi baik disekitar kepemimpinan dirinya maupun disekitar orang-orang yang
dipimpinnya. Sebagaimana yang sering terjadi pada diri Rasulullah dalam
kepemimpinannya, beliau selalu peduli dan mampu menjadi Solving Maker dalam
setiap permasalahan yang timbul dikalangan ummat Islam saat itu bahkan
kisah-kisah dan perkataan beliau mampu menjawab permasalahan yang timbul di
kalangan Ummat Islam hingga saat ini dan hingga akhir masa nantinya. Sabda
Rasulullah ; ”Tidaklah seorang pemimpin atau pemerintah yang menutup pintunya
terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu
langit terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan
At-Tirmidzi).
Mempunyai tingkat keadilan yang tinggi, Berlaku adil adalah syarat penting
dalam kepemimpinan, bila seorang pemimpin tidak bisa bersikap adil maka
olok-olok dan cemo’oh lah yang akan diberikan oleh pengikutnya. Nabiullah
Muhammad Salallahu Alaihi Wasalam telah banyak memberikan contoh tentang
keadilan ini. Bahkan beliau telah dijuluki ‘Al Amin’ yang artinya jujur dan
terpercaya sebelum beliau diangkat menjadi Rosul oleh Allah subhana wa ta’ala.
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia
akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan
diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerumuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat
Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
Mempunyai tingkat Pengorbanan yang tinggi, seorang pemimpin sejati bekerja
tanpa pamrih dan berjuang demi kemaslahatan orang banyak. Rela mengorbankan
waktunya, saat orang-orang yang dipimpinnya sedang terlelap ia masih sibuk
bekerja dan berfikir, saat orang-orang yang dipimpinnya masih bersenda gurau
dan terlena dengan waktu senggangnya, seorang pemimpin telah sibuk dengan
aktivitasnya demi kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya. Sebagaimana Rasulullah
tidak pernah meninggalkan shalat malam dan selalu mendo’akan ummatnya baik
kepada ummatnya yang saat itu ia pimpin maupun kepada ummat-ummat setelahnya.
Bahkan beliau rela melepaskan harta benda miliknya demi kemaslahatan ummat dan
demi tegaknya Islam, agama yang hanya di ridho’i oleh Allah subhana wata’ala.
Saat beliau wafat pun, beliau masih sempat memikirkan ummatnya. Rasulullah
bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat
Thabrani).
Tegas dan komit dalam mengambil keputusan dan lemah lembut dalam merengkuh
kebersamaan, ketegasan adalah yang diinginkan oleh pengikutnya dari seorang
pemimpin. Ke-plin-plan-nan seorang pemimpin akan menjerumuskannya pada konflik
internal yang berkepanjangan. Rasulullah bersabda,” Jika seorang pemimpin
menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam
Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim). Nabi Muhammad salallahu alaihi wasalam seorang
yang lemah lembut meski dia selalu dihina, difitnah bahkan diludahi dan lebih
dari itu oleh kaum kafirin. Namun dia akan menjadi orang yang tegas dan komit
saat menghadapi kekejian kaum kafirin yang menghina Allah, Agama Islam dan
Ummatnya. Begitu pula beliau akan menjadi tegas saat menghadapi kaum Munafik di
dalam tubuh Islam itu sendiri. Doa Rasullullah,’ Ya Allah, barangsiapa mengurus
satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang
siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka,
maka berlemah lembutlah kepadanya.
Memiliki tanggungjawab yang tinggi, tanggungjawab memiliki hubungan yang erat
dengan pengorbanan. Seorang pemimpin yang bertanggungjawab terhadap orang-orang
yang dipimpinnya dan terhadap tugas-tugas yang di embannya akan banyak
melakukan pengorbanan baik materil maupun moril. Rasulullah salallahu alaihi
wasalam rela mengorbankan harta bendanya bahkan rela tinggal di masjid agar
bisa mensejahterakan ummatnya. Hendaklah selalu membuka pintu untuk setiap
pengaduan dan permasalahan rakyat.Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang
pemimpin atau pemerintah yang menutup pintunya terhadap kebutuhan, hajat, dan
kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap kebutuhan,
hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).
Jujur dan Rendah hati, kejujuran dan rendah hati adalah kunci kesuksesan
seorang pemimpin untuk memperoleh kepercayaan dan dukungan dari orang-orang
yang dia pimpin. Apabila sekali saja melanggarnya atau berbuat tidak jujur
dengan alasan apapun maka bersiap-siaplah untuk jatuh dari kursi kepemimpinannya.
Ambilah kisah-kisah Rasulullah didalam hadist sahih untuk menjadi pegangan dan
contoh tauladan apabila anda berada diposisi sebagai seorang Pemimpin dan
terapkanlah dalam kehidupan kita sehari-hari. Rasullullah bersabda kepada
Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,”Wahai Abdul Rahman bin samurah!
Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin.Sesungguhnya jika kepemimpinan
diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab
sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena
permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan
Muslim)
Ketika kita memasuki system Pemerintahan dalam
Alam Demokrasi dimana Filosofi dari sistim Demokrasi ini adalah Dari Rakyat,
Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat (From People, by People and for People) serta
kemenangan mutlak adalah kemenangan Rakyat(People Power). Maka sudah
sepantasnya lah kita mencari sosok Pemimpin yang islami untuk menjadi Pimpinan.
Bangsa ini sedang membutuhkan Pemimpin yang
memang sesuai dengan pemahaman yang sama yakni akan dimintai
pertanggungjawaban. Tidak ada kata-kata lagi yang harus dikedepankan selain,
masihkah kita harus menunggu dipimpin oleh Pimpinan yang tidak memiliki jiwa
Pemimpin ? kita harus sama-sama bangkit dari keterpurukan dengan sadar bahwa
kita itu Pemimpin.
Seorang Pemimpin harus berani tegakan ‘Amar
Ma’ruf nahi munkar’ dan berani untuk menerima keritik, seorang Pemimpin tidak
akan berani berkata saya Capek saya mau istirahat ketika memang belum terasa keadilan
dan kesejahteraannya oleh Rakyatnya.
Dan Pemimpin itu tidak akan menjual keadilan
hanya untuk kepentingan dirinya karena ia sadar bahwa ‘Yasytaruna bi
ayatil-lahi tsamanan qalila’, sehingga meski emas sebesar dunia ini diberikan
ia tidak akan goyah untuk takut melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Pemimpin itu harus menjadi pendengar setia dan
penjaga keadilan untuk kesejahtraan rakyatnya sehingga rakyat menjadi merasa
tentram dan akan melakukan yang terbaik karena memang mereka Ikhlas untuk
dipimpin.
Dua Syarat Pemimpin Menurut Islam
|
Ditulis oleh Abdur Rosyid
|
Dalam
iklim demokrasi, rakyat diberikan hak yang lebih luas untuk menentukan
pemimpinnya. Mulai dari Pilkades, Pilbup/ Pilwali, Pilgub, Pileg, sampai
Pilpres.
Barangkali Anda merasa lelah untuk terus memilih, namun
bagaimanapun juga kita memiliki tanggung jawab terhadap kepemimpinan di
negeri kita ini. Bagaimana kalau orang yang baik-baik tidak ikut memilih
sementara mereka yang tidak baik dan tidak paham agama justru yang ikut
memilih? Tentu para pemimpin yang tidak baiklah yang akan menguasai kita
semua.
Memang
benar masyarakat yang sudah relatif mandiri mungkin merasa tidak akan secara
signifikan dipengaruhi oleh siapa yang akan menjadi pemimpin, namun dalam
konteks yang lebih besar dan lebih menyeluruh, baik pada level nasional
maupun internasional, siapa yang memimpin akan benar-benar menentukan kemana
negeri ini akan berjalan.
Apakah
kita rela bisa hidup sejahtera namun sekian banyak saudara-saudara kita tetap
bergelimang dalam kesusahan, dan hak-hak mereka terus-menerus dikebiri dan
dikorupsi oleh para pemimpinnya? Apakah kita rela kekayaan negeri ini
terus-menerus dieksploitasi oleh asing, sehingga tidak ada yang tersisa bagi
anak negeri ini kecuali sangat sedikit? Apakah kita rela bisa hidup merdeka,
namun negeri ini diam dan bungkam terhadap kezhaliman dan penjajahan yang
masih bercokol di belahan bumi yang lain?
Jika
kita tidak rela, berarti kita harus menentukan para pemimpin kita, yang di
tangan merekalah semua hal tadi ditentukan.
Lebih
dari sekadar hak, menggunakan hal pilih dengan pilihan yang tepat adalah
usaha yang bisa kita lakukan untuk mengubah negeri ini, yakni dengan memilih
para pemimpin yang tepat. Sebab jika tidak, jangan-jangan akan muncul para
pemimpin yang tidak baik, yang akan menguasai negeri ini.
******
Berbicara
tentang pemimpin, Allah SWT telah menjelaskan kepada kita bagaimana pemimpin
yang baik itu, melalui beberapa contoh kepemimpinan yang Allah ketengahkan
dalam kitab-Nya, Al-Qur’an.
Diantara
sosok yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah Musa as. Dalam QS Al-Qashash:
26, Allah SWT berfirman: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata:
"Wahai bapakku, ambillah ia (Musa) sebagai orang yang bekerja (pada
kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat (al-qawiyy) lagi dapat dipercaya
(al-amin)".
Dalam
ayat tersebut, Musa as disifati memiliki dua sifat yaitu al-qawiyy (kuat) dan
al-amin (bisa dipercaya). Inilah dua sifat yang harus dimiliki oleh seseorang
yang “bekerja untuk negara”. Dua sifat tersebut adalah al-quwwah yang
bermakna kapabilitas, kemampuan, kecakapan, dan al-amanah yang bermakna
integritas, kredibilitas, moralitas.
Sosok
pemimpin lainnya yang disebutkan oleh Al-Qur’an adalah Yusuf as. Dalam QS
Yusuf: 55, Allah SWT mengabadikan perkataan Yusuf as kepada Raja Mesir:
“Yusuf berkata: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".
Dari
ayat diatas, kita mengetahui bahwa Yusuf as itu hafiizh (bisa menjaga) dan
‘alim (pintar, pandai). Inilah dua sifat yang harus dimiliki oleh seseorang
yang “bekerja untuk negara”. Dua sifat tersebut adalah al-hifzh yang tidak
lain berarti integritas, kredibiltas, moralitas, dan al-‘ilm yang tidak lain
merupakan sebentuk kapabilitas, kemampuan, dan kecakapan.
Jadi
kesimpulannya, kriteria pemimpin yang baik menurut Al-Qur’an adalah yang
kredibel dan juga kapabel. Dua-duanya harus ada pada diri seorang pemimpin,
bukan hanya salah satunya. Jika seorang pemimpin hanya kredibel tapi tidak
kapabel, maka urusan akan berantakan karena diserahkan pada yang bukan
ahlinya. Rasulullah saw bersabda, “Jika urusan diserahkan pada yang bukan
ahlinya, tunggulah kehancurannya”. Sebaliknya, jika seorang pemimpin hanya
kapabel tapi tidak kredibel, maka dia justru akan ‘minteri’ rakyat, menipu
rakyat, menjadi maling dan perampas hak-hak rakyatnya, dan tidak bisa
dijadikan sebagai contoh dan teladan. Dan jika para pemimpinnya bermoral
rendah, bagaimana dengan rakyatnya?
******
Dalam
konteks saat ini di negeri kita ini, orang-orang berlomba-lomba untuk bisa
meraih kekuasaan. Siapapun, yang baik ataupun yang tidak baik, yang
berkualitas ataupun yang tidak berkualitas, yang bermoral ataupun yang tidak
bermoral, yang kapabel ataupun yang tidak kapabel, semuanya berlomba-lomba
untuk bisa mendapatkan dukungan yang sebesar-besarnya, sehingga bisa terpilih
dan duduk dalam kursi kekuasaan.
Dalam
kondisi semacam ini, tidak mungkin seseorang bersikap diam dengan dalih bahwa
Nabi berkata “meminta jabatan itu tidak boleh”. Sebetulnya, kata-kata Nabi
itu adalah melarang orang yang tidak kredibel dan tidak cakap untuk meminta
jabatan, lagipula di masa Nabi saw tidak ada sahabat yang minta-minta
jabatan.
Kalau
sekarang, kondisinya berbeda. Semua orang berlomba-lomba minta jabatan. Oleh
karena itu, dalam kondisi semacam ini kita harus melakukan apa yang telah
dilakukan oleh Nabi Yusuf. “Yusuf berkata: ‘Jadikanlah aku bendaharawan
negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi
berpengetahuan". Dia meminta karena dia memang mampu dan berkualitas,
kredibel dan juga cakap.
******
Ditengah
ramainya persaingan meraih kursi kekuasaan saat ini, jangan sampai kita
terlena dan tertipu dengan berbagai macam bentuk usaha untuk mendapatkan
dukungan.
Pertama,
jangan sampai kita terjebak dalam money politic, yang tidak lain adalah usaha
untuk menyuap rakyat. Mari kita tolak money politic, dan kita mengajak semua
orang untuk memberantas praktek-praktek money politic.
Apakah
kita rela dipimpin oleh orang-orang yang memberikan kepada kita 50 ribu untuk
kemudian mencuri dan merampas hak-hak kita yang nailainya jauh lebih besar
dari itu?
Kedua,
kita harus jeli dalam melihat kualitas calon-calon pemimpin kita. Kita harus
bisa melihat secara lebih obyektif. Jangan mudah tertipu dengan lips service
atau abang-abang lambe, apalagi sekedar janji-janji kosong.
Mari
kita melihat track record para kandidat tersebut. Sejauh ini, apa saja yang
telah mereka lakukan. Karya nyata apa yang bisa mereka persembahkan. Dan
harapan apa yang bisa digantungkan ke pundak mereka. Mari kita lihat semuanya
dengan jeli dan obyektif, baik itu orang-orangnya maupun partainya.
|
Beeberapa Hadis tentang Kepemimpinan dalam
Kitab Riyadhus Shalihin
A.
Pendahuluan
Dalam
sejarah kehidupan manusia, telah muncul konsepsi tentang kepemimpinan.
Bagaimana Nabi Adam memimpin Hawa dan keturunannya di dunia setelah diusir dari
surga. Begitu juga sejak awal kemunculan Islam, Nabi Muhammad selain sebagai
seorang utusan Rasul yang menyampaikan ajaran-ajaran agama tetapi juga
seorang kepala Negara dan kepala rumah tangga. Paling tidak dalam
catatan-catatan sejarah kenabian yang terdokumentasikan dalam Hadits-Hadits
yang tetap terjaga dan masih bisa dikonsumsi sampai saat ini, Nabi memberikan
contoh bagaimana seorang pemimpin menyelesaikan persoalan-persoalan pribadi
maupun sosial kemasyarakatan berdasarkan musyawarah untuk tercapainya
kemaslahatan.
Masa
peletakan Fondasi Islam yang di bawa Nabi Muhammad Saw. telah lama usai. Setiap
ummat Islam dituntut untuk mampu mengaplikasikan ajaran-ajaran tersebut kedalam
seluruh aspek kehidupan, tentunya dengan kontekstualisasi yang sejalan dengan
perubahan zaman namun tetap berdasarkan tuntunan yang ada.
Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl : 90)
Berdasarkan
ayat diatas paling tidak, dapat diraba bahwa konsepsi kepemimpinan diakui oleh
Islam yang dimanifestasikan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Untuk lebih mendalami
hal tersebut dalam makalah ini akan sedikit dibahas beberapa hadits yang
tertuang dalam Kitab Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi.
B.
Pembahasan
Islam
menetapkan tujuan dan tugas utama pemimpin adalah untuk melaksanakan ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya serta melaksanakan perintah-perintah-Nya. Ibnu
Taimyah mengungkapkan bahwa kewajiban seorang pemimpin yang telah ditunjuk dipandang
dari segi agama dan dari segi ibadah adalah untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Pendekatan diri kepada Allah adalah dengan menaati
peraturan-peraturan-Nya dan Rasul-Nya. Namun hal itu lebih sering disalah
gunakan oleh orang-orang yang ingin mencapai kedudukan dan harta.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ
رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ
وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya
:
Dari
Ibn Umar r.a. Sesungguhnya Rasulullah Saw. Berkata :”Kalian adalah pemimpin,
yang akan dimintai pertanggungjawaban. Penguasa adalah pemimpin, dan akan
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin
keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Istri
adalah pemimpin dirumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam mengelolaharta tuannya, dan akan
dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Oleh karena itu kalian
sebagai pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.“
Hal
yang paling mendasar yang dapat diambil dari hadis diatas adalah bahwa dalam
level apapun, manusia adalah pemimpin termasuk bagi dirinya sendiri. Setiap perbuatan
dan tindakan memiliki resiko yang harus dipertanggungjawabkan.
Setiap
orang adalah pemimpin meskipun pada saat yang sama setiap orang membutuhkan
pemimpin ketika ia harus berhadapan untuk menciptakan solusi hidup di mana
kemampuan, keahlian, dan kekuatannya dibatasi oleh sekat yang ia ciptakan
sendiri dalam posisinya sebagai bagian dari komunitas.
1)
Penguasa yang adil
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا
ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ
رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي
اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ
ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ
أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ
اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Artinya
:
Dari
Abu Hurairah ra., dari Nabi Saw., beliau bersabda : “Ada tujuh golongan yang
akan mendapat naungan Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya,
yaitu : Pemimpin yang adil, Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah
Ta’ala, Seseorang yang hatinya senantiasa digantungkan (dipertautkan)” dengan
masjid, Dua orang saling mencintai karena Allah, yang keduanya berkumpul dan
berpisah karena-Nya. Seorang laki-laki yang ketika diajak [dirayu] oleh seorang
wanita bangsawan yang cantik lalu ia menjawab :”Sesungguhnya saya takut kepada
Allah.”Seorang yang mengeluarkan sedekah sedang ia merahasiakanny,
sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan
kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di tempat yang sepi sampai
meneteskan air mata.”
Setiap
orang berhak mengeluarkan pendapatnya dan seorang pemimpin berkewajiban
mendengarkan. Ia wajib menjalankan hasil musyawarah. Setiap keputusan yang
telah disepakati bersama wajib dilaksanakan karena itu merupakan amanat yang
dibebankan kepadanya. Dalam hadits diatas diungkapkan keutamaan seorang
pemimpin yang adil sehingga mendapatkan posisi pertama orang yang mendapatkan
naungan dari Allah pada hari kiamat. Hal ini menunjukkan begitu beratnya
menjadi seorang pemimpin untuk selalu adil dalam menyelesaikan
permasalahan-permasalahan.
2)
Wajib menaati perintah penguasa
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ
فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ
بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Artinya
:
Dari
Ibn Umar ra., dari Nabi Saw., sesungguhnya bliau bersabda : “Seorang Muslim
wajib mendengar dan taat terhadap perintah yang disukai maupun tidak
disukainya. Kecuali bila diperintahkan mengerjakan kemaksiatan, maka ia tidak
wajib mendengar dan taat”
Secara
kontekstual hadits diatas dapat diartikan dalam berbagai dimensi. Dalam sebuah
komunitas, masyarakat dan agama setiap manusia memiliki sistem yang mengatur
mereka maka wajar sebagai bagian dari sistem tersebut untuk mematuhi
aturan-aturan yang berlaku. Namun ketaatan tersebut tidak serta merta menjadi
sikap yang selalu taklid terhadap pemimpin. Dalam Islam diajarkan tidak
diperbolehkan taat atau memetuhi pemimpin kecuali dalam batas-batas yang telah
dijelaskan Allah dalam al-Qur’an dan Hadits bahwa tidak wajib memetuhi seorang
pemimpin melainkan karena Allah.
3)
Larangan meminta jabatan & Mengangkat pejabat karena memintanya
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ
سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ
وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ
عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Artinya
:
Dari
Abdurrahman ibn Smurah ra. Ia berkata : Rasulullah bersabda :”Wahai Abdurrahman
Ibn sammurah, janganlah kamu meminta jabatan. Apabila kamu diberi dan tidak
memintanya, kamu akan mendapat pertolongan Allah dalam melaksanakannya. Dan
jika kau diberi jabatan karena memintanya, jabatan itu diserahkan sepenuhnya.
Apabila kamu bersumpah terhadap satu perbuatan, kemudian kamu melihat ada
perbuatan yang lebih baik, maka kerjakanlah perbuatan yang lebih baik itu.“
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلَانِ مِنْ بَنِي عَمِّي فَقَالَ أَحَدُ
الرَّجُلَيْنِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِّرْنَا عَلَى بَعْضِ مَا وَلَّاكَ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ وَقَالَ الْآخَرُ مِثْلَ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّا وَاللَّهِ لَا
نُوَلِّي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلَا أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ
Artinya:
Dari
Abu Musa al-Asy’ari ra., ia berkata: bersama dua orang saudara sepupu, saya
mendatangi Nabi Saw. kemudian salah satu diantara keduanya berkata: Wahai
Rasulullah, berilah kami jabatan pada sebagian dari yang telah Allah kuasakan
terhadapmu. Dan yang lain juga berkata begitu. Lalu beliau bersabda: Demi
Allah, aku tidak akan mengangkat pejabat karena memintanya, atau berambisi
dengan jabatan itu.
Kepemimpinan
adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan
seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi
keluarganya, bagi lingkungan pekerjaannya, maupun bagi lingkungan sosial dan
bahkan bagi negerinya. Berdasarkan hadits diatas dapat dipahami bahwa yang
menjadi penentu adalah masyarakat atau komunitas, bukan sikap mengharapkan
sebuah jabatan dengan meminta. Dengan meminta maka jabatan tersebut bukan lagi
sebuah pengembanan amanat masyarakat atau komunitas yang dipimpin melainkan
keinginan pribadi dengan tujuan tertentu.
Kepemimpinan
adalah tanggung jawab yang dimulai dari dalam diri kita. Kepemimpinan menuntut
suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Kepemimpinan sejati
dimulai dari dalam dan kemudian bergerak ke luar untuk bertanggungjawab kepada
yang dipimpin. Disinilah pentingnya karakter dan integritas seorang pemimpin
untuk menjadi pemimpin sejati dan diterima oleh masyarakat atau komunitas yang
dipimpinnya. Kembali betapa banyak kita saksikan para pemimpin yang mengaku
wakil rakyat ataupun pejabat publik, justru tidak memiliki integritas sama
sekali, karena apa yang diucapkan dan dijanjikan ketika kampanye dalam Pemilu
tidak sama dengan yang dilakukan ketika sudah duduk nyaman di kursinya. Wallahu
A’lam …
Benarkah Non-Muslim Tapi
Adil, Masuk Syarat Kepemimpinan?
|
|
Pemimpin
yang adil itu syarat utamanya harus beriman dan taat menjalankan ajaran agama
|
|
|
|
|
|
Rabu,
15 Agustus 2012
Oleh: Kholili Hasib
BELUM lama ini, isu
tentang memilih pemimpin yang adil
diperbincangkan di beberapa media Islam. Menyusul pernyataan Ketua PBNU, Dr
Said Agil Siradj di beberapa media, yang menyatakan bahwa memilih pemimpin
non-Muslim tapi adil itu lebih baik daripada memilih Muslim tapi tidak adil.
Marilah kita telaah secara jujur dalam
pandangan dan prinsip agama Islam.Dalam Islam, adil itu adalah istiqamah dalam
menjalankan syariat. al-Jurjani dalam al-Ta’rifat, bahwa ia bermakna
menjauhi diri dari dosa-dosa besar; tidak selalu melakukan dosa-dosa kecil;
perbuatan yang kebanyakannya benar; meninggalkan perbuatan-perbuatan murahan,
seperti kencing dan makan di jalan. Bahkan secara syariat ia merupakan kondisi
istiqamah pada yang benar (haq) dengan meninggalkan segala sesuatu yang dibenci
agama (syariat).
Kecuali dalam situasi peperangan. Mengutamakan
panglima yang kuat daripada yang taat pada agama tapi fisiknya lemah, itu lebih
baik. Karena, dalam peperangan yang dibutuhkan adalah kekuatan fisik panglima
dan keahlian dalam strategi perang.
Lawan kata adil, seperti dijelaskan oleh Ahmad
as-zawi, adalah menyimpang atau dzalim. Menyimpang di sini adalah
menyalahi ajaran agama. Para sahabat Nabi disebut adil, karena patuhnya mereka
secara tulus terhadap ajaran Nabi. Pertanyaannya sekarang, apakan non-Muslim
dapat dimasukkan dalam kategori ini? Berikut ini penulis jelaskan secara
singkat.
Dalam Islam, kepemimpinan merupakan salah
satu elemen penting. Wajib hukumnya mengangkat satu orang 'amir (pemimpin) yang
adil dalam suatu komunitas masyarakat, agar komunitas sosial tersebut mampu
menegakkan kebenaran dan keadilan. Sebab penegakan keadilan tidak mungkin
dicapai kecuali dengan kekuasaan/otoritas seorang pemimpin yang taat pada
ajaran agamanya.
Ibnu Taimiyah mengatakan, pentingnya mengangkat
pemimpin yang adil disebabkan karena tanpa seorang pemimpin tidak akan tercipta
ketenangan, ketentraman dan kesejahteraan dalam masyarakat. Dengan
terealisasinya maslahah tersebut, selanjutnya masyarakat Islam akan
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (al-falah fi al-dunya wal akhirah).
Oleh karena itu, kewajiban seorang
penguasa bukan hanya menjaga kebutuhan materi masyarakat, akan tetapi
lebih dari itu, memelihara ketentraman sosial dan kebenaran menjalankan agama,
agar selalu dalam susana kondusif. Ia melindungi jasmani rakyatnya, juga
menguatkan ruhaninya agar sesuai dengan syari’ah.
Karena peran inilah, seorang pemimpin dalam
perspektif Islam memegang posisi yang sangat menentukan masa depan rakyat yang
dipimpin. Maka, dalam fiqh al-siyasah seorang pemimpin disebut khalifah
al-nubuwwah – pengganti Nabi baik dalam urusan dunia, agama atau Negara. Maka
sistem yang dipegang seorang pemimpin juga harus kuat. Perpaduan yang ideal
antara sistem dan pemimpin akan membawa rakyat pada kehiudupan makmur dan
berkualitas.
Dalam kaca mata Islam, kepemimpinan memiliki
ciri khas tersendiri. Yaitu keharusan adanya seorang pemimpin dalam seluruh
perkara, apalagi perkara besar seperti negara. Sebab tidak akan ada gunanya
pelaksanaan suatu sistem apabila tidak ada orang yang memimpin pelaksanaan
sistem tersebut. Dalam al-Siyasah al-Syar'iyah Ibnu Taimiyah memberi
petunjuk, memilih pemimpin bukan atas dasar golongan dan hubungan kekerabatan.
Akan tetapi masyarakat harus mengutamakan profesionalitas dan amanah. Cara yang
dipakai pun mesti menggunakan mekanisme benar, jujur dan dapat dipertanggung
jawabkan.
Syarat kredibilitas dan amanah seorang pemimpin
oleh Imam Al-Ghazaliy dalam al-Tabru al-Masluk fi Nashihati al-Muluk dimaknai
sebagai seorang yang berbuat adil di antara masyarakat, melindungi rakyat dari
kerusakan dan kriminalitas, dan tidak dzalim (tirani).
Imam Al-Mawardi memberi persyaratan lebih lebih rinci. Dijelaskan, bahwa
seorang pemimpin haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut: Pertama, memiliki
integritas, kedua, penguasaan dalam bidang ilmu Negara dan agama, agar
dalam dalam menentukan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, ketiga,
sehat panca inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat
menghalangi ia menjalankan tugas), keempat, anggota badannya normal
tidak cacat yang dapat mengganggu tugas, kelima, pemberani memiliki keahlian
siasat perang, keenam kemampuan intelektual untuk mengatur kemaslahatan rakyat,
dan terakhir adalah berasal dari nasab qurays (al-ahkam al-sulthoniyah. hlm 5).
Beberapa Syarat Kepemimpinan dalam ISlam
Beberapa ulama' memberi kelengkapan syarat. Pertama,
yaitu seorang pemimpin mesti mewarisi sifat-sifat Nabi Muhammad SAW seperti
jujur, cerdas (memiliki pengaetahuan dan kecakapan dalam memimpin), amanah (dapat
dipercaya), dan tabligh (mampu berkomunikasi baik dengan semua orang
dari berbagai strata sosial, termasuk kepada para stafnya).
Ciri kepemimpinan Rasul ini menurut para ulama'
harus dimiliki karena, seorang pemimpin dalam perspektif Islam berposisi sebagai
Khalifah al-Nubuwwah.
Kedua, selain itu, potret kehidupan para khalifah
terdahulu yang penuh kesadaran dan kesederhanaan menjadi kaca bagi para
pemimpin saat ini. Khalifah 'Umar bin Khattab r.a misalnya, setiap malam beliau
berkeliling kota Madinah untuk memastikan rakyatnya dalam kondisi aman dan
terpenuhi kebutuhan makanannya.
Dalam dinasti 'Umayyah, sosok 'Umar bin 'Abdul
Aziz, yang masyhur dengan julukan 'Umar ke-dua karena sifat dan karakternya
mewarisi 'Umar bin Khattab r.a, terkenal dengan zuhud dan wara'nya. Padahal,
kekhilafahannya pada saat itu mencapai zaman keemasan dan puncak kejayaan. Akan
tetapi ia tidak larut dan lalai menikmati kekayaan negaranya.
Kesederhanaannya itu dibuktikan dengan
kesahajaan memegang harta. Harta pribadi dan keluarganya diserahkan seluruhnya
ke Baitul Maal. Suatu hari salah satu kerabatnya memberi hadiah buah apel,
namun beliau menolak secara halus – meskipun di hari itu ia betul-betul sangat
menginginkan untuk mencicipi buah apel. Beliau menolak hadiah tersebut karena
khawatir hal itu menjadi risywah (suap), padahal kerabat beliau tidak
bermaksud memberi suap.
Secara umum dapat disimpulkan, sosok figur
pemimin ideal menurut perspektif Islam adalah; calon pemimpin haruslah seorang
Muslim yang konsisten menjalankan perintah agama (isiqamah) dan tidak
tiranik/berbuat dzalim – sebagaiman disyaratkan oleh al-Ghazali. Syarat ini
oleh Imam al-Mawardi disebut 'adalah.
Seorang kafir juga tidak sah menjadi kepala
Negara, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Nisa': 141. Jika pemimpin itu
seorang Muslim yang istiqamah dan bertakwa, maka dalam menjalankan kepemimpinan
ia pasti amanah.
Ketiga, persyaratan selanjutnya adalah merdeka, (bukan
budak), karena seorang pemimpin tidak boleh di bawah bayang-bayang kekuasaan
orang lain. Dalam konteks sekarang, tidak dalam interfensi bangsa lain apalagi
menjadi boneka Negara lain. Karena, jika diinterfensi ia tidak bisa sepenuhnya
menjalankan kebijakan sesuai aturan agama.
Jadi, syarat yang paling mendasar seorang pemimpin disebut adil adalah dilihat
dari keimannya dan komitmennya menjalankan perintah agama.
Keempat, syarat lainnya adalah tafaqquh fi al-din
(memiliki pengetahuan dan pemahaman agama yang baik), sebab menurut al-Mawardi,
kepala Negara tidak hanya menguasai ilmu politik tapi juga harus menguasai
agama layaknya ulama', dalam istilah lain seorang pemimpin Negara itu
harus "umara' sekaligus ulama'".
Kolaborasi negarawan dan agamawan merupakan
keharusan untuk menciptakan suasan aman, damai, dan sejahtera serta berjalan
dalam koridor agama. Jika pengetahuan agamanya belum memadai, maka ia harus
memiliki penasihat keagamaan, atau wakilnya adalah yang mengerti agama dan taat
menjalankan syariat.
Oleh sebab itu, kepemimpinan dalam perspektif
Islam tidak memisahkan secara dikotomis Negara-dan agama, umara dan ulama.
Agama dan ulama memberi warna Negara karena pemimpin merupakan sebuah amanat
yang diberikan kepada orang yang benar-benar ahli, berkualitas dan memiliki
tanggungjawab yang jelas dan benar serta adil, jujur dan bermoral baik, menerima
kritik membangun dan ditambah berkolaborasi dengan ulama'.
Pemimpin yang adil itu syarat utamanya harus
beriman dan taat menjalankan ajaran agama. Di luar itu, tidak bisa disebut
pemimpin yang ‘adalah (adil). Tanggung jawab tidak hanya kepada rakyat tetapi
juga kepada Allah di akhirat.*
Penulis adalah alumni Program Kaderisasi Ulama’
ISID Gontor
Red: Cholis Akbar
Syarat Pemimpin dalam Islam
Pertama
, Setia kepada Allah. Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat
dengan kesetiaankepada Allah;
Kedua
, Tujuan Islam secara menyeluruh. Pemimpin melihat tujuan
organisasi bukan sajaberdasarkan kepentingan kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup kepentingan Islam yanglebih luas;
Ketiga
, Berpegang pada syariat dan akhlak Islam. Pemimpin terikat dengan
peraturan Islam,dan boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang teguh pada
perintah syariah.Dalam mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab
Islam, khususnya ketikaberurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang
tak sepaham;Keempat, Pengemban amanat. Pemimpin menerima kekuasaan sebagai
amanah dari AllahSwt., yang disertai oleh tanggung jawab yang besar. Al-Quran
memerintahkan pemimpinmelaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap yang baik kepada
pengikut ataubawahannya.Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman :
“( yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkankedudukan
mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar;
dan kepada Allahlah kembali segala urusan.” (QS. al -Hajj [22]:41).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalahadanya prinsip-prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam yakni :
Musyawarah; Keadilan; danKebebasan berfikir.Secara ringkas penulis ingin
mengemukakan bahwasanya pemimpin Islam bukanlahkepemimpinan tirani dan tanpa
koordinasi. Tetapi ia mendasari dirinya dengan prinsip-prinsip Islam.
Bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya secara obyektif dan dengan penuhrasa
hormat, membuat keputusan seadil-adilnya, dan berjuang menciptakan kebebasanberfikir,
pertukaran gagasan yang sehat dan bebas, saling kritik dan saling menasihati
satusama lain sedemikian rupa, sehingga para pengikut atau bawahan merasa
senangmendiskusikan persoalan yang menjadi kepentingan dan tujuan bersama.
Pemimpin Islambertanggung jawab bukan hanya
kepada pengikut atau bawahannya semata, tetapi yang jauhlebih penting
adalah tanggung jawabnya kepada Allah Swt. selaku pengemban amanahkepemimpinan.
Kemudian perlu dipahami bahwa seorang muslim diminta memberikannasihat bila
diperlukan, sebagaimana Hadits Nabi dari :Tamim bin Awsmeriwayatkan bahwasanya
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Agama adalah nasihat.” Kami berkata: “Kepada siapa?” Beliau
menjawab: “Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya,
Pemimpin umat Islam dan kepada masyarakat kamu.”
Dalam islam sudah ada
aturan-aturan yang berkaitan dengan hal tersebut,diantaranya sebagaiberikut:
Niat yang Lurus
Hendaklah saat menerima suatu tanggung jawab,
dilandasi dengan niat sesuai denganapa yang telah Allah perintahkan.Lalu iringi
hal itu dengan mengharapkan keridhaan-Nya saja.Kepemimpinan atau jabatan adalah
tanggung jawab dan beban, bukankesempatan dan kemuliaan.
Laki-Laki
Wanita sebaiknya tidak memegang tampuk
kepemimpinan.Rasulullah
Shalallahu‟alaihi wa sallam bersabda,”Tidak akan beruntung
kaum yang dipimpim
oleh seorang wanita (Riwayat Bukhari dari Abu Bakarah
Radhiyallahu‟anhu).
Tidak Meminta Jabatan
Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin
Samurah Radhiyallahu‟anhu,”Wahai
Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta
untuk menjadipemimpin.Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu
karenapermintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan
jikakepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu
akan
dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan
Muslim)
Berpegang pada Hukum Allah.
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah
berfirman,”Dan hendaklah
kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al
-Maaidah:49).Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dicopot dari
jabatannya.
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin
mempunyai perkara kecuali ia akan
datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia
akan diselamatkan
oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh
kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari
Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
Tidak Menutup Diri Saat Diperlukan Rakyat.
Hendaklah selalu membuka pintu untuk setiap
pengaduan dan permasalahan
rakyat.Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin
atau pemerintah yang
menutup pintunya terhadap kebutuhan, hajat, dan
kemiskinan kecuali Allah akan
menutup pintu-pintu langit terhadap kebutuhan, hajat,
dan kemiskinannya.” (RiwayatImam Ahmad dan At-Tirmidzi).
Menasehati rakyat
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin yang
memegang urusan kaum
Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak
menasehati mereka, kecualipemimp
in itu tidak akan masuk surga bersama mereka
(rakyatnya).”
Tidak Menerima Hadiah
Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada
seorang pemimpin pasti mempunyaimaksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau
mengambil hati.Oleh karena itu,hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian
hadiah dari rakyatnya.Rasulullah
bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin
adalah pengkhianatan.” (RiwayatThabrani).
Mencari Pemimpin yang Baik
Rasulullah bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang
nabi atau menjadikan seorang
khalifah kecuali ada bersama mereka itu golongan
pejabat (pembantu).Yaitu pejabatyang menyuruh
kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pejabat yangmenyuruh kepada
kemungkaran dan mendorongnya ke sana.Maka orang yang terjagaadalah orang yang dijaga
oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu
saidRadhiyallahu‟anhu).
Lemah Lembut
Doa Rasullullah,‟ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu
perkara umatku lalu ia
mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa
yang mengurus satu perkaraumatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka
berlemah lembutlahkepadanya.
Tidak Meragukan dan Memata-matai Rakyat.
Rasulullah bersabda,” Jika seorang pemimpin
menyebarkan keraguan dalammasyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam
Ahmad, Abu Dawud, dan Al
-hakim).
Dari penjelasan di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
kepemimpinan adalahsebuah amanah yang harus
diemban dengan sebaik-baiknya, dengan penuh tanggung jawab,profesional
dan keikhlasan. Sebagai konsekuensinya pemimpin harus mempunyai sifatamanah,
profesional dan juga memiliki sifat tanggung jawab. Kepemimpinan bukan
kesewenang-wenangan untuk bertindak, tetapi kewenangan melayani
untuk mengayomi danberbuat seadil-adilnya. Kepemimpinan adalah keteladanan dan
kepeloporan dalam bertindak yang seadil-adilnya. Kepemimpinan semacam ini
hanya akan muncul jika dilandasi dengansemangat amanah, keikhlasan dan
nilai-nilai keadilan.
Akhlak Kepemimpinan Dalam Islam