Kamis, 27 Desember 2012

PUISI

Mawar di Pagi Hari

Duhai mawar
kuntummu telah mekar
ketika menyambut kehadiran sang fajar
rupa menawan menebar keharuman
indah mempesona

Duhai mawar
kuntummu telah mekar
ketika sang surya memnampakkan diri tuk mengawali hari
mengharum semerbak di seluruh taman
damailah rasa

Duhai mawar
akankah kuntummu tetap mekar
ketika rasa ini mngehendaki di esok hari
ingin mencium keharumanmu lagi
segarlah sepanjang masa

PujanggA
 
KepadaMU Jua
Setiap keindahan yang tumbuh bersemi
Subur berbunga dalam hati insani
KepadaMu jua yang hakiki kembali

Setiap kegelisahan di jiwa
Rasa takut dan berputus asa
KepadaMu jua segala pengharapan ditujukan

Setiap kesendirian di malam sepi
Berkawan dengan sunyi
KepadaMu jua segala ingatan yang meramaikan

Setiap kesedihan sebuah luka
Yang diringi tetesan air mata
KepadaMu jua segalanya kan terobati


PujanggA 
 
Kebekuan

Di sini.....
Kusaksikan pergantian masa
Surya tenggelam mengundang rembulan
Sahutan ayam terdengar memanggil fajar
Telah mengambil bagian diriku

Di sini.....
Kumengenang hari-hari yang telah berlalu
Membawaku dalam kebekuan jiwa
Di dalam dunia lamunan
Yang terus menyelimuti di setiap waktuku

Di sini.....
Kusaksikan taman mulai berbunga
Kuntum-kuntumnya mulai mekar menebar keharuman
Pepohonannya mulai rindang dan berbuah di setiap cabang

Di sini.....
Aku hanya diam membeku
Tak mampu berbunga dan berbuah
Dalam kebekuan jiwa
Di setiap waktuku


PujanggA 
 
Hati Tak Bertuan

Ayunan kaki melangkah tanpa tujuan
Menyusuri jalan tanpa kepastian
Berlari
Berhenti
Tak menentu

Mata-mata yang hampir buta
Memandang suram
Terbuka
Terpejam
Meski tak mengerti

Lidah-lidah yang hampir kaku
Berkata tanpa ragu
Berucap
Terdiam
Seakan tahu segalanya

Telinga-telinga yang hampir tuli
Mendengar tiap hari
Segala suara
Tanpa batas
Namun tak berbekas

Langkah-langkah tanpa tujuan
Mata-mata yang memandang kegelapan
Lidah-lidah yang beruap tanpa perasaan
Telinga-telinga yang mendengar dalam ketulian
Dari hati tak bertuan


PujanggA 

 
Genderang

Dari benih yang terlahir
keserakahan itu pun hadir
menyelimuti dunia yang memang sudah renta
hingga tak mampu lagi membendung dan mencegah
penindasan kepada yang lemah

Di setiap detik terus bergema
jerit kematian
tangis pedih kehilangan

Di setiap detik terus mengalir
tetesan air mata
darah mereka yang tak berdosa

Di setiap detik terlihat
tubuh-tubuh tergeletak
tak bernyawa tak bergerak

Nafsu bahimiyah
tak tercegah


D u s t u r

Kutemukan ......
sebuah nama dalam keagungan
berselimut kekuatan
memancarkan kekuasaan
dipuji
diabdi

Kulihat .....
aneka bentuk terangkai rupa
terhimpun
tersusun
bersurat arti
bersirat makna

Kubaca .....
segala misal perumpamaan
pengajaran
teguran
yang mengingatkan
hati insan yang penuh kekhilafan

Kudapatkan .....
di setiap lembar halaman
pedoman
aturan
peta penunjuk jalan
bagi langkah kaki dalam menapak kehidupan

Kudengarkan .....
kisah yang diceritakan
berita yang dikabarkan
tentang kebahagiaan
tentang kepedihan
dari janji adil pembalasan
PujanggA

 
D o a

Dalam do'a
Seribu harap terus kuucap
Seribu pinta kurangkai kata

Dalam do'a
Kupasrah bukan menyerah
Kutinggal bersama tawakkal

Kuserahkan yang terjadi pasti
Setiap kehendak dari Ilahi
Dalam do'a

Kutumpahkan segala hina diri
Demi kasih murni sejati
Dalam do'a


PujanggA 

Duri dalam Diri

Sengaja tanpa sengaja
kulukai
kusakiti
kumencaci
orang dan diri
melupakan
melupakan diri dari karuania Ilahi

Dengan segala tipu daya
menutupi kebusukan jiwa
diri dalam nista
bersama dosa
kuterhina
dan tercela
oleh orang dan diri

Kutersesat
dalam malam pekat
melangkah dalam gulita
gelap tak berksudahan

Kuberjalan
saat terlena
kulakukan
yang kusalahkan

Belenggu hati
dalam mimpi
yang tak terbangunkan
PujanggA

 
Dirajai Malam

Sepertiga malam terakhir mulai bergulir
Kerlip tasbih gemintang di angkasa malam tetap berkumandang
Zikir cahya rembulan seakan tak ada penghabisan
Puja-puji serangga malam tiada pernah tenggelam
Membahana di semesta angkasa

Tiap sepertiga malam kulalui dengan terpejam
Berbaring mengukur berapa panjang tempat kutidur
Dihibur nyanyi kidung alam mimpi
Yang akan pergi bila kubangkit berdiri

Sepertiga malam terakhir terus bergulir
Kamarku kian gersang dengan lantainya yang sudah usang
Di sudut ruang dengan cahaya remang
Terbentang sajadah tempat kuberserah
Menghiba diri kepangkuan Ilahi
Namun tak kuasa diri ini menggapainya

Tiap sepertiga malam kulalui dengan terpejam
Di alam mimpi dari dunia tak bertepi
Yang membelenggu hingga dikekang nafsu
Karena diriku dirajai malam bukan merajai malam
PujanggA
D e b u

Setiap langkah kakiku
Melewati jalan berdebu
Yang tertiup angin
Dan melekat
Di kakiku, di tanganku, di tubuhku

Setiap pandangan mataku
Menatap alam berdebu
Yang mengelilingi tubuhku
Dan mengotori
Rambutku, kulitku, pakaianku

Setiap perjalanan waktuku
Dipenuhi masa berdebu
Yang datang
Melekat
Dan tak hilang



PujanggA
Dari dalam Dirimu

Dari dalam dirimu
bila kau mau dan mampu
lukislah sebuah senyuman di bibirmu
karena itu indah
bak mentari pagi yang memberikan keceriaan hari
laksana langit senja yang pamit menghdirkan ketenangan angkasa dengan bulan dan gemintang
bagi yang memandang

Dari dalam dirimu
bila kau mau dan mampu
rangkailah kata bijak di setiap kalimatmu
karena itu indah
seperti nyanyian burung yang berterbangan di sela dahan
bagaikan kidung serangga pengisi taman malam
bagi yang mendengar

Dari dalam dirimu
bila kau mau dan mampu
eratkanlah sesama di hatimu
karena itu indah
bak tali pemersatu
laksana titian penghubung
bagi sebuah ukhuwah

Dari dalam dirimu
bila kau mau dan mampu
bacalah bentangan semesta raya
karena itu indah
ketika deru ombak berpadu dengan awan berarak
di saat alam bersatu dari kemajemukan raga
bagi yang berpikir

Dari dalam dirimu
bila kau mau dan mampu
satukanlah niat dan kata dalam nyata
karena itu indah
bila lisan sejalan hati
jika hati seiring perbuatan
bagi yang merasa
PujanggA

C e r m i n

Di depan cermin kuberkaca
kulihat sesosok tubuh berdiri tanpa suara
matanya memandang hina
menatapku penuh cela
senyum tipis di bibirnya hampir sirna
berhias seribu cerca

Terbersit sebuah rasa di hati
tentang kekufuran diri
tentang syukurku yang telah pergi

Di depan cermin kuberkaca
kulihat sesosok tubuh berdiri tanpa suara
matanya memandang penuh puja
menatapku penuh makna
senyum tipis di bibirnyaseakan berkata
kau sangat sempurna

Terbersit sebuah rasa di hati
tentang kesombongan yang singgah di dalam diri
tentang keangkuhan tanpa kesadaran nurani
PujanggA

 
Bumi pun Bicara

Bila tiba masanya
bumi pun akan bicara

Di punggungku engkau berlari
ke dalam perutku engkau kembali

Di atasku engkau berjalan dalam kesenangan
di perutku engkau jatuh dalam kesusahan

Di punggungku engkau tertawa
di perutku engkau berduka

Di atasku engkau makan yang diharamkan
di perutku engkau menjadi santapan

Bila tiba waktunya
bumi pun akan bicara

Di punggungku engkau berjalan dalam kesombongan
di perutku engkau dihinakan

Di atasku engkau dalam kebersamaan
di perutku engkau dalam kesendirian

Di punggungku engkau bermandikan cahaya
di perutku engkau dalam gulita

Di atasku engkau durhaka
di dalam perutku engkau tersiksa
PujanggA

 
Bila Tiba Waktu Berpisah
Di bawah naungan langit biru dengan segala hiasannya yang indah tiada tara
Di atas hamparan bumi dengan segala lukisannya yang panjang terbentang
Masih kudapatkan dan kurasakan
Curahan rahmat dan berbagai ni'mat
Yang kerap Kau berikan
Tapi bila tiba waktu berpisah
Pantaskah kumemohon diri
Tanpa setetes syukur di samudera rahmat-Mu

Di siang hari kulangkahkan kaki bersama ayunan langkah sahabatku
Di malah hari kupejamkan mata bersama orang-orang yang kucintai
Masih kudapatkan dan kurasakan
Keramaian suasana dan ketenangan jiwa
Tapi bila tiba waktu berpisah
Akankah kupergi seorang diri
Tanpa bayang-bayang mereka yang akan menemani

Ketika kulalui jalan-jalan yang berdebu yang selalu mengotori tubuhku
Ketika kuisi masa-masa yang ada dengan segala sesuatu yang tiada arti
Masih bisa kumenghibur diri
Tubuhku kan bersih dan esok kan lebih baik
Tanpa sebersit keraguan
Tapi bila tiba waktu berpisah
Masih adakah kesempatan bagiku
Tuk membersihkan jiwa dan hatiku

Setiap kegagalan yang membawa kekecewaan
Setiap kenyataan yang menghadirkan penyesalan
Masih kudengar dan kurasakan
Suara-suara yang menghibur
Tuk menghapus setiap kecewa dan sesal
Tapi bila tiba waktu berpisah
Adakah yang akan menghiburku
Akankah aku pergi tanpa kekecewaan dan penyesalan
PujanggA

 



PujanggA 

HADIS TENTANG KEPEMIMPINAN



Hadis-hadis tentang pemimpin

Hadis ke 1
Kesejahteraan rakyat adalah Tanggung jawab  seorang pemimpin
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban  perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya. (buchary, muslim)

Penjelasan:
Pada dasarnya, hadis di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam islam. Dalam hadis ini dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab. Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya, dst.
Akan tetapi, tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala dan kata ra-‘in berarti pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat, memberi makan dan mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya. Singkatnya, seorang penggembala bertanggung jawab untuk mensejahterakan binatang gembalanya.
Tapi cerita gembala hanyalah sebuah tamsil, dan manusia tentu berbeda dengan binatang, sehingga menggembala manusia tidak sama dengan menggembala binatang. Anugerah akal budi yang diberikan allah kepada manusia merupakan kelebihan tersendiri bagi manusia untuk mengembalakan dirinya sendiri, tanpa harus mengantungkan hidupnya kepada penggembala lain. Karenanya, pertama-tama yang disampaikan oleh hadis di atas adalah bahwa setiap manusia adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau denga kata lain, seseorang mesti bertanggung jawab untuk mencari makan atau menghidupi dirinya sendiri, tanpa mengantungkan hidupnya kepada orang lain
Dengan demikian, karena hakekat kepemimpinan adalah tanggung jawab dan wujud tanggung jawab adalah kesejahteraan, maka bila orang tua hanya sekedar memberi makan anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan pendidikannya tidak dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari makna tanggung jawab yang sebenarnya. Demikian pula bila seorang majikan memberikan gaji prt (pekerja rumah tangga)  di bawah standar ump (upah minimu provinsi), maka majikan tersebut belum bisa dikatakan bertanggung jawab. Begitu pula bila seorang pemimpin, katakanlah presiden, dalam memimpin negerinya hanya sebatas menjadi “pemerintah” saja, namun tidak ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum bisa dikatakan telah bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang presiden harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan kaum miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan teman-teman dekat. Oleh sebab itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari standar kesejahteraan, maka tanggung jawab pemimpinnya masih perlu dipertanyakan.

Hadis ke 2
Hukuman bagi pemimpin yang menipu rakyat
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ عَادَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ لِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Abu ja’la (ma’qil) bin jasar r.a berkata: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: tiada seorang yang diamanati oleh allah memimpin rakyat  kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti allah mengharamkan baginya surga. (buchary, muslim)

Penjelasan:
Kejujuran adalah modal yang paling mendasar dalam sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran, kepemimpinan ibarat bangunan tanpa fondasi, dari luar nampak megah namun di dalamnya rapuh dan tak bisa bertahan lama. Begitu pula dengan kepemimpinan, bila tidak didasarkan atas kejujuran orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka jangan harap kepemimpinan itu akan berjalan dengan baik. Namun kejujuran di sini tidak bisa hanya mengandalakan pada satu orang saja, kepada pemimpin saja misalkan. Akan tetapi semua komponen yang terlibat di dalamnya, baik itu pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya, hingga struktur yang paling bawah dalam kepemimpnan ini, semisal tukang sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Hal itu karena tidak sedikit dalam sebuah kepemimpinan, atau sebuah organisasi, terdapat pihak yang jujur namun juga terdapat pihak yang tidak jujur. Bila pemimpinnya jujur namun staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan itu juga akan rapuh. Begitu pula sebaliknya.
Namun secara garis besar, yang sangat ditekankan dalam hadis ini  adalah seorang pemimpin harus memberikan suri tauladan yang baik kepada pihak-pihak yang dipimpinnya. Suri tauladan ini  tentunya harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan pemimpin yang tidak menipu dan melukai hati rakyatnya. Pemimpin yang menipu dan melukai hati rakyat, dalam hadis ini disebutkan, diharamkan oleh allah untuk mengninjakkan kaki si sorga. Meski hukuman ini nampak kurang kejam, karena hanya hukuman di akhirat dan tidak menyertakan hukuman di dunia, namun sebenarnya  hukuman “haram masuk sorga” ini mencerminkan betapa murkanya allah terhadap pemimpin yang tidak jujur dan suka menipu rakayat. 
Hadis ke 3
Pemimpin dilarang bersikap birokratis
حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ أَسْأَلُهَا عَنْ شَيْءٍ فَقَالَتْ مِمَّنْ أَنْتَ فَقُلْتُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ مِصْرَ فَقَالَتْ كَيْفَ كَانَ صَاحِبُكُمْ لَكُمْ فِي غَزَاتِكُمْ هَذِهِ فَقَالَ مَا نَقَمْنَا مِنْهُ شَيْئًا إِنْ كَانَ لَيَمُوتُ لِلرَّجُلِ مِنَّا الْبَعِيرُ فَيُعْطِيهِ الْبَعِيرَ وَالْعَبْدُ فَيُعْطِيهِ الْعَبْدَ وَيَحْتَاجُ إِلَى النَّفَقَةِ فَيُعْطِيهِ النَّفَقَةَ فَقَالَتْ أَمَا إِنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي الَّذِي فَعَلَ فِي مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَخِي أَنْ أُخْبِرَكَ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ حَرْمَلَةَ الْمِصْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
‘Aisjah r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda di rumahku ini : ya allah siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu mempersukar pada mereka, maka persukarlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya. (hr. Muslim)

Penjelasan:
Hadis ini menerangkan tentang larangan seorang pemimpin untuk bersikap arogan, elitis, represif dan birokratis atau mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Karena sebagaimana kita ketahui, tidak sedikit pemimpin yang bersikap arogan dan mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Untuk mengurusi dokumen-dokumen kewarganegaraan saja misalkan, seperti ktp, akta kelahiran, perijinan usaha, dsb, seorang rakyat harus melalui tahapan-tahapan yang cukup rumit dan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Padahal, seorang pemimpin, menurut hadis ini, harus memberikan pelayanan yang maksimal serta tidak menyulitkan warga atau rakyat. Bila semua urusan itu bisa dipermudah kenapa harus dipersulit. Akibatnya, birokrasi yang sejatinya bertujuan untuk mempermudah, berbalik menjadi mempersulit  segala urusan rakyat. Oleh sebab itu, bila sorang pemimpin suka mempersulit urusan rakyatnya, maka niscaya allah akan mempersulit segala urusan dia baik di dunia lebih-lebih di akhirat nanti.
Hadis ke 4
Kontrak politik sebagai
mekanisme kontrol terhadap pemimpin
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Abu hurairah r.a berkata : rasulullah saw bersabda : dahulu bani israil selalu dipimpin oleh nabi, tiap mati seorang nabi seorang nabi digantikan oleh nabi lainnya, dan sesudah aku ini tidak ada nabi, dan akan terangkat sepeninggalku beberapa khalifah. Bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: ya rasulullah apakah pesanmu kepada kami? Jawab nabi: tepatilah baiatmu (kontrak politik) pada yang pertama, dan berikan kepada mereka haknya, dan  mohonlah kepada allah bagimu, maka allah akan menanya mereka dari hal apa yang diamanatkan dalam memelihara hambanya.

Penjelasan:
Pada umumnya, kata bai’at diartikan sebagai janji. Namun sebenarnya, kata bai’at berasal dari suku kata bahasa arab ba-ya-‘a yang bermakna transaksi. Bila transaksi ini konteksnya adalah ekonomi maka ia berarti jual beli yang kemudian dikenal dengan kata kerja bu yu’ yang berarti terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli. Akan tetapi bila konteks kata tersebut adalah politik, maka yang dimaksud transaksi di sini adalah sebuah perjanjian antar rakyat dan pemimpin. Karena itu, tak heran bila rasul s.a.w senantiasa menekankan pentingnya bai’at dalam sebuah kepemimpinan, dengan bai’at seorang pemimpin telah melakukan transaksi politik yang menuntut pemenuhan atas point-poin yang menjadi ksepakatan dalam transaksi mereka (pemimpin dan rakyat).
Akan tetapi, dalam konteks belakangan ini, kata bai’at mengalami reduksi makna hanya sekedar sumpah jabatan yang biasanya bersifat pasif dan tidak memberikan ruang tawar menawar politik antara rakyat dan pemimpin. Bila kita melihat praktik sumpah jabatan di indonesia misalkan, sumpah jabatan presiden hanya dibacakan secara sepihak antara mpr dan presiden namun tidak menyisakan ruang negoisasi antara rakyat dan prsiden. Padahal, rakyat sebagai pihak yang dipimpin seharusnya berhak membuat kesepakatan-kesepakatan politik tertentu dengan presiden yang bila kesepakatan itu dilanggar maka jabatan presidien dengan sendirinya  akan gugur. Oleh sebab itu, agar sumpah jabatan ini tidak sekedar menjadi ritual dalam setiap pemilihan presiden atau pemimpin namun tidak memiliki dampak yang berarti dalam proses kepemimpinannnya, maka kemudian kita mengenal apa yang dalam istilah politik disebut sebagai “kontrak politik”.
Kontrak politik di sini mengandung pengertian sebuah ruang dimana antara pemimpin dan rakyat melakukan “transaksi” dan membuat kesepakatan-kesepakatan tertentu yang memilki resiko-resiko bila kedua belah pihak melanggarnya. Kontrak politik, dalam hal ini tidak berbeda dengan ba’at dalam istilah islam. Hanya saja, kontrak politik terjadi antara rakyat dan pemimpin secara setara dan diketahui secara publik, tetapi bai’at dilakukan oleh rakyat, pemimpin dan di atas keduanya ada tuhan sebagai saksi. Oleh sebab itu, bila kita memaknai hadis di atas secara dalam dan kontekstual, maka kita dapat menangkap pesan bahwa rasul s.a.w menekankan betapa pentingnya sebuah kontrak politik dalam sebuah sistem kepemimpinan yang islami.
Hadis ke 5
Pemimpin dilarang bersikap otoriter
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ أَنَّ عَائِذَ بْنَ عَمْرٍو وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ زِيَادٍ فَقَالَ أَيْ بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ الْحُطَمَةُ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ فَقَالَ لَهُ اجْلِسْ فَإِنَّمَا أَنْتَ مِنْ نُخَالَةِ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ وَهَلْ كَانَتْ لَهُمْ نُخَالَةٌ إِنَّمَا كَانَتْ النُّخَالَةُ بَعْدَهُمْ وَفِي غَيْرِهِمْ
‘Aidz bin amru r.a, ketika ia masuk kepada ubaidillah bin zijad berkata: hai anakku saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: sesungguhnya sejahat-jahat pemerintah yaitu yang kejam (otoriter), maka janganlah kau tergolong daripada mereka. (HR. Buchary, Muslim)
Penjelasan:

Hadis ke 6
Pemimpin sebagai pelayan rakyat
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُخَيْمِرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا مَرْيَمَ الْأَزْدِيَّ أَخْبَرَهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ مَا أَنْعَمَنَا بِكَ أَبَا فُلَانٍ وَهِيَ كَلِمَةٌ تَقُولُهَا الْعَرَبُ فَقُلْتُ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ أُخْبِرُكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ قَالَ فَجَعَلَ رَجُلًا عَلَى حَوَائِجِ النَّاسِ
Abu maryam al’ azdy r.a berkata kepada muawiyah: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: siapa yang diserahi oleh allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemdian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka allah akan menolak hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat). (abu dawud, attirmidzy)
Penjelasan:
Pemimpin sebagai pelayan dan rakyat sebagai tuan. Itulah kira-kira yang hendak disampaikan oleh hadis di atas. Meski tidak secara terang-terangan hadis di atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan pemimpin sebagai pelayan, namun setidaknya hadis ini hendak menegaskan bahwa islam memandang seorang pemimpin tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak beda dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas melayani kebutuhan-kebutuhan majikannya. Seorang pelayan rumah tangga, misalkan, harus bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian juga seorang pelayan kepentingan rakyat harus bertanggung jawab untuk melayani seluruh kepentingan rakyatnya.
Dalam konteks indoensia, sosok “pelayan” yang bertugas untuk memenuhi kepentingan “tuan” rakyat ini adalah presiden, menteri, dpr, mpr, ma, bupati, walikota, gubernur, kepala desa, dan semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah orang-orang yang kita beri kepercayaan (tentunya melalui pemilu) untuk mengurus segala kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka tidak melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan” berhak untuk “memecat” mereka dari jabatannya.
Hads ke 7
Pemimpin harus bersikap adil
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَّامٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ فِي خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ
Abu hurairah r.a: berkata: bersabda nabi saw: ada tujuh macam orang yang bakal bernaung di bawah naungan allah, pada hati tiada naungan kecuali naungan allah:
Imam(pemimpin) yang adil, dan pemuda yang rajin ibadah kepada allah. Dan orang yang hatinya selalu gandrung kepada masjid. Dan dua orang yang saling kasih sayang karena allah, baik waktu berkumpul atau berpisah. Dan orang laki yang diajak berzina oleh wanita bangsawan nan cantik, maka menolak dengan kata: saya takut kepada allah. Dan orang yang sedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan orang berdzikir ingat pada allah sendirian hingga mencucurkan air matanya. (buchary, muslim)

Penjelasan:
Meski hadis ini menjelaskan tentang tujuh macam karakter orang yang dijamin keselamatannya oleh allah nanti pada hari kiamat, namun yang sangat ditekankan oleh hadis ini adalah karakter orang yang pertama, yaitu pemimpin yang adil. Bukannya kita menyepelekan enam karakter sesudahnya, akan tetapi karakter pemimpin yang adil memang menjadi tonggak bagi kemaslahatan seluruh umat manusia. Tanpa pemimpin yang adil maka kehidupan ini akan terjebak ke dalam jurang penderitaan yang cukup dalam.
Untuk melihat sejauh mana seorang peimimpin itu telah berlaku adil terhadap rakyatnya adalah melalui keputusan-keputuasan dan kebijakan yang dikeluarkannya. Bila seorang pemimpin menerapkan hukum secara sama dan setara kepada semua warganya yang berbuat salah atau melanggar hukum, tanpa tebang pilih, maka pemimpin itu bisa dikatakan telah berbuat adil. Namun sebaliknya, bila pemimpin itu hanya menghukum sebagian orang (rakyat kecil) tapi melindungi sebagian yang lain (elit/konglomerat), padahal mereka sama-ama melanggar hukum, maka pemimpin itu telah berbuat dzalim dan jauh dari perilaku yang adil.
Hadis ke 8
Jaminan bagi pemimpin yang adil
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو يَعْنِي ابْنَ دِينَارٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو بَكْرٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Abdullah bin ‘amru bin al ‘ash r.a berkata: rasulullah saw bersabda: sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, kelak disisi allah ditempatkan diatas mimbar dari cahaya, ialah mereka yang adil dalam hokum terhadap keluarga dan apa saja yang diserahkan (dikuasakan) kepada mereka. (muslim)
Penjelasan:
Bila hadis sebelumnya berbicara tentang “garansi” allah atas pemimpin yang berbuat adil, maka hadis ini lebih mengulas tentang “imbalan” bagi seorang pemimpin yang adil. Dalam hadis ini disebutkan bahwa imbalan bagi pemimpin yang adil adalah kelak di sisi allah akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya. Secara harfiyah, mimbar berarti sebuah tempat khusus untuk orang-orang yang hendak berdakwah atau berceramah di hadapan umum. Karenanya, mimbar jum’at biasanya mengacu pada sebuah tempat khusus yang disediakan masjid untuk kepentingan khotib. Sementara cahaya adalah sebuah sinar yang  menerangi sebuah kehidupan. Kata cahaya biasanya mengacu pada matahari sebagai penerang bumi, lampu sebagai penerang dari kegelapan, dsb. Oleh sebab itu, kata mimbar dari cahaya di dalam hadis di atas tentu tidak serta merta dimaknai secara harfiyah seperti mimbar yang dipenuhi hiasan lampu-lampu yang bersinar terang, melainkan mimbar cahaya adalah sebuah metafor yang menggambarkan sebuah posisi yang sangat terhormat di mata allah. Posisi itu mencrminkan sebuah ketinggian status setinggi cahaya matahari.
Hadis ke 9
Sorga bagi pemimpin yang adil
حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارِ بْنِ عُثْمَانَ وَاللَّفْظُ لِأَبِي غَسَّانَ وَابْنِ الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّيرِ عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ الْمُجَاشِعِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ َأَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ
Ijadl bin himar r.a berkata: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: orang-orang ahli surga ada tiga macam: raja yang adil, mendapat taufiq hidayat ( dari allah). Dan orang belas kasih lunak hati pada sanak kerabat dan orang muslim. Dan orang miskin berkeluarga yang tetap menjaga kesopanan dan kehormatan diri. (muslim).

Penjelaan:
Bila yang pertama tadi allah akan menjamin pemimpin yang berbuat adil dengan jaminan naungan rahmat dari allah, dan hadis selanjutnya menjamin dengan jaminan mimbar yang terbuat dari cahaya, maka jaminan yang ke tiga ini adalah jaminan sorga. Ketiga jaminan di atas tentunya bukan sekedar jaminan biasa, melainkan semua jaminan itu menunjukkan betapa islam sangat menekankan pentingnya sikap keadilan bagi seorang peimimpin. Rasul s.a.w tidak mungkin memberikan jaminan begitu tinggi kepada seseorang kecuali seseorang itu benar-benar dituntut untuk melakukan hal yang sangat ditekankan dalam islam. Dan keadilan adalah perkara penting yang sangat ditekankan dalam islam. Oleh karena itu, siapa yang menjunjung tinggi keadilan, niscaya orang tersebut akan mendapat jaminan yang tinggi dari islam (allah), baik di dunia, maupun di akhirat.

Hadis ke 10
Batas-batas kepatuhan rakyat terhadap pemimpin
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Ibn umar r.a berkata : bersabda nabi saw : seorang muslim wajib mendengar dan  ta’at pada pemerintahannya, dalam apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika diperintah ma’siyat. Maka apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib ta’at.

Penjelasan:
Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa kepatuhan seorang rakyat terhadap pemimpin tidaklah mutlak. Ada batasan-batasan tertentu dimana seorang rakyat wajib ta’at dan patuh dan ada pula saat dimana rakyat tidak perlu patuh, bahkan boleh berontak atau melawan. Dalam hadis di atas, batasan-batasan kepatuhan terhadap pemimpin itu adalah selama pimimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat ma’siyat. Lantas pertanyaanya, apa yang dimaksud engan ma’siyat itu?
Secara bahasa ma’siyat adalah berarti durhaka atau tidak ta’at kepada allah. Namun secara istilahi, makna ma’siyat cukup beragam. Karenanya, adalah salah kaprah bila kita membatasi makna ma’siyat  hanya pada perkara-perkara semacam pornografi dan pornoaksi, seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan islam dalam melakukan pengrusakan tempat hiburan dengan dalih menghapus kema’siyatan.
Padahal kem’siyatan bukan hanya berada di tempat hiburan malam, akan tetapi di kantor-kantor pemerintah justru lebih banyak kema’siyatan dalam bentuknya yang samar namun cukup memprihatinkan. Lihatlah misalnya di kantor-kantor departemen, di ruang-ruang sidang para wakil rakyat, bahkan di masjid sekalipun, kita bisa menjumpai kema’siyatan. Namun yang dimaksud kema’siyatan di sini tentunya bukan penari telanjang atau orang yang sedang mabuk-mabukan, melainkan tindakan-tindakan yang mendurhakai allah yang dipertontonkan oleh para pemimpin kita, wakil rakyat kita dan bahkan ulama-ulama kita. Bukankah korupsi, kolusi dan semua hal yang mengarah pada ketidak jujuran dalam memimpin negeri ini serta mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada  rakyat kecil juga termasuk ma’siyat. Bukan hanya itu, seorang ulama yang pandai berkhutbah namun dia menjadi jurkam dari pemimpin yang korup juga telah masuk dalam kategori berbuat ma’siyat.  Bahkan tindakan yang tidak melindungi anak-anak terlantar, janda-janda tua dan kaum miskin papa juga termasuk ma’siyat karena semua itu merupakan perintah allah, dan bagi siapa yang tidak melaksanakan perintah allah maka dia telah mendurhakai allah, dan orang yang durhaka berarti berbuat ma’siyat kepada allah.
Dengan demikian, kema’siyatan yang tidak perlu dipatuhi seorang rakayat terhadap pemimpinnya adalah kema’siyatan dengan pengertiannya yang cukup luas (mendurhakai allah) bukan saja kema’siyatan yang berarti sempit (seperti pornoaksi dan pornografi). Oleh sebab itu, dari hadis di atas bisa kita simpulkan bahwa apabila pemimpin kita sudah tidak lagi memegang prinsip-prinsip kejujuran serta tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat kecil, maka batasan kepatuhan terhadap pemimpin tersebut sudah gugur dengan sendirinya, karena pemimpin itu sendiri sudah termasuk kema’siyatan yang perlu untuk di hapuskan di muka bumi ini.
Hadis ke 11
Kepemimpinan tidak mengenal warna kulit
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
Anas r.a berkata : bersabda rasulullah saw: dengarlah dan ta’atlah meskipun yang terangkat dalam pemerintahanmu seorang budak habasyah yang kepalanya bagaikan kismis. (buchary)
Penjelasan:
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Begitu pula nabi muhammad s.a.w diutus sebagai nabi bukan hanya untuk orang arab saja, melainkan untuk semua umat manusia. Karena itu, para pengikut nabi bukan saja dari kalangan suku quraisy yang menjadi suku bergengsi saat itu, melainkan juga dari suku-suku lainnya yang sebelum datang islam termasuk suku “hina”.  Bahkan kita mengenal salah seorang sahabat nabi yang bernama bilal bin rabah yang warna kulitnya cukup hitam legam. Padahal, sebelum datangnya ajaran islam di arab dulu, orang kulit hitam adalah termasuk kelompok suku yang sebagian besar berprofesi sebagai budak. Mereka sama sekali tidak dihargai dan tidak diperlakukan sebagaimana manusia yang lain. Akan tetapi setelah turun ajaran islam, semua batasan-batasan ras, warna kulit, dan golongan itu dihapus, dan semua manusia adalah sama statsunya di muka allah, hanya keimanan dan ketaqwaanlah yang membedakan mereka.
Pengakuan islam terhadap dimensi kemanusian universal bukan hanya dalam pergaulan sosial sehari-hari, melainkan islam juga mengakui semua orang berhak menjadi pemimpin. Tidak peduli mereka itu berkulit hitam, coklat, merah, hijau, dsb, asalkan bisa memimpin secara adil, maka dia berhak untuk menjadi pemimpin. Dalam konteks ini, keadilan dan kejujuran menjadi kriteria paling pokok dalam menentukan seorang pemimpin, bukan warna kulit atau asal golongan. Dan apabila yang terpilih sebagai pemimpin adalah dari kalangan kulit hitam, islam juga mewajibkan kita agar tidak boleh meremehkan pemimpin itu. Akan tetapi kita juga harus mematuhi semua perintahnya (selama tidak untuk ma’siyat) sebagaimana kita mematuhi perintah pemimpin-pemimpin yang lain.

Hadis ke 12
Keseimbangan hak rakyat dan tanggung jawab pemimpin
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ وَقَالَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سِمَاكٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَقَالَ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
Abu hunaidah (wa’il) bin hadjur r.a. Berkata : salamah bin jazid aldju’fy bertanya kepada rasulullah saw : ya rasulullah, bagaimana jika terangkat diatas kami kepala-kepala yang hanya pandai menuntut haknya dan menahan hak kami, maka bagaimanakah kau menyuruh kami berbuat? Pada mulanya rasulullah mengabaikan pertanyaan itu, hingga ditanya kedua kalinya, maka rasulullah saw bersabda : dengarlah dan ta’atlah maka sungguh bagi masing-masing kewajiban sendiri-sendiri atas mereka ada tanggung jawab dan atas kamu tanggung jawabmu. (muslim)

Penjelasan:
Rakyat memiliki hak dan pemimpin memiliki tanggung jaab. Begitu pula sebaliknya, rakyat memiliki tanggung jawab dan pemimpin juga memiliki hak. Antara keduanya harus ada keseimbangan dan kesetaraan. Yang satu tidak boleh mendominasi yang lain. Akan tetapi kekuasaan sepenuhnya adalah tetap berada di tangan rakyat. Karena hakekat kepemimpinan hanyalah amanat yang harus diemban oleh seorang pemimpin. Bila sang pemimpin tidak bisa menjaga amanat itu dengan baik, maka kekuasaan kembali berada di tangan rakyat.
Oleh sebab itu, mengingat kesetaraan poisi rakyat dan pemimpin ini, maka masing-masing memilki hak dan tanggung jawabnya. Hadis di atas menjelaskan bahwa seorang pemimpin jangan hanya bisa memenuhi haknya, dan mengebiri hak rakyatnya, akan tetapi seorang pemimpin harus mengakui dan menjamin hak-hak rakyatnya secara bebas.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, mungkin kita sudah mengenal konsep hak azazi manusia (ham). Oleh sebab itu, bila kita tarik hadis di atas dalam kontek saat ini, maka sebanarnya nabi muhammad s.a.w jauh sebelumnya  sudah mengajarkan prinsip-prinsip ham dalam kehidupan politik rakyatnya. Betapa tidak, dari hadis di atas dapat kita gali sebuah pesan bahwa islam menjamin ham termasuk di dalamnya hak-hak sipil dan politik (isipol) dan hak-hak ekonomi sosial dan budaya (ekosob). Karena itu, bila seorang peimimpin tidak menjamin hak-hak azasi manusia (ham) warganya, maka pemimpin itu telah keluar dari sunnah rasul s.a.w.
Hadis ke 13
Allah membenci pemimpin
Yang mengejar jabatan
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ
Abu said (abdurrahman) bin samurah r.a. Berkata: rasulullah saw telah bersabda kepada saya : ya abdurrahman bin samurah, jangan menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa minta, kau akan dibantu oleh allah untuk melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang  lebih baik itu. (buchary, muslim)

Penjelasan:
Dalam hadis lain rasul s.a.w juga pernah bersabda: “barang siapa telah menyerahkan sebuah jabatan atau amanat kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”. Kedua hadis di atas sebenarnya mengajarkan kepada kita bahwa amanat itu tidak perlu dicari dan jabatan itu tidak perlu dikejar. Karena bila kita mencari dan mengejar amanat dan jabatan itu, maka niscaya allah tidak akan memabntu kita. Akan tetapi bila kita tidak menuntut dan tidak mencari amanat itu, maka justru allah akan membantu untuk meringankan beban amanat itu sendiri.
Hadis di atas sebenarnya mengajarkan tentang etika politik. Seoarang politisi tidak serta-merta bebas dari etika, sebagaimana ditunjukkan oleh para politisi kita selama ini. Melainkan seorang politisi dan kehidupan politik itu sendiri harus berdasarkan sebuah kode etik. Bila kehidupan politik tidak berasarkan etika, maka kesan yang muncul kemudian bahwa politik itu kotor. Padahal, tidak selamanya politik itu kotor, nabi muhammad s.a.w sendiri pernah menjadi seorang politisi, tapi tidak pernah bermain kotor.
Bila kita mencermati hadis di atas, maka akan kita temukan bahwa citra “ke-kotoran” dari politik itu sebenarnya  bersumber dari sikap para pelakuknya yang ambisius. Dalam hal ini, ambisi menjadi salah satu faktor uatama dalam membentuk sikap dan pandangan politik eseorang sehingga menjadi kotor. Betapa tidak, dari ambisi itu, seseorang bisa saja membunuh orang lain yang menjadi pesaing politiknya. Dan dari ambisi itu pula seseorang bisa melakukan apa aja untuk meraih jabatan politik yang diinginkannya, baik melalui korupsi, penipuan, pembunuhan, ke dukun, dsb. Oleh sebab itu, “menjaga ambsi” adalah sebuah etika politik yang diajarkan islam  kepada umatnya, terutama bagi mereka yang berkiprah di dunia politik.
Hadis ke 14
Amanat di balik jabatan
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي أَبِي شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ الْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ ابْنِ حُجَيْرَةَ الْأَكْبَرِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا

Abu dzar berkata : ya rasulallah tidakkah kau memberi jabatan apa-apa kepadaku? Maka rasulullah memukul bahuku sambil berkata : hai abu dzar kau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai  amanat yang pada hari qiyamat hanya akan menjadi kemenyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang yang dapat menunaikan hak dan kewajibannya, dan memenuhi tanggung jawabnya.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي أَبِي شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ الْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ ابْنِ حُجَيْرَةَ الْأَكْبَرِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا

Abu hurairah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda : kamu akan berebut pemerintahan, dan akan menjadi kemenyasalan pada hari qiyamat. (buchary)
Penjelasan:
Hadis ini tidak jauh berbeda dengan hadis sebelumnya di atas. Bila hadis sebelumnya melarang kita agar tidak berambisi untuk meraih jabatan, maka hadis ini lebih menekankan betapa beratnya amanat dalam sebuah jabatan. Dan saking  beratnya hingga rasul s.a.w mengatakan bahwa kelak di hari qiamat kita merasakan penyesalan yang begitu dahsyat karena kita telah bersedia mengemban amanat itu. Janganlah kita mengira bahwa menjadi seorang peimimpin dengan sendirinya akan bergelimang harta dan  kehormatan. Padahal, harta dan kehormatan itu justru menjadi batu sandungan yang bisa mengakibatkan seseorang terjerumus ke dalam jurang kenistaan.
Lihatlah misalnya, seorang presiden dengan tanggung jawab yang begitu besar untuk mensejahterakan rakyatnya, atau seorang suami yang begitu besar tanggung jawabnya untuk menafkahi istrinya, atau seorang bapak yang memikul amanat untuk mebesarkan anak-anaknya. Semua itu merupakan amanat yang harus dijaga dan dilaksanakan sebaik-baiknya. Apabila kita tidak bisa berbuat adil dan tidak mampu mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi pihak yang kita pimpin, maka janganlah sekali-kali kita mencoba-coba untuk mengemban amanat tersebut. Apabila seorang presiden tidak mampu mengemban amanat untuk membawa kehidupan bangsanya dari keterpurukan menuju kesejahteraan dan keadilan, maka janganlah kita kembali memilih presiden atau pemimpin itu untuk kedua kalinya. Karena itu, amanat adalah ringan dikatakan namun berat untuk dilaksanakan. Barang siapa hanya bisa mengatakan namun tidak bisa melaksanakan, maka ia tidak layak untuk dijadikan pemimpin.


Hadis ke 15
Pemimpin dilarang mengeksploitasi rakyat kecil
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ كِلَاهُمَا عَنْ الْمُقْرِئِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ الْقُرَشِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي سَالِمٍ الْجَيْشَانِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ
Abu dzar r.a. Berkata : rasulullah saw abersabda : ya abu dzar saya melihat kau seorang yag lemah, dan saya suka bagi dirimu apa yang saya suka bagi diriku sendiri, jangan menjadi pemimpin walau terhadap  dua orang, dan jangan menguasai harta anak yatim. (muslim)

Penjelasan:
Hadis ini menerangkan kepada kita bahwa jabatan sebagai pemimpin itu sangat berat, hingga  rasul.s.a.w menganjurkan salah seorang sahabat untuk, kalau bisa, tidak menjadi pemimpin walau hanya terhadap dua orang. Akan tetapi pesan yang paling menonjol dari hadis di atas adalah bahwa godaan terberat bagi seorang peimimpin adalah menguasai harta anak yatim. Tentunya, anak yatim di sini adalah salah satu contoh yang merepresentaskan sebuah kelompok masyarakat yang paling lemah. Di luar anak yatim, kita juga bisa menyaksikan orang-orang lemah yang lain, seperti, janda tua, anak-anak terlantar, pengemis, buruh, petani gurem, pengangguran, dsb, yang semua itu menjadi tanggung jawab pemimpin untuk melindunginya, bukan untuk menguasainya. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana kita menguasai harta mereka, la wong mereka aja tidak punya harta?
Yang dimaksud menguasai harta mereka ini bukan berarti kita mengambil alih harta kekayaan mereka, melainkan tindakan mengeksploitasi keberadaan mereka untuk kemudian dijual sehingga menghasilkan uang juga termasuk menguasai harta mereka. Selain itu, kebijakan yang tidak berpihak terhadap kaum miskin dan anak yatim ini juga termasuk dalam menguasai harta mereka. Bukankah di dalam harta kita terdapat sebagian harta mereka? Sehingga kita wajib menyisihkan sebagian harta kita untuk kepentingan mereka. Oleh sebab itu, bila kita maknai hadis di atas secara global, maka pesan pokok yang hendak disampaikan adalah, bahwa islam sangat melarang seorang pemimpin mengeksploitasi rakyat kecil, bahkan islam mendorong pemimpin untuk melindungi mereka, karena mereka  merupakan bagian dari tanggung jawab pemimpin.

Hadis ke 16
Mewaspadai para pembisik pemimpin
حَدَّثَنَا أَصْبَغُ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا بَعَثَ اللَّهُ مِنْ نَبِيٍّ وَلَا اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيفَةٍ إِلَّا كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ فَالْمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَ
Abu si’id dan abu hurairah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda : allah tiada mengutus seorang nabi atau mengangkat seorang khalifah, melainkan ada dua orang kepercayaan pribadi, seseorang yang menganjurkan kebaikan, dan seorang yang menganjurkan kejahatan. Sedang orang yang selamat ialah yang dipelihara oleh allah. (buchary)
Penjelasan:
Setiap pemimpin tentunya memilki asisten pribadi. Asisten ini biasanya menjadi kepercayaan seorang pemimpin dalam melakukan banyak hal yang berkaitan dengan kebutuhan pemimpin. Akan tetapi, seorang pemimpin juga harus waspada terhadap orang-orang kepercayaannya. Karena rasul s.a.w telah mengingatkan di antara orang-orang kepercayaan pemimpin tersebut tentu ada yang jujur dan ada yang tidak jujur. Seorang kepercayaan pemimpin yang jujur pasti akan memberikan informasi yang benar terhadap pemimpinnya, tetapi seorang kepercayaan yang tidak jujur tentu akan memberikan informasi yang tidak benar kepada pemimpinnya. Orang yang terakhir ini lah biasanya yang selalu menghasut dan membisikkan informasi-informasi yang justru bukan memperkuat kepemimpinannya, melainkan akan menurunkan integritas kepemimpinannya. Karena itu, islam sangat menganjurkan agar kita aspada terhadap orang-orang yang pekerjaannya hanya membisikkan informasi-informasi salah sehingga pemimpin terdorong untuk megeluarkan kebijakan yang merugikan kepentingan rakyat banyak.
Hadis ke 17
Pemimpin perlu “pembantu” yang jujur
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَامِرٍ الْمُرِّيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهِ غَيْرَ ذَلِكَ جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ سُوءٍ إِنْ نَسِيَ لَمْ يُذَكِّرْهُ وَإِنْ ذَكَرَ لَمْ يُعِنْهُ
‘Aisyah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda : jika allah menghendaki kebaikan terhadap seorang raja, maka diberinya seorang menteri yang jujur, jika lupa diingatkan, dan jika ingat dibantu. Dan jika allah menghendaki sebaliknya dari itu, maka allah memberi padanya ,menteri yang tidak jujur, hingga jika lupa tidak diingatkan dan jika ingat tidak dibantu. (abu dawud).

Penjelasan:
Seorang pemimpin pasti mengemban segudang tugas dan amanat yang begitu berat yang harus dijalankan. Sementara untuk melaksanakan semua tugas itu tidak mungkin dia sendiri melakukannya. Oleh sebab itu dibutuhkan sejumlah pembantu untuk meringankan tugas sang pemimpin. Dalam kehidupan politik modern, para pembantu presiden itu bisa disebut sebagai menteri. Dan barangkali bukan hanya presiden, semua jabtan publik di negeri ini, baik bupati, gubernur, wali kota, dpr, hingga kepala sekolah pun, juga membutuhkan pembantu atau pendamping ahli yang bisa meringankan tugas-tugasnya. Sehingga dalam konteks indoensia, kita tidak hanya mengenal menteri sebagai pembantu presiden, melainkan juga terdapat apa yang kita kenal sebagai juru bicara, asisten ahli, staf ahli, penasehat ahli, dsb.
Keberadan “orang-orang pendamping” ini tentunya perlu kita apresiasi dengan baik, karena mereka membantu tugas-tugas kepresidenan. Akan tetapi, kita juga perlu mencermati bahkan jika diperlukan kita mesti waspada karena tidak semua “orang-orang pendamping” itu berniat tulus untuk membantu. Akan tetapi lebih dari itu ada juga yang menyimpan kepentingan tertentu dan menjadi “pembisik” yang licik. Tentunya banyak cara yang dilakukan para pembantu pemimpin yang licik ini. Salah satu contoh yang sering kita lihat dalam kehidupan birokrasi kita adalah; melaporkan situasi yang tidak sebenarnya kepada pemimpin yang bersangkutan. Bila yang terjadi di lapangan adalah kelaparan, maka si pembantu hanya melaporkan kekuranagn gizi. Selain itu tidak sedikit kita jumpai “orang-orang” yang pekerjaanya hanya membisikkan informasi-informasi bohong kepada pemimpinnya sehingga pemimpin tersebut mengeluarkan kebijakan berdasarkan informasi bohong yang ia peroleh. Akibatnay, selain kebijakan itu tidak tepat, sang pemimpin itu juga jatuh kredibilitasnya. Oleh sebab itu, memilih pendamping itu harus hati-hati dan waspada. Kedekatan seseorang dengan pemimpin tersebut dan kepintaran seseorang tidak menjamin dia akan berbuat jujur terhadap atasannya.
Hadis ke 18
Shalat mendorong pemimpin berbuat adil
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ ضَبَّةَ بْنِ مِحْصَنٍ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
Rasulullah saw bersabda: akan ada para pemimpin yang kalian kenal dan kalian ingkari. Siapa yang tidak menyukainya maka dia bebas dan barang siapa yang mengingkarinya maka dia selamat, akan tetapi (dosa dan hukuman) diberlakukan kepada orang yang yang ridha dan mengikuti para pemimpin itu. Para sahabat bertanya: apakah kami boleh memeranginya wahai rasulullah saw. Beliau menjawab: tidak boleh selama para pemimpin itu masih mengerjakan shalat. (hr.muslim)

Penjelasan:
Hadis ini tidak bisa kita fahami secara harfiyah,
Hadis ke 19
Pemimpin yang bodoh
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ ابْنِ خُثَيْمٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ الصَّوْمُ جُنَّةٌ وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ وَالصَّلَاةُ قُرْبَانٌ أَوْ قَالَ بُرْهَانٌ يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ النَّاسُ غَادِيَانِ فَمُبْتَاعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا وَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُوبِقُهَا

Rasulullah saw bersabda kepada ka’ab bin ujrah: mudah-mudahan allah melindungimu dari para pemimpin yang bodoh (dungu). Ka’ab bin ujzah bertanya: apa yang dimaksud dengan pemimpin yang dungu wahai rasulullah saw? Beliau menjawab: mereka adalah para pemimpin yang hidup sepeninggalku. Mereka tidak pernah berpedoman pada petunjukku, mereka tidak mengikuti sunnahku. Barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka ataupun mendukung atas kezaliman mereka, maka orang itu tidak termasuk golonganku, karena aku bukanlah orang seperti itu. Mereka juga tidak akan mendapatkan air minum dari telagaku. Wahai ka’ab, sesungguhnya puasa adalah benteng, sedekah itu bisa menghapus kesalahan, sedangkan shalat adalah upaya mendekatkan diri kepada allah (qurban) –dalam riwayat lain burhan (dalil)- wahai ka’ab sesungguhnya tidak akan masuk surga seonggok daging yang berasal dari barang haram. Dan api neraka lebih berhak untuk melahapnya. Wahai ka’ab bin ujrah, manusia terpecah menjadi dua golongan: pertama, orang yang membeli dirinya (menguasai dirinya), maka dia itulah yang memerdekakan dirinya.  Golongan yang menjual dirinya, maka dia itulah yang membinasakan dirinya sendiri. (hr. Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Hadis ini  berbicara tentang “nasib” kepemimpinan sepeninggal rasul s.a.w. Bahwa pasca meninggalnya rasul, kepemimpinan umat islam akan diwarnai tindakan-tindakan yang oleh rasul disebut “bodoh”. Karena itu, rasul kemudian senantiasa berdo’a semoga umatnya terlindungi dari “bahaya-bahaya” akibat pemimpin yang bodoh ini. Akan tetapi, kita di sini tentunya tidak akan memaknai kata bodoh secara harfiyah. Karena bisa jadi kita memiliki pemimpin yang pintar, cerdas, bergelar profesor atau bahkan sekaligus ulama, namun jika pemimpin itu tidak berpegang teguh pada sunnah rasul maka dia layak disebut sebagai yang bodoh atau dungu.
Lantas siapa yang dimaksud pemimpin yang mengikuti sunnah rasul itu? Apakah pemimpin yang puasa sunnah senin kamis ? Tentunya yang dimaksud pemimpin yang mengikuti sunnah rasul di sini adalah pemimpin yang mengikuti jejak rasul dalam menjalankan kepemimpinannya. Kita tahu, bahwa kepemimpinan rasul adalah kepemimpinan yang menjunjung tinggi keadilan, toleransi, dan dekat dengan rakyat. Apa yang kini kita kenal sebagai “piagam madinah” adalah sebagai pedoman rasul dalam menjalankan kepemimpinannya terhadap semua rakayat saat itu tanpa memandang latar belakang agama, etnis, warna kulit dan jenis kelamin. Semua rakyat madinah yang plural itu dilindungi dan dijamin haknya oleh rasul. Oleh sebab itu, bagi pemimpin pasca rasul yang tidak mampu mengikuti jejak rasul seperti di atas maka dia disebut bodoh oleh rasul.
Hadis 20
Pemimpin dzalim dibenci allah
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ فُضَيْلِ بْنِ مَرْزُوقٍ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي سَعِيدٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ

Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya manusia yang paling dicintai allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci allah dan sangat jauh dari allah adalah seorang pemimpin yang zalim. (hr. Turmudzi)
Penjelasan:
Hadis ini sekali lagi menekankan bahwa kriteria adil sangat penting bagi seorang pemimpin. Tanpa nilai-nilai keadilan yang dijunjung tinggi oleh seorang pemimpin, maka sebuah kepemimpinan tidak akan berhasil mengangkat kesejahteraan umatnya. Karena itu, bisa kita fahami mengapa rasul berkali-kali menekankan akan pentingnya seorang pemimpin yang adil. Dalam hadis ini, seorang pemimpin yang adil akan ditempatkan sangat dekat sekali kedudukannya dengan allah, sedangkan pemimpin yang dzalim adalah sangat dibenci sekali oleh allah. Kedua balasan (imbalan dan ancaman) ini tentunya mencerminkan sebuah penghargaan allah yang begitu besar kepada pemimpin yang mampu berbuat adil kepada rakyatnya.
Hadis 21
Kedzaliman pemimpin mempercepat datangnya kiamat
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي عَمْرٌو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَشْهَلِ عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتُلُوا إِمَامَكُمْ وَتَجْتَلِدُوا بِأَسْيَافِكُمْ وَيَرِثُ دِيَارَكُمْ شِرَارُكُمْ
Rasulullah saw bersabda: kiamat tidak akan terjadi sampai kalian membunuh para pemimpin kalian, pedang-pedang kalian banyak sekali meminum darah, dan agama kalian diwarisi (dikuasai) oleh orang-orang yang paling buruk di antara kalian. (hr. Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Hadis ini mengilustarikan sebuah zaman dimana bila seorang pemimpin bertindak sangat lalim dan rakyat melawannya hingga membunuh pemimpin lalim itu, maka itu pertanda kiamat sudah dekat. Logikanya, bila dalam sebuah zaman muncul perlawanan rakyat terhadap pemimpin, maka di zaman itu berarti terdapat pemimpin yang dzalim nan lalim. Karena bila sebuah kepemimpinan itu baik dan tidak ada kedzaliman, maka niscaya tidak mungkin akan muncul perlawanan rakyat. Oleh sebab itu, pesan pokok yang hendak disampaikan oleh hadis ini adalah bahwa bila terjadi kedzaliman pemimpin di mana-mana, maka itu berarti pertanda kiamat sudah dekat.
Lalu bagaiman dengan zaman kita saat ini, dimana sebagian besar pemimpin sedikit sekali yang berbuat adil dan banyak sekali yang berbuat dzalim, serta perlawanan rakayat begitu dahsyata hingga ada pemimpin yang dibunuh oleh rakyatnya, apakah zaman kita sudah termasuk tanda-tanda kiamat ? Pertanyaan ini memang tidak bisa kita jawab “ya” atau “tidak”. Karena yang maha mengetahui kapan kiamat itu terjadi adalah allah. Akan tetapi, bila kita melihat kondisi kepemimpinan kita di zaman ini akan nampak sekali tanda-tanda kiamat sebagaiman telah diseritakan rasul dalam hadis di atas.
Hadis 22
Menjaga amanat adalah bagian dari iman
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ بْنُ زِيَادٍ الثَّقَفِيُّ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ

Rasulullah saw bersabda: tidak beriman orang yang tidak bisa menjaga amanah yang dibebankan padanya. Dan tidak beragama orang yang tidak bisa menepati janjinya. (hr. Ahmad bin hambal)

Penjelasan:
Mungkin kita hanya mengenal slogan-slgan keagamaan semisal: kebersihan adalah bagian dari iman, malu adalah bagian dari iman, dsb. Tapi kita jarang –atau mungkin tidak pernah- mengatakan bahwa menjaga amanat adalah bagian dari iman. Padahal, rasul juga pernah bersabda bahwa menjaga amanat adalah bagian dari dasar-dasar keimanan dan keagamaan. Dan barang siapa yang tidak menjaga amanat maka rasul menyebut dia tidak sempurna iman dan agamanya.
Andai kita mengkampanyekan hadis ini ke masyarakat luas, apalagi di saat-saat kampanye presiden, bupati, gubernur, dsb, maka kita setidaknya telah menekan munculnya “potensi” penyelewengan amanat oleh pemimpin kita, meskipun itu sekecil semut. Hal itu karena dalam tradisi kepemimpinan kita, upaya menjaga amanat itu sangat kecil. Sumpah jabatan sebagai mekanisme penyerahan amanat  ternyata tidak disertai sebuah mekanisme kontrol yang ketat terhadap amanat itu. Oleh sebab itu, kampanye keagamaan untuk mendorong seseorang (pemimpin) agar senantiasa menjaga amanat (kepemimpinanya) adalah penting segera kita galakkan.

Hadis 23
Pemimpin dianjurkan memberi suri tauladan yang baik (nasehat) kepada rakyatnya

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُسْهِرٍ حَدَّثَنِي عَبَّادُ بْنُ عَبَّادٍ الْخَوَّاصُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي عَمْرٍو السَّيْبَانِيِّ عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ السَّيْبَانِيِّ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَقُصُّ إِلَّا أَمِيرٌ أَوْ مَأْمُورٌ أَوْ مُخْتَالٌ

Rasulullah saw bersabda: tidak ada yang berhak untuk memberikan ceramah (nasehat/cerita hikmah) kecuali seorang pemimpin, atau orang yang mendapatkan izin untuk itu (ma’mur), atau memang orang yang sombong  dan haus kedudukan. (hr. Muslim)

Penjelasan:
Hadis ini bukan berarti hanya pemimpin yang berhak memberi nasehat kepada umat, melainkan hadis ini mengandung pesan bahwa seorang pemimpin seharusnya bisa memberikan suri tauladan yang baik kepada umatnya. Karena yang dimaksud ceramah disini bukan dalam arti ceramah lantas memberi wejangan kepada umat, akan tetapi yang dimaksud ceramah itu adalah sebuah sikap yang perlu dicontohkan kepada umatnya. Seorang penceramah yang baik dan betul-betul penceramah tentunya bukan dari orang sembarangan, melainkan dari orang-orang terpilih yang baik akhlaqnya. Begitu pula dalam hadis ini, pemimpin yang berhak memberikan ceramah itu pemimpin yang memiliki akhlaq terpuji sehingga akhlaqnya bisa menjadi tauladan bagi rakyatnya.
Jadi kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang penceramah, maka itu juga harus dipenuhi oleh seorang pemimpin. Karena pada zaman rasul dulu, seorang penceramah atau yang memberikan hikmah kepada umat adalah para penceramah ini, sehingga rasul mengharuskan seorang pemimpin harus memiliki akhlaq yang sama dengan penceramah ini.
Hadis 24
Jabtan Pemimpin itu dekat dengan neraka
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلَّادٍ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ حَدَّثَنَا مُجَالِدٌ عَنْ عَامِرٍ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ حَاكِمٍ يَحْكُمُ بَيْنَ النَّاسِ إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَلَكٌ آخِذٌ بِقَفَاهُ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَإِنْ قَالَ أَلْقِهِ أَلْقَاهُ فِي مَهْوَاةٍ أَرْبَعِينَ خَرِيفًا
Rasulullah saw bersabda: setiap pemimpin yang memimpin rakyatnya,  pada hari kiamat pasti akan didatangkan. Kemudian malaikat mencengkeram tengkuknya dan mengangkatnya sampai ke langit. Kalau ada perintah dari allah: lemparkanlah, maka malaikat akan melemparkannya ke bawah yang jauhnya adalah empat puluh tahun perjalanan. (hr. Ibnu majah)

Penjelasan:
Hadis ini menggambarkan betapa jabatan sebagai pemimpin itu berat dan seolah bediri diantara ranjau-ranjau neraka yang sewaktu-waktu bila orang itu salah menginjaknya maka ranjau itu akan akan meledak dan membunuh sang pemimpin itu. Mungkin kita memandang bahwa menjadi pemimpin (presiden) itu serba enak; fasilitas dijamin, harta melimpah dan kehormatan terpandang, sehingga semua orang bercita-cita ingin menjadi presiden, padahal bila semua orang tahu bahwa pemimpin (presiden) itu berjalan di atas jembatan yang dibawahnya berkobar api neraka, maka niscaya semua orang mungkin tidak akan berharap akan menjadi presiden (pemimpin). Posisi pemimpin yang cukup rentan ini dikarenakan beratnya tanggung jawab yang harus dipikul seorang pemimpin. Sekali ia lengah dan mengabaikan tanggung jawabnya, maka ia bisa tergelincir dan jatuh ke jurang neraka selama-lamanya. Oleh sebab itu, tak heran bila rasul mengambarkan poisi pemimpin itu sebagaimana digambarkan oleh hadis di atas.
Hadis 25
Pemimpin harus membimbing rakyatnya
و حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ دَخَلَ عَلَى مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ بِحَدِيثٍ لَوْلَا أَنِّي فِي الْمَوْتِ لَمْ أُحَدِّثْكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِي أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ لَا يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلَّا لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمْ الْجَنَّةَ و حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ الْعَمِّيُّ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَقَ أَخْبَرَنِي سَوَادَةُ بْنُ أَبِي الْأَسْوَدِ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ مَرِضَ فَأَتَاهُ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ يَعُودُهُ نَحْوَ حَدِيثِ الْحَسَنِ عَنْ مَعْقِلٍ

Rasulullah saw bersabda: setiap pemimpin yang menangani urusan kaum muslimin, tetapi tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengurusi mereka dan memberikan arahan kepada mereka, maka dia tidak akan bisa masuk surga bersama kaum muslimin itu. (hr. Muslim)

Penjelasan:
Seorang pemimpin tidak bisa sekedar berpikir dan bergulat dengan wacana sembari memerintah bawahannya untuk mengerjakan perintahnya, melainkan pemimpin juga dituntut untuk bekerja keras mengurus sendiri persoalan-persoalan rakyatnya. Salah seorang khulafau rasyidin yaitu umar bin utsman pernah berkeliling keseluruh negeri untuk mencari tahu adakah di antara rakyatnya masih kekurangan pangan. Jika ada, maka khalifah umar  tidak segan-segan untuk memberinya uang (bekal) untuk menunjang kehidupan rakyatnya tadi. Bahkan khalifah abu bakar harus turun tangan sendiri untuk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
Semua peristiwa yang dilakukan oleh dua sahabat nabi di atas adalah contoh betapa islam sangat menekankan kepada pemimpin untuk selalu bekerja keras agar rakyatnya benar-benar terjamin kesejahteraannya. Tidak bisa seorang pemimpin hanya duduk dan berceramah memberi sambutan di mana-mana, tetapi semua tugas-tugas kepemimpinannnya yang lebih kongkrit malah diserahkan kepada bawahan-baahannya. Memang betul bahwa bawahan bertugas untuk membantu meringankan beban atasannya, akan tetapi tidak serta-merta semua tugas harus diserahkan kepada bawahan. Suatu pekerjaan yang memang menjadi tugas seseorang dan dia mampu melakukannya, maka janganlah  pekerjaan itu diserahkan kepada orang lain.

Hadis 26
Situasi zaman pasca kepemimpinan rasul s.a.w
أَخْبَرَنَا صَالِحُ بْنُ سُهَيْلٍ مَوْلَى يَحْيَى بْنِ أَبِي زَائِدَةَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ مُجَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ عَامٌ إِلَّا وَهُوَ شَرٌّ مِنْ الَّذِي كَانَ قَبْلَهُ أَمَا إِنِّي لَسْتُ أَعْنِي عَامًا أَخْصَبَ مِنْ عَامٍ وَلَا أَمِيرًا خَيْرًا مِنْ أَمِيرٍ وَلَكِنْ عُلَمَاؤُكُمْ وَخِيَارُكُمْ وَفُقَهَاؤُكُمْ يَذْهَبُونَ ثُمَّ لَا تَجِدُونَ مِنْهُمْ خَلَفًا وَيَجِيءُ قَوْمٌ يَقِيسُونَ الْأُمُورَ بِرَأْيِهِمْ

Abdullah berkata: akan datang pada kalian satu tahun (masa) yang lebih buruk daripada tahun (masa) sebelumnya. Akan tetapi yang aku maksud bukanlah sebuah tahun yang lebih subur daripada tahun yang lain, ataupun seorang pemimpin yang lebih baik daripada pemimpin lainnya. Akan tetapi di masa itu, telah hilang (wafat) para ulama, orang-orang terpilih dan para ahli fiqh kalian. Dan kalian tidak menemukan pengganti mereka. Sehingga datanglah sebuah kaum yang berdalil hanya dengan menggunakan rasio mereka. (hr. Ad darimi)

Penjelasan:
Membaca ramalan rasul di atas sungguh membuat kita cemas akan datangnya suatu zaman yang oleh rasul dikatakan lebih buruk dari zaman-zaman sebelumnya. Namun yang dimaksud lebih buruk di sini tentunya bukan dalam pengertian kuantitas. Melainkan kualitas kehidupan yang tengah berlangsung pada sebuah zaman. Kalau ukurannya adalah kuantitas, mungkin zaman kita bisa dibilang lebih bagus karena, misalnya, kita saat ini bisa memproduksi sebuah barang dengan hanya memakan waktu yang singkat namun menghasilkan barang yang cukup banyak. Akan tetapi bila ukurannya adalah kualitas, maka zaman kita saat ini lebih rendah dan lebih buruk dari zaman-zaman sebelumnya (zaman rasul). Lihatlah misalnya kualitas arsitektur dan bangunan yang berkembang saat ini, kemudian bandingkan dengan arsitektur dan bangunan pada tempo dulu, seperti tembok cina, borobudur, dsb, tentu kualitasnya jauh sekali berbeda.
Mungkin di zaman ini kita tidak bisa lagi menemukan orang yang mampu membangun semacam borobudur dengan kualitas banunannya yang terjamin sebagaimana candi borobudur. Begitu pula dengan kualitas kepemimpinan pada saat ini jauh lebih baik dari kulaitas kepemimpinan pada masa-masa rasul dan sahabat. Meskipun pada masa sahabat juga penuh diwarnai intrik politik yang mengakibatkan pertumpahan darah, akan tetapi setidaknya sejarah telah mencatat bahwa dua sahabat periode pertama (abu bakar dan umar) adalah potret zaman dimana kepemimpinan benar-benar dijalankan atas dasar prinsip-prinsip keadilan.  Meski saat ini kita mengembar-gemborkan sistem demokrasi yang dianggap paling baik, namun ternyata negara tempat kelahiran demokrasi juga tidak menerapkan nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya. Dan banyak sekali pihak yang mengatasnamakan demokrasi namun menginjak-injak nilai-nilai demokrasi. Meskipun saat ini ada yang namanya pemilu, namun semua sistem dan mekanisme demokrasi itu tidak menjamin terwujudnya kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera. Kalau sudah demikian, bisakah zaman kita ini disebut lebih baik dari zaman rasul.s.a.w ?
Hadis 27
Kepemimpin yang buruk
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا صَدَقَةُ بْنُ مُوسَى عَنْ فَرْقَدٍ السَّبَخِيِّ عَنْ مُرَّةَ الطَّيِّبِ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ خَبٌّ وَلَا بَخِيلٌ وَلَا مَنَّانٌ وَلَا سَيِّئُ الْمَلَكَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ الْمَمْلُوكُ إِذَا أَطَاعَ اللَّهَ وَأَطَاعَ سَيِّدَهُ
Rasulullah saw bersabda: tidak akan masuk surga orang yang suka menipu, orang yang bakhil, orang yang suka mengungkit-ungkit kebaikan/pemberian, dan pemimpin yang buruk. Orang yang pertama kali masuk surga adalah budak yang taat kepada allah dan taat kepada majikannya.

Penjelasan:
Hadis ini menjelaskan tentang sekelompok orang yang diharamkan oleh allah untuk masuk sorga. Dan ternyata, di antara sekelompok orang tersebut terdapat kriteria pemimpin yang buruk. Pada bagian awal buku ini, kita mungkin sudah mendapati banyak hadis yang berbicara tentang hukuman neraka bagi pemimpin yang dzalim. Namun kini kita kembali menemukan satu hadis lagi yang kembali berbicara tentang ancaman bagi pemimpin yang berlaku buruk. Dan pemimpin yang buruk ini disamakan dengan mereka yang suka menipu, pelit, dan suka mengungkit kebaikannya/pemberiannya sendiri.
akan tetapi apa sih bedanya pemimpin yang dzalim dan pemimpin yang buruk ? Pada dasarnya tidak ada perbedaan subtansial antara keduanya, namun karena rasul benar-benar menekankan sebuah kepemimpinan yang baik, maka rasul  juga mengancam kepemimpinan yang buruk. Yang jelas, sebuah kepemimpinan bila tidak menjamin dan melindungi rakyatnya serta tidak menjadikan rakyatnya sejahtera, maka kepemimpinan itu bisa dikatakan buruk, dzalim, kejam, dsb. Sama seperti kita yang pada zaman ini mengenal berbagai macam istilah yang terkait dengan perlakuan buruk penguasa, seperti, otoriter, totaliter, represif, korup, tidak demokratis, dsb yang kesemua itu mencerminkan sebuah kepemimpinan yang berbahaya bagi rakyat. Jadi, kepemimpinan yang buruk menurut rasul dalam hadis ini adalah sebuah kepemimpinan yang justru menjauhkan rakyat dari kehidupan yang sejahtera.          

Hadis 28
Balasan bagi pemimpin yang otoriter
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ عَلِيِّ بْنِ مُبَارَكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ عَامِرٍ الْعُقَيْلِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَوَّلَ ثَلَاثَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ الشَّهِيدُ وَعَبْدٌ أَدَّى حَقَّ اللَّهِ وَحَقَّ مَوَالِيهِ وَفَقِيرٌ عَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ وَإِنِّي لَأَعْلَمُ أَوَّلَ ثَلَاثَةٍ يَدْخُلُونَ النَّارَ سُلْطَانٌ مُتَسَلِّطٌ وَذُو ثَرْوَةٍ مِنْ مَالٍ لَا يُؤَدِّي حَقَّهُ وَفَقِيرٌ فَخُورٌ

Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya aku orang yang paling tahu tentang tiga golongan yang pertama kali masuk surga: orang yang mati syahid, seorang hamba yang menunaikan hak allah dan hak majikannya, dan orang fakir yang menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik. Aku juga orang yang paling tahu tentang tiga golongan yang pertama kali masuk neraka: seorang pemimpin yang otoriter (sewenang-wenang), seorang kaya yang tidak menunaikan kewajibannya, dan seorang fakir yang sombong. (hr. Ahmad)

Penjelasan:
Bila hadis sebelumnya berbicara soal kepemimpinan yang buruk, dalam hadis ini kita kembali menyoroti model kepemimpinan namun lebih spesifik, yaitu kepemimpinan otoriter. Kepemimpinan otoriter adalah sebuah kepemimpinan yang dijalankan atas dasar kesewenag-wenangan. Semua keputusan dan kebijakan pemimpin harus ditaati oleh semua rakyat tanpa memberi ruang terjadinya “negoisasi” dengan rakyat. Bila pemimpin berkata merah, maka rakyat harus mengikuti merah. Demikianlah ciri-ciri sederhana sebuah kepemimpinan otoriter.
Lalu bagaimana islam menyikapi (ke)pemimpin(an) yang otoriter ini? Islam jelas tidak pernah memberikan tempat, walau sejengkal, kepada pemimpin yang otoriter ini. Sebagaimana pemimpin yang dzalim, pemimpin otoriter juga diancam dengan hukuman neraka. Dan sebaliknya, islam justru sangat menekankan pentingnya demokrasi (syura) dan partisipasi rakyat dalam sebuah sistem kepemimpinan. Rasul s.a.w telah memberikan contoh bagaimana syura menjadi prinsip pokok dalam menjalankan roda kepemimpinan. Dalam syura (demokrasi) semua rakyat, tanpa membedakan latar agama, etnis, arna kulit, bahasa, jenis kelamin, berhak untuk  terlibat dalam merumuskan arah dan haluan sebuah kepemimpinan. Ketika rasul menjadi pemimpin politik di madinah, rasul tidak segan-segan memberikan hak yang setara anatara kaum muhajirin dan anshar. Bahkan dalam medan peperangan, siti ‘aisyah juga diberi hak untuk mengukiti bahkan memimpin sebuah peperangan dengan kaum kafir. Dengan demikian, cukup jelas sekali  bahwa islam adalah agama yang “mengharamkan” otoritariansme dan “mewajibkan” demokrasi (syura).


Hadis 29
Melawan pemimpin dzalim adalah jihad akbar
حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ دِينَارٍ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُصْعَبٍ أَبُو يَزِيدَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي أُمَامَةَ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya jihad yang paling besar adalah mengungkapkan kalimat kebenaran di hadapan sultan yang zalim. (hr. Turmudzi)
Selama ini, banyak umat islam memahami konsep jihad hanya sebatas turun ke medan perang. Pemaknaan semacam ini cukup berbahaya karena hanya mengambil makna yang tekstual seraya menutupi makna lain yang lebih substansial.
Bila ada dua orang khalifah dibaiat maka bunuhlah salah satunya
Hadis ke 30
Keputusan pemimpin harus aspiratif
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْجُعْفِيُّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ حَنَشٍ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَقَاضَى إِلَيْكَ رَجُلَانِ فَلَا تَقْضِ لِلْأَوَّلِ حَتَّى تَسْمَعَ كَلَامَ الْآخَرِ فَسَوْفَ تَدْرِي كَيْفَ تَقْضِي قَالَ عَلِيٌّ فَمَا زِلْتُ قَاضِيًا بَعْدُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Apabila ada dua orang laki-laki yang meminta keputusan kepadamu maka janganlah engkau memberikan keputusan kepada laki-laki yang pertama sampai engkau mendengarkan pernyataan dari laki-laki yang kedua. Maka engkau akan tahu bagaimana enkau memberikan keputusan (hr. Turmudzi)
Hadis ini mengajarkan kita sebuah kepemimpinan yang mau mendengar semua suara rakyat. Tidak peduli rakyat itu pengemis, pemulung, orang penyandang cacat, perempuan, atau anak kecil sekalipun, maka semua itu harus didengar suaranya oleh pemimpin. Artinya, kepemimpinan itu, atau lebih tepatnya seorang pemimpin itu harus benar-benar aspiratif. Karena bila kita dalam mengambil keputusan atau kebijakan hanya berdasarkan suara kelompok tertentu, lebih-lebih suara kelompok yang dekat dengan lingkungan kekuasaan (pemimpin) maka keputusan itu pasti akan jauh dari rasa keadilan. Alasannya adalah karena suara satu kelompok itu belum tentu mewakili suara kelompok yang lain. Sehingga bila ingin mencapai rasa keadilan bagi eluruh rakyat, maka harus mendengar suara semua rakyat.
Hadis ini penting terutama dalam konteks sistem demokrasi yang meniscayakan keterwakilan seperti di indoensia misalkan. Dimana dpr (dewan perwakilan rakyat) memiliki wewenang untuk mewakili suara rakyat. Bila dpr ini tidak menjaring aspirasi dari semua lapisan dan status masyarakat, maka jangan harap kebijakan-kebijakan yang dihasilakannya akan memenuhi rasa keadilan rakyat indonesia. Oleh sebab itu, agar rasa keadilan dalam sebuah masyarakat itu benar-bnar terpenuhi, maka islam mewajibkan seorang pemimpin untuk tidak mengambil keputusan hanya dari satu orang (satu kelompok suara), tetapi lebih dari itu.
Hadis ke 31
Pemimpin dituntut berijtihad
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَعُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيِّ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ
Apabila seorang hakim melakukan ijtihad dan kemudian benar maka dia mendapat dua pahala, dan apabila dia berijtihad ternyata salah maka dia hanya mendapat satu  pahala
Hadis ini memang bercerita tentang kewenagan hakim. Namun sejatinya, hadis ini bukan saja ditujukan kepada seorang hakim, melainkan lebih dari itu juga untuk seorang pemimpin. Pada masa rasul s.a.w. Jabatan hakim dan pemimpin politik tidak dibedakan. Nabi muhammad sendiri adalah seorang pemimpin politik tapi sekaligus juga seorang hakim. Demikian juga dengan para khalifah pengganti beliau sesudahnya (khulafa urrasyidin) yang menjabat pemimpin sekaligus hakim dan bahkan panglima perang. Oleh sebab itu, bila merujuk pada konteks di atas, maka hadis ini tentunya bukan hanya relevan untuk para hakim tetapi juga dianjurkan untuk para pemimpin (politik).
Apabila dikaitkan dengan konteks pemimpin politik, maka yang dimaksud ijtihad di sini adalah bisa berupa sebuah upaya politik seorang pemimpin dalam mengeluarkan keputusan yang berdasarkan konstitusi dan nilai-nilai kemanusiaan serta kesejahteraan rakyat. Artinya, seorang pemimpin dituntut bekerja keras semaksimal mungkin, tentunya berdasarkan ikhtiar politiknya, untuk berupaya menjadikan rakyatnya terangkat dari garis kemiskinan serta memenuhi standar kesejahteraan. Bila ikhtiar politik pemimpin ini benar dan berhasil mensejahteraakan rakyatnya, maka dia akan mendapat dua pahala, akan tetapi bila ikhtiar dia salah dan rakyat tetap berada di bawah garis kemiskinan, maka dia akan mendapat satu pahala. Tentunya ikhtiar ini harus benar-benar dilandasi oleh ketulusan dan niat baik untuk mengabdi kepada rakyat, bukan semata-mata mencari keuntungan politik tertentu. Bila yang terakhir ini yang dilakukan, maka bukan hanya satu pahala yang didapat, melainkan justru akan mendapat celaka dan siksa dari allah swt.

Hadis ke 32
Pemimpin harus punya pedoman kepemimpinan
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي عَوْنٍ الثَّقَفِيِّ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي عَوْنٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو ابْنِ أَخٍ لِلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ عَنْ مُعَاذٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَلَيْسَ إِسْنَادُهُ عِنْدِي بِمُتَّصِلٍ وَأَبُو عَوْنٍ الثَّقَفِيُّ اسْمُهُ مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ
Ketika rasul mengutus mu’adz ke yaman, beliau bertanya: wahai mu’adz, bagaimana caramu memberikan putusan/hukum? Dia menjawab; aku memutuskan/menghukumi berdasarkan ketentuan dari al-qur’an. Lalu rasul bertanya lagi: bagaimana kalau tidak ada dalam al-quran? Mu’adz menjawab, maka aku memutuskan berdasarkan sunnah rasul s.a.w. Rasul bertanya lagi: bagaimana bila tidak kau temukan dalam sunnah rasul ? Mu’adz menjawab: maka aku berijtihad berdasarkan pendapatku sendiri. Rasul bersabda: segala puji bagi allah yang telah memberikan petunjuk/taufik kepada duta rasul saw

Hadis ini turun ketika salah seorang sahabat rasul s.a.w, mu’adz bin jabal, hendak diutus rasul untuk menjadi gubernur di yaman. Namun sebelum mu’adz berangkat ke yaman, rasul terlebih dahulu memanggilnya untuk di uji (fit and propertest) sejauh mana dia bisa diandalkan menjadi gebernur. Akan tetapi materi test yang disampaikan rasul tidak muluk-muluk, beliau hanya menanyakan tentang pedoman dia (mu’adz) dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Dalam pengakuan mu’adz, dia akan menjalankan roda kepemimpinanya sebagai gubernur yaman dengan berlandaskan pada al-qur’an, sunnah, dan ijtihad (berpikir dan bekerja keras). Untuk jawaban yang pertama dan kedua, rasul mungkin sudah bisa menebak jawaban yang akan diberikan mu’adz, akan tetapi untuk pertanyaan ketiga itulah rasul mencoba menggali sejauh mana upaya mu’adz bila sebuah keputusan tidak ada dasarnya dalam al-qur’an dan sunnah. Dan ternyata nabi cukup bangga kepada mu’adz karena dia bisa menjawab pertanyaan ketiga itu dengan cukup memuaskan.
Ini artinya bahwa hadis di atas telah memberikan isyarat kepada kita bahwa dalam menjalankan roda kepemimpinan kita tidak bisa hanya mengandalkan pedoman al-qur’an dan sunnah, akan tetapi kita juga harus pandai-pandai mencari alternatif pedoman yang lain yang bisa mengilhami kita dalam mengeluarkan keputusan. Bukannya kita hendak mengatakan bahwa al-qur’an dan sunnah tidak sempurna, akan tetapi untuk merespon semua peristiwa yang terjadi di dunia ini kita dituntut untuk mencari dan mencari segala macam alternatif solusinya. Apabila kita tidak menemukan dasarnya di al-qur’an dan sunnah, mungkin kita bisa mencarinya di nilai-nilai kearifan lokal yang telah tumbuh dan berkembang di dalam sebuah masyarakat. Karena itulah kita juga mengenal apa yang oleh para ahli ushul fiqh dikenal dengan ‘urf atau kaidah fiqh yang berbunyi al-‘adah muhakkamah. Bahkan rasul pun pernah bersabda: bila engkau menemukan kebijakan maka ambillah meski ia keluar dari mulut anjing.
Hadis ke 33
Good and clean governance dalam islam
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْقُدُّوسِ بْنُ مُحَمَّدٍ أَبُو بَكْرٍ الْعَطَّارُ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ حَدَّثَنَا عِمْرَانُ الْقَطَّانُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ الشَّيْبَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الْقَاضِي مَا لَمْ يَجُرْ فَإِذَا جَارَ تَخَلَّى عَنْهُ وَلَزِمَهُ الشَّيْطَانُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عِمْرَانَ الْقَطَّانِ
Rasul bersabda sesungguhnya allah senantiasa bersama dengan hakim/qodi sepanjang dia tidak menyeleweng. Kalau dia sudah menyeleweng maka allah akan menjauh darinya, dan syetan menjadi temannya.

Selain islam mengajarkan pentingnya prinsip keadilan dalam sebuah kepemimpinan, islam juga  menekankan pentingnya kepemimpinan yang bersih. Secara substansial, keduanya memang tidak ada perbedaan yang berarti, bahkan bila seorang pemimpin sudah berbuat adil, maka bisa dikatakan kepemimpinannya sudah bersih. Karena keadilan merupakan forndasi dan perilaku bersih adalah dindingnya. Jadi meski fondasinya kuat namun bila tidak ditopang oleh dinding yang juga kuat, maka bangunagan itu mudah roboh oleh “goyangan-goyangan” dari pihak luar. Oleh sebab itu, yang satu tidak bisa mengabaikan yang lain, bahkan harus saling menopang antara keduanya.
lantas bagaimana yang dimaksud dengan kepemimpinan yang bersih di dalam hadis ini? Yang dimaksud kepemimpinan yang besih adalah sebuah sistem kepemimpinan yang tidak “dinodai” oleh perilaku-perilaku menyeleweng dari pemimpinanya. Wujud konkrit dari perilaku menyeleweng ini adalah seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, pemimpin juga dituntut harus menjaga “kebersihan” moralnya. Sehingga yang dimaksud bersih kemudian bukan saja menyangkut perilaku sosial melainkan juga perilaku individual.
sedangkan dalam konteks kepemimpinan politik kontemporer, kita mengenal istilah yang disebut “clean and good governance”. Istilah ini sebenarnya mengandung konsep dasar bahwa sebuah kepemimpinan itu harus baik dan bersih, terutama bersih dari korupsi dan modus-modus penyelewengan yang lain. Sehingga untuk mencapai sebuah kepemimpinan seperti itu diperlukan kesetaraan peran antara negara (pemerintah), pasar dan rakyat yang salah satu di antara ketiganya tidak boleh ada yang mendominasi. Karena bila peran negara terlalu kuat atau dominan maka akan menimbulakn hegemoni dan cenderung totaliter, sedangkan bila peran pasar (swasta) yang terlalu dominan, maka semua kehidupan rakyat akan diatur dengan modal atau pemilki modal. Bila seseorang tidak punya modal, maka dia tidak punya posisi tawar yang kuat. Sementara bila kedua instutusi di atas terlalu lemah, dan rakyat begitu kuatnya, maka chaos atau kekacauan yang akan menghantui sebuah negara. Oleh sebab itu, kembali pada hadis di atas, bahwa tindakatan kotor seperti penyelewengan kekuasaan adalah tindakan yang sangat dikutuk dalam islam. Dan sebaliknya, pemerintahan yang baik dan bersih justru sangat ditekankan dan dijamin pasti akan dilindungi oleh allah.swt.
Hadis ke 34
Pemimpin harus peka terhadap Kebutuhan rakyat
قَال عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ لِمُعَاوِيَةَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ إِمَامٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ خَلَّتِهِ وَحَاجَتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ
Setiap pemimpin yang menutup pintunya terhadap orang yang memiliki hajat, pengaduan, dan kemiskinan maka allah akan menutup pintu langit terhadap segala pengaduan, hajat dan kemiskinannya.

Kepemimpinan bukan saja menuntut kecerdasan otak dan kekuatan otot, melainkan juga harus ditunjang oleh rasa sensifitas yang tinggi terhadap persoalan-persoalan menyangkut rakyatnya. Sehingga apapun persoalan yang menimpa rakyatnya, maka pemimpin harus peka dan segera mencarikan solusinya. Di sinilah sebenarnya tugas pokok seorang pemimpin; yaitu mendengar keluh kesah rakyat untuk kemudian mencarikan jalan keluarnya.
Karena itulah, islam (melalui hadis di atas) memerintahkan seorang pemimpin untuk membuka pintu terhadap segala keluh kesah rakyatnya. Tentunya, yang dimaksud pintu disini bukan semata-mata berarti pintu rumah ataupun pintu istana, melainkan lebih dari itu yang sangat ditekankan adalah pintu hati atau nurani seorang pemimpin. Karena meski seorang pemimpin tinggal di istana megah dan berpagarkan besi dan baja, bila pintu hatinya terbuka untuk kepentingan rakayat, maka allah juga akan membukkaan “pintu hati-nya” untuk mendengar keluh kesah sang pemimpin itu.
Hadis ke 35
Pemimpin dilarang mengambil keputusan dalam keadaan emosional
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ كَتَبَ أَبِي إِلَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ وَهُوَ قَاضٍ أَنْ لَا تَحْكُمْ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَأَنْتَ غَضْبَانُ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحْكُمْ الْحَاكِمُ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَأَبُو بَكْرَةَ اسْمُهُ نُفَيْعٌ

Janganlah seorang pemimpin (hakim) itu menghukumi antara dua orang yang berseteru dalam keadaan marah (emosional)

Keputusan seorang presiden adalah dasar dari kebijakan sebuah negara. Begitu juga keputusan seorang pimpinan dalam sebuah organisasi adalah acuan dalam menjalankan roda organisasi. Oleh sebab itu, dalam mengambil keputusan atau mengeluarkan kebijakan, seorang pemimpin sebaiknya tidak sedang dalam keadaan “panas”, marah, atau emosional. Hal ini bukan saja ditentang oleh hadis nabi s.a.w melainkan juga dikutuk oleh teori manajemen organisasi. Dalam teori manajemen organisasi dijelaskan bahwa seseorang tidak boleh mengeluarkan atau membuat keputusan dalam keadaan marah atau emosi yang tidak stabil. Bila dipaksakan, maka keputusan itu dihasilakan dari sebuah proses yang kurang matang dan terburu-buru sehingga dampaknya akan sangat merugikan terhadap pelaksana keputusan tersebut.
Meski di dalam hadis ini yang disebutkan adalah hakim, namun secara substansial kita sepakat bahwa dalam keadaan emosi labil, siapapun orangnya, baik hakim, pemimpin, maupun orang awam sekalipun, sebaiknya tidak perlu mengambil keputusan. Banyangkan bila kita sedang bertengkar dengan istri di rumah misalkan, tetapi setelah di tiba di kantor kita disuguhi sebuah persoalan yang harus diputuskan, maka bisa jadi sisa-sisa emosional kita di rumah, secara sadar atau tidak, akan ikut terbawa hingga ke kantor dan mempengaruhi kita dalam memutuskan sebuah perkara. Oleh sebab itu, bila kita hendak mengambil keputusan maka terlebih dahulu kita harus mendinginkan suasana dan menengkan pikiran sehingga semua pertimbangan bisa kita akomodir secara seimbang dan matang.

Hadis ke 36
Hukuman bagi pemimpin yang suka money politic
Rasul s.a.w  melaknat orang yang menyuap dan disuap

Hadis ini sungguh sangat relevan untuk konteks indoensia saat ini, di mana dalam setiap unsur birokrasi kita hampir dipastikan tidak bisa lepas dari yang namanya “suap”. Mulai dari ngurus ktp di tingkat rt, hingga ngurus tender proyek infrastruktur di tingkat presiden, mulai dari pemilihan ketua rt hinhha pemilihan presiden. Semuanya tidak steril dari praktik suap-menyuap. Entah dari mana asal muasalnya, yang jelas praktik suap ini sudah diperingatkan oleh rasul. Itu artinya, sejak kepemimpinan rasul s.a.w, pratik suap ini sudah terjadi, dan rasul turun untuk memerangi pratik kotor ini.
Bila kita memaknai ancaman “laknat” bagi penyuap dan yang disuap sebagaiman hadis di atas, maka sebenarnya  ancaman itu menunjukkan sebuah ancaman yang cukup berat. Karena bahasa laknat biasanya bukan hanya berarti hukuman tuhan di akhirat, melainkan juga terjadi di dunia. Kita lihat misalkan dalam kasus kaum sodom yang dilaknat tuhan dengan berbagai penyakit yang menyakitkan dan mematikan, demikian pula setelah di akhirat nanti mereka juga akan kembali dilaknat dengan lebih kejam. Oleh sebab itu, allah tidak akan bermain-main dengan praktik kotor yang menjijikkan ini.
Namun anehnya, banyak di antara orang yang tidak sadar kalau dirinya sudah disuap. Fenomena ini banyak kita temui ketika menjelang pemilu, misalkan seorang kiai/ulama pemimpin pesantren yang diberi (biasanya pakai bahasa disumbang) sejumlah dana oleh partai politik tertentu agar pesantrennya mau mendukung parpol yang bersangkutan. Sang kia sering tidak sadar (atau berpura-pura tidak sadar) bahwa dana sumbangan itu bisa dikategorikan, yang dalam bahasa politiknya, sebagai money politic. Memang praktik “sumbangan politik” ini tidak terlalu kentara sebagai suap, namun bila sebuah sumbangan itu dilandasi oleh kepentingan tetentu dan tuntutan tertentu, maka ia layak disebut suap. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana bila sumbangan dana itu tidak disertai tuntutan ? Memang dalam setiap sumbangan, terutama menjelang pemilu, kepentingan dan tuntutannya tidak mungkin dikatakan secara harfiyah atau gamblang. Bahkan bisa jadi seorang politisi pemberi sumbangan itu tidak langsung mneyebutkan kepentingannya dalam menyumbang. Akan tetapi, bila sumbangan itu turun sementara situasi saat itu adalah pemilu, maka sudah bisa dipastikan bahwa sumbangan itu adalah money politic. Oleh sebab itu, untuk menjaga kesyubhatan sebuah sumbangan, sebaiknya kita perlu melacak dulu asbabul wurudnya.

Hadis ke 37
Masa kepemimpinan maksimal dua periode
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْمُخَرَّمِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا عِمْرَانُ الْقَطَّانُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَخْلَفَ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ عَلَى الْمَدِينَةِ مَرَّتَيْنِ

Rasul s.a.w menunjuk ibnu maktum sebagai penggantinya di kota madinah sebanyak dua kali. (hr abu dawud)

Islam memang benar-benar telah menebarakan benih-benih demokrasi. Betapa tidak, jauh sebelum istilah demokrasi itu sendiri muncul, yaitu pada masa rasul s.a.w, islam sudah membatasi masa kepemimpinan seseorang. Dan persis dalam konsep demokrasi modern, masa kepemimpinan dalam islam juga dibatasi selama dua periode. Namun terlepasa konsep itu bersumber dari islam atau demokrasi modern, namun yang perlu kita gali adalah pesan moral  dari hadis di atas. Pesan moral dari hadis ini adalah bahwa bila kekuasaan itu terlalu lama dipegang oleh seseorang maka akan berpotensi untuk menimbulkan penyalahgunaan. Sebagaimana slogan dalam politik modern yang berbunyi; “power absoluty tends to corrup absoluty”, kekuasaan mutlak berpotensi melahirkan penyalahgunaan mutlak. Karena bila seorang pemimpin terlalu lama memimpin, seperti soeharto selama 32 tahun, maka akibatnya bisa kita lihat sendiri; kongkalikong, nepotisme, semua kerabat dekatnya dijadikan menteri, korupsi, dan bahkan bisa menjadi “tuhan” yang mampu memaksa rakyatnya untuk menuruti perintahnya. Padahal tuhan sendiri tidak pernah memaksa. Oleh sebab itu, dalam setiap jenjang kepemimpinan, sebaiknya, bahkan mungkin seharusnya, perlu dibatasi  masa kepemimpinannya. Tidak adanya batasan waktu dalam sebuah sistem kepemimpinan hanya akan menimbulkan kekuasaan yang menyerupai tuhan selaku maha tak terbatas.

Hadis ke 38
Wajib berkata benar kepada pemimpin Meski terasa pahit
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أُنَاسٌ لِابْنِ عُمَرَ إِنَّا نَدْخُلُ عَلَى سُلْطَانِنَا فَنَقُولُ لَهُمْ خِلَافَ مَا نَتَكَلَّمُ إِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِهِمْ قَالَ كُنَّا نَعُدُّهَا نِفَاقًا

Ada serombongan orang yang berkata kepada ibnu umar; kalau kami bertemu dengan para pemimpin kami maka kami pasti mengatakan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang kami katakan bila tidak bertemu dengan mereka (pemimpin). Ibnu umar berkata: hal itu kami anggap sebagai sebuah sikap munafik. (hr. Bukhori)

Ada satu tradisi buruk yang sering kita lakukan ketika kita menghadap pimpinan, yaitu, selalu mengatakan yang baik-baik, yang senang-senang, dan yang sukses-sukses. Tradisi ini bukan saja dilakukan oleh para menteri ketika menghadap presiden, melainkan tidak jarang juga dilakukan oleh rakyat biasa. Jelas, kalu menteri melakukan tradisi buruk itu dengan tujuan menjilat dan mengharap pujian dari sang pemimpin (presiden). Tapi yang tidak bisa kita fahami  ternyata tidak sedikit rakyat biasa juga melakukan praktik buruk tersebut. Memang, bila rakyat biasa tidak separah sebagaiman dilakukan menteri, akan tetapi sebuah sikap berdiam diri ketika berhadapan dengan pemimpin adalah sebuah sikap yang oleh hadis di atas bisa dikategorikan sebagai “munafik”. Padahal, bila kita bertemu pemimpin kita, misalkan kita mendapat kesempatan bertemu langsung dengan presiden kita, maka harus kita manfaatkan waktu pertemuan itu untuk mnegatakan yang sebenarnya tentang situasi atau kehidupan rakyat yang dipimpinnya. Di hadapan pemimpin itulah justru sebuah kesempatan untuk mengatakan bahwa, misalnya, rakyat sedang kekuranagn pangan, rakyat butuh pendidikan gratis, rakyat butuh harga murah, dsb. Bila pemimpin yang bersangkutan marah dan mengancaman sikap tegas kita, maka kita jangan sekali-kali mundur, karena itu adalah kenyataan yang sebenarnya. Dan membohongi kenyataan adalah sama dosanya dengan berbuat munafik. Oleh sebab itu, hadis ini sangat relevan dengan situasi indoensia saat ini yang banyak diwarnai oleh sikap kepura-puraan dalam berperilaku dan berkomunikasi dengan pimpinan.
.
Hadis ke 39
Sikap dengki pemimpin sangat membahayakan

Muadz berkata: rasul s.a.w mengutusku pergi ke yaman. Ketika aku berangkat kemudian rasul menyuruh orang untuk memanggilku pulang kembali. Kemudian beliau berkata: tahukah engkau kenapa aku memanggilmu kembali ? Yaitu agar engkau tidak terjerumus pada sesuatu yang tidak aku perbolehkan, yakni sifat dengki, karena siapa yang dengki, maka kedengkiannya itu akan datang kepadanya hari kiamat. Dengan maksud itulah aku memanggilmu, ingat itu…! Sekarang kembalilah kamu ke wilayah kekuasaanmu.

Hadis ini turun ketika rasul s.a.w telah mengutus mu’adz bin jabal untuk menjadi gubernur di negeri yaman. Sebagaimana diceritakan dalam hadis di atas, bahwa kepentingan rasul untuk sejenak memanggil pulang kembali mu’adz adalah untuk menasehati dia agar menghindari sikap dengki, karena sikap itu akan menjerumuskan dia ke jurang kesesatan. Mungkin kita tidak pernah berfikir bahwa sikap dengki itu cukup berbahaya. Padahal dari sikap yang seolah remeh tersebut, bisa melahirkan sebuah sikap yang dampaknya jauh lebih berbahaya dari sekedar dengki, terutama bila dikaitkan dengan masalah kepemimpinan.
Bila seorang pemimpin selalu dihinggapi rasa dengki, maka jangan harap kepemimpinannya akan sukses. Namun tentu yang dimaksud dengki di sini bukan sekedar bermakna iri hati atau cemburu, akan tetapi sebuah sikap ketidak puasan seotang pemimpin atas kekuasaan yang dipegangnya. Padahal, seorang pemimpin sudah diberi “kekuasaan”, diberi fasilitas, di beri kehormatan, namun tidak sedikit masih banyak pemimpin yang merasa kurang dan kurang lagi atas jabatan, kehormatan, status, harta, dan kakuasaan. Bila seorang pemimpin tidak mampu menahan nafsu semacam ini, maka jangan harap kepemimpinanya serta rakyat yang dipimpinnya akan hidup dengan sejahtera. Oleh sebab itu, meski rasa dengki adalah masalah biasa , namun dampak negatifnya menjadi luar biasa.


















 KONSEP KEPEMIMPINAN ISLAM
Study Normatif, Komparatif dan Historis
Oleh: Mahmud Sutarwan Waffa
I. Pendahuluan
Konsep kepemimpinan dalam Islam sebenarnya memiliki dasar-dasar yang sangat kuat dan kokoh. Ia dibangun tidak saja oleh nilai-nilai transendental, namun telah dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu oleh nabi Muhammad SAW, para Shahabat dan Al-Khulafa’ Al-Rosyidin. Pijakan kuat yang bersumber dari Al-qur’an dan Assunnah serta dengan bukti empiriknya telah menempatkan konsep kepemimpinan Islam sebagai salah satu model kepemimpinan yang diakui dan dikagumi oleh dunia internasional.
Namun dalam perkembangannya, aplikasi kepemimpinan Islam saat ini terlihat semakin jauh dari harapan masyarakat. Para tokohnya terlihat dengan mudah kehilangan kendali atas terjadinya siklus konflik yang terus terjadi. Harapan masyarakat (baca: umat) akan munculnya seorang tokoh muslim yang mampu dan bisa diterima oleh semua lapisan  dalam mewujudkan Negara yang terhormat, kuat dan sejahtera nampaknya masih harus melalui jalan yang panjang.
II. Tinjauan Umum Mengenai Kepemimpinan
Secara etimologi kepemimpinan berarti Khilafah, Imamah, Imaroh, yang mempunyai makna daya memimpin atau kualitas seorang pemimpin atau tindakan dalam memimpin.  Sedangkan secara terminologinya  adalah suatu kemampuan untuk mengajak orang lain agar mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kepemimpinan adalah upaya untuk mentransformasi-kan semua potensi yang terpendam menjadi kenyataan. Tugas dan tanggungjawab seorang pemimpin adalah menggerakkan dan mengarahkan, menuntun, memberi mutivasi serta mendorong orang yang dipimpin untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan. Sedangkan tugas dan tanggungjawab yang dipimpin adalah mengambil peran aktif dalam mensukseskan pekerjaan yang dibebankannya. tanpa adanya kesatuan komando yang didasarkan atas satu perencanaan  dan kebijakan yang jelas, maka rasanya sulit diharapkan tujuan yang telah ditetapkan akan tercapai dengan baik. Bahkan sebaliknya, yang terjadi adalah kekacauan dalam pekerjaan. Inilah arti penting komitmen dan kesadaran bersama untuk mentaati pemimpin dan peraturan yang telah ditetapkan.
III. Kepemimpinan dalam Islam
III. a. Hakekat Kepemimpinan
Dalam pandangan Islam, kepemimpinan merupakan amanah dan tanggungjawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota yang dipimpinnya, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Jadi, pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak hanya bersifat horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat vertical-moral, yakni tanggungjawab kepada Allah Swt di akhirat nanti. Seorang pemimpin akan dianggap lolos dari tanggungjawab formal di hadapan orang-orang yang dipimpinnya, tetapi belum tentu lolos ketika ia bertanggungjawab di hadapan Allah Swt. Kepemimpinan sebenarnya bukan sesuatu yang mesti menyenangkan, tetapi merupakan tanggungjawab sekaligus amanah yang amat berat yang harus diemban dengan sebaik-baiknya. Allah Swt berfirman:
“Dan orang-orang yang memelihara amanah (yang diembankannya) dan janji mereka, dan orang-orang yang memelihara sholatnya, mereka itulah yang akan mewarisi surga firdaus, mereka akan kekal di dalamnya” (QS.Al Mukminun 8-9)
Seorang pemimpin harus bersifat amanah, sebab ia akan diserahi tanggungjawab. Jika pemimpin tidak mempunyai sifat amanah, tentu yang terjadi adalah penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk hal-hal yang tidak baik. Itulah mengapa nabi Muhammad SAW juga mengingatkan agar menjaga amanah kepemimpinan, sebab hal itu akan dipertanggungjawabkan, baik didunia maupun diakhirat. Nabi bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (HR. Bukhori) Nabi Muhammad Saw juga  bersabda: “Apabila amanah disia-siakan maka tunggulah saat kehancuran. Waktu itu ada seorang shahabat bertanya: apa indikasi menyia-nyiakan amanah itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya” (HR. Bukhori)
Oleh karenanya, kepemimpinan mestinya tidak dilihat sebagai fasilitas untuk menguasai, tetapi dimaknai sebagai sebuah pengorbanan dan amanah yang harus diemban dengan sebaik-baiknya. Kepemimpinan juga bukan kesewenang-wenangan untuk bertindak, tetapi kewenangan untuk melayani dan mengayomi dan berbuat dengan seadil-adilnya. kepemimpinan adalah sebuah keteladanan dan kepeloporan dalam bertindak. Kepemimpinan semacam ini akan muncul jika dilandasi dengan semangat amanah, keikhlasan dan nilai-nilai keadilan.
III. b. Hukum dan Tujuan Menegakkan Kepemimpinan
Pemimpin yang ideal merupakan dambaan bagi setiap orang,  sebab pemimpin itulah yang akan membawa maju-mundurnya suatu organisasi, lembaga, Negara dan bangsa. Oleh karenanya, pemimpin mutlak dibutuhkan demi tercapainya kemaslahatan umat. Tidaklah mengherankan jika ada seorang pemimpin yang kurang mampu, kurang ideal misalnya cacat mental dan fisik, maka cenderung akan mengundang kontroversi, apakah tetap akan dipertahankan atau di non aktifkan.
Imam Al-mawardi dalam Al-ahkam Al sulthoniyah  menyinggung mengenai hukum dan tujuan menegakkan kepemimpinan. beliau mengatakan bahwa menegakkan  kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah sebuah keharusan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa keberadaan pemimpin (imamah) sangat penting, artinya, antara lain karena imamah mempunyai dua tujuan: pertama: Likhilafati an-Nubuwwah fi-Harosati ad-Din, yakni sebagai pengganti misi kenabian untuk menjaga agama.  Dan kedua: Wa sissati ad-Dunnya, untuk memimpin atau mengatur urusan dunia. Dengan kata lain bahwa tujuan suatu kepemimpinan adalah untuk menciptakan rasa aman, keadilan, kemasylahatan, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mengayomi rakyat, mengatur dan menyelesaikan problem-problem yang dihadapi masyarakat.
Dari sinilah para ulama’ berpendapat bahwa menegakkan suatu kepemimpinan (Imamah) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah suatu keniscayaan (kewajiban). Sebab imamah merupakan syarat bagi terciptanya suatu masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan serta terhindar dari kehancuran dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, tampilnya seorang pemimpin yang ideal yang menjadi harapan komponen masyarakat menjadi sangat urgen.
III. c. Kriteria Pemimpin yang Ideal dalam Islam
Imam Al Mawardi dalam Al-ahkam Al sulthoniyyah-Nya memberikan beberapa kriteria seorang pemimpin yang ideal agar tampilnya pemimpin tersebut dapat mengantarkan suatu Negara yang adil dan sejahtera seperti yang diharapkan.
-          Seorang pemimpin harus mempunyai sifat adil (‘adalah)
-          Memiliki pengetahuan untuk memanage persoalan-persoalan yang ada kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
-          Sehat panca indranya seperti pendengaran, penglihatan dan lisannya. Sehingga seorang pemimpin bisa secara langsung mengetahui persoalan-persoalan secara langsung bukan dari informasi atau laporan orang lain yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
-          Sehat anggota badan dari kekurangan. Sehingga memungkinkan seorang pemimpin untuk bergerak lebih lincah dan cepat dalam menghadapi berbagai persoalan ditengah-tengah masyarakat.
-          Seorang pemimpin harus mempunyai misi dan visi yang jelas. bagaimana memimpin dan memanage suatu Negara secara berstruktur, sehingga ada perioritas tertentu, mana yang perlu ditangani terlebih dahulu dan mana yang dapat ditunda sementara.
-          Seorang pemimpin harus mempunyai keberanian dan kekuatan. Dalam hal ini seorang pemimpin  harus mempunyai keberanian dan kekuatan dalam menegakkan hukum dan keadilan.
-          Harus keturunan Quraisy. Namun menurut pandangan Ibnu Khaldun dalam Muqoddimah-Nya bahwa, hadits “Al Aimmatu min Quraisyin” (HR. Ahmad dari Anas bin Malik) tersebut dapat dipahami secara konstektual, bahwa hak pemimpin itu bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi Muhammad Saw orang yang memenuhi persyaratan sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat adalah dari kaum Quraisy. Oleh karena itu, apabila pada suatu saat ada orang yang bukan dari Quraisy tapi punya kemampuan dan kewibawaan, maka ia dapat diangkat sebagai pemimpin termasuk kepala Negara.
IV. Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Islam
Sebagai  agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Islam memberikan prinsip-prinsip dasar dan tata nilai dalam mengelola organisasi atau pemerintahan. Al-qur’an dan As-sunnah dalam permasalahan ini telah mengisyaratkan beberapa prinsip pokok dan tata nilai yang berkaitan dengan kepemimpinan, kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, bernegara (baca: berpolitik) termasuk di dalamnya ada system pemerintahan yang nota-benenya merupakan kontrak sosial. Prinsip-prinsip atau nilai-nilai tersebut antara lain: prinsip Tauhid, As-syura (bermusyawarah) Al-’adalah (berkeadilan) Hurriyah Ma’a Mas’uliyah (kebebasan disertai tanggungjawab) Kepastian Hukum, Jaminan Haq al Ibad (HAM) dan lain sebagainya.
IV. 1. Prinsip Tauhid
Prinsip tauhid merupakan salah satu prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam (baca: pemerintahan Islam). Sebab perbedaan akidah yang fundamental dapat menjadi pemicu dan pemacu kekacauan suatu umat. oleh sebab itu, Islam mengajak ke arah satu kesatuan akidah di atas dasar yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat, yaitu tauhid. Dalam alqur’an sendiri dapat ditemukan dalam surat An-nisa’ 48, Ali imron 64 dan surat al Ikhlas.
  1. IV.  2. Prinsip Musyawarah (Syuro)
Musyawarah berarti mempunyai makna mengeluarkan atau mengajukan pendapat. Dalam menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat, paling tidak mempunyai tiga cara: 1. keputusan yang ditetapkan oleh penguasa. 2. kepeutusan yang ditetapkan pandangan minoritas.  3. keputusan yang ditetapkan oleh pandangan mayoritas, ini menjadi ciri umum dari demokrasi, meski perlu diketahui bahwa “demokrasi tidak identik dengan syuro” walaupun syuro dalam Islam membenarkan keputusan pendapat mayoritas, hal itu tidak bersifat mutlak. Sebab keputusan pendapat mayoritas tidak boleh menindas keputusan minoritas, melainkan tetap harus memberikan ruang gerak bagi mereka yang minoritas. Lebih dari itu, dalam Islam suara mayoritas tidak boleh berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Dalam Al-quran ada beberapa ayat yang berbicara tentang musyawarah. Pertama: musyawarah dalam konteks pengambilan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak. Hal ini sebagaimana terdapat pada surat al-Baqarah ayat 233. “apabila suami-istri ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan musyawarah antar mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya” Kedua: musyawarah dalam konteks membicarakan persoalan-persoalan tertentu dengan anggota masyarakat, termasuk di dalamnya dalam hal berorganisasi. Hal ini sebagaimana terdapat pada surat Ali-imron ayat 158. “bermusyawarahlah kamu (Muhammad) dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakkalah kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt mencintai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.  meskipun terdapat beberapa Al-qur’an dan As-sunnah yang menerangkan tentang musyawarah. Hal ini bukan berarti al-Qur’an telah menggambarkan system pemerintahan secara tegas dan rinci , nampaknya hal ini memang disengaja oleh Allah untuk memberikan kebebasan sekaligus medan kreatifitas berfikir hambanya untuk berijtihad menemukan sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisi sosial-kultural. Sangat mungkin ini salah satu sikap demokratis tuhan terhadap hamba-hambanya.
IV. 3. Prinsip Keadilan (Al-’adalah)
Dalam memanage pemerintahan, keadilan menjadi suatau keniscayaan, sebab pemerintah dibentuk antara lain agar tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Tidaklah berlebihan kiranya jika al- Mawardi dalam Al-ahkam Al-sulthoniyahnya memasukkan syarat yang pertama seorang pemimpin negara adalah punya sifat adil. Dalam al-Qur’an, kata al-’Adl dalam berbagai bentuknya terulang dua puluh delapan kali. Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh ulama.  pertama: adil dalam arti sama. Artinya tidak menbeda-mbedakan satu sama lain.  Persamaan yang dimaksud adalah persamaan hak. Ini dilakukan dalam memutuskan hukum. Sebagaimana dalam al qur’an surat an-Nisa’ 58. “Apabila kamu memutuskan suatu perkara di antara manusia maka hendaklah engkau memutuskan dengan adil”. Kedua: adil dalam arti seimbang. Di sini keadilan identik dengan kesesuaian. Dalam hal  ini kesesuaian dan keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar yang besar dan kecilnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Ini sesuai dengan al-Qur’an dalam surat al infithar 6-7 dan al Mulk 3. ketiga: adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada pemiliknya. Keempat: keadilan yang dinisbatkan kepada Allah Swt. Adil di sini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi. Dalam hal ini Allah memiliki hak atas semuanya yang ada sedangkan semua yang ada, tidak memiliki sesuatau di sisinya. Jadi, system pemerintahan Islam yang ideal adalah system yang mencerminkan keadilan yang meliputi persamaan hak di depan umum, keseimbangan (keproposionalan) dalam memanage kekayaan alam misalnya, distribusi pembangunan, adanya balancing power antara pihak pemerintah dengan rakyatnya.
IV. 4. Prinsip Kebebasan (al-Hurriyah)
Kebebasan dalam pandangan al-Qur’an sangat dijunjung tinggi termasuk dalam menentukan pilihan agama sekaligus. Namun demikian, kebebasan yang dituntut oleh Islam adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan di sini juga kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dalam konteks kehidupan politik, setiap individu dan bangsa mempunyai hak yang tak terpisahkan dari kebebasan dalam segala bentuk fisik, budaya, ekonomi dan politik serta berjuang dengan segala cara asal konstitusional untuk melawan atas semua bentuk pelanggaran.
V. Demokrasi dalam Perspektif Islam
Secara historis, demokrasi muncul sebagai respon terhadap system monarchi diktator Yunani pada abad 5 M. pada waktu demokrasi ditetapkan dalam bentuk systemnya di mana semua rakyat (selain wanita, anak dan budak) menjadi pembuat undang-undang. Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilai-nilai universal Islam. Seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan keadilan. Akan tetapi dalam dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari problematika. Sebagai contoh adalah ketika nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan hasil ijtihad para ulama’. Contoh  kecil adalah kasus tentang orang yang pindah agama dari Islam (baca: murtad). Menurut pandangan Islam berdasarkan hadits: “Man baddala dinahu faqtuluhu” mereka disuruh taubat dahulu, jika mereka tidak mau maka dia boleh dibunuh atau diperangi. Dalam system demokrasi hal ini tidak boleh terjadi, sebab membunuh berarti melanggar kebebasan mereka dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Kemudian dalam demokrasi ada prinsip kesamaan antara warga Negara. Namun dalam Islam ada beberapa hal yang sangat tegas disebut dalam al-Qur’an bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya tentang poligame. (QS. An-nisa’ 33) tentang hukum waris (QS. An-nisa’ 11) tentang kesaksian (QS. Al-baqarah 282). Di samping itu, demokrasi sangat menghargai toleransi dalam kehidupan sosial, termasuk dalam ma’siat sekalipun. Seperti pacaran perzinaan. Sedangkan dalam Islam hal ini jelas-jelas dilarang dalam Al-qur’an. Demikian juga dalam Islam dibedakan antara hak dan kewajiban kafir dzimmi dengan yang muslim. Hali ini dalam demokrasi tidak boleh terjadi, sebab tidak lagi menjunjung nilai persamaan. Melihat adanya problem di atas, berarti tidak semuanya demokrasi kompatibel dengan ajaran Islam. dalam dataran prinsip, ide-ide demokrasi ada yang sesuai dan selaras dengan Islam, namun pada tingkat implementatif  sering kali nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan ajaran Islam dalam al-Qur’an, Assunnah dan ijtihad para ulama’
VI. Kepemimpinan Rasulullah SAW
 Kepemimpinan  Rasulullah Saw tidak bisa terlepas dari kehadiran beliau yaitu sebagai pemimpin spiritual dan pemimpin rakyat. Prinsip dasar dari kepemimpinan beliau adalah keteladanan. Dalam memimpin beliau lebih mengutamakan Uswah Al- hasanah pemberian contoh kepada para shahabatnya. Sebagaimana digambarkan dalam Al-qur’an:  ” Dan sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar berada dalam akhlaq yang sangat agung” (QS. Al-qolam 4).  Keteladanan  Rasulullah Saw  antara lain tercermin dalam sifat-sifat beliau, Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathonah. Inilah karakteristik kepemimpinan Rasulullah Saw:
  1. 1.            Shiddiq, artinya jujur, tulus. Kejujuran dan ketulusan adalah kunci utama untuk membangun sebuah kepercayaan. Dapat dibayangkan jika pemimpin sebuah organisasi, masyarakat atau Negara, tidak mempuyai kejujuran tentu orang-orang yang dipimpin (baca: masyarakat) tidak akan punya kepercayaan, jika demikian yang terjadi adalah krisis kepercayaan.
  2. 2.            Amanah, artinya dapat dipercaya. Amanah dalam pandangan Islam ada dua yaitu: bersifat teosentris yaitu tanggungjawab kepada Allah Swt, dan bersifat antroposentris yaitu yang terkait dengan kontak sosial kemanusiaan.
  3. 3.            Tabligh, artinya menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan. Dalam hal ini adalah risalah Allah Swt. Betapapun beratnya resiko yang akan dihadapi, risalah tersebut harus tetap disampaikan dengan sebaik-baiknya.
  4. 4.            Fathonah, artinya cerdas. Kecerdasan Rasulullah Saw yang dibingkai dengan kebijakan mampu menarik simpati masyarakat arab. dengan sifat Fathonahnya, rmampu memanage konflik dan problem-problem yang dihadapi ummat pada waktu itu. Suku Aus dan Khazraj yang tadinya suka berperang, dengan bimbingan Rasulullah Saw mereka akhirnya menjadi kaum yang dapat hidup rukun.
Dalam kepemimpinannya, Rasulullah Saw juga menggunakan pendekatan persuasif dan tidak menggunakan dengan kekerasan atau represif.  Hal ini antara lain tampak dalam sikap nabi ketika mengahadapi seorang badui yang baru masuk Islam yang belum mau meninggalkan kebiasaan jeleknya. Juga beliau dalam kepimpinannya menerapkan gaya inklusif indikasinya beliau mau dikritik dan diberi saran oleh para shahabatnya. Ini tampak ketika beliau memimpin perang badar. Beliau pada waktu itu hendak menempatkan pasukannya pada posisi tertentu ekat dengan mata air. Seorang shahabat anshor bernama Hubab bin Mundhir bertanya: ya Rasulullah, apakah keputusan itu berdasarkan wahyu, Sehingga tidak dapat berubah atau hanya pendapat engkau?  Beliau menjawab ini adalah ijtihadku. Kata Hubab, wahai utusan Allah, ini kurang tepat, Shahabat tersebut lalu mengusulkan agar beliau menempatkan pasukannya lebih maju ke depan, yakni kemata air yang lebih dekat, kita bawa tempat air lalu kita isi, kemudian mata air itu kita tutup dengan pasir, agar musuh kita tidak bisa memperoleh air. Akhirnya beliau mengikuti saran shahabat tersebut.
VII. Kepemimpinan Al-Khulafa’ Al Rasyidin
Sepeninggal Nabi, kepemimpinan umat Islam digantikan oleh para penggantinya yang dikenal dengan Al-Khulafa’ Al Rasyidin. Masa Al-Khulafa’ Al Rasyidin dapat dipetakan menjadi empat, yaitu: Abu Bakar Assiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. System pergantian kepemimpinan dari masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda. Sebab Rasulullah Saw tidak pernah berwasiat tentang sistem pergantian kepemimpinan. Alqur’an juga tidak memberi petunjuk secara jelas bagaimana system suksesi kepemimpinan dilakukan, kecuali hanya prinsip-prinsip umum, yaitu agar umat Islam menentukan urusannya  melalui musyawarah. Nampaknya hal itu disengaja diserahkan kepada ummat Islam agar sesuai dengan tuntutan kemaslahatan yang ada.
Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai Khalifah pertama setelah meninggalnya Rasulullah Saw (11-13 H atau 632-634 M) terpilih sebagai khalifah melalui musyawarah terbuka dibalai pertemuan Bani Saidah yang dihadiri oleh lima tokoh perwakilan dari golongan umat Islam, anshor dan  muhajirin. Yaitu, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah, Basyir bin Sa’ad dan Asid bin Khudair. Inilah salah satu embrio demokrasi dalam sejarah kepemimpinan Islam. setelah berakhirnya masa kepemimpinan Abu Bakar selama kurang lebih dua tahun, terpilihlah Umar bin Khattab (12-23H atau 634-644 M), namun terpilihnya Umar bin Khattab menjadi khalifah ini atas wasiat Abu Bakar sebelum meninggal dunia. Ini beliau lakukan, karena beliau khawatir dan trauma adanya perselisihan di antara umat Islam, sebagaimana yang terjadi sepeninggal Rasulullah Saw. Sepeninggal Umar bin Khattab, maka estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh Usman bin Affan  (23-35 H atau 644-654 M). namun system pengangkatan Usman ini berbeda dengan system pada masa Abu Bakar dan Umar. Usman diangkat menjadi khalifah melalui “dewan formatur” yang terdiri dari lima orang yang ditunjuk oleh Umar sebelum beliau meninggal dunia. Yaitu, Ali bin Abi Tholib, Usman bin Affan, Saad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam, Abdurrohman bin Auf dan Thalhah bin Ubaidillah. Setelah Usman bin Affan menyelesaikan tugas kepemimpinannya, maka tongkat komando kepemimpinan Islam dipegang oleh Ali bin Abi Tholib melalui pemilihan dan pertemuan terbuka.
VIII. Penutup
Pemerintah Negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Namun kenyataanya, kekuatan kapitalisme global dengan bebas mengeruk kekayaan alam Indonesia, membiarkan rakyatnya termiskinkan, sehingga jurang antara kaya dan miskin menganga. Dan mayoritas rakyatnya tetap dalam penderitaan. dengan merasakan penderitaan rakyat, menyimak peringatan Allah Swt, merenungkan sinyalemen Rasulullah Saw, dan menyaksikan musibah yang silih berganti, maka tidak ada pilihan lagi selain menjadikan tuntunan Allah Swt  yang maha kuasa (baca: Syari’at Allah) sebagai pedoman dalam mengelola bangsa dan Negara kesatuan republik Indonesia, dan satu-satunya solusi terhadap masalah bangsa.
Indonesia yang mayoritas penduduknya umat Islam selalu mendambakan tampilnya kepemimpinan Islam di dalam setiap level kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diharapkan mampu untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam dan menjalankan  system pemerintahan berdasarkan syari’at Islam secara kaffah, bukan dengan system demokrasi yang identik dengan kekufuran. Juga untuk menjaga kemurnian ajaran ahlussunnah wal jama’ah versi wali-songo sekaligus untuk mengamandemen undang-undang yang bertentangan dengan syari’at Islam, diganti dengan undang-undang yang sesuai dengan syari’at Islam yang berpihak dengan kepentingan umat Islam, sehingga tidak ada lagi aset-aset Negara yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing seperti blok Cepu, Freeport, dan lain-lain. Untuk mewujudkan cita-cita luhur itu, diperlukan kesatuan visi antara umat Islam dan dukungan dari orang-orang yang punya kapabilitas ketokohan Islam, pondok pesantren, lembaga-lembaga dan organisasi Islam serta membangun poros Islam yang melibatkan semua partai yang berbasis dan berazaskan  Islam.
Syari’at Islam diperuntukkan bagi kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat. Dan cakupan syari’at Islam meliputi wilayah agama dan negara. syari’at Islam berlaku umum untuk seluruh umat manusia dan bersifat abadi sampai hari kiamat. Hukum-hukumnya saling menguatkan dan mengukuhkan satu sama lain, baik dalam bidang akidah, ibadah, etika maupun mu’amalah, demi mewujudkan puncak keridlaan Allah Swt, ketenangan hidup, keimanan, kebahagian, kenyamanan dan keteraturan hidup bahkan memberikan kebahagian dunia secara keseluruhan. Semua itu dilakukan melalui kesadaran hati nurani, rasa tanggung jawab atas kewajiban, perasaan selalu dipantau oleh Allah Swt dalam seluruh sisi kehidupan, baik ketika sendirian maupun di hadapan orang lain, serta dengan memuliakan hak-hak orang lain. Lebih lanjut lagi, Syari’at Islam merupakan satu-satunya syariat yang sesuai dengan perkembangan zaman, cocok untuk segala generasi, dan selaras dengan realitas kehidupan. Dalam prinsip-prinsip syariat Islam, terdapat kekuatan paripurna yang akan selalu membantu kita dalam menetapkan hukum yang selalu hidup, tumbuh, dan berkembang bagi kehidupan manusia dengan beragam latar-belakang budayanya. Syariat Islam yang dinamis sungguh menjamin rasa keadilan, ketenangan, dan kehidupan yang mulia dan bersih. Mampu membawa izzul Islam wal muslimin dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Baldatun Thoyibatun Wa Robbun Ghofur.

Wallahu a’lam bissowab
Sarang, 26 April 2009

Referensi;
Al-Qur’anul Karim, Imam Bukhori dalam Shohih Bukhori, Imam Ahmad dalam Musnad Imam Ahmad, Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam Al-Sulthoniyyah, Syaikh Moh. Najih Maimoen dalam Al-Risalah Al-Islamiyah, Drs. KH. Muhadi Z. dan Abd. Mustaqim dalam Study Kepemimpinan Islam. Buletin Forum Umat Islam (FUI)

Pemimpin Menurut Islam"

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,
Indonesia sedang melakukan pemilihan pemimpin… daril evel terendah… (RT) hingga sekarang sudah mulai memasuki level propinsi.
Dan pagi ini, dari hasil penghitungan “Quick Count” (hingga jam 7 pagi tadi).., Jawa Barat, meletakkan pasangan “Hade..” diatas 2 pasangan kandidat lainnya.
saya terus-terangtidak memihak pada salah satupun pasangan kandidat diatas…, pertama karena saya kurang “kenal” mereka… kedua… he he he… kemarin saya salah satu dari sekian banyak warga Jawa Barat yang gak bisa milih karena administrasi… “gak ada kartu pemilih” + “gak tercantum di daftar pemilih…” padahal udah ngurus… (sampai gak enak deh… sama Bu RT…. Tenang ya bu… saya gak nyalahin kok)
{ sebetulnya….Saya… sangat awam tentang kepemimpinan dalam Islam… (karena sejak kecil yang saya baca adalah sejarah tokoh-tokoh pemimpin dunia bukan tokoh pemimpin Islam) karena itu… dengan penasaran… saya mencoba dan mencari… seperti apa.. kriteria pemimpin dalam Islam… Mudah-mudahan ada yang mau mengingatkan saya, bila ada yang tidak tepat.}
Oke.. cerita sedikit ya… menurut sejarah, setelah Nabi Muhammad saw meninggal dunia, , masyarakat Jazirah Arab melaksanakan pemilihan pemimpin (khalifah) dengan cara menyampaikan suaranya ke kabilahnya kemudian para pemimpin kabilah tersebut berkumpul melakukan musyawarah (syuro) kemudian memilih (mem-baiat) Abu Bakar Sidiq sebagai Khalifah melalui proses pemilihan yang sangat demokratis dan tulus. (Pesta demokrasi pertama)
Kepemimpinan (ke-khalifah-an) dalam Islam sangatlah penting melihat posisi itu lebih dari sekedar tugas dan tanggung jawab, melainkan sebagai amanah yang harus diemban sebaik-baiknya. Itu sebabnya, pemimpin (imam) semacam itu harus dicari melalui sebuah proses pemilihan umum yang jujur, adil dan demokratis disertai hati yang tulus tanpa unsur paksaan apalagi politik uang (money politics). Sehingga kita bisa menemukan pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan ummat, yang Islami.
“Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”
(Q.S Al-Baqarah (2) : 30)
Jadi menurut apa yang saya ketahui, Islam akan mengangkat seseorang sebagai seorang pemimpin berdasarkan :
1.. Beraqidah yang bersih dari syirik, khurafat, tahayyul serta tidak percaya atau menggantungkan diri kepada jin, syetan dan dukun. Tuntunan daria aqidahnya pun jelas.. Al-Qur’an dan Al-Hadist… Aqidah dengan dasar ini, akan membangun hubungan antara manusia dengan Allah. Sehingga sang Pemimpin akan sadar benar rasa tanggung jawabnya sebagai manusia dihadapan Allah
“Dan jadikanlah kami pemimpin (imam) bagi orang-orang yang bertaqwa”
(Q.S Al-Furqon (25) 74).


Sungguh, Ibrahim adalah Imam (Pemimpin) yang dapat dijadikan teladan, patuh kepada Allah SWT dan hanif . Dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (mempersekutukan Allah).”
(Q.S An-Nahl/16: 120)
2. Minimal dia seorang muslim yang baik, tidak pernah tinggal shalat wajib 5 waktu, tidak pernah tinggalkan puasa Ramadhan, tidak pernah lupa atau pura-pura lupa bayar zakat dan pernah pergi haji bila mampu.
3. Fasih membaca Al-Quran, Al-Karim dan tahu bahwa Al-Quran Al-Karim adalah sumber dari segala sumber hukum. Sehingga tidak ada hukum baginya kecuali yang berdasarkan Al-Quran Al-Karim. Maka setiap masalah selalu dirujuknya kepada kitab dari Allah SWT ini.
4. Tahu batas halal dan haram yang bentuknya adalah penerapan dalam diri, keluarga dan lingkungannya. Sehingga dengan mudah dia bisa membedakan mana praktek haram dan mana halal.
5. Mempunyai hubungan yang dekat dengan para ulama.. agar dapat meningkatkan ilmu-ilmu yang telah di miliki dan memberikan pemahaman yang cukup tinggi, sehingga dalam memimpim… akan ada peningkatan kualitas diri sebagai pemimpin sekaligus… akan selalu berhati-hati untuk tidak secara sengaja berbuat salah.
6. Tidak pernah mencuri, berzina, minum khamar, berjudi, menipu rakyat, makan uang negara, manipulasi, korupsi, kolusi dan tidak makan uang riba.
Bersedia secara terbuka dan jujur tentang jumlah harta yang dimilikinya.
7. Menegakkan selalu amar makruh dan nahi mungkar dalam setiap kesempatan. Sebab sebagai penguasa, di tangannya ada kekuatan. Bila tidak dimanfaatkannya untuk amar makruf nahi mungkar, maka dia harus bertanggung-jawab di akhirat.
8. Siap menerima teguran kapan dan dimana saja, berani bertanggung jawab, cepat tanggap, berada dibarisan terdepan ketika ada masalah yang harus segera diselesaikan, berani mengakui kesalahan dan menanggung akibatnya.
9. Tidak menggunakan fasilitas negara untuk masalah yang bersifat pribadi atau pun kepentingan di luar negara secara langsung. Sebab semua fasilitas negara itu adalah amanat yang harus dipertanggung-jawabkan di akhirat nanti.
10. Tidak akan makan atau mengisi perutnya sebelum yakin bahwa semua rakyatnya sudah makan. Tidak pernah berani tidur malam hari sebelum yakin rakyatnya tentram dan sejahtera. Dan tidak enak-enakan berpesta sebelum anak yatim terjamin masa depannya atau pun fakir miskin punya sumber rezeki yang jelas. (Sangat mencintai rakyatnya)
11. Memjadi fasilitator untuk kecerdasan bangsa.
12. Mampu mengelola kekayaan negara dengan baik.
13. Bersikap adil kepada semua pemeluk agama dan memberikan jaminan dan hak-hak mereka untuk bisa hidup dengan damai di bawah jaminan dirinya. Tetapi bersikap tegas bila terjadi kecurangan dan pelanggaran antara sesama pemeluk agama.
14. Dapat menegakkan hukum-hukum Islam.. walaupun yang melakukan pelanggaran hukum adalah.. orang-orang terdekat ataupun keluarga.
15. Memanfaatkan jabatannya ini untuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
16. Bercita-cita untuk bisa mati dalam keadaan syahid. Karena itu
satu-satunya pilihan
Nabi Muhammad saw bersabda…
“Setiap kamu adalah pengembala dan setiap kamu akan diminta pertanggung jawabannya. Seorang pemimpin adalah pengembala bagi rakyatnya, maka ia akan ditanya tentang apa yang digembalakannya” (HR. Ahmad)
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh
PS: Sekali lagi… ini saya angkat menurut “kriteria” Islam… Kriteria Indonesia saya gak bahas disini. Dan… ketika Allah berkehendak… siapapun itu, jalan dan cara apapun yang ditempuh.. pasti akan jadi pemimpin…
Tanggung Jawab Dalam Islam
Oleh: Dr. H. Achmad Satori Ismail, MA
Dalam sejarah ulama salaf, diriwayatkan bahwa khalifah rasyidin ke V Umar bin Abdil Aziz dalam suatu shalat tahajjudnya membaca ayat 22-24 dari surat ashshoffat yang artinya : (Kepada para malaikat diperintahkan) “Kumpulkanlah orang-orang yang dzalim beserta teman sejawat merekadan sembah-sembahan yangselalu mereka sembah, selain Allah: maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Dan tahanlah mereka di tempat perhentian karena mereka sesungguhnya mereka akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban ).”
Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali karena merenungi besarnya tanggungjawab seorang pemimpin di akhirat bila telab melakukan kedzaliman. Dalam riwayat lain Umar bin Khatab r.a. mengungkapkan besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhiarat nanti dengan kata-katanya yang terkenal : “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad nicaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya, seraya ditanya : Mengapa tidak meratakan jalan untuknya ?” Itulah dua dari ribuan contoh yang pernah dilukiskan para salafus sholih tentang tanggungjawab pemimpin di hadapan Allah kelak.
Pada prinsipnya tanggungjawab dalam Islam itu berdasarkan atas perbuatan individu saja sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat seperti ayat 164 surat Al An’am yang Artinya: “Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
Dalam surat Al Mudatstsir ayat 38 yang artinya: “Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya”
Akan tetapi perbuatan individu itu merupakan suatu gerakan yang dilakukan seorang pada waktu, tempat dan kondisi-kondisi tertentu yang mungkin bisa meninggalkan bekas atau pengaruh pada orang lain. Oleh sebab itu apakah tanggung jawab seseorang terbatas pada amalannya saja ataukah bisa melewati batas waktu yang tak terbatas bila akibat dan pengaruh amalannya itu masih terus berlangsung mungkin sampai setelah dia meninggal ?
Seorang yang cerdas selayaknya merenungi hal ini sehingga tidak meremehkan perbuatan baik sekecil apapun dan tidak gegabah berbuat dosa walau sekecil biji sawi. Mengapa demikian ? Boleh jadi perbuatan baik atau jahat itu mula-mula amat kecil ketika dilakukan, akan tetapi bila pengaruh dan akibatnya terus berlangsung lama, bisa jadi akan amat besar pahala atau dosanya.
Allah SWT menyatakan dalam QS Yaasiin yang artinya: “Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (Yaasiin 12).
Ayat ini menegaskan bahwa tanggangjawab itu bukan saja terhadap apa yang diperbuatnya akan tetapi melebar sampai semua akibat dan bekas-bekas dari perbuatan tersebut. Orang yang meninggalkan ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah atau anak yang sholeh , kesemuanya itu akan meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapanpun. Dari sini jelaslah bahwa Orang yang berbuat baik atau berbuat jahat akan mendapat pahala atau menanggung dosanya ditambah dengan pahala atau dosa orang-orang yang meniru perbuatannya. Hal ini ditegaskan dalam Surat An nahl 25
Artinya: “(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat dan sebagian dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun bahwa mereka disesatkan. Ingatlah amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.”
Di sini kita merenung sejenak seraya bertanya: “apabila yang memerintah kejahatan atau kedurhakaan itu seorang pemimpin yang memilik kekuasaan penuh, apakah dia saja yang akan menanggung dosanya dan dosa rakyatnya karrena mereka dipaksa ? Ataukah rakyat juga harus menaggung dosanya walau ia lakukan di bawah ancaman paksaan tersebut ?” Menurut hemat saya, seorang penguasa dianggap tidak memaksa selama raksyat masih bisa memiliki kehendak yang aada dalam dirinya. Perintah seorang pimpinan secara lisan maupun tulisan tidak berarti melepaskan seorang bawahan dari tanggungjawab atas semua perbuatannya. Alquran mencela orang-orang yang melakukan dosa dengan alasan pimpinannya menyuruh berbuat dosa. Allah menyatakan sbb. : “Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: “alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul” Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami , lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar”. (Al ahzab 66-67).
Allah membantah mereka dengan tegas: “Harapanmu itu sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah menganiaya dirimu sendiri . Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu.” (Az Zukhruf 39).
Dari sini jelaslah bahwa pemimpin yang dzalim tidak akan bisa memaksa hati seseorang kendati mampu memaksa yang lahiriyahnya. Oleh sebab itu rakyat atau bawahanpun harus bertanggung jawab terhadap akidahnya dan perbuatannya kendati di sana ada perintah dan larangan pimpinan.
Berbeda dengan hukum paksaan yang menimpa orang-orang lemah yang ditindas penguasa yang mengancam akan membunuhnya dan memang bisa dilaksanakan. Hal ini pernah terjadi pada masa awal Islam di Makkah dimana orang yang masuk Islam di paksa harus murtad seperti Bilal bin Rabbah, keluarga Yasir dst. Mereka dipaksa menyatakan kekufuran. (lihat An Nahl 106 dan An Nisa’ 97-99)
Tanggung jawab seorang berkaitan erat dengan kewajiban yang dibebankan padanya. Semakin tinggi kedudukannya di masyarakat maka semakin tinggi pula tanggungjawabnya. Seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas prilaku dirinya, keluarganya, saudara-saudaranya, masyarakatnya dan rakyatnya. Hal ini ditegaskan Allah sbb.; “Wahai orang-orang mukmin peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At Tahrim 6) Sebagaimana yang ditegaskan Rasululah saw : “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya..”(Al Hadit)
Tanggungjawab vertikal ini bertingkat-tingkat tergantung levelnya. Kepala keluarga, kepala desa, camat, bupati, gubernur, dan kepala negara, semuanya itu akan dimnitai pertanggungjawabannya sesuai dengan ruang lingkup yang dipimpinnya. Seroang mukmin yang cerdas tidak akan menerima kepemimpinan itu kecuali dengan ekstra hati-hati dan senantiasa akan mempeprbaiki dirinya, keluarganya dan semua yang menjadi tanggungannya. Para salafus sholih banyak yang menolak jabatan sekiranya ia khawatir tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.
Pemimpin dalam level apapun akan dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Allah atas semua perbuatannya disamping seluruh apa yang terjadi pada rakyat yang dipimpinnya. Baik dan buruknya prilaku dan keadaan rakyat tergantung kepada pemimpinnya. Sebagaimana rakyat juga akan dimintai pertanggungjawabannya ketika memilihseorang pemimpin. Bila mereka memilih pemimpin yang bodoh dan tidak memiliki kapabilitas serta akseptabilitas sehingga kelak pemimpin itu akan membawa rakyatnya ke jurang kedurhakaan rakyat juga dibebani pertanggungjawaban itu.
Seorang penguasa tidak akan terlepas dari beban berat tersebut kecuali bila selalu melakukan kontrol, mereformasi yang rusak pada rakyatnya , menyingkirkan orang-orang yang tidak amanah dan menggantinya dengan orang yang sholeh. Perrtolongan allah tergantung niat sesuai dengan firman Allah Artinya : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah akan ditunjuki hatinya danAllah Maha Mengetahui ats segala sesuatu.” (At Taghobun 11)
Wallahu a’lamu.
***

Kepemimpinan Dalam Islam

OPINI | 19 July 2012 | 11:09 http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/ico_baca.gifDibaca: 595   http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/img_komen.gifKomentar: 1   http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/ico_nilai.gif2 bermanfaat
A. Pengertian Pemimpin
Dalam bahasa Arab seorang pemimpin disebut khalifah. Kata khalifah ini berasal dari akar kata خ-ل-ف dalam kamus Al-Asri berarti mengganti begitu juga termaktub dalam kamus al-Munawwir. Khalifah adalah isim fa’il yang berarti pengganti.
Dalam al-Quran kata khalifah juga berarti pemimpin (QS. Al-Baqarah: 30) dan dalam ayat lain dikatakan pewaris. Mungkin semua makna ini bisa sesuai dengan kondisi ayat al-Quran tersebut dan maksudnya. Dengan kata lain bahwa manusia diciptakan telah mempunyai kemampuan menjadi pemimpin, pewaris, atau pengganti.
Ibnu khaldun dalam kitab Muqaddimah banyak berbicara mengenai khalifah dan imamah (kepemimpinan). Ia menarik teori bahwa manusia mempunyai kecendrungan alami untuk memimpin karena mereka diciptakan sebagai khalifah.
B. Akhlak Dan Sifat Yang Harus Dimiliki Pemimpin
Seorang pemimpin apapun tugas dan di mana pun kedudukannya, dipandang sebagai lambang organisasi dan menjadi juru bicara mewakili lembaga atau organisasi yang dipimpinnya. Dia perlu perilaku yang baik terhadap siapapun, agar lembaga atau organisasi yang dipimpinnya tidak dijauhi orang.
Rasulullah adalah qudwah hasanah kita, yang banyak mengajarkan tentang kepemimpinan. Apapun amal kita harus merujuk kepada beliau. Pemimpin juga harus begitu, meneladani akhlak, sifat dan perilaku beliau serta seluruh aktifitas kepemimpinan beliau.
Berikut adalah sifat dan akhlak yang harus dimiliki setiap pemimpin:
  1. seluruh kegiatannay dilakukan semata hanya mengharap ridho Allah swt.
  2. ingatannya kuat, bijak, cerdas, berpengalaman dan berwawasan luas.
  3. perhatian dan penyantun.
  4. bersahabat dan sederhana.
  5. shidiq, benar dalam berkata, sikap dan perbuatan.
  6. tawadhu’.
  7. memaafkan, menahan amarah, sabar, dan berlaku ihsan.
  8. menepati janji dan sumpah setia.
  9. tekad bulat, tawakkal dan yakin serta menjahui sikap pesimis.
C. Adab dan Pergaulan Pimpinan dan Anggota
Maksudnya ialah aturan dan adab pergaulan pimpinan dan anggota agar terbentunya keefektifan kinerja antara keduanya. Yaitu sebagai berikut:
  1. mengucapkan salam dan bertanya kabar kalau berjumpa.
  2. saling menghormati dan menghargai.
  3. saling mempercayai dan baik sangka.
  4. nasehat-menasehati demi kemajuan organisasi atau lembaga.
  5. bawahan boleh mengkritik pimpinan kritikan yang membangun.
  6. pimpinan harus berlapang dada dalam menerima kritikan dari segenap anggota demi kemajuan bersama.
D. Amanah dan Tanggung Jawab Pemimpin
Seorang pemimpin dibebani amanah dan tanggung jawabyang harus ia laksanakan untuk mencapai tujuan dari organisasi yang ia pimpin. Dalam islam setiap manusia yang terlahir di muka bumi ini ialah seorang pemimpin yang memimpin umat ini kepada dien Allah. Semakin banyak orang yang dipimpinnya semakin berat pula beban yang dipikulnya. Dalam sebuah Hadist Rasulullah saw bersabda:
كلّكم راع وكلّكم مسؤول عن رعيّته
Artinya: setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan diminta pertanggungjawaban tentang bapa yang ia pimpin.
Kepemimpinan tidak boleh diberikan kepada orang yang memintanya terlebih dengan ambisius untuk mendapatkannya. Kenapa? Karena dikhawatirkan dia tidak mampu mengemban amanah tersebut kemudian mungkin mempunyai niat lain atau ingin mengambil keuntungan yang banyak ketika ia telah mempunyai kekuasaan. Dalam hal ini Abu Dzar RA berkata, ”Aku bertanya,” wahai Rasulullah saw, maukah engkau mengangkatku memegang satu jabatan?” kemudian Rasulullah saw menepuk bahuku dengan tangannya sambil bersabda:
”wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau ini lemah dan sesungguhnya itu (jabatan) adalah amanah. Dan sesungguhnya ia pada hari kiamat menjadi kesengsaraan dan penyesalan, kecuali yang mengambilnya dengan haqnya dan menyempurnakan apa yang menjadi wajib keatasnya dan diatas jabatan itu.”
Seorang pemimpin juga harus memahamkan kepada anggotanya bahwa amanah yang dipikul ini akan dipertanggungjawabkan diakhirat kelak. Apakah ketika mengemban amanah pernah mendzolimi orang atau tidak. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
”Apabila seorang hamba (manusia) yang diberikan kekuasaan rakyat mati, sedangkan di hari matinya ia telah mengkhianati rakyatnya, maka Allah swt mengharamkan surga kepadanya.” (muttafaqun ’laih)
Sebelum memberi amanah pemimpin  harus melihat kapasitas yang kan diberi amanah tersebut. Karena amanah haruslah diberikan kepada orang yang kompeten atasnya kalau tidak maka akan menimbulkan ketidak sampainya tujuan bahkan mungkin menimbulkan kerusakan. Dalam sebuah Hadist dikatakan ”Kalau seandainya perkara itu diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya.”

Pengertian Kepemimpinan menurut Islam


Pada hakikatnya setiap manusia adalah seorang pemimpin dan setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Manusia sebagai pemimpin minimal harus mampu memimpin dirinya sendiri. Dalam lingkungan organisasi harus ada pemimpin yang secara ideal dipatuhi dan disegani oleh bawahannya. Kepemimpinan dapat terjadi melalui dua bentuk, yaitu: kepemimpinan formal (formal leadership) dan kepemimpinan informal (informal leadership). Kepemimpinan formal terjadi apabila dilingkungan organisasi jabatan otoritas formal dalam organisasi tersebut diisi oleh orang-orang yang ditunjuk atau dipilih melalui proses seleksi, sedang kepemimpinan informal terjadi, di mana kedudukan pemimpin dalam suatu organisasi diisi oleh orang-orang yang muncul dan berpengaruh terhadap orang lain karena kecakapan khusus atau berbagai sumber yang dimilikinya dirasakan mampu memecahkan persoalan organisasi serta memenuhi kebutuhan dari anggota organisasi yang bersangkutan.

Dalam pandangan Islam kepemimpinan tidak jauh berbeda dengan model kepemimpinan pada umumnya, karena prinsip-prinsip dan sistem-sistem yang digunakan terdapat beberapa kesamaan. Kepemimpinan dalam Islam pertama kali dicontohkan oleh Rasulullah SAW, kepemimpinan Rasulullah tidak bisa dipisahkan dengan fungsi kehadirannya sebagai pemimpin spiritual dan masyarakat. Prinsip dasar kepemimpinan beliau adalah keteladanan. Dalam kepemimpinannya mengutamakan uswatun hasanah pemberian contoh kepada para sahabatnya yang dipimpin. Rasulullah memang mempunyai kepribadian yang sangat agung, hal ini seperti yang digambarkan dalam al-Qur'an:

Artinya: “Dan Sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar berada dalam akhlak yang agung”. (Q. S. al-Qalam: 4)

Dari ayat di atas menunjukkan bahwa Rasullullah memang mempunyai kelebihan yaitu berupa akhlak yang mulia, sehingga dalam hal memimpin dan memberikan teladan memang tidak lagi diragukan. Kepemimpinan Rasullullah memang tidak dapat ditiru sepenuhnya, namun setidaknya sebagai umat Islam harus berusaha meneladani kepemimpinan-Nya.

Definisi kepemimpinan menurut Rost adalah sebuah hubungan yang saling mempengaruhi diantara pemimpin dan pengikut yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya. Menurut Danim kepemimpinan adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh individu untuk mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok lain yang tergabung dalam wadah tertentu untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Menurut Yukl kepemimpinan didefinisikan sebagai proses-proses mempengaruhi, yang mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa bagi para pengikut, pilihan dari sasaran bagi kelompok atau organisasi, pengorganisasian dari aktivitas kerja untuk mencapai sasaran tersebut, motivasi dari para pengikut untuk mencapai sasaran, pemeliharaan hubungan kerjasama dan teamwork, serta perolehan dukungan dan kerjasama dari orang-orang yang berada di luar kelompok atau organisasi.

Dari beberapa teori yang ada Stogdill menghimpun sebelas definisi kepemimpinan, yaitu kepemimpinan sebagai pusat proses kelompok, kepribadian yang berakibat, seni menciptakan kesepakatan, kemampuan mempengaruhi, tindakan perilaku, suatu bentuk bujukan, suatu hubungan kekuasaan, sarana pencapaian tujuan, hasil interaksi, pemisahan peranan dan awal struktur.

Definisi tentang kepemimpinan memang sangat umum dan sulit untuk ditetapkan dalam satu definisi yang dapat mengakomodasikan berbagai arti yang banyak dan spesifik untuk melayani pengoperasian variabel tersebut. Dari beberapa pengertian di atas pengertian kepemimpinan sedikitnya mencakup tiga hal yang saling berhubungan, yaitu adanya pemimpin dan karakteristiknya, adanya pengikut, serta adanya situasi kelompok tempat pemimpin dan pengikut itu berinteraksi.

Aktivitas kepemimpinan memang sangat penting dalam suatu organisasi, di mana pentingnya pemimpin dan kepemimpinan yang baik telah diuraikan oleh Mohyi sebagai berikut:
a. Sebagai pengatur, pengarah aktivitas organisasi untuk mencapai tujuan.
b. Penanggung jawab dan pembuat kebijakan-kebijakan organisasi.
c. Pemersatu dan memotivasi para bawahannya dalam melaksanakan aktivitas organisasi.
d. Pelopor dalam menjalankan aktivitas manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan serta pengelolaan sumber daya yang ada.
e. Sebagai pelopor dalam memajukan organisasi dll.

Secara teoritis dalam manajemen, kepemimpinan harus mempunyai beberapa kriteria, karena kepemimpinan merupakan hal yang paling mendasar bagi kelangsungan suatu kelompok organisasi untuk meghantarkan, mencapai tujuan. Menurut Tanthowi kriteria kemampuan yang harus ada pada seorang pimpinan adalah sebagai berikut:
1) Melihat organisasi secara keseluruhan.
2) Mengambil keputusan.
3) Melaksanakan pendelegasian.
4) Memimpin sekaligus mengabdi.
Pemimpin merupakan pribadi yang memiliki ketrampilan teknis, khususnya dalam suatu bidang, sehingga mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas, demi pencapaian tujuan organisasi. Seorang pemimpin yang memiliki born leader dianggap mempunyai sifat unggul yang dibawa sejak lahir, sifatnya khas dan unik, tidak dimiliki atau tidak dapat ditiru oleh orang lain. Namun pada masa sekarang dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang serba modern dan kompleks, di mana-mana selalu dibutuhkan pemimpin.

Pada umumnya seseorang yang diangkat menjadi pemimpin didasarkan atas kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dibandingkan dengan orang-orang yang dipimpinnya, di mana kelebihan-kelebihan tersebut diantaranya sifat-sifat yang dimiliki berkaitan dengan kepemimpinannya. Kelebihan sifat ini merupakan syarat utama menjadi seorang pemimpin yang sukses. Berkaitan dengan masalah sifat-sifat pemimpin sebagai syarat utama kepemimpinan banyak pakar yang mengajukan pendapatnya, diantaranya menurut Slikbour menyatakan bahwa sifat-sifat kepemimpinan itu meliputi 3 hal, yaitu:
a) Kemampuan dalam bidang intelektual.
b) Berkaitan dengan watak.
c) Berhubungan dengan tugas sebagai pemimpin.
Keberhasilan sekolah untuk mencapai tujuannya antara lain sangat ditentukan oleh kehandalan kepemimpinan kepala sekolah dalam mengelola sekolahnya. Peranan kepemimpinan dalam suatu organisasi sangat berpengaruh untuk mewujudkan sasaran yang telah ditetapkan. Karena itu, keberhasilan suatu organisasi mencapai tujuannya secara efektif dan efisien sangatlah ditentukan oleh kehandalan kepemimpinan seorang pemimpin.

Kepemimpinan dalam pandangan Islam merupakan amanah dan tanggung jawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota yang dipimpinnya, tetapi juga akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. Jadi, pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak hanya bersifat horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat vertikal-moral, yakni tanggung jawab kepada Allah SWT di akhirat. Kepemimpinan sebenarnya bukanlah sesuatu yang menyenangkan, tetapi merupakan tanggung jawab sekaligus amanah yang amat berat dan harus diemban sebaik-baiknya. Hal tersebut dijelaskan dalam Al Qur’an surat Al-Mu’minun:

Artinya: Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janji mereka dan orang-orang yang memelihara sholatnya, mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya. (Q.S. al-Mukminun 8-11)

Selain dalam Al Qur’an Rasulullah SAW juga mengingatkan dalam Haditsnya agar dapat menjaga amanah kepemimpinan, sebab hal itu akan dimintai pertanggungjawaban baik di dunia maupun dihadapan Allah SWT. Hal itu dijelaskan dalam Hadits berikut:
را ع و كلكم مسئو ل عن ر عيته كلكم
Artinya: Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya (H. R. Bukhori)

Di samping dalam hadits di atas Rasulullah juga mengingatkan pada Hadits lain agar umatnya tidak menyia-nyiakan amanah, karena hal tersebut akan membawa kehancuran. Penjelasan tersebut dijelaskan dalam Hadits beliau:
إذا اضيعت الأما نة فا نتظر السا عة قيل كيف اضاعتها يا رسول الله قال اذا وسد الأمر إلى غير أهله فا نتظر الساعة
Artinya: “Apabila amanah disia-siakan maka tunggulah saat kehancuran. (Waktu itu) ada seorang sahabat yang bertanya, apa (indikasi) menyia-nyiakan amanah itu ya Rasul? Beliau menjawab: “Apabila suatu perkara diserahkan orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya”. (H. R. Bukhori)

Dari penjelasan Al Qur’an surat al-Mukminun 8-11 dan kedua Hadits di atas dapat diambil suatu benang merah bahwa dalam ajaran Islam seorang pemimpin harus mempunyai sifat amanah, karena seorang pemimpin akan diserahi tanggung jawab, jika pemimpin tidak memiliki sifat amanah, tentu yang terjadi adalah penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk hal-hal yang tidak baik. Oleh karena itu, kepemimpinan sebaiknya tidak dilihat sebagai fasilitas untuk menguasai, tetapi justru dimaknai sebuah pengorbanan dan amanah yang harus diemban sebaik-baiknya. Selain bersifat amanah seorang pemimpin harus mempunyai sifat yang adil. Hal tersebut ditegaskan oleh Allah dalam firmannya:

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat (Q. S. al- Nisa’: 58)

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan… (Q. S. al-Nahl: 90)

Dari penjelasan di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah sebuah amanah yang harus diemban dengan sebaik-baiknya, dengan penuh tanggung jawab, profesional dan keikhlasan. Sebagai konsekuensinya pemimpin harus mempunyai sifat amanah, profesional dan juga memiliki sifat tanggung jawab. Kepemimpinan bukan kesewenang-wenangan untuk bertindak, tetapi kewenangan melayani untuk mengayomi dan berbuat seadil-adilnya. Kepemimpinan adalah keteladanan dan kepeloporan dalam bertindak yang seadil-adilnya. Kepemimpinan semacam ini hanya akan muncul jika dilandasi dengan semangat amanah, keikhlasan dan nilai-nilai keadilan.


Daftar Rujukan:
1. Wahjosumidjo. 2005. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 84.
2. Muhadi, Zainuddin & Mustaqim, Abd. 2005. Studi Kepemimpinan Islam (Telaah Normatif & Historis). Semarang: Putra Mediatama Press, hlm. 15-16.
3. Triantoro, Safaria. 2004. Kepemimpinan. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, hlm. 3.
4. Danim, Sudarwan. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm:204.
5. Yukl, Gary. 2002. Leadership in Organizations. New york: Prentice Hall, hlm. 4.
6. Syafiie, Inu Kencana. 2000. Al Qur’an dan Ilmu Administrasi. Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 73-74
7. Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Rosdakarya hlm. 108.
8. Mohyi, Ach. 1999. Teori & Prilaku Organisasi. Trioningsih-Ratih Juliati (ed) UMM: Malang, hlm. 176.
9. Tanthowi, Jawahir. 1983. Unsur-unsur Manajemen Menurut Ajaran Alqu’an. Jakarta: Pustaka Al-Husna, hlm. 37.
10. Kartono, Kartini. 2004. Pemimpin dan Kepemimpinan. Apakah Kepemimpinan Abnormal itu?. Jakarta. Raja Grafindo Persada, hlm. 56.
11. Nawawi, Hadari. 2003. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 276.


Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Pola Pemimpin dalam Islam
Oleh : Drs. H. Ahmad Bangun Nst, MA. Alkisah di masa kejayaan Irak yang ketika itu dipimpin oleh Harun Al Rasyid, berkunjunglah seorang ulama besar bernama Shihab. Dalam jamuan tersebut Harun Al Rasyid meminta petunjuk tentang bagaimana cara memimpin Daerah Irak dengan baik. Lalu, sang Ulama tak segera menjawab, ia hanya mengajak Harun untuk berjalan mengelilingi Daerah di tengah gurun pasir nan tandus, di tengah hari pertama, di atas teriknya matahari, Harun pun kehausan, dan tak satupun tempat yang memiliki dan menyediakan air, lalun sang ulama pun bertanya, ya Raja, jika ada seseorang yang dapat memberikanmu air di tengah terik dan dahaga ini, apa yang akan kau berikan padanya?, lalu Harun-pun menjawab, aku akan memberikan separuh kekuasaanku di Irak ini.
Usailah perjalanan di hari pertama, lalu di hari kedua juga terjadi hal yang sama. Di tengah terik mentari dan haus dahaga, kembali sang ulama bertanya, ya raja, apakah yang akan kau berikan jika ada seseorang membawakanmu air di tengah dahaga ini?, lalu sang raja-pun menjawab, aku akan membwerikan separuh kekuasaanku di Irak ini. Sampai disitu, lalu sang ulama pun mengtakan, ya raja ada dua hal yang perlu kau ketahui, pertama, kau sudah menjual Irak ini hanya dengan dua gelas air untuk menghilangkan dahagamu, itu tertanda bahwa kau merasa bahwa kau telah memiliki jabatanmu sepenuh diri.

Kedua, dengan keputusanmu untuk memberi seluruh kekuasaanmu di Irak ini hanya dengan dua gelas, pertanda bahwa kau masih terpengaruh dengan kekeringan, kesusahan dirimu. Sementara banyak rakyatmu yang mungkin lebih ber-dahaga darimu.

Hikayat diatas paling tidak bisa memberikan kita sebuah harapan terhadap pemimpin Sumatera Utara kedepannya. Bahwa apatisme rakyat masih bermain tajam di tengah otoritas demokrasi di bangsa ini. Mau tidak mau, pemenang pemilukada Daerah Sumut tahap pertama lalu adalah Golput. Hal ini adalah indikasi besar bahwa masyarakat secara luas tidak merasakan pengaruh yang besar terhadap kepemimpinannya. Disamping besarnya peran media yang meng-audit secara tajam pula tentang kinerja pemerintahan Daerah secara menyeluruh.

Untuk itu pulalah kita bisa menitipkan pesan hangat menjelang kepemimpinannya nanti, dan teguran hangat sebelum memimpin nantinya. Mungkin, hikayat di atas tidak cukup menjadi referensi yang tangguh untuk memberikan contoh dan harapan tentang sebuah kepemimpinan, tapi paling tidak, hikayat di atas bisa jadi bahan renungan dan selanjutnya bahan saduran memimpin Daerah Sumut kedepannya.

Pertama, siapapun pemimpin Daerah Sumut kedepannya, jadilah seorang pemimpin yang "menangis", menangis jika anda lupa bahwa kepemimpinan itu adalah amanah. Tidak ada satu alasanpun yang bisa menggadaikan kepemimpinanmu jika itu adalah tindakanmu secara pribadi. Yang memimpin itu adalahg ke-amanahanmu yang dipercayai rakyat, bukan dirimu secara pribadi. Jadi lepaskanlah ketergantunganmu terhadap kekuasaan yang sedang kau pegang dengan kebutuhan dirimu secara pribadi.

Betapa naifnya seorang pemimpin jika ia merasa bahwa kekuasaan yang sedang ia pegang itu membuatnya hebat di semua tempat, tapi jadikanlah kekuasaanmu sebagai batu acuan untuk mencari tahu seberapa besar rakyat menggantungkan harapan terhadap kekuasaanmu.

Kedua, jadilah pemimpin yang melupakan diri sendiri. Maksudnya, lupakanlah dirimu dengan segala jabatan yang sedang ka pegang, karena ketika jabatan itu kau pikul, sebenarnya kau sedang berusaha mempertahankan kepercayaan rakyat ketika memilihmu, untuk itu tabulasi-lah keinginan rakyat itu, lalu kerjakanlah dan wujudkanlah. Ingat, jabatan yang kau pegang itu bukan sarana untuk mewujudkan keinginanmu secara pribadi, tapi jabatan itu adalah wujud dari kelayakanmu menjadi pemimpin untuk mewujudkan keinginan masyarakat yang sedang kau pimpin.

Ketiga, jadilah pemimpin yang elastis-formalistis (istilah dari penulis). Elastis menghadapi besar dan ragamnya keinginan dan harapan rakyat, ke-elastisan itu akan membuatmu selalu berfikir lalu bertindak untuk menentukan kebijakan yang ber-mashlahat. Ingat, tidak semua hal ter-adili hanya dengan sesuatu yang sifatnya formalistic, untuk itu, pandai-pandailah membaca suasana hati dan keinginan rakyat apa yang harus kau lakukan. Dan formalistic tetaplah menjalankan aturan dan perundang-undangan yang berlaku, hal itu membuatmu menjadi orang yang disiplin dan patuh aturan. Sebab manusia yang bijak adalah manusia yang patuh aturan.

Setidaknya ketiga masukan inilah yang harapannya bisa menjadi bahan renungan, kajian dan terus awalan untuk pemimpin Daerah Sumut ini kedepannya. Lebih jauh, kita juga bisa melihat konsep yang ditawarkan Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqh Siyasah, bahwa ada beberapa criteria pemimpin yang ideal :

1. prinsip kedudukan manusia di bumi. Manusia ketika hendak menjadi pemimpin di dunia, harus benar benar menyadari apa kedudukannya dan fungsinya di dunia ini. Hal ini tentunya berkaitan dengan nilai-nilai ketauhidan yang harus menyadari bahwa diatas kepemimpinan diri ada yang lebih memimpin dan menguasai, yaitu Allah SWT. Proses penyadaran diri terhadap fungsi dan kedudukan ini akan menghingkan rasa tinggi hati, curang, merasa kuat dan menghandarkan diri dari segenap kebijakan yang sifatnya diskriminatif terhadap kebutuhan rakyat banyak.

2. prinsip kekuasaan sebagai amanah. Pemimpin yang ideal sesungguhnya mengawali kepemimpinannya dari keinginan masyarakat luas untuk menjadikannya sebagai pemimpin sebab telah mengetahui sejauh mana kapabilitasnya jika orang tersebut menjadi pemimpin. Optimisme untuk menjadi seorang pemimpin harus didasari dari prinsip amanah dan tanggung jawab. Kepemimpinan yang dipikul adalah sebuah tanggung jawab yang harus dipertanggung jawabkan secara sempurna dihadapan masyarakat.

3. prinsip penegakan keadilan. Seorang pemimpin kedepannya harus benar benar yang memiliki I’tikad dan program kerja yang adil dan memberikan keadilan. Tidak diskriminatif dan menjalankan amanat Undang undang yang berlaku. Miskin, kaya. Pejabat dan masyarakat biasa bukan menjadi ukuran dalam bertindak dan memutuskan perkara. Pemimpin yang tidak " mempelintir " nilai keadilan munurut kehendak hatinya. Namun keadilan yang memang dimaksud dalam nilai nilai keislaman.

4. Prinsip Amar ma’ruf nahyi munkar. Seorang pemimpin harus konsisten terhadap nilai amar ma’ruf nahyi munkar. Tidak menyeleweng untuk mengkondisionalkan bagaimana tipologi amar ma’ruf menurut kehendak hatinya. Namun tetap mengukur amar ma’ruf dari nilai nilai yang tertuang dalam Al Qur’an dan Sunnah.

5. prinsip profesionalisme,akuntabilitas dalam pengisian jabatan pemerintahan. Seorang pemimpin harus mampu memilih rekan kerjanya dengan benar benar melihat fungsi dan kepabilitasnya. Tidak nepotisme tanpa keahlian dalam bidang-bidang tertentu. Dan tidak pula otoriter dalam menentukan kebijakan. Seorang pemimpin harus mampu agresif dan efektif dalam menentukan kebijakan yang akan dilakukan.

Setidaknya ada 5 prinsip penting dari banyak prinsip yang harus dikedepankan untuk menjadi seorang pemimpin. Begitu juga dengan masyarakat luas yang bakal mencarai dan memilih siapa pemimpin Daerah Sumut masa depan. Seorang pemimpin harus benar benar siap secara lahir bathin untuk menjadi seorang pemimpin yang benar.

Tanpa prilaku dan kebijakan yang sifatnya "dadakan dan tumbenan" jangan sampai obral janji jangan sampai terkesan menjadi pemimpin yang " munafik " yang berlainan antara ucapan, janji-janji dengan perbuatan dan kebijakan pasca menjadi pemimpin. Semoga Daerah Sumut ini lebih baik kedepannya ***

KEPEMIMPINAN MENURUT ISLAM




Rasulullah bersabda dalam sunnahnya: “Semua kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap nasib yang dipimpinnya. Amir adalah pemimpin rakyat, dan bertanggungjawab terhadap keselamatan mereka”. (al-hadits)

Pemimpin dalam Islam adalah sebagai penggerak utama bagi orang-orang yang dipimpinnya. Dia bukanlah dilayani, sebagaimana yang dapat kita saksikan pada sejumlah pemimpin saat ini di mana dia minta dilayani. Pemimpin seharusnya melayani yang dipimpinnya.

Memimpin sebuah negara tentulah berbeda dengan memimpin sebuah perniagaan, baik dari segi kapasiti kemampuan yang diperlukan mahupun tanggungjawab yang dipikulnya.

Bermodalkan kemampuan management sudah cukup untuk memimpin sebuah perniagaan. Tetapi untuk memimpin sebuah negara, sungguh tidaklah cukup hanya dengan modal kemampuan pengurusan semata-mata. Sebab memimpin sebuah bangsa bukan hanya membangun jalan, jambatan atau gedung. Tetapi lebih dari itu iaitu membangun manusia.

Kesalahan pengurusan perniagaan paling-paling resikonya mengalami kerugian material. Dalam hal ini pemimpin perusahaan boleh berpindah, bergabung dengan perusahaan lain atau mencari investor untuk mendirikan perusahaan baru.

Sangat berbeza dengan memimpin sebuah bangsa. Kesalahan dalam mengelolanya akan mengakibatkan kerosakan Meneyeluruh. Bukan hanya berkait kerugian material dan beban hutang yang tidak terselesai. Kerosakan aqidah dan moral bangsa mererosakkan budaya bangsa, yang akan terus diwariskan dari generasi ke generasi. Memperbaikinya tidak cukup satu dua tahun, bahkan mungkin tidak cukup satu generasi. Andai kerugian yang ditimbulkannya hanya menyangkut urusan dunia, barangkali masih bisa dimaklumi. Tetapi ini menyangkut kerugian dunia dan akhirat. Kerana ianya tidak dapat diganti dengan wang berapapun banyaknya.

Kepemimpinan dalam Islam dipandang sebagai amanah. Seorang pemimpin bangsa hakikatnya ia memegang amanah Allah sekaligus amanah masyarakat. Amanah itu mengandung tanggungjawab mengelola dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan harapan dan dan keperluan pemiliknya. Kerananya kepemimpinan bukanlah hak milik yang boleh dinikmati dengan cara sesuka hati orang yang memegangnya.

Pemimpin menurut Islam bercirikan antara lain :

1) Setia terhadap Allah swt.

2) Membawa misi Islam yang global / menyeluruh, rahmat bagi seluruh alam.

3) Mengikuti apa yang diajarkan Islam, antara lain beradab islami.

4) Melaksanakan tanggungjawabnya terhadap Allah, berbuat baik kepada yang dipimpinnya, sebagaimana yang difirmankanNya dama Surah al-Maidah ayat 8 : yang artinya: “Orang-orang yang Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, nescaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’aruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan kepada Allahlah kembali segala urusan.”



ASAS KEPEMIMPINAN ISLAM

Ada tiga hal yang mengawali perjalanan kepimpinan Islam. Ketiga hal tersebut adalah

1) Syura : merupakan prinsip pertama dalam kepemimpinan Islam. Para pemimpin Islam wajib melaksanakan syura dengan orang yang dapat memberikan pandangan atau pemikiran yang baik / bermanfaat, sebagaimana difirmankanNya dalam Surah as-Syura ayat 38 yang artinya, ”Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebahagian daripada rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Pelaksanaan syura ini menjadi asas dalam melaksanakan keputusan.
Pemimpin sudah tentu tidak harus melaksanakan syura dalam semua hal, tetapi dia harus melaksanakan keputusan yang dibuat berdasarkan musyawarah.Dia hendaklah mengelakkan diri dari bermain dengan kata-kata yang menonjolkan pendapatnya atau mengubah keputusan yang diputuskan oleh syura.


2) Adil : Pemimpin hendaklah berlaku adil dalam menjalankan tugasnya tanpa melihat kepada suku, warna kulit ataupun agama. Sifat-sifat buruk seperti dendam, hasad dan sebagainya bukan menjadi sifat pemimpin Islam. Keadilan dan memberikan hak kepada orang lain tetap ditegakkan, meskipun terhadap orang yang dibenci.

Allah berfirman dalam surah al-Maidah ayat 8 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekalikali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam Islam kebenaran dan keadilan adalah dua hal dari sekian banyak hal lainnya yang harus diberikan penekanan, dan tidak boleh bertolak belakang dengannya. ansur dengannya. Mereka yang mengabaikan atau tidak mementingkan keadilan dan kebenaran, dapat dianggap sebagai pendusta agama. Allah swt berfirman dalam surah an-Niisa ayat 13 tentang penting menegakkan keadilan, yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu
bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan”


3) Bebas Menyampaikan Pendapat
Pemimpin Islam perlu menyediakan kesempatan menerima pandangan dan ide membangun dari mereka yang dipimpinnya. Dia memberikan peluang mereka yang dipimpinnya menyampaikan pandangan / pendapat / argumentasi secara bebas dan menjawab segala persoalan yang ditanyakan. Kedudukan sebagai seorang pemimpin bukan menjadi halangan untuk menjelaskan kebenaran. Tegasnya, kepimpinan Islam bukanlah satu bentuk kepimpinan yang zalim. Islam mewajibkan seseorang pemimpin mesti bersikap adil, berunding dan senantiasa hormat menghormati antara pemimpin dan yang dipimpin. Seseorang pemimpin bertanggungjawab bukan saja kepada yang dipimpinnya, tetapi yang lebih berat ialah tanggungjawab dihadapan Allah swt
hakim rasid 01:16
Kepemimpinan dalam Perspektif Islam
PDF
Print
E-mail
Written by Dailami Firdaus   
Thursday, 30 August 2012 03:33
http://www.dailami-firdaus.net/images/stories/pemimpin-ilustrasi.jpgIslam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah kepemimpinan (leadership). Hal ini, disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena Islam memandang bahwa manusia pada dasarnya adalah pemimpin, yaitu wakil Allah SWT di muka bumi, khalifatullah fi al-ardh (QS. Al-Baqarah [2]: 30). Dalam hadis shahih, Rasulullah saw menegaskan bahwa setiap orang (kamu) adalah pemimpin:
Setiap kamu adalah pemimpin, dan harus bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya; seorang imam (kepala Negara) adalah pemimpin dan harus bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. (HR. Bukhari dari sahabat Ibn Umar).
Dalam hadis lain, Rasulullah bahkan memberikan intsruksi (arahan), bahwa apabila tiga orang dalam perjalanan atau bepergian, maka hendaklah ditunjuk salah seorang dari mereka sebagai imam atau pemimpin.
Kedua, manusia sebagai makhluk social tidak akan berkembang dengan baik, tanpa kepemimpinan yang kuat dan mencerahkan (the inspiring leader). Menurut sosiolog Muslim Ibn Khaldun, ada 2 hal yang sangat diperlukan suatu masyarakat, (1), norma-norma hukum, dan (2), kepemimpinan (pemimpin) yang kuat. Kedua hal ini menjadi syarat mutlak lahirnya masyarakat yang beradab dan berbudaya tinggi. Tanpa keduanya, suatu masyarakat akan mudah terseret ke dalam perpecahan dan permusuhan yang berkepanjangan (chaos).
Ketiga, yang tidak kalah pentingnya adalah karena pemimpin menjadi salah satu factor penentu kemajuan (dan juga kebangkrutan) suatu masyarakat atau bangsa. Dalam adagium Arab ada ungkapan yang amat terkenal, yaitu: Manusia akan mengikuti agama raja-raja mereka
Bertolak dari latar belakang pemikiran di atas, maka soal kepemimpinan, termasuk di dalamnya memilih pemimpin menjadi hal yang sangat penting dalam pandangan Islam.
2, Arti dan Makna Kepemimpinan dalam Islam
Kepemipinan (leadership) merupakan salah satu variable penting dalam kehidupan umat, bahkan menjadi factor penentu (determinant factor) kemajuannya. Menurut Imam Ghazali, hakekat kepemimpinan adalah pengaruh, yakni kedudukan seseorang di mata dan di hati umat (maqamuka fi qulub al-nas). (Ihya’ `Ulum al-Din, Tanpa Tahun, jilid 3, h. 45). Tanpa pengaruh, seorang tak dinamakan pemimpin meskipun ia secara formal memiliki dan memangku jabatan penting dalam pemerintahan, organisasi, maupun korporasi (perusahan).Tak adanya pengaruh ini diidentifikasi oleh Jeremie Kubicek sebagai matinya kepemimpinan, dalam bukunya yang kesohor, Leadership is Dead: How Influence is Reviving It!. (Jeremie Kubicek, New York, Howard Book, 2011), h, 12 dst.).
Hakekat kepemimpinan, seperti telah disinggung, tak lain adalah pengaruh. Kepemimpinan adalah proses induksi [memengaruhi] orang lain agar bertindak menuju atau mencapai tujuan umum (the process of inducing others to take action toward a common goal). (Roland J Burke dan Cary L Coper, Inspiirng Leader, New York: Routledge, 2006, h. 6) atau tindakan memengaruhi orang lain agar mereka secara sukarela mencapai tujuan organisasi (influencing others to voluntarily pursue organizational goals). Pengertian lain, seperti dikemukakan Fred Smith, kepemimpinan adalah upaya memengaruhi orang lain agar mereka secara sadar melakukan apa yang tidak ingin mereka lakukan (Leadership is getting someone to willingly do what they don’t want to do). (Charles A Rarick, Leadership and Motivation in the New Century,Florida: Barry University, tt. h.2).
Bertolak dari hakekat kepemimpinan ini, maka pemimpin yang efektif dan memuaskan, menurut John Zinger, adalah pemimpin yang inspiring [inspirasional] dalam arti mencerahkan dan menggerakkan orang lain mencapai kemajuan dan kemuliaan. Untuk itu, dalam pandangan Islam, kepemimpinan yang efektif dan mencerahkan itu, harus ditunjukkan paling tidak dalam tiga hal, yaitu: (1) pelayanan (khadamat), (2), kedekatan dan komunikasi alias keterhubungan dan ketersambungan dengan kepentingan rakyat (al-tabligh wa al-bayan), dan (3), keteladanan (qudwah hasanah).
a, Pelayanan
Pelayanan yang baik (khadamat) adalah hal yang paling pokok dalam kepemimpinan Islam. Dengan makna ini, maka kepemimpinan menjadi medium pengabdian yang tinggi kepada Allah SWT. Dalam perspektif Islam, pemimpin tidak dipahami sebagai ‘penguasa’ (apalagi joragan besar), tetapi justru pelayan yang harus bekerja keras untuk mebantu masyarakat. Pemimpin, kata tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, H.Agus Salim, adalah “menderita” dalam arti bekerja keras untuk rakyat, bukan bersenang-senang di atas penderitaan orang lain.
Para Nabi dan Rasul Allah adalah pemimpi-pemimpin sejati, karena kedudukan mereka sebagai “penggembala,” dalam arti pelayan dan pengayom umat. Diilihami oleh kepemimpinan para Nabi itu, Raja Fahd dari Arab Saudi, menyebut dirinya sebagai “Pelayan Dua Tanah Suci,” Mekah dan Madinah (Khadim al-Haramain), karena sebagai Raja (pemimpin), ia harus melayani kaum muslim yang datang ke sana untuk melaksanakan haji dan umrah dari seluruh dunia. Kakenda, Mu’assis Awwal As-Syafi`iyah, KH Abdullah Syafi`I, juga menyebut dirinya sebagai “Khadim al-Thalabah” (pelayan para santri), karena sebagai ulama ia harus melayani dan membimbing para santri dan jemaah yang hendak belajar kepadanya. Pendek kata, inti dari kepemimpinan Islam adalah berjuang dan bekerja untuk kemajuan umat. Dalam kaidah fiqih politik Islam disebutkan: Tindakan seorang pemimpin (imam) atas rakyat terikat (tak boleh keluar) dari kemaslahatan umum.
b, Kedekatan dan Komunikasi dengan umat
Kedekatan dan komunikasi dengan umat menjadi ide dasar kedua dalam kepemimpinan Islam. Ide ini mengajarkan bahwa tidak boleh ada jarak (gap) antara pemimpin dan umat. Berbagai masalah yang muncul belakangan ini, seperti maraknya paham dan aliran sesat, radikalisasi agama, anarkisme, dan lain-lain, ditengarai karena tak adanya komunikasi antara pemimpin dan umat. Pemimpin memang wajib berkomunikasi dengan umat. Oleh sebab itu, pemimpin dalam pandanagn Islam, tak boleh bisu, tetapi ia wajib memiliki sifat tabligh.
Nabi Musa a.s. sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, berdo’a kepada Allah swt agar kata-kata (pikiran)-nya bisa dimengerti oleh kaumnya. "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku,” (QS. Thaha [20]: 25-28). Nabi Ibrahim a.s. malah meminta agar menjadi komunikator yang efektif, (lisana shidqin), yang kata-katanya abadi, tetap berpengaruh bagi orang-orang kemudian. Firman Allah: Dan Jadikanlah aku buah tutur (jurubicara) yang baik bagi orang-orang (yang datang) Kemudian (QS. Al-Syu`ara [26]: 84).
Ini berarti, Nabi Ibrahim tak hanya menjadi pemimpin besar (great leader), tetapi juga sekaligus komunitor besar (great communicator) sebagai wujud kepeduliannya kepada kebaikan dan kemajuan umat.
c. Keteladanan (Uswah Hasanah)
Keteladanan (qudwah dan uswah hasanah) merupakan hal yang sangat penting dalam kepemimpinan Islam. Dalam bahasa modern keteladanan (qudwaah hasanah) ini disebut “lead by example,yakni memimpin dengan memberi bukti, bukan janji. Keteladanan adalah kekuatan yang melahirkan pengaruh, aura, bahkan charisma. Kita semua mengetahui, bahwa pengaruh adalah kekuasaan (Influence is power). Karena berbasis keteladanan, kepemimpinan dalam perspektif Islam (leadership in the Islamic perspective) bergerak dari dalam ke luar (in side out), bukan sebaliknya, dipaksakan dari luar ke dalam (out side in). Inilah kepemimpinan dalam arti sebenarnya. Saya ingin mengutip sekali lagi sabda Nabi saw di atas Setiap kamu adalah pemimpin, dan harus bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.
Hadis ini tak hanya menegaskan pentingnya kepemimpinan, seperti umum dipahami, tetapi juga mengajarkan bahwa kepemimpinan harus tumbuh dari dalam, dengan latihan untuk bisa menjadi pemimin atas diri kita sendiri. Karena, percayalah seorang tidak akan bisa memimpin orang lain, apalagi memimpin bangsa, jika memimpin dirinya sendiri saja ia tak mampu.
Selanjutnya, hadis ini mendorong kita agar kita tak hanya menjadi manajer, tetapi leader. Sekali lagi leader. Dalam perspektif Islam, leader jauah lebih dipenting dan diperlukan ketimbang hanya manajer, apalagi kalau hanya sebagai Dealer (makelar).
3. Kriteria Pemimpin
Seorang pemimpin, dengan sendirinya, perlu memiliki syarat-syarat kepemimpinan yang kuat. Secara umum, seorang pemimpin, harus memiliki 4 sifat, yaitu: (1), memiliki wawasan dan ilmu pengetahuan yang luas. Pemimpin tidak boleh bodoh. (QS. Al-Baqarah [2]: 269). (2), memiliki akhlak yang mulia dan keluhuran budi pekerti, (QS. Al-Qalam [68]: 4), karena pemimpin adalah teladan atau Role Model (QS. Al-Ahzab [33]: 21). (3), memiliki tanggung jawab dan tanggung gugat (responsible dan accountable, amanah). (QS. Al-Nisa [4]: 58), dan (4), dapat mengkomunikasikan ide dan gagasan besarnya serta mampu mewujudkannya dalam kenyataan (QS. Al-Sya`ara’ [26]: 84).
Bila merujuk kepada kepemimpinan Nabi Muhammad saw, seorang pemimpin harus memiliki 3 semangat dasar (mental kepemimpinan) seperti disebut oleh Allah SWT dalam ayat ini:
http://www.dailami-firdaus.net/images/stories/at-taubah%20128.jpg
Sungguh Telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS.At-Taubah ayat 128) .
Menunjuk ayat di atas, maka ada 3 sifat yang dimiliki oleh Rasulullah saw, dan yang mesti dicontoh oleh setiap pemimpin. Pertama, `azizun `alaihi ma `anittum, yakni mampu merasakan kesulitan dan penderitaan orang lain. Dalam bahasa modern, sifat ini disebut “Sense of Crisis.”. Kedua, harishun `alaikum, yakni memiliki komitmen yang kuat untuk mensejahterakan umat. Dalam bahasa modern sifat ini ini disebut, “Sense of Achievement”. Ketiga, rauf dan rahim, yaitu memiliki cinta dan kasih sayang yang tinggi alias memiliki “Sense of Love”. Dikatakan, “If You Are Not Loving, You Are Not living.”
4. Memilih Pemimpin
Dalam kaitan ini, saya ingin mengajak kaum muslim agar memahami dan melakukan 3 hal seperti berikut ini.
Pertama, sebagai muslim kita perlu bersikap positif dan pro aktif, serta ikut serta mengambil bagian dalam proses pembangunan bangsa, termasuk dalam menentukan dan memilih pemimpin. Dalam pandangan Islam, memilih pemimpin merupakan bagian dari tanggung jawab social Islam (al-mas’uliyah al-ijtima`iyah al-Islamiyah) serta merupakan bagian tak terpisahkan dari kewajiban amar makruf dan nahi munkar. Kita tidak boleh melepaskan diri dari tanggung jawab ini demi terciptanya masyarakat adil dan makmur yang menjadi harapan dan ciata-cita bersama.
Kedua, selanjutnya, sebagai Muslim, kita tentu harus memilih pemimpin yang sesuai dengan criteria dan petunjuk yang diajarkan oleh agama Islam. Perhatikan firman Allah ini:
http://www.dailami-firdaus.net/images/stories/an-nisa%20144.png
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alas an yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)..? (Q.S. An-Nisa ayat 144).
Perhatikan juga ayat ini:
http://www.dailami-firdaus.net/images/stories/maidah%20ayat%2051.jpg
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu, sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Maidah ayat 51)
Di zaman sekarang, banyak orang yg Menuhankan Hawa nafsu, Bukan hanya para pejabat, tetapi juga ada ulama yang menuhankan hawa nafsu, Maka ayat Allah akan dijual dengan harga yang murah.
Dia akan cari pembenaran, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, demi untuk menyenangkan kepada siapa yang memberi.
Dengan demikian Allah Akan sesatkan dia dengan kepintarannya dia sendiri, Dan Allah SWT akan meng menutup pendengarannya, menutup hatinya, dan Allah jadikan didalam pandangannya penyakit (yang benar dia lihat salah, dan salah dia liat benar) yang mestinya diluruskan, dia belokkan, sekalipun dia seorang ulama! Naudzu billahi min zaalik!
Marilah kita cermati sikap kita. Jangan ummat islam salah dalam memilih pemimpin. Sebab, kesalahan memilih pemimpin akan berpengaruh besar terhadap nasib kita untuk satu periode politik ke depan.
Semoga Allah memberi kita kekuatan untuk menapaki jalan yang benar dan memilih pemimpin yang amanah yang jujur, dan penuh keikhlasan, sehingga negeri ini betul-betul menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Negeri yang jauh dari bencana karena pemimpinnya semakin dekat pada Allah Swt. Amien ya robbal ‘alamin.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Prof. Dr. H. Dailami Firdaus, SH

Guru Besar Fakultas Hukum UIA / Wakil Rektor II UIA Jakarta, disampaikan pada khutbah Iedul Fitri 1433 H di Masjid Al Barkah, Kampus UIA, Jakarta.
Last Updated on Monday, 03 September 2012 06:47

anggung Jawab Setiap Pemimpin Umat Islam

Apabila kita memperkatakan pemimpin umat Islam,terbayang oleh kita bahwa mereka terbagi kepada berbagai peringkat dan pemimpin di berbagai bidang dan jurusan. Pemimpin di kalangan umat Islam itu ada pemimpin-pemimpin besar dan ada juga yang kecil. Ada yang umum (negara, daerah, dll) ada yang khusus (pendidikan, ketentaraan, ekonomi, dll). Juga ada yang terbatas ketika pemimpin itu juga dipimpin.
Setelah kita mengetahui pemimpin dan kepemimpinan dalam Islam itu berperingkat-peringkat, maka di sini akan memperkatakan apa tanggung jawab setiap pemimpin itu?
Di sini tidak akan dibahas secara luas dan menyeluruh namun secara ringkas saja. Di peringkat manapun pemimpin itu memimpin maka ada dua kewajiban yang tidak dapat dihindari dan akan dipertanggungjawabkan karena mereka adalah pemimpin Islam. Agama Islam mewajibkan setiap pemimpin umat Islam bertanggung jawab yaitu agama dan akhlak orang yang di bawah pimpinannya.
Setiap pemimpin di akhirat kelak akan ditanya oleh ALLAH Ta’ala setiap orang di bawah pimpinannya, tidak terkecuali pemimpin besar atau kecil, umum atau khusus. Mereka tidak boleh memikirkan bidangnya saja. Dalam ajaran Islam, masalah agama terutama di sudut fardhu ain mesti diketahui, dihayati dan diamalkan oleh setiap mukallaf (muslim, baligh, berakal yang telah dapat dikenai hukum). Oleh sebab itu siapa saja yang menjadi pemimpin bertanggung jawab memastikan perkara agama dan akhlak untuk keselamatan bersama di dunia dan akhirat.
Tidak seperti halnya dalam bidang fardhu kifayah, seperti ketentaraan, ekonomi, pertanian dll. Sebagai contoh kalau ada satu golongan yang berkecimpung di bidang itu dan mencukupi keperluan umum, maka sudah memadai. Orang lain yang tidak ambil bagian di bidang itu terlepas dari dosa. Sedangkan mengetahui halal dan haram serta akhlak yang mulia, yatu memiliki sifat-sifat mahmudah, seperti adil, jujur, tawadhuk, pemurah, kasih sayang, sabar, redha, tawakal, tenggang rasa, lapang dada, pemaaf, meminta maaf, amanah diwajibkan bagi setiap orang, baik pemimpin maupun bukan.
Setiap pemimpin Islam itu tidak bisa dia berkata, “Saya pemimpin di bidang ketentaraan. Saya hanya bertanggung jawab dengan ketentaraan saja. Soal agama dan akhlak itu bukan tanggung jawab saya.” Pemimpin ekonomi pun berkata senada dan juga pemimpin-pemimpin yang lain. Begitulah setiap pemimpin berfikir demikian. Soal agama dan akhlak itu tanggung jawab ulama, ustadz, pendakwah, pemimpin dakwah. Itulah bidang khusus mereka, begitu dalam fikiran para pemimpin itu. ALLAH dan Rasul tidak menghendaki demikian. Islam memerintahkan setiap pemimpin umat Islam, baik dia memimpin negara, pemimpin ketentaraan, politik, ekonomi, dll, wajib bertanggung jawab kepada anak pimpinannya mengenai agama dan akhlak mereka.
Di akhir zaman inilah kelemahan umat Islam, dimana pemimpin hanya memimpin di bidangnya saja. Terhadap agama dan akhlak mereka meringan-ringankannya. Itulah rahasia mengapa setiap golongan itu, susah disatukan satu sama lain. Hati berjauhan meski tidak bertengkar karena tali pengikat di kalangan umat Islam adalah agama dan akhlak sudah diputuskan. Kalaupun ada tali, tapi sudah hampir putus. Maka dari itu banyak terjadi gejala yang negatif dalam golongan—golongan manusia. Hal ini berlaku karena mereka tidak diarahkan kepada agama dan akhlak mulia oleh pemimpin, jika ada progam keagamaan pun hanya sekali-sekali. Pemimpin hanya mengutamakan bidangnya saja seolah-olah agama dan akhlak adalah persoalan individu.
Padahal umat Islam menghendaki agama dan akhlak mesti sama walaupun berasal dari berbagai bidang, karena hal itu merupakan keperluan bersama. Kalau pemimpin memperhatikan akhlak dan agama maka akan lahir ahli-ahli yang berkemajuan, berdisiplin dan berakhlak mulia karena disuluh oleh ruh Islam. Sehingga visi mereka sejalan, syiar mereka bersama dan akhlak mulianya sama.
Umat Islam sudah berfikir bahawa agama hanya untuk guru-guru agama dan ustadz-ustadz. Apakah ada di dalam kalangan umat Islam berfikir bahwa dengan berdisiplin agama dan berakhalak mulia akan merugikan umat Islam dan manusia? Apakah dengan berakhak mulia dan berdisiplin dalam agama akan menciptakan kemunduran?
Sebenarnya kepatuhan dalam agama serta akhlak mulia itulah yang menjadikan umat Islam berdisiplin. Akan memperindah dan memperbaiki setiap profesi dalam bidang-bidang kemajuan, sehingga dapat meningkatkan kehormatan umat Islam, karena akhlak adalah universal, bahkan orang bukan Islam akan senang terhadap Islam. Dan yang terpenting adalah ALLAH dan RasulNya akan suka dan redha terhadap kita. Amin.

MAGHFIROH AZZAHRA

Fakultas Pertanian Jurusan Agroteknologi ‘10


PEMIMPIN paling mendasar dalam pemerintahan. Sistem pemerintahan tidak akan berjalan baik tanpa pemimpin yang baik. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu mengadakan perjalanan secara berkelompok, maka tunjuklah salah satunya sebagai imam (pemimpin perjalanan).” Begitu pentingnya pemimpin sehingga dalam kelompok diskusi pun butuh pemimpin agar diskusi berjalan lancar dan tertib.

Rasulullah pernah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu, “Wahai Abdul Rahman bin Samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan (kamu), maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan (kamu), maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Ada tiga hal pemimpin yang memiliki hikmah. Pertama, kasrotun ‘ilmi, yaitu orang-orang cerdas yang menguasai berbagai kemampuan, baik komunikasi maupun wirausaha. Orang yang punya pemikiran luas, tidak hanya berpikir apa yang akan ia dapat melainkan apa yang telah ia beri untuk kemaslahatan orang yang dipimpinnya. Orang-orang yang berpikir cerdas, memberikan seluruh pemikirannya untuk kemajuan orang yang ia pimpin.

Seperti kisah Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah begitu paham dengan taktik dakwah yang dilakukannya sehingga pada awal perjanjian disetujui banyak sahabat. Padahal isi perjanjian agak diragukan kaum Muslimin, namun kenyataannya 2 tahun kemudian malah kaum Quraisy yang melanggar perjanjian. Puncaknya fathu Makkah (penaklukan Makkah) yang dilakukan pasukan Muslimin. Mereka persembahkan kemenangan gemilang.

Rasulullah SAW juga memimpin dengan cara sederhana. Namun kesederhanaan yang dimilikinya tak melunturkan rasa cinta para sahabat dan umat kepadanya. Begitu pula dengan Umar bin Khatab, merelakan dirinya berjalan di padang gurun saat hari telah gelap demi memeriksa keadaan rakyatnya. Umar bin Abdul Aziz yang semula bertubuh gemuk, saat menjadi khalifah jadi kurus. Sifat mereka perlu dicontoh. Pemimpin yang benar-benar menjadi hikmah bagi rakyatnya.

Kedua, kasrotul hilmi ialah mereka yang punya kedewasaan dan kesabaran yang matang. Mereka pantang menyerah, tak mudah mengeluh apalagi menyalahkan orang lain. Mereka bekerja keras untuk memajukan kasejahteraan umat, mempertanggung jawabkan posisi pemimpin yang ia pangku. Mereka yang tak terbiasa duduk santai sementara keadaan rakyat begitu menyedihkan.

Kedewasaan menjadikan mereka bertindak lebih bijak. Kesabaran diazamkan ketika mereka tidak akan mengeluh apapun ujian yang menimpa kepe-mimpinannya, bersabar ketika isu yang akan menjatuhkan namanya telah digembar-gemborkan. Seperti kisah Sa’id bin ‘Amir Al-Jamhi yang menjabat sebagai Gubernur. Suatu hari serombongan kaum mengadukan celanya kepada khalifah Umar. Dengan tenang Sa’id mejelaskan alasan mengapa ia melakukan hal itu, dan sungguh ia melakukannya semata-mata hanya karena Allah SWT. Setelah penjelasan Sa’id berkatalah khalifah Umar, “Alhamdulillah, aku tidak keliru memilih pejabat yang membantuku.” Sungguh kesabaran akan mendatangkan hikmah.

Ketiga adalah kasrotul unah, yakni orang yang memiliki kehati-hatian dan kewaspadaan. Mereka sangat hati-hati dalam bertindak. Kehati-hatian serta kewaspadaan itu juga disertai kepahaman dan kecerdasan yang dimikinya. Seperti kisah Ma’iz bin Malik Al-Aslami yang mengadukan bahwa dirinya telah berzina dan meminta agar ia dibersihkan dari dosa tersebut.

Pertama kali Ma’iz mengakui kesalahannya, Rasulullah SAW menyuruhnya pulang. Bukan berarti Rasulullah tidak mau melakukan hukum Allah, namun semuanya harus jelas dan bila perlu disertakan bukti yang kuat. Begitulah kehati-hatian Rasulullah dalam bertindak, bahkan untuk orang yang telah mengakui kesalahannya sekalipun.

Begitulah setidaknya seorang pemimpin, selalu bisa jadi panutan bagi kaumnya. Seharusnya ini juga diazamkan kepada mereka yang berniat jadi pemimpin. Pemimpin itu sebuah amanah dan ia akan dipertanggung jawabkan di akhirat. Memimpinlah dengan ikhlas yang hanya mengharap ridha Allah saja. Jika sudah berazam begitu, maka tak akan segan ia berkorban dengan ikhlas apa yang ia punya, baik jiwa, raga, waktu, harta dan segala sesuatu untuk kebaikan orang yang ia pimpin. Karena, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan balasan surga.” (At-Taubah: 111).#

Perspektif Kepemimpinan Dalam Islam

http://www.akhirzaman.info/images/stories/pics-islam/khilafah-.jpg 
Cipto Sudarmo 
Di dalam konsep (manhaj) Islam, pemimpin merupakan hal yang sangat final dan fundamental. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjama'ah, pemimpin ibarat kepala dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapannya dalam memimpin akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin dicapai, yaitu kejayaan dan kesejahteraan ummat dengan iringan ridho Allah (Qs. 2 : 207).
Dalam bangunan masyarakat Islami, pemimpin berada pada posisi yang menentukan terhadap perjalanan ummatnya. Apabila sebuah jama'ah memiliki seorang pemimpin yang prima, produktif dan cakap dalam pengembangan dan pembangkitan daya juang dan kreativitas amaliyah, maka dapat dipastikan perjalanan ummatnya akan mencapai titik keberhasilan. Dan sebaliknya, manakala suatu jama'ah dipimpin oleh orang yang memiliki banyak kelemahan, baik dalam hal keilmuan, manajerial, maupun dalam hal pemahaman dan nilai tanggung jawab, serta lebih mengutamakan hawa nafsunya dalam pengambilan keputusan dan tindakan, maka dapat dipastikan, bangunan jama'ah akan mengalami kemunduran, dan bahkan mengalami kehancuran (Qs. 17 : 16)
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah (kaum elit dan konglomerat) di negeri itu (untuk menaati Allah), akan tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (Qs. 17 : 16)
Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa kepemimpinan memiliki posisi yang sangat strategis dalam terwujudnya masyarakat yang berada dalam Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur (Qs. 34 : 15), yaitu masyarakat Islami yang dalam sistem kehidupannya menerapkan prinsip-prinsip Islam. Begitu pentingnya kepemimpinan atau imam dalam sebuah jama'ah atau kelompok, sampai-sampai Rasulullah bersabda yang maksudnya:
"Apabila kamu mengadakan perjalanan secara berkelompok, maka tunjuklah salah satunya sebagai imam (pemimpin perjalanan)."
Demikian juga jika kita lihat dalam sejarah Islam (Tarikh Islam) mengenai pentingnya kedudukan pemimpin dalam kehidupan ummat muslim. Kita lihat dalam sejarah, ketika Rasulullah saw. wafat, maka para shahabat segera mengadakan musyawarah untuk menentukan seorang khalifah. Hingga jenazah Rasulullah pun harus tertunda penguburanya selama tiga hari. Para shahabat ketika itu lebih mementingkan terpilihnya pemimpin pengganti Rasulullah, karena kekhawatiran akan terjadinya ikhlilaf (perpecahan) di kalangan ummat muslim kala itu. Hingga akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama setelah Rasulullah saw. wafat.
Dalam perspektif Islam, ada beberapa komponen yang menjadi persyaratan terwujudnya masyarakat Islami, yaitu :
Adanya wilayah teritorial yang kondusif (al-bi'ah, al-quro)
Adanya ummat (al-ummah)
Adanya syari'at atau aturan (asy-syari'ah)
Adanya pemimpin (al-imamah, amirul ummah)
Pemimpin pun menjadi salah satu pilar penting dalam upaya kebangkitan ummat. Islam yang telah dikenal memiliki minhajul hayat (konsep hidup) paling teratur dan sempurna dibandingkan konsep-konsep buatan dan olahan hasil rekayasa dan imajinasi otak manusia, telah menunjukkan nilainya yang universal dan dinamis dalam penyatuan seluruh komponen ummat (Qs. 21 : 92).
Ada empat pilar kebangkitan ummat, yang kesemuanya saling menopang dan melengkapi, yaitu :
Keadilan para pemimpin (umaro)
Ilmunya para ‘ulama
Kedermawanan para aghniya (orang kaya)
Do'anya orang-orang faqir (miskin)
Definisi Pemimpin
Ada beberapa istilah yang mengarah kepada pengertian pemimpin, diantaranya :
Umaro atau ulil amri yang bermakna pemimpin negara (pemerintah)
Amirul ummah yang bermakna pemimpin (amir) ummat
Al-Qiyadah yang bermakna ketua atau pimpinan kelompok
Al-Mas'uliyah yang bermakna penanggung jawab
Khadimul ummah yang bermakna pelayan ummat
Dari beberapa istilah tadi, dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah orang yang ditugasi atau diberi amanah untuk mengurusi permasalahan ummat, baik dalam lingkup jama'ah (kelompok) maupun sampai kepada urusan pemerintahan, serta memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat dengan memberikan perhatian yang lebih dalam upaya mensejahterakan ummatnya, bukan sebaliknya, mempergunakan kekuasaan dan jabatan untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada, baik SDM maupun SDA, hanya untuk pemuasan kepentingan pribadi (ananiyah) dan kaum kerabatnya atau kelompoknya (ashobiyah).
Kriteria dalam Menentukan Pemimpin
Jika kita menyimak terhadap perjalanan siroh nabawiyah (sejarah nabi-nabi) dan berdasarkan petunjuk Al-Qur'an (Qs. 39 : 23) dan Al-Hadits (Qs. 49 : 7), maka kita dapat menyimpulkan secara garis besar beberapa kriteria dalam menentukan pemimpin.
Beberapa faktor yang menjadi kriteria yang bersifat general dan spesifik dalam menentukan pemimpin tersebut adalah antara lain :
a. Faktor Keulamaan
- Dalam Qs. 35 : 28, Allah menerangkan bahwa diantara hamba-hamba Allah, yang paling takut adalah al-‘ulama. Hal ini menunjukkan bahwa apabila pemimpin tersebut memiliki kriteria keulamaan, maka dia akan selalu menyandarkan segala sikap dan keputusannya berdasarkan wahyu (Al-Qur'an). Dia takut untuk melakukan kesalahan dan berbuat maksiat kepada Allah.
- Berdasarkan Qs. 49 : 1, maka ia tidak akan gegabah dan membantah atau mendahului ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam pengambilan keputusan, ia selalu merujuk kepada petunjuk Al-Qur'an dan Al-Hadits.
- Berdasarkan Qs. 29 : 49, maka seorang pemimpin yang berkriteria ulama, haruslah memiliki keilmuan yang dalam di dalam dadanya (fii shudur). Ia selalu menampilkan ucapan, perbuatan, dan perangainya berdasarkan sandaran ilmu.
- Berdasarkan Qs. 16 : 43, maka seorang pemimpin haruslah ahlu adz-dzikri (ahli dzikir) yaitu orang yang dapat dijadikan rujukan dalam menjawab berbagai macam problema ummat.
b. Faktor Intelektual (Kecerdasan)
- Seorang calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan, baik secara emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).
- Dalam hadits Rasulullah melalui jalan shahabat Ibnu Abbas r.a, bersabda :
"Orang yang pintar (al-kayyis) adalah orang yang mampu menguasai dirinya dan beramal untuk kepentingan sesudah mati, dan orang yang bodoh (al-‘ajiz) adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan pandai berangan-angan atas Allah dengan segala angan-angan." (HR. Bukhari, Muslim, Al-Baihaqy)
Hadits ini mengandung isyarat bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang mampu menguasai dirinya dan emosinya. Bersikap lembut, pemaaf, dan tidak mudah amarah. Dalam mengambil sikap dan keputusan, ia lebih mengutamakan hujjah Al-Qur'an dan Al-Hadits, daripada hanya sekedar nafsu dan keinginan-nya. Ia akan menganalisa semua aspek dan faktor yang mempengaruhi penilaian dan pengambilan keputusan.
- Berdasarkan Qs. 10 : 55, mengandung arti bahwa dalam mengambil dan mengajukan diri untuk memegang suatu amanah, haruslah disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas (kafa'ah) yang dimiliki (Qs. 4 : 58).
- Rasulullah berpesan : "Barangsiapa menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."
c. Faktor Kepeloporan
- Berdasarkan Qs. 39 : 12, maka seorang pemimpin haruslah memiliki sifat kepeloporan. Selalu menjadi barisan terdepan (pioneer) dalam memerankan perintah Islam.
- Berdasarkan Qs. 35 : 32, maka seorang pemimpin haruslah berada pada posisi hamba-hamba Allah yang bersegera dalam berbuat kebajikan (sabiqun bil khoiroti bi idznillah)
- Berdasarkan Qs. 6 : 135, maka seorang pemimpin tidak hanya ahli di bidang penyusunan konsep dan strategi (konseptor), tetapi haruslah juga orang yang memiliki karakter sebagai pekerja (operator). Orang yang tidak hanya pandai bicara, tetapi juga pandai bekerja.
- Berdasarkan Qs. 6 : 162 - 163, maka seorang pemimpin haruslah orang yang tawajjuh kepada Allah. Menyadari bahwa semua yang berkaitan dengan dirinya, adalah milik dan untuk Allah. Sehingga ia tidak akan menyekutukan Allah, dan selalu berupaya untuk mencari ridho Allah (Qs. 2 : 207)
- Berdasarkan Qs. 3 : 110, sebagai khoiru ummah (manusia subjek) maka seorang pemimpin haruslah orang yang selalu menyeru kepada yang ma'ruf, mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan senantiasa beriman kepada Allah.
d. Faktor Keteladanan
- Seorang calon pemimpin haruslah orang yang memiliki figur keteladanan dalam dirinya, baik dalam hal ibadah, akhlaq, dsb.
- Berdasarkan Qs. 33 : 21, maka seorang pemimpin haruslah menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi dirinya. Sehingga, meskipun tidak akan mencapai titik kesempurnaan, paling tidak ia mampu menampilkan akhlaq yang baik layaknya Rasulullah.
- Berdasarkan Qs. 68 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memiliki akhlaq yang mulia (akhlaqul karimah), sehingga dengannya mampu membawa perubahan dan perbaikan dalam kehidupan sosial masyarakat.
- Faktor akhlaq adalah masalah paling mendasar dalam kepemimpinan. Walaupun seorang pemimpin memiliki kecerdasan intelektual yang luar biasa, tetapi apabila tidak dikontrol melalui akhlaq yang baik, maka ia justru akan membawa kerusakan (fasada) dan kehancuran.
e. Faktor Manajerial (Management)
- Berdasarkan Qs. 61 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memahami ilmu manajerial (meskipun pada standar yang minim). Memahami manajemen kepemimpinan, perencanaan, administrasi, distribusi keanggotaan, dsb.
- Seorang pemimpin harus mampu menciptakan keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial lembaganya (tandhim), baik aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota, pencapaian hasil, serta parameter-parameter lainnya.
- Dengan kemampuan ini, maka akan tercipta tanasuq (keteraturan), tawazun (keseimbangan), yang kesemuanya bermuara pada takamul (komprehensif) secara keseluruhan.
Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati dalam menentukan imam atau pemimpin kita. Karena apapun akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan turut bertanggung jawab terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka kita akan merasakan nikmatnya. Sebaliknya, apabila kepemimpinannya buruk, maka kita pun akan merasakan kerusakan dan kehancurannya. Wallahu a'lam bish-showwab
(Sumber : Al Qur'an Al Karim)
"Al Haqqu min robbika, fala takuu nanna minal mumtariin"
(Qs. Al Baqarah (2) : 147)
Penulis : Slamet Muliono Redjosari
Promotor : Prof. Achmad Jainuri MA. Ph.D., dan Prof. Kacung Marijan MA. Ph.D
Penelitian ini adalah sebuah kajian kepemimpinan dalam pandangan kaum Salafi. Ada beragam tanggapan gerakan Islam terhadap sistem demokrasi dalam pemilihan  pemimpin yang memunculkan pertanyaan apakah Islam mengatur prinsip dan mekanisme dalam pemilihan pemimpin. Dalam perspektif Islam, seorang pemimpin harus mempunyai tanggungjawab tidak hanya pada kehidupan di dunia namum juga pada kehidupan di akherat. Tanggungjawab seorang pemimpin pada akherat dapat dilihat dari caranya menjaga dan menegakkan keberadaan agama. Oleh karena itu  kekosongan pemimpin dalam sebuah negara dapat dianggap sebagai masalah besar terhadap keberadaan agama. Selanjutnya  tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan kaum salafi terhadap prinsip dan prosedur dalam pemilihan pemimpin.
Dalam penelitian ini, untuk mengetahui pandangan kaum salafi terhadap prinsip dan prosedur dalam pemilihan pemimpin menggunakan metode deskriptif–kualitatif dan metode interpretatif, dan semua data diambil melalui pengamatan dan wawancara mendalam (depth interview). Kemudian semua data dianalisis dengan menggunakan metode interpretatif. Selanjutnya, hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa kaum Salafi memiliki prinsip dan prosedur baku dalam pemilihan pemimpin, sebagaimana telah dilakukan oleh tiga generasi Islam pertama. Mekanisme pemilihan pemimpin dilakukan dengan beberapa opsi. Pertama, mekanisme penunjukan dengan menggunakan isyarat, yang demikian itu seperti pemilihan Abu Bakar yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Kedua, mekanisme penunjukan secara langsung, yang demikian itu seperti pemilihan Umar bin Khat{t{ab  yang dilakukan oleh Abu Bakar. Ketiga, mekanisme dengan membentuk Ahl al –Halli wa al-Aqdi, mekanisme yang demikian itu seperti pemilihan Utsman Bin Affa>n yang dilakukan oleh Umar bin Khat{t{ab. Keempat, mekanisme turun-temurun, Mekanisme yang demikian itu seperti pemilihan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Namun demikian, opsi yang ketiga bagi pandangan kaum Salafi diakui sebagai mekanisme paling ideal untuk pemilihan pemimpin.
Kerangka James Wood dan Herbert Blummer dapat digunakan untuk mengetahui proses lahirnya gerakan melalui lima tahapan, yaitu agitasi, pengembangan esprit de corp, pengembangan moral gerakan, pembentukan ideologi, dan pengembangan taktik-taktik operasional. Kerangka ini dapat digunakan untuk memperlihatkan gerakan kaum Salafi ketika sedang menyebarkan ideologi agamanya. Kemudian, teori tindakan social dari Weber dapat digunakan untuk memperlihatkan tindakan sosial sebagai sebuah perwujudan kesadaran untuk menerapkan sebuah nilai yang dianggap mutlak.
Dalam hal ini, kaum salafi ingin mewujudkan suatu prinsip dan prosedur dalam pemilihan pemimpin dengan mengacu pada nilai dan cara yang dilakukan dari para pendahulu generasi Islam. Selanjutnya, pendekatan ideologi dan utopia dari Karl Mannheim  dapat digunakan untuk memperlihatkan bahwa ada suatu gerakan. Ideologi tersebut dapat digunakan untuk memotret  gerakan yang memproyeksikan masa depan yang berdasarkan pada sistem yang berlaku. Di samping itu, Utopia dapat digunakan untuk memotret gerakan yang memproyeksikan masa depan yang berdasarkan pada sistim yang lain. Hal ini untuk memperlihatkan pandangan kaum salafi yang lebih dekat dengan pandangan Utopis karena ingin mewujudkan adanya nilai yang bertolak belakang dengan realitas empirik.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa kaum salafi memiliki pandangan bahwa Islam telah menempatkan pemimpin pada posisi yang sangat penting untuk mewujudkan tegaknya agama. Oleh karena itu, ketaatan kepada pemimpin merupakan kewajiban selama kebijaksanaan pemimpin tersebut seiring sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah. Kaum Salafi memandang bahwa Islam telah mengatur tugas dan kewajiban pemimpin itu dengan menerapkan prinsip  dan mekanismenya. Full Text
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalu berinteraksi dengan sesame serta lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun kecil.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi disbanding dengan makhluk Tuhan yang lainnya. Manusia dianugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mamapu mengelola lingkungan dengan baik.
Tidak hanya lingkungan yang perlu dikelola dengan baik, kehidupan sosial manusi pun perlu dikelola dengan baik. Untuk itulah dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berjiwa pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri.Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok dan lingkungannya dengan baik. Khususnya penanggulan masalah. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan dengan baik.

1.2  Rumusan Masalah
  1. Pengertian kepemimpinan
  2. Fungsi kepemimpinan
  3. Gaya kepemimpinan
  4. Teori-teori kepemimpinan
  5. Kepemimpinan dalam persfektif islam



1.3  Tujuan
  1. Untuk memenuhi tugas matakuliah Pengantar Manajemen
  2. Untuk mengetahui pengertian kepemimpinan
  3. Untuk mengetahui fungsi kepemimpinan
  4. Untuk mengetahui gaya kepemimpinan
  5. Untuk mengetahui kepemimpinan dalam pesfektif islam





BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Tugas Pemimpin
A. Pengertian
Kepemimpinan sering disebut dengan leadership yaitu suatu proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan dari anggota kelompok. Kepemimpinan juga didefinisikan dengan berbagai cara yang berbeda oleh berbagai orang yang berbeda pula. Menurut Stoner, kepemimpinan manajerial dapat didefinisikan sebagai proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan – kegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya.
Sedangkan pemimpin adalah terjemahan leader/head/manager, yang juga disebut kepala/ketua/direktur, dan lain sebagainya. Menurut Drs.H.Malayu S.P.Hasibuan, pemimpin adalah seseorang dengan wewenang kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam mencapai tujuan. Manajer adalah seseorang yang mencapai tujuannya melalui kegiatan – kegiatan orang lain. Jadi, pemimpin itu harus mempunyai bawahan, harus membagi pekerjaannya, dan harus tetep bertanggung jawab terhadap pekerjaan tersebut. Pemimpin harus mengutamakan tugas, tanggung jawab, dan membina hubungan yang harmonis, baik dengan atasan maupun dengan para bawahannya. Jadi, pemimpin harus mengadakan komunikasi ke atas dan ke bawah, baik komunikasi formal maupun informal.
B. Tugas Pemimpin
Tugas seorang pemimpin adalah
  1. Managerial cycle adalah siklus “ pengambilan keputusan, perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengendalian, penilaian dan pelaporan. Dengan demikian tugas – tugas manajer adalah siklus yang berulang – ulang mulai dari pengambilan keputusan menerima laporan.
  2. Memotivasi, artinya seorang manajer harus dapat mendorong para bawahannya untuk bekerja giat dan membina bawahan dengan baik, sehingga tercipta suasana kerja yang baik dan harmonis.
  3. Manajer harus berusaha memenuhi kebutuhan – kebutuhan para bawahannya, supaya loyalitas dan partisipasinya meningkat.
  4. Manajer harus dapat menciptakan kondisi yang akan membantu bawahannya mendapat kepuasan dalam pekerjaannya.
  5. Manajer harus berusaha agar para bawahannya bersedia memikul tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas – tugasnya dengan baik.
  6. Manajer harus bisa berusaha membina bawahannya, agar dapat bekerja efektif dan efisien.
  7. Manajer harus membenahi fungsi – fungsi fundamental manajemen secara baik.
  8. Manajer harus mewakili dan membina hubungan yang harmonis dari pihak – pihak luar.
  9. Manajer harus bertanggung jawab atas keselamatan kerja para bawahannya selama melakukan pekerjaan.
  10. Manajer harus mengadakan pembagian pekerjaan dan mengkordinasi tugas – tugas supaya terintegrasi kepada tugas – tugas yang diinginkan.
  11. Manajer harus bersedia menjadi penanggung jawab terakhir mengenai hasil yang dicapai dari proses manajemen itu.

2.2  Fungsi Kepemimpinan
Fungsi Kepemimpinan (Leadership Function) yaitu aktivitas yang dipertahankan kelompok dan berkaitan dengan tugas yang harus dilaksanakan oleh pemimpin, atau seseorang lain, agar kelompok dapat berfungsi secara efektif.
Para peneliti yang mengamati fungsi kepemimpinan sampai pada kesimpulan bahwa agar beroperasi secara efektif kelompok memerlukan seseorang melakukan dua fungsi utama:
  1. Fungsi yang berhubungan dengan tugas atau memecahkan masalah
  2. Fungsi memelihara kelompok atau sosial, termasuk tindakan yang menengahi perselisihan dan memastikan bahwa individu merasa dihargai.
Seseorang yang mampu melaksanakan keduanya dengan sukses akan menjadi pemimpin yang efektif. Akan tetapi dalam prakteknya seorang pemimpin mempunyai keterampilan atau yang hanya menggunakan 1 saja. Walaupun demikian tidak berarti kelompok ini bernasib malang.

2.3  Gaya Kepemimpinan
Kedua fungsi kepemimpinan berhubungan dengan tugas dan pemeliharaan kelompok, yang diekspresikan dalam dua gaya kepemimpinan yang berbeda.
Dua gaya kepemimpinan tersebut adalah:
  1. Gaya dengan orientasi tugas (task-oriented)
Sebagai pemimpin mengawasi dan mengarahkan bawahan secara tertutup untuk menjamin bahwa tugas telah dilaksanakan sesuai yang diinginkan. Gaya ini lebih memperhatikan pelaksanaan pekerjaan dari pada kepuasan pribadi.
  1. Gaya dengan orientasi karyawan (employee-oriented)
Gaya ini klebih menekankan pada motivasi daripada mengawasi mereka.
Mereka mencari hubungan bersahabat, saling percaya, dan saling menghargai sesama karyawan, dan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengambil keputusan.



2.4 Teori Kepemimpinan
Kreitner (2007) menyebutkan adanya empat teori kepemimpinanyang terentang sejak tahun 1950-an sampai saat ini. Keempat teori adalah trait theory, behavioral styles theory, situational theory, dan transformational theory.
Selain empat teori tersebut, masih terdapat empat teori kepemimpinan yang secara luas dikenal dalam kepustakaan manajemen.
  1. 1.      Teori Orang-orang Besar (Great Man Theory)
Menurut teori ini seorang pemimpin besar terlahir sebagai pemimpin yang memiliki berbagai cirri-ciri individu yang sangat berbeda dengan kebanyakan manusia lainnya. Cirri-ciri tersebut mencakup karisma, intelegensia, kebijaksanaan, dan dapat menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk membuat berbagai keputusan yang member dampak besar bagi manusia. Karisma sendiri menunjukkan kepribadian seseorang yang dicirikan oleh pesona pribadi, daya tarik.
  1. 2.      Teori Ciri-ciri Pemimpin (Trait Theory)
Teori ini memfokuskan perhatiannya untuk mengidentifikasi berbagai karakteristik pemimpin yang menyebabkan seseorang dapat menjalankan kepemimpinan secara efektif.
Ciri-ciri pemimpin efektif menurut Stogdill (1974) dalam Trait Theory
  1. Kecerdasan
  2. Pengetahuan dan keahlian
  3. Dominasi
  4. Rasa percaya diri
  5. Toleransi
  6. Kematangan
Berbagai cirri tersebut sangat dibutuhkan oleh pemimpin agar dapat menjalankankepemimpinannya secara efektif.
Contohnya:
Ciri pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan cepat sangat diperlukan dalam berbagai situasi. Apabila keputusan itu lambat akan member pengaruh buruk bagi perusahaan.


  1. 3.      Teori Perilaku (Behavioral Styles Theory)
Pemikiran teori ini adalah kepemimpinan merupakan perilaku seorang individu ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan.
Didalam teori ini juga disimpilkan 3 gaya kepemimpinan (leadership styles) menurut (Kreitner, 2007) yaitu:
  1. 1.      Gaya kepemimpinan otoriter (Authoritarian leadership style)
Sifat kepemimpinan otoriter:
  1. Biasanya pemimpin menahan seluruh kewenangan dan tanggung jawab.
  2. Pemimpin menugaskan seseorang melaksanakan tugas tertentu.
  3. Komunikasi lebih banyak mengalir dari atas kebawah.
Kekuatan utama dalam gaya kepemimpinan ini memberikan tekanan untuk menghasilkan kinerja yang teratur. Tetapi juga memiliki kelemahan utama yang dapat memandulkan inisiatif pribadi.
  1. 2.      Gaya kepemimpinan demokratis (democratic leadership style)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya karyawan lebih menyukai gaya kepemimpinan demokratis, karena karyawan merasa dilibatkan dalam pegambilan keputusan.
Sifat kepemimpinan demokratis
  1. Pemimpin memberikan sebagian wewenang dan tetep mempertahankan tanggung jawab utama
  2. Pekerjaan dibagi berdasarkan partisipasi seseorang dalam pengambilan keputusan
  3. 3.      Gaya kepemimpinan laissez-fair (Laissez faire leadership style)
Dengan demikian pemimin yang menggunakan gaya kepemimpinan ini cenderung memberikan kebebasan yang sangat besar kepada bawahannya untuk melakukan suatu pekerjaan.
Sifat kepemimpinan ini adalah:
  1. Pemimpin menyerahkan tanggung jawab dan wewenang kepada kelompok.
  2. Para anggota kelompok diminta untuk mengerjakan sesuai dengan kehendak mereka dan sesuai dengan kemampuan mereka.
  3. Komunikasi lebih banyak diantara para rekan kerja
Kekuatan utama dalam kepemimpinan ini adalah memungkinkan timbulnya inisiatif untuk melakukan suatu pekerjaan yang dianggap sesuai tanpa harus ada campur tangan dari atasan.Kelemahan dalam kepemimpinan ini adalah tanpa adanya arahan yang jelas dari pimpinan, maka kelompom dapat terombang-ambing tanpa tujuan yang jelas.
Menurut peneliti lain yang termasuk dalam kelompok Behavioral Styles Theory yaitu Robert R. Blake dan Jane S. Mouton yang menggunakan factor “perhatian terhadap produksi (concern for production)” Pada sumbu horizontal yang mencakup didalamnya keinginan untuk mencapai jumlah pengeluaran produksi yang lebih besar. Sedangkan pada sumbu vertikal, Blake dan Mouton menggunakan “perhatian terhadap manusia (concern for people) yang mencakup didalamnya peningkatan  persahabatan, membantu rekan kerja dalam
menyel esaikan suatu tugas. Dengan menggunakan dua faktor tersebut, Blake dan Mouton mengidentifikasi adanya lima gaya kepemimpinan:
  1. Gaya kepemimpinan 9,1 (9,1 style) yakni gaya kepemimpinan yang mengutamakan perhatian terhadap produksi dan menomorduakan perhatian terhadap manusia.
  2. Gaya kepemimpinan 1,9 (1,9 style) yakni gaya kepemimpinan yang mengutamakan perhatian terhadap manusia dan menomorduakan perhatian terhadap produksi.
  3. Gaya kepemimpinan 1,1 (1,1 style) yakni gaya kepemimpinan yang memiliki perhatian yang sangat kecil terhadap manusia maupun produksi.
  4. Gaya kepemimpinan 5,5 (5,5 style) yakni gaya kepemimpinan yang memberikan perhatian secara moderat, baik terhadap manusia maupun produksi.
  5. Gaya kepemimpinan 9,9 (9,9 style) Yakni gaya kepemimpinan yang memberikan perhatian yang besar, baik terhadap manusia maupun produksi.
Jika digambarkan dalam grafik seperti gambar dibawah ini:

  1. 4.      Teori Situasional (Situational Theory)
Para penganut teori ini memiliki keyakinan berdasarkan penelitian yang mereka lakukan bahwa efektivitas gaya kepemimpinan sangat bergantung kepada situasi yang melingkupinya. Oleh sebab itu mereka mempunyai suatu asumsi bahwa kepemimpinan sesuai dengan situasi.Salah seorang peneliti yang termasuk ke dalam teori ini adalah Fred E. Fiedler (Kreitner 2007). Teori dari Fiedler dibangun dari beberapa asumsi utama sebagai berikut:
Kinerja seorang pemimpin bergantung kepada kepada dua factor yang saling berhubungan, yaitu:
  1. Sejauh mana situasi tertentu dapat memberikan pemimpin tersebut kendali dan pengaruh-pengaruh sehingga dapat menyelesaikan tugas dengan sukses.
  2. Motivasi mendasar dari seorang pemimpin yakni apakah kepuasan diri pemimpin tersebut bergantung terutama pada penyelesaian pekerjaan ataukan bergantung kepada hubungan erat yang bersifat mendukung dengan pihak lain.

  1. 5.      Teori Kepemimpinan Transaksi (Transactional Leadership Theory)
Menurut teori ini karyawan akan termotivasi oleh imbalan maupun hukuman. Menurut teori ini, seorang pemimpin akan dapat menjalankan kepemimpinannya secara efektif apabila ia mampu mengembangkan struktur kerja yang jelas sehingga para manajer tersebut akan dapat merumuskan dengan tepat apa saja yang dibutuhkan oleh para bawahanagar bias melaksanakan pekerjaan dengan baik serta memberikan imbalan yang sesuai dengan kinerjanya.
  1. 6.      Teori Kepemimpinan Transformasi (Transformational Leadership Theory)
Teori kepemimpinan transformasi didasari oleh hasil penelitian mengenai adanya perilaku kepemimpinan di mana para pemimpin yang kemudian di kategorikan sebagai pemimpin transformasi (Transformational Leader) yang memberikan inspirasi kepada sumber daya manusia yang lain dalam organisasi untuk mencapai sesuatu melebihi apa yang di rencanakan oleh organisasi.
Karakteristik pemimpin transformasi memiliki perbedaan dengan pemimpin transaksi, yaitu pemimpin transaksi biasanya mengarahkan sumber daya manusia untuk mencapai sesuatu sesuai dengan rencana dan lebih mengandalkan kepemimpinannya kepada kekuasaan legitimasi atau otoritas formal.


2.5             Kepemimpinan Dalam Persfektif Islam
Syarat kepemimpinan dalam persfektif Islam yaitu:
  1. Sebelum orang dipilih menjadi pemimpi, harus memenuhi syarat bahwa dia merupakan seorang pejuang
  2. Jujur, dapat dipercaya
  3. Menguasai organisatoris, dan strategi
  4. Mampu mengambil keputusan
  5. Mampu mengambil keputusan dalam berbagai alternatif
  6. Bertanggung jawab, berani mengambil resiko


Kepemimpinan dalam pandangan Islam merupakan amanah dan tanggung jawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota yang dipimpinnya, tetapi juga akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. Jadi, pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak hanya bersifat horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat vertikal-moral, yakni tanggung jawab kepada Allah SWT di akhirat. Kepemimpinan sebenarnya bukanlah sesuatu yang menyenangkan, tetapi merupakan tanggung jawab sekaligus amanah yang amat berat dan harus diemban sebaik-baiknya. Hal tersebut dijelaskan dalam (QS Al-mukminun 8-1)
Artinya:
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janji mereka dan orang-orang yang memelihara sholatnya, mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya. Dan dijelaskan dalam hadist
ا ع و كلكم مسئو ل عن ر عيته كلكم
Artinya: Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya (H. R. Bukhori)



PENUTUP

3.1                         Kesimpulan
  1. Kepemimpinan sering disebut dengan leadership yaitu suatu proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan dari anggota kelompok.
  2. Kepemimpinan dalam pandangan Islam merupakan amanah dan tanggung jawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota yang dipimpinnya, tetapi juga akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT.


DAFTAR PUSTAKA
Solihin Ismail. Pengantar Manajemen, Yogyakarta : Erlangga, 2009
T. Hani Handoko. Manajemen, BPFE-Yogyakarta, 1986
Sayaka, Bambang. Manajemen, Jakarta : PT Prenhallino,2001
Malayu S.P. Hasibuan. Manajemen, Bumi Aksar, 2005


Related posts:
  1. KEPEMIMPINAN

Pemimpin dalam Islam

Written by Doddy Koesdijanto | Print| E-mail
User Rating:http://new.drisalah.com/images/M_images/rating_star.pnghttp://new.drisalah.com/images/M_images/rating_star.pnghttp://new.drisalah.com/images/M_images/rating_star.pnghttp://new.drisalah.com/images/M_images/rating_star.pnghttp://new.drisalah.com/images/M_images/rating_star.png / 80
PoorBest 
"Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang di pimpinnya, Seorang penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka, seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atasnya. Seorang hamba sahaya adalah penjaga harga tuannya dan dia bertanggung jawab atasnya. (HR Bukhari)
Beberapa kriteria kepemimpinan dalam islam :

1. Menggunakan Hukum Allah
Dalam berbagai aspek dan lingkup kepemimpinan, ia senantiasa menggunakan hukum yang telah di tetapkan oleh Allah, hal ini sebagaimana ayat ;

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (Qs : 4:59)

Melalui ayat di atas ta'at kepada pemimpin adalah satu hal yang wajib dipenuhi, tetapi dengan catatan, para pemimpin yang di ta'ati, harus menggunakan hukum Allah, hal ini sebagaimana di nyatakan dalam ayat-Nya yang lain :

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya . Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)". (Qs: 7 :3)

"..Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir..." (Qs :5:44)
"..Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim..." (Qs: 5 45)
"..Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.." (Qs: 5 :47)
" Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?". (Qs : 5 :50)

Dan bagi kaum muslimin Allah telah dengan jelas melarang untuk mengambil pemimpin sebagaimana ayat;

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim". (Qs : 5 : 51)

Dari beberapa ayat diatas, bisa disimpulkan, bahwa pemimpin dalam islam adalah mereka yang senantiasa mengambil dan menempatkan hukum Allah dalam seluruh aspek kepemimpinannya.


2. Tidak meminta jabatan, atau menginginkan jabatan tertentu..
"Sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya, tidak pula kepada orang yang sangat berambisi untuk mendapatkannya" (HR Muslim).

"Sesungguhnya engkau ini lemah (ketika abu dzar meminta jabatan dijawab demikian oleh Rasulullah), sementara jabatan adalah amanah, di hari kiamat dia akan mendatangkan penyesalan dan kerugian, kecuali bagi mereka yang menunaikannya dengan baik dan melaksanakan apa yang menjadi kewajiban atas dirinya". (HR Muslim).

Kecuali, jika tidak ada lagi kandidat dan tugas kepemimpinan akan jatuh pada orang yang tidak amanah dan akan lebih banyak membawa modhorot daripada manfaat, hal ini sebagaimana ayat ;

"Jadikanlah aku bendaharawan negeri (mesir), karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan". (Qs : Yusuf :55)

Dengan catatan bahwa amanah kepemimpinan dilakukan dengan ;
1. Ikhlas.
2. Amanah.
3. Memiliki keunggulan dari para kompetitor lainnya.
4. Menyebabkan terjadinya bencana jika dibiarkan jabatan itu diserahkan kepada orang lain.

3. Kuat dan amanah
"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (Qs : 28: 26).

4. Profesional

"Sesungguhnya Allah sangat senang pada pekerjaan salah seorang di antara kalian jika dilakukan dengan profesional" (HR : Baihaqi)

5. Tidak aji mumpung karena KKN
Rasulullah SAW, "Barang siapa yang menempatkan seseorang karena hubungan kerabat, sedangkan masih ada orang yang lebih Allah ridhoi, maka sesungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang mukmin". (HR Al Hakim).

Umar bin Khatab; "Siapa yang menempatkan seseorang pada jabatan tertentu, karena rasa cinta atau karena hubungan kekerabatan, dia melakukannya hanya atas pertimbangan itu, maka seseungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin".

6. Menempatkan orang yang paling cocok
"Rasulullah menjawab; jika sebuah perkara telah diberikan kepada orang yang tidak semestinya (bukan ahlinya), maka tunggulah kiamat (kehancurannya)". (HR Bukhari).
Dalam konteks hadits ini, setidaknya ada beberapa hal  yang bisa kita cermati,

1. Seorang pemimpin harus bisa melihat potensi  seseorang.
Setiap manusia tentunya diberikan kelebihan dan  kekurangan.Kesalahan terbesar bagi seorang pemimpin  adalah ketika dirinya tidak bisa melihat potensi seseorang dan menempatkannya pada tempat yang  semestinya. Begitu pentingnya perhatian bagi seorang pemimpin terhadap hal ini, maka Rasulullah saw bersabda sebagaiman hadits pada poin 5 di atas.

Ketidakmampuan pemimpin dalam hal ini hanya akan membuat jama'ah atau organisasi yang di pimpinnya  menjadi tidak efektif dan efisien, bahkan tidak sedikit kesalahan pemimpin dalam hal ini menimbulkan kekacauan yang membawa kepada kehancuran.

2. Bisa mengasah potensi seseorang.
Selain ia bisa melihat potensi pada diri seseorang, seorang pemimpin dengan caranya yang paling baik, ia  bisa mengasah potensi mereka yang berada dalam  kepemimpinannya. Mengasah potensi seseorang berbeda dengan "memaksa" seseorang untuk menjadi seseorang yang tidak di inginkannya.

3. Menempatkan seseorang sesuai dengan potensi yang ia  miliki.
"Right man in the right place", adalah ungkapan yang  seringkali kita dengar. Bahwa menempatkan seseorang  itu harus berada pada tempat yang paling tepat bagi orang tersebut serta penugasannya.

4. Mengatur setiap potensi dari mereka yang di pimpinnya menjadi satu kekuatan yang kokoh.
Bangunan yang baik, kokoh dan indah tentunya tidak hanya terdiri dari satu elemen, tetapi terdiri dari berbagai elemen yang ada di dalamnya. Tentunya, penempatan dan penggunaan masing-masing elemen itulah yang sangat mempengaruhi bagaimana sebuah bangunan itu.  Perumpamaan sederhana ini bisa kita gunakan untuk memahami tugas seorang pemimpin dalam menempatkan, menggunakan mereka yang berada dalam kepemimpinannya.

HADITS TENTANG PEMIMPIN

PENDAHULUAN
Hadits atau sunnah merupakan salah satu sumber ajaran islam yang menduduki posisi sangat signifikan, baik secara structural menduduki posisi kedua setelah al-qur’an, namun jika dilihat secara fungsional, ia merupakan bayan (ekspanasi) terhadap ayat-ayat al-qur’an yang bersifat umum, global atau mutlaq. Secara tersirat, al-qur’an pun mendukng ide tersebut. Antaran lain firman Allah swt.
“dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,” ( QS. An-Nahl: 44)
Adanya perintah agar Nabi saw menjelaskan kepada umat manusia mengenai al-qur’an, baik melalui ucapan, perbuatan atau taqrirnya. Dan hadits berfungsi sebagai bayan (penjelas) terhdapa al-qur’an.
Mengenai pentingnya hadits (as-sunnah) dalam ajaran Islam, Nabi saw sendiri pernah bersabda melalui hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, yaitu:
قال النبى صلى الله عليه وسلم: تركت فيكم امرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما، كتاب الله وسنة رسوله (امام مالك)
“Aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua hal. Jika kalian mau berpegang teguh kepadanya niscaya kamu sekalian tidak akan sesat selama-lamanya, dua hal itu adalah kitab Allah (al-qur’an) dan sunnah Rasul-Nya (al-Hadits). (HR Imam Malik)
PEMBAHASAN
Hadits Tentang Pemimpin Memikul Tanggung Jawab
حديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما. ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: كللكم راع فمسؤل عن رعيته فالامير الذي على الناس راع وهو مسؤل عنهم. والرجل راع على اهل بيته وهو مسؤل عنهم. والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسؤلة عنهم. والعبد راع على مال سيده وهو مسؤل عنه، الا فكلكم راع و كللكم مسؤل عن رعيته
- اخرجه البخارى فى 490 كتاب العتق: 17- باب كرهية التطاول على الرقيق
Hadits Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta pertanggungjawaban tentang hal mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya, ia kan diminta pertanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah, kamu semua adalah pemimpin dan semua akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.[1]
Dalam sejarah riyadhus shalihin dijelaskan, bahwa seorang wajib menegakkan keadilan dalam diri dan keluarganya, dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Adil dalam dirinya dengan tidak memberatkan pada sesuatu yang tidak dieprintahkan Allah, dia harus memperhatikannya hingga kepada masalah kebaikan, jangan memberatkan dan membebankannya terhadap sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.
Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang suami terhadapkeluarganya. Seperti orang yang memiliki dua orang istri, ia wajib bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula bersikap adil kepada anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri yang juga seorang pemimpin dalam rumah suaminya. Baik dalam menjaga harta suaminya dan tidak menghambur-hamburkannya.[2]
Hadits Tentang Pemimpin Pelayan Masyarakat
حديث معقل بن يسار عن الحسن، ان عبيد الله بن زياد عاد معقل بن يسار فى مرضه الذي مات فيه، فقال له معقل: انى محدئك هديئا سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ما من عبد استرعاه الله وعية فلم يحطلها بنصيحة الا لم يجد رائحة الجنة
- اخرجه البخارى فى 930 كتاب الاحكام: 8- باب من استرعى رعية فلم ينصح
Hadits ma’qil bin Yasar, dari hasan bahwasanya Ubaidillah bin yazid mengunjungi Ma’qil bertanya kepadanya: bahwasanya saya akan ceritakan kepadamu suatu hadits yang saya dengar dari Rasulullah saw saya mendengar nabi saw bersabda: “tidak ada seorang hamba yang diberi tugas oleh Allah untuk memelihara segolongan rakyat, lalu ia tidak melakukan sesuai dengan petunjuk, melainkan ia tidak memperoleh bau saya”[3]
Dalam syarah riyadhus shalihin yang dijelaskan oleh syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, wajib bagi seorang yang memegang tonggak kepemimpinan untuk bersikap lemah lembut kepada rakyatnya, berbuat baik an selalu memperhatikan kemaslahatan mereka dengan mempekerjakan orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Menolak bahaya yang menimpa mereka. Karena seorang pemimpin akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya dihadapan Allah ta’ala.
selengkapnya silahkan donwload di:

[1] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu Wal Marjan, (Semarang: Al-Ridha, 1993), Hal. 562-563
[2] Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalhin, Jilid 2, Cet. 2, (Jakarta Timur: Darussunnah Press, 2009), Hal. 1030-1031
[3] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Op. Cit., Hal. 263-264

Menuntut Tanggung Jawab Pemimpin

“Tiap-tiap diri bertangung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” ( QS Al-Mudatstsi : 38)

Dalam sejarah ulama salaf diriwayatkan, khalifah Umar bin Abdil Aziz ra dalam Shalat tahajjudnya membaca surat ash-Shaff : 22-24 “ (Kepada para malaikat diperintahkan). ‘Kumpulkanlah orang yang zalim berserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah, selain Allah : maka tunjukkanlah kepada mereka di tempat perhentian karena mereka sesungguhnya akan ditanya (dimintai pertanggugjawaban)”

Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali dalam rangka mentadabburi besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat bila melakukan kezaliman. Dalam riwayat lain. Umar bin Khathab ra mengungkapkan besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat nanti, “ seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad niscaya umar akan diminta pertanggung jawabannya, seraya akan ditanya, mengapa tidak kau ratakan jalan untuknya?” Itulah keteladanan yang dilukiskan para salafus shalih tentang beratnya tanggung jawab pemimpin di hadapan Allah kelak.

Pada perinsipnya, Tanggung jawab dalam islam berpijak atas dasar perbuatan individu semata, “Dan tidak lah seorang membuat dosa melainkan kemudhratannya kembali kepada dirinya sendiri dan sorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,”(QS Al- An’am:164).

Dalam surat Al-Mudatstsir ayat 38 dinyatakan, “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” Perbuatan individu merupakan suatu gerakan yang dilakukan seroang pada waktu, tempat dan kondisi-tertentu yang mungkin bisa meninggalkan bekas atau pengaruh tanggung-jawab seorang terbatas pada amalannya saja ataukah bisa melewati waktu yang tak terbatas bila akibat dan pengaruh amalannya itu masih terus berlangsung, bahkan sekalipun pelakunya telah tiada?

Seorang yang cerdas selayaknya merenungi hal ini sehingga tidak meremehkan perbuatan baik sekecil apapun dan tidak gegabah dalam berbuat dosa sekecil biji sawi. Mengapa demikian ? Boleh jadi perbuatan baik atau jahat itu mula-mula amat kecil saat dilakukan. Bila pengaruh dan akibatnya terus berlangsung lama, bisa jadi akan amat besar pahala atau dosanya.

Allah SWT berfirman, “Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan,” (QS Yasin: 12). Ayat ini menegaskan bahwa tanggung jawab itu bukan saja terhadap apa yang diperbuatnya, tapi melebar sampai semua akibat dan berbagai ekses dari perbuatan tersebut. Orang yang meninggalkan ilmu bermanfaat, sedekah jariyah atau anak yang shalih, semuanya itu akan meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapan pun. Jadi orang yang berbuat baik atau berbuat jahat akan mendapat pahala atau menanggung dosanya, ditambah dengan pahala atau dosa 0rang-orang lain yang meniru perbuatannya.

Marilah kita merenung sejenak seraya bertanya, apabila yang memerintah kejahatan atau kedurhakaan itu seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan penuh, apakah dia saja yang akan menanggung dosanya dan dosa rakyatnya karena mereka dipaksa ? Ataukah rakyat juga harus menanggung dosanya walau ia lakukan di bawah ancaman paksaan tersebut ?

Seorang penguasa dianggap tidak memaksa selama rakyat masih bisa memiliki kehendak yang ada dalam dirinya. Perintah seorang pimpinan secara lisan maupun tulisan tidak berarti melepaskan seorang bawahan dari tanggung jawab atas semua perbuatannya. Al-Qur’an mencela orang-orang yang melakukan dosa dengan alasan pimpinannya menyuruh berbuat dosa. “Pada hari ketika muka mereka di bolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata : “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul” Dan mereka berkata : “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar,” (QS Al-Ahzab : 66-67).

Allah membantah mereka dengan tegas, “Harapanmu itu sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah menganiaya dirimu sendiri. Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu.”(QS Az-Zukhruf : 39).

Pemimpin zalim tidak akan bisa memaksa hati seseorang kendati mampu memaksa lahiriahnya. Untuk itu, yang dipimpin pun harus bertanggung jawab terhadap akidahnya dan perbuatannya meski disana ada perintah dan larangan pimpinan.

Berbeda dengan hukum paksaan yang menimpa orang-orang lemah yang ditindah penguasa yang mengancam akan membunuhnya dan memang bisa dilaksanakan. Ini pernah terjadi pada masa awal Islam di Makkah dimana orang yang masuk islam dipaksa Murtad seperti Bilal Bin Rabbah, Keluarga Yasir, dan lainnya. Mereka dipaksa menyatakan kekufuran (QS an-Nahl: 106 dan an-Nisa : 97-99)

Tanggung jawab seseorang berkait erat dengan kewajiban yang diembannya. Makin tinggi kedudukannya di masyarakat, makin tinggi pula tanggungjawabnya. Seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas prilaku diri, keluarga, saudara-sudara, masyarakat dan rakyatnya.” Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.”(Al hadist)”

Tanggung jawab vertikal ini bertingkat-tingkat tergantung levelnya. Kepala keluarga, Kepala Desa, camat, bupati, gubernur, dan kepala negara, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya sesuai dengan ruang lingkup yang dipimpinnya. Seorang mu’min yang cerdas tidak akan menerima kepemimpinan kecuali dengan ekstra hati-hati dan senantiasa akan memberbaiki diri, keluarga dan semua yang menjadi tanggungannya. Para salafus shalih sekiranya ia khawatir tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Bila tidak hati-hati, seorang pemimpin akan memikul banyak dosa. Setiap orang yang dizalimi olehnya akan memikulkan dosa kepadanya.

Pemimpin dalam level apa pun akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah atas semua perbuatannya, di samping seluruh apa yang terjadi pada rakyatnya. Baik dan buruknya perilaku dan keadaan rakyat tergantung pemimpinnya. Sebagaimana rakyat juga akan dimintai pertanggungjawabannya ketika memilih seorang pemimpin. Bila mereka memilih pemimpin yang bodoh dan tidak memiliki kapabilitas serta akseptabilitas sehingga kelak pemimpin itu akan membawa rakyatnya ke jurang kedurhakaan, rakyat juga dibebani pertanggunjawaban itu dan menanggung dosanya. Wallhu a’lam.#

PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN MENURUT ISLAM

Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan dua elemen yang saling berkaitan. Artinya, kepemimpinan (style of the leader) merupakan cerminan dari karakter/perilaku pemimpinnya (leader behavior). Perpaduan atau sintesis antara “leader behavior dengan leader style” merupakan kunci keberhasilan pengelolaan organisasi; atau dalam skala yang lebih luas adalah pengelolaan daerah atau wilayah, dan bahkan Negara.
Banyak pakar manajemen yang mengemukakan pendapatnya tentang kepemimpinan. Dalam hal ini dikemukakan George R. Terry (2006 : 495), sebagai berikut: “Kepemimpinan adalah kegiatan-kegiatan untuk mempengaruhi orang orang agar mau bekerja sama untuk mencapai tujuan kelompok secara sukarela.”
Dari defenisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kepemimpinan ada keterkaitan antara pemimpin dengan berbagai kegiatan yang dihasilkan oleh pemimpin tersebut. Pemimpin adalah seseorang yang dapat mempersatukan orang-orang dan dapat mengarahkannya sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh seorang pemimpin, maka ia harus mempunyai kemampuan untuk mengatur lingkungan kepemimpinannya.
Kepemimpinan menurut Halpin Winer yang dikutip oleh Dadi Permadi (2000 : 35) bahwa : “Kepemimpinan yang menekankan dua dimensi perilaku pimpinan apa yang dia istilahkan “initiating structure” (memprakarsai struktur) dan “consideration” (pertimbangan). Memprakarsai struktur adalah perilaku pemimpin dalam menentukan hubungan kerja dengan bawahannya dan juga usahanya dalam membentuk pola-pola organisasi, saluran komunikasi dan prosedur kerja yang jelas. Sedangkan pertimbangan adalah perilaku pemimpin dalam menunjukkan persahabatan dan respek dalam hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya dalam suatu kerja.”
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan:
bahwa kepemimpinan adalah “proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.”
Dari defenisi kepemimpinan itu dapat disimpulkan bahwa proses kepemimpinan adalah fungsi pemimpin, pengikut dan variabel situasional lainnya. Perlu diperhatikan bahwa defenisi tersebut tidak menyebutkan
suatu jenis organisasi tertentu. Dalam situasi apa pun dimana seseorang berusaha mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok, maka sedang berlangsung kepemimpinan dari waktu ke waktu, apakah aktivitasnya dipusatkan dalam dunia usaha, pendidikan, rumah sakit, organisasi politik atau keluarga, masyarakat, bahkan bangsa dan negara.
Sedangkan George R Terry (2006 : 124), mengemukakan 8 (delapan) ciri mengenai kepemimpinan dari pemimpin yaitu :
(1) Energik, mempunyai kekuatan mental dan fisik;
(2) Stabilitas emosi, tidak boleh mempunyai prasangka jelek terhadap bawahannya, tidak cepat marah dan harus mempunyai kepercayaan diri yang cukup besar;
(3) Mempunyai pengetahuan tentang hubungan antara manusia;
(4) Motivasi pribadi, harus mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin dan dapat memotivasi diri sendiri;
(5) Kemampuan berkomunikasi, atau kecakapan dalam berkomunikasi dan atau bernegosiasi;
(6) Kemamapuan atau kecakapan dalam mengajar, menjelaskan, dan mengembangkan bawahan;
(7) Kemampuan sosial atau keahlian rasa sosial, agar dapat menjamin kepercayaan dan kesetiaan bawahannya, suka menolong, senang jika bawahannya maju, peramah, dan luwes dalam bergaul;
(8) Kemampuan teknik, atau kecakapan menganalisis, merencanakan, mengorganisasikan wewenang, mangambil keputusan dan mampu menyusun konsep.
Kemudian, kepemimpinan yang berhasil di abad globalisasi menurut Dave Ulrich adalah: “Merupakan perkalian antara kredibilitas dan kapabilitas.” Kredibilitas adalah ciri-ciri yang ada pada seorang pemimpin seperti kompetensi-kompetensi, sifatsifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang bisa dipercaya baik oleh bawahan maupun oleh lingkungannya.
Sedangkan kapabilitas adalah kamampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi serta dalam mengembangkan sumber-sumber daya manusia untuk kepentingan memajukan organisasi dan atau wilayah
kepemimpinannya.” Kredibilitas pribadi yang ditampilkan pemimpin yang menunjukkan kompetensi seperti mempunyai kekuatan keahlian (expert power) disamping adanya sifat-sifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang positif (moral character) bila dikalikan dengan kemampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi organisasi/ wilayah yang jelas akan merupakan suatu kekuatan dalam menjalankan roda organisasi/wilayah dalam rangka mencapai tujuannya.
Kepemimpinan Dalam Islam
Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam atau khalifah tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat syariat. Bila tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, harus dibentuk ‘majelis fukaha’.”
Sesungguhnya, dalam Islam, figur pemimpin ideal yang menjadi contoh dan suritauladan yang baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia (rahmatan linnas) dan rahmat bagi alam (rahmatan lil’alamin) adalah Muhammad Rasulullah Saw., sebagaimana dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS.
al-Ahzab [33]: 21).
Sebenarnya, setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin terhadap seluruh metafisik dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas segala kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Saw., yang maknanya sebagai berikut :
“Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi kehidupan rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban
tentang kepemimpinannya,” (Al-Hadits).
Kemudian, dalam Islam seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah (STAF):
(1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya;
(2) Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi;
(3) Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya;
(4) Fathanah (cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan mengimplementasikannya.
Selain itu, juga dikenal ciri pemimpin Islam dimana Nabi Saw pernah bersabda: “Pemimpin suatu kelompok adalah pelayan kelompok tersebut.” Oleh sebab itu, pemimpin hendaklah ia melayani dan bukan dilayani, serta menolong orang lain untuk maju.
Dr. Hisham Yahya Altalib (1991 : 55), mengatakan ada beberapa ciri penting yang menggambarkan kepemimpinan Islam yaitu :
Pertama, Setia kepada Allah. Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaan kepada Allah;
Kedua, Tujuan Islam secara menyeluruh. Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup kepentingan Islam yang lebih luas;
Ketiga, Berpegang pada syariat dan akhlak Islam. Pemimpin terikat dengan peraturan Islam, dan boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang teguh pada perintah syariah.
Dalam mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam, khususnya ketika berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham;
Keempat, Pengemban amanat. Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah Swt., yang disertai oleh tanggung jawab yang besar. Al-Quran memerintahkan pemimpin melaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap yang baik kepada pengikut atau bawahannya.
Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman :
“(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]:41).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya prinsip-prinsip
dasar dalam kepemimpinan Islam yakni : Musyawarah; Keadilan; dan Kebebasan berfikir.
Secara ringkas penulis ingin mengemukakan bahwasanya pemimpin Islam bukanlah kepemimpinan tirani dan tanpa koordinasi. Tetapi ia mendasari dirinya dengan prinsip-prinsip Islam. Bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya secara obyektif dan dengan penuh rasa hormat, membuat keputusan seadil-adilnya, dan berjuang menciptakan kebebasan berfikir, pertukaran gagasan yang sehat dan bebas, saling kritik dan saling menasihati satu sama lain sedemikian rupa, sehingga para pengikut atau bawahan merasa senang mendiskusikan persoalan yang menjadi kepentingan dan tujuan bersama. Pemimpin Islam bertanggung jawab bukan hanya kepada pengikut atau bawahannya semata, tetapi yang jauh lebih penting adalah tanggung jawabnya kepada Allah Swt. selaku pengemban amanah kepemimpinan. Kemudian perlu dipahami bahwa seorang muslim diminta memberikan nasihat bila diperlukan, sebagaimana Hadits Nabi dari :Tamim bin Aws
meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Agama adalah nasihat.” Kami berkata: “Kepada siapa?”
Beliau menjawab: “Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Pemimpin umat Islam dan kepada masyarakat kamu.”
Nah, kepada para pemimpin, mulai dari skala yang lebih kecil, sampai pada tingkat mondial, penulis hanya ingin mengingatkan, semoga tulisan ini bisa dipahami, dijadikan nasihat dan sekaligus dapat dilaksanakan dengan baik. Insya Allah. Amiin !
Itu saja. Dan terima kasih.
TANGGUNGJAWAB PEMIMPIN DALAM MENGATUR
Oleh: Afrizal Woyla Saputra Zaini
BAB I
PENDAHULUAN

Gelar pemimpin umat adalah layak diberikan kepada mereka yang mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi umat itu dan menghantarkannya dengan selamat sampai pada tujuan yang dicita-citakan. Orang yang menghantarkan tidak harus berjalan di depan, kadang-kadang disamping, di tengah, di mana saja menurut jalan keadaan jalannya, diperlukan guna keselamatan orang yang diantarkannya.
Tidak hanya sekedar mengantar para anggotanya agar sampai pada tujuan yang diharapkannya. Seorang pemimpin juga harus memilki suatu komitmen yang didukung oleh kemampuan, integritas, kepekaan terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekelilingnya dan juga dia memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Namun dewasa ini kalau kita melihat realita yang ada sulit sekali kita mendapati pemimpin yang memiliki kriteria yang telah disebutkan di atas. Banyak pemimpin kita yang sudah tidak lagi mementingkan nasib dan kemauan rakyat. Mereka hanya mementingkan ego pribadi demi mementingkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Mereka tidak pernah tahu kalau suatu saat kepemimpinannya bakal dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Adanya hal semacam ini dikarenakan lemahnya tingkat keimanan seorang pemimpin sehingga dia mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.
Berangkat dari kenyataan yang terjadi tersebut, maka perlu adanya reformulasi ulang terhadap bagaimana cara menjadi pemimpin yang senantiasa bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan mampu melayani masyarakat dengan baik dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agama. Melalui pembacaan hadis, makalah yang kami buat berusaha menyajikan suatu pemahaman terhadap bagaimana mencetak pemimpin yang bertanggung jawab dan mampu memberikan pelayanan terhadap masyarakat secara baik.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Disebutkan dalam kamus lisanul arab, kata al-qaudu ”memimpin atau menuntun” lawan kata dari as-sauqu ”menggiring”, seperti perkataan menuntun binatang dari depan dan menggiring binatang dari belakang. Dalam makna bahasa ini terdapat isyarat yang menarik. Intinya, posisi pemimpin adalah di depan agar menjadi petunjuk bagi anggota-anggotanya dalam kebaikan dan menjadi pembimbing bagi mereka kepada kebenaran.
Pengertian pemimpin secara umum adalah orang yang mampu membimbing, mengontrol dan mempengaruhi pikiran, perasaan dan tingkah laku seseorang. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pemimpin merupakan seseorang yang menyebabkan seseorang atau kelompok lain untuk bergerak menuju ke arah tujuan-tujuan tertentu sehingga ia memiliki tanggung jawab agar orang yang dipimpinnya dapat meraih tujuan yang akan dicapainya.
Sedangkan pengertian dari kepemimpinan adalah suatu proses yang membutuhkan tanggung jawab dalam membimbing, mengontrol dan mempengaruhi pikiran, perasaan dan tingkah laku seseorang ataupun kelompok sehingga dapat mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan akan membawa seseorang atau kelompok tersebut menuju ke arah yang lebih baik dan selalu berada dalam jalan kebenaran.[1] Hal ini sesuai dengan apa yang pernah disabdakan Rasulullah dalam sebuah hadis yang berbunyi:
عن بن عمررضي الله عنه, سمعت رسو ل الله صلى الله عليه وسلم يقول: كلكم راع, ومسئول عن رعيته, الإمام راع, ومسئول عن رعيته, والرجل راع في أهله, ومسئول عن رعيته, والمرأة راعية في بيت زوجها ومسئولة عن رعيتها, والخادم راع في مال سيده ومسئول عن رعيته.
Dari ibnu Umar RA, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘’Setiap kalian adalah seorang pemimpin dan bertanggungjawab terhadap kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin yang bertanggung jawab terhadap kepemimpinanya, seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya, seorang  wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya, seorang pelayan adalah seorang pemimpin pada harta majikannya dan dia bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.”(HR. Muttafaq ‘alaih)[2]
B. Sebab-Sebab Timbulnya Pemimpin
            Berdasarkan analisis empiris dapat dikemukakan bahwa ada beberapa penyebab timbulnya pemimpin dalam perkembangan masyarakat baik modern maupun tradisional yaitu:
  1. Sebagai polarisasi dari terbentuknya suatu kelompok yang berawal dari bersatunya individu-individu yang memiliki perbedaan-perbedaan kemudian membentuk suatu komunitas tertentu karena adanya suatu sikap saling membutuhkan satu sama lain dalam rangka mencapai kehidupan yang aman, tentram, damai dan lebih baik sesuai dengan jalan kebenaran
  2. Sebagai pencerminan kemampuan seseorang yang dapat dilihat melalui kepribadian, komitmen, kemampuan intelektual, integritas, kepekaan terhadap perubahan situasi, kondisi, zaman serta tempat dan kemampuannya dalam mencapai tujuan-tujuan sehingga orang dapat memberikan penilaian terhadap dia dan menjadikan reputasinya naik menjadi orang yang dipercaya sebagai pemimpin.
  3. Sebagai jawaban dari faktor-faktor situasional dan kondisional seperti keturunan, kejiwaan ataupun lingkungan yang memungkinan seseorang dipercaya untuk membina sebuah komunitas masyarakat dalam mencapai suatu tujuan tertentu.[3]
C.  Kepribadian Pemimpin
Pada hakekatnya, seorang pemimpin yang brilliant adalah seorang pemimpin yang memiliki segala sifat kepemimpinan yang diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Keberanian
Keberanian adalah kemampuan batin yang mengakui adanya rasa takut, akan tetapi mampu menghadapi bahaya atau rintangan dengan tenang dan tegas atau dapat dikatakan bahwa keberanian adalah kemampuan berpikir yang memungkinkan seseorang dapat menguasai tingkah lakunya dan dapat menerima tanggung jawab serta dapat mudah bertindak dalam keadaan bahaya. Rasulullah pernah bersabda: ”Sesungguhnya manusia itu seperti unta, dalam seratus unta belum tentu terdapat unta raahilah” (HR. Bukhari). Unta raahilah adalah unta yang kuat dan dapat berjalan kuat. Unta seperti ini susah didapatkan. Begitu pula unsur kepemimpinan dalam jiwa seseorang. Kita jarang memiliki seorang pemimpin yang berwibawa, pemberani, konsisten, memiliki sifat yang lurus.
2. Menguasai Permasalahan
Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dalam bidang yang dipimpinnya. Ia tahu benar akan seluk-beluk bidang kegiatannya, baik dari dalam maupun dari luar. Ia memang melakukan spesialisasi dalam bidang itu. Meskipun sifatnya hanya mengkoordinir, akan tetapi tetap harus mengetahui bidang gerak yang dipimpinnya. Rasulullah pernah bersabda: “Bila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka nantikan saat kehancuran”.
3. Kredibilitas
Dunia tidak akan menjadi aman dan makmur, apabila keadilan tidak dijadikan neraca dalam hubungan-hubungan kemanusiaan di segala bidang Islam tidak membenarkan adanya dominasi yang kuat terhadap yang lemah dan hak asasi manusia tidak boleh hilang karena semata-mata dunia sudah biasa dihadapkan pada tindakan-tindakan yang zalim. Hidup berdampingan dapat aman dan tentram dapat terwujud apabila keadilan dan kebenaran ditegakkan. Semua dasar-dasar kemanusiaan seperti toleransi, kemerdekaan dan lain-lain hanya dapat hidup di bawah naungan keadilan. Oleh karena itu, rasulullah menyarankan agar mencari seorang pemimpin yang memiliki sikap yang adil dalam memutuskan setiap permasalahan. Beliau pernah bersabda :
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يوم من إمام عادل أفضل من عبادة ستين سنة, و حد يقام في الأرض بحقه أزكي لمن فيها من مطر أربعين صباحا
Dari ibnu Abbas RA, ia berkata, ”Rasulullah SAW bersabda, “Satu hari bagi seorang pemimpin yang adil lebih baik daripada ibadah selama enam puluh tahun dan hukuman yang ditegakkan di muka bumi secara benar lebih suci bagi penduduk yang ada padanya daripada hujan selama empat puluh hari di pagi hari”. (HR. at-thabranidi dalam al-Kabir dan al-Ausath. Sanad yang terdapat dalam al-Kabir adalah hasan dan diriwayatkan pula oleh al-Ashbahani dari hadis abu Hurairah dengan lafadz, “keadilan satu hari lebih baik daripada ibadah enam puluh tahun, melakukan shalat pada malam hairi dan berpuasa di siang harinya” dan dia menambahkan, ”Wahai abu Hurairah, kelaliman sesaat dalam memberikan hukum lebih berat  dan lebih besar di sisi Allah daripada kemaksiatan selama enam puluh tahun.”)[4]
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ثلا ثة لاترد دعوتهم: الصائم حين يفطر, والإمام العادل, والمظلوم
Dari abu Hurairah RA,, ia berkata,”Rasulullah saw bersada,”Tiga golongan yang tidak akan ditolak doanya, yaitu: orang yang puasa saat berbuka, pemimpin yang adil dan orang yang teraniaya.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Khuzaimah dan ibnu Hibban)[5]
            Selain sikap adil seorang pemimpin juga harus melmiliki suatu sikap jujur. Karena kejujuran merupakan salah satu instrument bagi terciptanya kemakmuran rakyat. Dengan sifat jujur seorang pemimpin akan dipercaya oleh rakyat sebagai pengemban amanah yang baik. jujur berati ada persesuaian antara perbuatan dan tindakan sehingga dalam menggunakan haknya dia tidak berlebihan. Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa menduduki suatu jabatan dan tidak mempunyai seorang istri, hendaknya memperistri seorang wanita, dan apabila dia tidak memiliki seorang pelayan, hendaklah ia mengambil seorang pelayan, dan barangsiapa tidak memiliki rumah kediaman, atau ia tidak memiliki binatang tunggangan, hendaknya dia mengambilnya. Dan setelah itu, barangsiapa mengambil lebih dari itu, maka ia adalah seorang koruptor atau seorang pencuri.”
4. Percaya diri
Keyakinan pemimpin akan keahlian dan potensinya dalam meraih tujuan dan bertindak dengan cara yang membuat para pengikut percaya pada kemampuannya.
5. Motivasi
Keinginan dari dalam diri yang dimiliki seorang pemimpin untuk menggunakan kekuatannya dalam menggerakkan seseorang mencapai tujuan-tujuan mereka dengan menggunakan hubungan sosial dan kemanusiaan. Motivasi dapat disampaikan dengan cara maknawi maupun dengan cara-cara materi, seperti kisah rasulullah yang memberikan kambing yang banyak kepada seorang laki-laki, maka orang itu pulang kepada kaumnya kemudian berkata kepada mereka, ”Wahai kaum! Masuklah islam, karena Muhammad memberikan pemberian yang ia tidak takut miskin karenanya.” (HR. Muslim)
6. Pengawasan diri
Pemimpin yang efektif memiliki kontrol diri yang memungkinkan untuk merasakan setiap perubahan yang ada di sekitarnya walaupun sangat kecil dan mengubah kebijakannya agar sesuai dengan keadaan di sekitarnya.[6]
D. Urgensi Adanya Kepemimpinan
Rasulullah saw. mengingatkan kita bahwa: Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan pakarnya, maka tunggulah kehancurannya. Ini berarti bahwa tidak semua orang mempunyai skills dalam segala perkara, setiap urusan ada orang-orang tertentu yang telah dikaruniai Allah untuk menguasai termasuk perkara kepemimpinan. Apalagi jika dikaitkan dengan upaya Islamisasi khususnya di kalangan umat Islam sendiri.[7]
Dari penjelasan di atas kita merasakan urgensi dan pentingnya pemimpin yang efektif melelui lima poin berikut:     
  1. Kepemimpinan harus ada dalam kehidupan sehingga kehidupan bisa teratur dengan rapi, keadilan bisa ditegakkan dan kesewenang-wenangan yang kuat terhadap yang lemah bisa dihalang-halangi.
  2. Mendukung tingkah laku yang positif dan mengeliminasi hal-hal yang negatif. Dalam hal ini, pemimpin bertindak sebagai kapten kapal.
  3. Membuat strategi yang terpadu dalam proses penggerakan yang dinamis menuju tujuan yang mulia.
  4. Menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada disekitarnya dan memanfaatkan perubahan untuk kepentingan organisasi
  5. Mengembangkan, melatih dan menjaga anggota.[8]
E. Tanggung Jawab Pemimpin Dalam Melayani Masyarakat     
Islam adalah agama yang sempurna, di antara kesempurnaan Islam ialah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah Swt (Hablum minallah) maupun hubungan dengan manusia (Hablumminannas), termasuk di antaranya masalah kepemimpinan di pemerintahan.
Karena kepemimpinan merupakan suatu amanah maka untuk meraihnya harus dengan cara yang benar, jujur dan baik. Dan tugas yang diamanatkan itu juga harus dilaksanakan dengan baik dan bijaksana. Karena itu pula dalam menunjuk seorang pemimpin bukanlah berdasarkan golongan dan kekerabatan semata, tapi lebih mengutamakan keahlian, profesionalisme dan keaktifan.
Kepemimpinan di satu sisi dapat bermakna kekuasaan, tetapi di sisi lain juga bisa bermakna tanggungjawab. Ketika kepemimpinan dimaknai sebagai kekuasaan, Allah SWT.mengingatkan kita bahwa hakikat kekuasaan itu adalah milik Allah SWT. Allah SWT yang memberi kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah pula yang mencabut kekuasaan dari siapa pun yang dikehendaki-Nya (lihat : al-Qur’an surat Ali Imran : 26).
Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Adanya kesadaran seorang mu’min terhadap hal ini memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadiannya, ketika ia memegang kekuasaan, ia akan tetap bersikap rendah hati, tidak ada keangkuhan dalam dirinya sedikit pun, tidak akan menyelewengkan kekuasaannya dalam bentuk apa pun, dan ia gunakan kekuasaannya itu sebagai alat untuk menghambakan dirinya dan alat untuk mencapai ridha Allah SWT. Sehingga ia akan betul-betul melaksanakan amanah dan tanggung jawab jabatannya seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat, bukannya untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya pribadi maupun golongan-golongan tertentu saja. Karena, dalam kehidupan bermasyarakat, diperlukan adanya pemimpin yang mengatur, membawahi, dan mengarahkan kehidupan masyarakat itu. Pemimpin harus menjadi abdi masyarakat. Dia harus melayani dan menjadi fasilitator bagi keperluan-keperluan rakyat.[9]
Dalam Islam, hampir semua ulama menyepakati bahwa pemimpin adalah abdi masyarakat. Sebab, kepemimpinan sesungguhnya adalah suatu amanah (titipan) yang setiap saat harus dipertanggungjawabkan dan diambil wewenangnya. Amanah itu diperoleh dari Allah SWT lewat pemilihan yang dilakukan oleh manusia, kecuali para Nabi dan Rasul yang langsung dipilih oleh Allah. Oleh karena itu, dalam melaksanakan amanah, manusia diharapkan senantiasa berbuat baik dan bertanggung jawab. Jika manusia bisa menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah, maka mereka tidak akan berebut kekuasaan dengan temannya sendiri, atau memaksakan diri untuk menjadi pemimpin demi keuntungan materi semata.
            Substansi kepemimpinan dalam perspektif Islam merupakan sebuah amanat yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar “ahli”, berkualitas dan memiliki tanggungjawab yang jelas dan benar serta adil, jujur dan bermoral baik. Inilah beberapa kriteria yang Islam tawarkan dalam memilih seorang pemimpin yang sejatinya dapat membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera dan tentram.
Di samping itu, pemimpin juga harus orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. karena ketaqwaan ini sebagai acuan dalam melihat sosok pemimpin yang benar-benar akan menjalankan amanah. Bagaimana mungkin pemimpin yang tidak bertaqwa dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan baik? Karena dalam terminologinya, taqwa diartikan sebagai melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Taqwa berarti ta’at dan patuh, yakni takut melanggar atau mengingkari dari segala bentuk perintah Allah SWT.
         Manusia diciptakan oleh Alah SWT di dunia ini dengan misi untuk mengabdi atau beribadah dan menjadi khalifah di bumi Allah SWT ini. Misi kekhalifahan adalah misi yang sangat mulia, karena ia menjadi sarana guna melakukan hal-hal yang bermakna dan menyejahterakan sesamanya. Oleh sebab itu, amanah menjadi hal sangat vital yang harus ditanamkan dan dijadikan pedoman dalam menjalankan aktivitas kepemimpinan seseorang.
               Amanah juga menjadi salah satu prinsip kepemimpinan yang dimiliki Nabi Muhammad SAW. Sebagai pemimpin umat, Nabi SAW memiliki empat ciri kepemimpinan: shidiq (jujur), fathanah (cerdas dan berpengetahuan), amanah (dapat dipercaya), dan tabligh (berkomunikasi dan komunikatif dengan bawahannnya dan semua orang).
            Sifat-sifat Nabi SAW itu tecermin pada kebijakan dan tingkahlaku beliau sehari-hari, baik sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat dan negara. Sifat kepemimpinan beliau dan Khulafaur Rasyidin dapat dijadikan cermin oleh semua pemimpin. Mereka senantiasa mengabdi, menerima keluh kesah, memfasilitasi, dan siap menjadi “budak” rakyatnya, bukannya menjadi “tuan” bagi masyarakatnya. [10]
            Seorang pemimpin yang ideal tentu saja adalah yang selalu berpegang teguh pada akhlak kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin. Kisah Umar bin Khattab atau Umar bin Abdul Azis yang rela tidak makan sebelum rakyatnya makan, rela tidak tidur sebelum rakyatnya tidur, tidak mau menggunakan fasilitas negara di luar jam kerja untuk kepentingan keluarga, memberikan contoh hidup sederhana dan dermawan, adalah sebuah tipe kepemimpinan yang ideal. Mereka mempunyai moralitas dan budi pekerti yang luhur.
            Selain itu, seorang pemimpin yang ideal haruslah mampu bekerja secara profesional, visioner, kreatif dan punya kemampuan berstrategi, berani, serta mampu menjadikan team work yang dipimpinnya menjadi solid dan berkualitas. Dengan kata lain, kita sangat mengharapkan adanya pemimpin yang mampu menjadikan masyarakat berubah menjadi lebih baik dalam segala sisi kehidupannya yang diberkahi oleh Allah SWT karena adanya pemimpin yang mampu mendorong masyarakatnya menuju peningkatan penghambaan umat manusia kepada Sang Khaliq. [11]
            Ketahuilah bahwa  kamu sekalian adalah gembala, dan kamu sekalian akan dimintai pertanggungjawaban mengenai gembalaannya. Seorang pemimpin tertinggi adalah gembala bagi rakyatnya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai rakyatnya. (HR. Bukhari)
عن أبي ذررضي الله عنه قال: قلت: يارسول الله,ألا تستعملني؟ قال: فضرب بيده على منكبي, ثم قال: يا أبا ذر, إنك ضعيف وإنها أمانة, وإنها يوم القايمة خزي, وندامة إلا من أخذهابحقها, وأدى الذي عليه فيها
Dari abu Dzar RA, ia berkata, ”Aku pernah berkata, wahai rasulullah tidakkah engkau memberi jabatan kepadaku?” ia berkata, ”Maka beliau memukul pundakku dengan tangannya dan berkata, ”Wahai Abu Dzar sesungguhya engkau adalah orang yang lemah, sedangkan jabatan adalah amanah, dan ia di hari kiamat merupakan suatu bencana serta  penyesalan kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikannya sesuai yang wajib atasnya dirinya” (HR. Muslim)[12]
Jadi pemimpin seperti apa yang sebaiknya diangkat di era seperti sekarang ini? Secara umum Al-Qur’an sudah memberikan gambaran kriteria pemimpin yag harus dipilih, yaitu seperti yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (sesudah Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang shaleh” (QS Al-Anbiya’ :105). Jadi yang mendapat mandat mengurusi manusia beserta isinya dimuka bumi ini sesuai rekomendasi Allah SWT ternyata hanyalah orang-orang shaleh, bukan orang-orang yang suka membuat kerusakan di

BAB III
KESIMPULAN
  
Islam adalah agama yang sempurna, di antara kesempurnaan Islam ialah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah Swt (Hablum minallah) maupun hubungan dengan manusia (Hablumminannas), termasuk di antaranya masalah kepemimpinan di pemerintahan.
Karena kepemimpinan merupakan suatu amanah maka untuk meraihnya harus dengan cara yang benar, jujur dan baik. Dan tugas yang diamanatkan itu juga harus dilaksanakan dengan baik dan bijaksana. Karena itu pula dalam menunjuk seorang pemimpin bukanlah berdasarkan golongan dan kekerabatan semata, tapi lebih mengutamakan keahlian, profesionalisme dan keaktifan.   
Dalam Islam, pemimpin adalah abdi masyarakat. Sebab, kepemimpinan sesungguhnya adalah suatu amanah (titipan) yang setiap saat harus dipertanggungjawabkan dan diambil wewenangnya. Amanah itu diperoleh dari Allah SWT lewat pemilihan yang dilakukan oleh manusia, kecuali para Nabi dan Rasul yang langsung dipilih oleh Allah. Oleh karena itu, dalam melaksanakan amanah, manusia diharapkan senantiasa berbuat baik dan bertanggung jawab. Jika manusia bisa menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah, maka mereka tidak akan berebut kekuasaan dengan temannya sendiri, atau memaksakan diri untuk menjadi pemimpin demi keuntungan materi semata.

[1] Abul A’la Al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan (Bandung:Karisma. 2007) 374
[2] Al Hafizh Syihabbuddin Ahmad bin Ali bin Hajar Al Asqalani, Ringkasan Targhib wa Tarhib (Jakarta; Pustaka Azzam, 2006), 525
[3] Khatib Pahlawan Kayo, Kepemimpinan Islam dan Dakwah (Jakarta: AMZAH, 2005), 225-226
[4] Ibid. Hal. 525
[5] Ibid. Hal. 525
[6] Ibnu Taimiyah, Tugas Negara Menurut Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar., 2004), 360
[7] Op.Cit
[8] Thariq M As-Suwaidan dan  Faishal Umar Basyarahil, Melahirkan Pemimpin Masa Depan (Jakarta: Gema Insani, 2005), 301
[10] http://www. Suara karya.online.com
[12] Ibid. Hal. 525
Perihal Afrizal WS Zaini
BIODATA Nama : Afrizal Woyla Saputra Zaini Tempat/Tanggal Lahir : Seuradeuk/29 Juli 1990 Agama : Islam Jenis Kelamin : Laki-Laki Nama Orang Tua : - Ayah : Zaini Djambi (Alm) Ibu : Mariyah Alamat di Aceh : Ds. Seuradeuk Kec.Woyla Timur Kab. Aceh Barat Alamat di Malang : Asrama Mahasiswa Aceh, Jl. Bendungan Jatigede No. 03 Telp 0341-576156/HP 085277784400. Malang Pekerjaan : Mahasiswa Fak/Jurusan : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik/ Ilmu Pemerintahan Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang E-mail : awszaini@yahoo.com Twitter :@afrizalwoyla Riwayat Pendidikan : 1.Sekolah Dasar Negeri Meutulang : 1997-2003 2.Madrasah Tsanawiyah Negeri Peureumeu : 2003-2006 3.Sekolah Menengah Atas Muhammadiyah 6 Meulaboh : 2006-2009 4.Universitas Muhammadiyah Malang : 2009 - Sekarang
Pengalaman Organisasi : 1. Sekretaris Umum Ikatan Pelajar Pemuda & Mahasiswa Aceh (IPPMA) Malang 2009-2010, dan 2010-2011. 2. Sekretaris Asrama Mahasiswa Aceh Malang 2009-2010. 3. Ketua Panitia Pembangunan Asarama Aceh Malang Anggaran 2010 4. Ketua Umum Angkatan 2009 Jurusan Ilmu Pemerintahan UMM. 5. Ketua Departemen Politik Hukum Dan HAM Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMM 2010 - 2011. 6. Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat FISIP UMM. 7. Anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat FISIP UMM. 8. Sekretaris Panitia Day Of Tsunami ” Masa Depan Aceh Pasca Tsunami” Tahun 2009. 9. Anggota Paskibraka Kabupaten Aceh Barat Angkatan 63 Tahun 2008. 10. Anggota Nasional Demokrat DPC Kabupaten Aceh Barat.
Tanggung Jawab Seorang Pemimpin
Saat ini kita diperhadapkan pada hiruk pikuk ke-pemimpinan. Banyak yang sangat bangga dengan pemimpinnya namun tak sedikit pula yang sudah merasa gerah. Hal ini disebabkan 2 faktor, yakni pertama, soal kinerja pemerintahan yang belum maksimal dan yang kedua adalah sikap atau perilaku pemimpin dalam merespon kritikan. Saya kira kita semua mafhum kalau pemimpin adalah bahagian terpenting dalam kehidupan kita sebab tanpa kepemimmpinan, maka kita pun akan sulit menuju harapan serta tujuan yang dituju. Paling tidak karakter dan jiwa kepemimpinan ada disetiap jiwa kita masing-masing. Dalam bahasa Islam, sebuah hadits menjelaskan bahwa “ kalian semua adalah pemimpin, dan kalian semua bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya”.
Pemimpin akan selalu berkorelasi dengan tanggung jawab, sebab tanggung jawab itu menjadi domain kuasa terhadap apa yang dipimpinnya. Jika kemudian pemimpin tidak bisa memainkan atau tepatnya memerankan tanggung jawab itu, maka kredibilitas pemimpin tersebut harus di pertanyakan. Dalam artian, tanggung jawab inilah yang menjadi “stempel” atau legitimasi atas kepemimpinan tersebut. Terlepas kemudian hasil dari tanggung jawab itu baik atau buruk yang menjadi hal penting adalah pemimpin itu punya sikap, visi, pendirian serta komitmen atas tanggung jawab tersebut. Dan hal yang lumrah jika kemudian pemimpin dicibir sebagai respon perlakuannya atau sikapnya pada tanggung jawab yang diemban tersebut. Seberapa keras pun cibiran itu, pemimpin harus pintar-pintar dan strategi menyikapinya. Bahkan bisa dijadikan sebagai bahan masukan untuk kerja dan juga semangat untuk memperbaiki kinerja.
Namun jika, kemudian pemimpin meresponnya dengan reaksioner, kelabakan sampai harus diumber didepan publik dengan nada keluh kesah, maka publik pun akan menilainya variatif. Bisa saja ada yang bersimpatik namun juga tidak sedikit yang merasa “aneh-geli” sebab dinilai (juga) diluar kepatutan dan kepantasan seorang pemimpin. Entah apa yang ingin dicapai ketika melakukan hal ni, mungkin membangun image, pencitraan bahwa pemimpin ini (sekarang) sedang difitnah, digoyah dan tak dihormati. Dan tidak akan memperkarakannya secara hukum, meskipun ada penyelesaian jalur hukum. Makanya, kamu harus merasa kasihan melihat pemimpinmu diperlakukan seperti ini. cara membuat pemimpin tersebut “seakan” teraniaya, bisa merebut simpatik.
pemimpin yang seperti ini pasti paham betul kondisi sosial-psikologis masyarakatnya. Yaitu cepat merasa kasihan, iba terhadap orang yang teraniaya atau yang tersudutkan. dan jika sudah berperasaan kasihan maka, rasa simpatik terhadap yang merasa di aniaya akan muncul dimana-mana. Gejala ini bisa diraba dan diperikasa di media-media. Mungkin kita masih ingat betul, beberapa tahun silam, salah satu konteks akademi di stasiun TV swasta yang diseleksi lewat polling SMS oleh pemirsa. Maka munculkanlah salah satu peserta konteks bernyanyi tersebut dari kalangan orang miskin, masyarakat pinggiran, orang yang tak berpunya lau kemudian dibesar-besarkan oleh media tersebut. Walhasil, juaralah dia dengan perolehan SMS yang tinggi. Selain dari pada hal ini, reality-reality show dan tentu saja sinetron yang marak cukup mempengaruhi pola pikir dan karakter masyarakat kita. Kondisi seperti ini, menjadikan masyrakat kita lemah terhadap pembentukan daya kritisnya serta minus pembelajaran yang bisa digapai. Maka jadilah masyaraat kita sabar dengan keadaanya sekarang. Namun disisi lain juga, mereka bahkan jarang mengeluh. Ketika minyak tanah langka, harga sembako naik, bencana datang silih menghampiri. Mereka tetap sabar menghadapinya dan rasa ibanya juga ikut terpelihara.
Tapi juga merupakan kesalahan fatal, sebab pemimpin bukan hanya seorang yang diserahi setumpuk kepercayaan dalam hal melakukan perubahan, akan tetapi yang tidak kalah pentingnya juga adalah pemimpin itu harus jadi panutan atau role of model dan sumber pengetahuan. Pemimpin juga punya tanggung jawab untuk membuat bawahan dan masyarakat untuk menjadi cerdas. Pemimpin yang demikian juga malah memperdaya “kelemahan pemahaman” masyarakatnya untuk meraih popularitas dan juga memperpanjang keterbelakangan masyarakatnya. Karena ketika pemimpin mengedepankan sebuah moralitas yang patut dianut maka dengan sendirinya akan banyak berdampak di lapisan masyarakat.
Tugas Pemimpin
Tugas utama seorang pemimpin adalah:
1. Pemimpin bekerja dengan orang lain : Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk bekerja dengan orang lain, salah satu dengan atasannya, staf, teman sekerja atau atasan lain dalam organjsasi sebaik orang diluar organisasi.
2. Pemimpin adalah tanggung jawab dan mempertanggungjawabkan (akontabilitas): Seorang pemimpin bertanggungjawab untuk menyusun tugas menjalankan tugas, mengadakan evaluasi, untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin bertanggung jawab untuk kesuksesan stafhya tanpa kegagalan.
3. Pemimpin menyeimbangkan pencapaian tujuan dan prioritas : Proses kepemimpinan dibatasi sumber, jadi pemimpin hanya dapat menyusun tugas dengan mendahulukan prioritas. Dalam upaya pencapaian tujuan pemimpin harus dapat mendelegasikan tugas-tugasnya kepada staf. Kemudian pemimpin harus dapat mengatur waktu secaraefektif,dan menyelesaikan masalah secara efektif.
4. Pemimpin harus berpikir secara analitis dan konseptual : Seorang pemimpin harus menjadi seorang pemikir yang analitis dan konseptual. Selanjutnya dapat mengidentifikasi masalah dengan akurat. Pemimpin harus dapat menguraikan seluruh pekerjaan menjadf lebih jelas dan kaitannya dengan pekerjaan lain.
5. Manajer adalah forcing mediator : Konflik selalu terjadi pada setiap tim dan organisasi. Oleh karena itu, pemimpin harus dapat menjadi seorang mediator (penengah).
6. Pemimpin adalah politisi dan diplomat: Seorang pemimpin harus mampu mengajak dan melakukan kompromi. Sebagai seorang diplomat, seorang pemimpin harus dapat mewakili tim atau organisasinya.
7. Pemimpin membuat keputusan yang sulit : Seorang pemimpin harus dapat memecahkan masalah.

Mengenali Sosok Pemimpin yang Dirindukan Masyarakat

Oleh: Wulan Aprilyani_Sekretaris Media Online LDK Al Hurriyyah 2012
Pada hakikatnya setiap manusia adalah seorang pemimpin dan setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Hadits berikut:
را ع و كلكم مسئو ل عن ر عيته كلكم
Artinya: Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya (H. R. Bukhori)
            Definisi pemimpin menurut para ahli sangat beragam, namun beberapa aktivitas yang tak lepas dari seorang pemimpin adalah:
  1. Sebagai pengatur, agar apa yang menjadi visi dan misinya tercapai
  2. Penanggungjawab dan pembuat kebijakan-kebijakan
  3. Pemersatu dan memotivasi bawahannya dalam melaksanakan aktivitas
  4. Pelopor dalam menjalankan aktivitas manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan serta pengelolaan sumberdaya yang ada
  5. Sebagai pelopor dalam memajukan organisasi yang dipimpinnya
Dalam pandangan Islam, kepemimpinan tidak jauh berbeda dengan model kepemimpinan pada umumnya, karena prinsip-prinsip dan sistem-sistem yang digunakan terdapat beberapa kesamaan. Kepemimpinan dalam Islam pertama kali dicontohkan oleh Rasulullah SAW, kepemimpinan Rasulullah tidak bisa dipisahkan dengan fungsi kehadirannya sebagai pemimpin spiritual dan masyarakat. Prinsip dasar kepemimpinan beliau adalah keteladanan. Dalam kepemimpinannya mengutamakan uswatun hasanah pemberian contoh kepada para sahabatnya yang dipimpin. Rasulullah memang mempunyai kepribadian yang sangat agung, hal ini seperti yang digambarkan dalam al-Qur’an:
Artinya: “Dan Sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar berada dalam akhlak yang agung”. (Q. S. Al-Qalam: 4)
Dari ayat di atas menunjukkan bahwa Rasullullah mempunyai kelebihan yaitu akhlak yang mulia, sehingga dalam hal memimpin dan memberikan teladan memang tidak lagi diragukan. Kepemimpinan Rasullullah memang tidak dapat ditiru sepenuhnya, namun setidaknya sebagai umat Islam harus berusaha meneladani kepemimpinan-Nya.
            Berikut adalah karakteristik yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin, agar ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik adalah:
  1. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
  2. Senantiasa berpegang teguh kepada kitabullah dan menjadikannya landasan dalam mengambil setiap keputusan
  3. Ikhlas karena Allah semata, selalu bertindak benar dan jujur kepada-Nya
  4. Peka terhadap pengawasan dan penjagaan Allah SWT
  5. Memiliki rasa tanggung jawab, bertindak jujur dan adil
  6. Sederhana dalam segala hal
  7. Berperangai penyantun, kasih saying, lemah lembut dan ramah terhadap sesama
  8. Bersungguh-sungguh dalam merencanakan program yang tepat, menentukan tujuan, tahapan, cara, sarana, persiapan-persiapan yang sesuai dengan kebutuhan
  9. Harus memiliki cita-cita dan semangat juang yang tinggi
Kepemimpinan dalam pandangan Islam merupakan amanah dan tanggung jawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota yang dipimpinnya, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Jadi, pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak hanya bersifat horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat vertikal-moral, yakni tanggung jawab kepada Allah SWT di akhirat.
Kepemimpinan sebenarnya bukanlah sesuatu yang menyenangkan, tetapi merupakan tanggung jawab sekaligus amanah yang amat berat dan harus diemban sebaik-baiknya. Hal tersebut dijelaskan dalam Al Qur’an surat Al-Mu’minun:
Artinya: Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janji mereka dan orang-orang yang memelihara sholatnya, mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya. (Q.S. al-Mukminun 8-11)
Dari penjelasan Al Qur’an surat al-Mukminun 8-11 dan kedua Hadits di atas dapat diambil suatu benang merah bahwa dalam ajaran Islam seorang pemimpin harus mempunyai sifat amanah, karena seorang pemimpin akan diserahi tanggung jawab, jika pemimpin tidak memiliki sifat amanah, tentu yang terjadi adalah penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk hal-hal yang tidak baik. Oleh karena itu, kepemimpinan tidaklah dilihat sebagai fasilitas untuk menguasai, tetapi justru dimaknai sebuah pengorbanan dan amanah yang harus diemban sebaik-baiknya. Selain bersifat amanah, seorang pemimpin harus mempunyai sifat yang adil. Hal tersebut ditegaskan oleh Allah dalam firmannya:
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat (Q. S. al- Nisa’: 58)
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan… (Q. S. al-Nahl: 90)
Dari penjelasan di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah sebuah amanah yang harus diemban dengan sebaik-baiknya, dengan penuh tanggung jawab, profesional dan keikhlasan. Sebagai konsekuensinya pemimpin harus mempunyai sifat amanah, profesional dan juga memiliki sifat tanggung jawab. Kepemimpinan bukan kesewenang-wenangan untuk bertindak, tetapi kewenangan melayani untuk mengayomi dan berbuat seadil-adilnya. Kepemimpinan adalah keteladanan dan kepeloporan dalam bertindak yang seadil-adilnya. Kepemimpinan semacam ini hanya akan muncul jika dilandasi dengan semangat amanah, keikhlasan dan nilai-nilai keadilan yang tinggi.(arn:ed)
(Dikutip dari berbagai sumber dengan beberapa penyesuaian)

Mengatasi Kemiskinan Dalam Islam

7 Sumber Pengentasan Kemiskinan


KEMISKINAN itu dekat dengan kekufuran, oleh karenanya dalam salah satu do’a pagi dan petang yang dicontohkan -do’a berlindung dari kemiskinan/kefakiran itu dirangkai dengan do’a berlindung dari kekufuran. Bukan hanya do’a saja, Islam memberi begitu banyak jalan konkrit untuk menjadi sumber pengentasan kemiskinan ini. Berikut saya sarikan 7 diantaranya, saya yakin ada yang bisa kita lakukan.


1. Kerja

Kerja adalah cara yang paling efektif dan elegan untuk mengentaskan kemiskinan. Orang yang bekerja dan oleh karenanya menerima penghasilan dari pekerjaan tersebut akan terbebas dari meminta-minta dan ketergantungan terhadap orang lain. Bukan hanya bagi orang yang bekerja itu sendiri yang terbebas dari kemiskinan tetapi juga anggota keluarganya dan bahkan juga kerabat dekatnya.

Menciptakan lapangan kerja yang halal,  yang baik dan yang berkelanjutan insyaallah akan menjadi amal shaleh pengentasan kemiskinan yang utama.

2. Tanggung Jawab Kerabat Dekat


Banyak ayat yang menekankan tanggung jawab kita terhadap kerabat dekat dan orang miskin di sekitar kita seperti “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan…”(QS 17 :26).

Menolong keluarga dekat ini bahkan insyaallah dapat mendatangkan dua pahala sekaligus yaitu pahala sedekah dan menyambungkan silaturahim. Kalau masing-masing orang yang relatif mampu menolong keluarga dekatnya yang kurang mampu, maka kemiskinan itu sudah  akan banyak berkurang.

3. Zakat
Banyak sekali sumber-sumber zakat mulai zakat maal , zakat profesi, zakat tanaman, zakat ternak sampai zakat fitrah yang apabila diefektifkan penarikan dan penyalurannya akan menjadi sumber pengentasan kemiskinan yang sangat memadai.

Lebih-lebih karena persentase zakat ini cukup besar terhadap turn-over suatu system perekonomian. Mulai dari 2.5 % untuk barang dagangan sampai 10 % bagi zakat hasil pertanian yang tidak menggunakan irigasi teknis.

4. Tanggung Jawab Para Pemimpin


Negara memiliki berbagai pendapatan dan oleh karenanya para pemimpin negara tersebut bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya. Dasarnya antara lain adalah ayat “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnusabil, …” (QS 8 :41) dan beberapa ayat lain yang senada.

Tetapi bukan hanya pemimpin negara yang bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya, masing-masing kita juga menjadi pemimpin dalam kapasitas kita masing-maing dan kita akan dimintai pertanggung jawaban terhadap kepemimpinan kita. Tanggung jawab terhadap orang-orang dalam ruang lingkup kepemimpinan kita inilah yang juga dapat menjadi sumber pengentasan kemiskinan itu.

5. Pemenuhan Kewajiban-kewajiban Tertentu


Di luar zakat, kita memiliki banyak kewajiban yang juga dapat menjadi sumber pengentasan kemiskinan. Lihatlah misalnya di ayat berikut, betapa luas tanggung jawab kita itu : “… Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu...” (QS 4 : 36)

Untuk tetangga bahkan ada tanggung jawab lebih yang terkait langsung dengan keimanan kita sebagaimana hadits shahih yang berbunyi : “ Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah menghormati tetangganya…”. Juga hadits lain yang berbunyi “Tidaklah beriman barang siapa yang kenyang dan tetangganya lapar sedangkan dia mengetahui…”.

Bayangkan bila masing-masing kita memperhatikan dan memuliakan sampai tetangga yang dekat dan yang jauh-tidak ada diantara mereka yang lapar ketika kita kenyang, kemiskinan pasti lebih mudah diatasi.

6.  Pelaksanaan Ibadah-ibadah Tertentu

Bahkan ketika kita orang Islam melaksanakan tuntunan ibadah-ibadah tertentu-pun, itu bisa menjadi sumber pengentasan kemiskinan. Ketika kita memotong hewan qurban-dagingnya untuk orang miskin, ketika kita tidak melaksanakan nadzar dendanya memberi makan orang miskin, ketika orang tua kita sakit tua sehingga  tidak bisa berpuasa-fidyahnya adalah memberi makan orang miskin . dlsb. dlsb.

7.  Amalan Diluar Yang Wajib

Diluar sumber-sumber yang sifatnya keharusan atau kewajiban tersebut di atas, umat Islam juga didorong untuk berbuat maksimal dalam mengentaskan kemiskinan dalam berbagai bentuknya.

Ayat berikut misalnya menggambarkan betapa Allah menghargai dan memberi pahala yang berlipat untuk amalan seperti ini : “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS 2 : 261)

Dengan begitu banyaknya jalan untuk mengentaskan kemiskinan, insyaallah beberapa diantaranya pasti kita bisa aktif terlibat didalamnya-yang dibutuhkan tinggallah melaksanakan mulai dari yang kita bisa, just do it !. InsyaAllah

Oleh : Muhaimin Iqbal  

pentingnya pemimpin dalam islam

Pemimpin dalam kehidupan manusia merupakan sesuatu yang urgen untuk ditegakkan. Sebab tanpa pemimpin kehidupan manusia mudah mengalami keretakan sosial, ekonomi, politik dan hukum. Dengan adanya pemimpin maka rakyat dapat berharap ditegakkannya supremasi hukum, tegaknya keadilan serta menghilangkan kerusakan dan terjaminnya kemakmuran. Menegakkan dan mengangkat pemimpin menjadi tanggung jawab umat melalui mekanisme konstitusional-yang telah baku dan menjadi kesepakatan bangsa bersangkutan. Sejarah perpolitikan Islam telah memberikan banyak pilihan soal bagaimana menentukan pemimpin, dan mekanisme musyawarah adalah mekanisme yang oleh beberapa kalangan dinilai modern pada masanya. Dengan kata lain, apapun mekanisme yang hendak digunakan dalam mengangkat pemimpin yang terpenting adalah proses tersebut harus diletakkan dalam bingkai akidah, akal, dan kesimbangan moral, sehingga out put yang dihasilkan secara konsisten menapaki basisnya. Al-Māwardi mengelompokkan pentingnya keberadaan pemimpin sama seperti tugas agama dalam rangka melanjutkan tugas kenabian. Artinya kepemimpinan bagian penting dari eksistensi agama, dan agama membutuhkan figur pemimpin untuk menerapkan segala hal yang berkaiatan dengan agama. Al-Qur’ān secara tegas menghendaki sebagian dari masyarakat memiliki peranan penting dalam pemberantasan kemaksiatan dan menegakkan kebaikan sebagaimana terungkap dalam surat Ali ’Imrān ayat 104 : وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ أُمَّةٌ یَّدْعُوْنَ إِلَى اْلخَیْرِ وَیَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَیَنْھَوْنَ عَنِ اْلمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ ھُمُ اْلمُفْلِحُوْنَ . “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merakalah orang-orang yang beruntung” . (Q.S Ali Imran: 104) Tegaknya kebaikan dan menghilangkan segala bentuk kemungkaran rupanya suatu pekerjaan yang tak bisa disepelekan mengingat teks telah mengutarakan secara lugas. Agar tuntutan tersebut dapat diaktualkan maka harus diupayakan oleh kekuatan yang secara konsisten menjalankannya demi mencapai tatanan kehidupan yang lebih bermartabat.33 Pengupayaannya akan lebih efektif jika didukung oleh kekuatan politik yang berorientasi pada aktualisasi pesan tuhan. Kegiatan amar ma’ruf dan nahy ’an al-mungkar dilaksanakan sesuai pertimbangan kemampun yang dimiliki oleh manusia sebagaimana terungkap dalam hadīth nabi: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فًلْیُغَیِّْر بِیَدِهِ فَإِنْ لمَّْْْ یَسْتَطِعْ فَبِلِسَنِھِ فَإِنْ لمَّ یَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِھِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلاِیْمَانِ (رواه مسلم ) “Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran maka rubahlah (cegahlah) dengan tangannya, dan apabila tidak mampu, maka upayakan dengan lisannya, bila juga tidak bisa, maka upayakan dengan sikap hatinya, yang demikian itu adalah iman yang lemah” Hal penting yang menjadi tujuan utama nalar hadith di atas adalah bahwa manusia beriman tanpa terkecuali memiliki tanggung jawab menegakkan kebaikan demi eksisnya: al-dīn, al-Aql, al-nafs, a-nasl, dan almāl dari berbagai hal yang menyebabkan ketidak berfungsian, tujuan ini merupakan bagian penting dari seluruh kekuatan otoritas yang dimiliki manusia, terlebih pemimpin yang sedang berkuasa. Untuk memenuhi harapan tersebut, dibutuhkan pemimpin yang tegas, terampil, adil dan mau bekerja keras guna meningkatkan kualitas kehidupan masyarkat secara spritual dan material.

MEMILIH PEMIMPIN DALAM ISLAM

Written By Belajar Memahami Diri Sendiri on 28/08/12 | 28.8.12


Bismillahirrahmanirrahiim
Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, semua aspek kehidupan sudah diatur dan ditata dengan baik dalam agama Islam. Sejarah selama 1.500 tahun menunjukkan bagaimana peradaban dunia kemajuannya sangat didorong oleh perkembangan Islam. Hal tersebut karena di awal sejarah Islam melalui kepimpinan Baginda Rasulullah saw. Figur kepemimpinan Nabi Muhammad yang :
1. Shiddiq (berkata jujur)
2. Fathonah (cerdas)
3. Tabligh (mampu berkomunikasi)
4. Amanah (bisa dipercaya) 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDPXVi7kvM_2rnYBVhQNJI0WwXXAn7o47lO59D519zuQnedQrsOsaYV3GY3OrmtPmjtRvUHFIeqSkbjNXlF3EpJP4BEUHzOXEX58InEM-YrurAsi_a-JJj6r-8WbXW8G-D1_53XSUCzl8/s320/pemimpin.JPG
Pilihlah pemimpin sesuai dengan tuntunan AlQur'an dan hadist
Kepemimpinan yang baik sangat ditunjang oleh pribadi dan akhlak pemimpinnya. Ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan seorang muslim dan muslimat dalam memilih pemimpin sesuai tuntunan AlQur'an dan hadist sebagai berikut:


1. Pemimpin yang beragama Islam :
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَمِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً 
وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali Imran(3):28)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ آمِنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيَ أَنزَلَ مِن قَبْلُ وَمَن يَكْفُرْ بِاللّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (An Nisa(4):144)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Al Maidah(5):51)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (Al Maidah(5):57)

2. Diutamakan Laki-laki
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” 
(An Nisa(4):34)
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat seorang wanita sebagai pemimpinnya.” (HR. Bukhari)

3. Dewasa (Baligh)
Yakni memiliki kualitas yang baik dalam membedakan sesuatu yang benar dan salah, mana yang haq dan mana yang batil, yang ditunjang oleh ketaqwaan kepada Allah SWT., pengetahuan serta pengalaman bermasyarakat yang baik pula. 
وَلاَ تُؤْتُواْ السُّفَهَاء أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللّهُ لَكُمْ قِيَاماً وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُواْ لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا 
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (An Nisa(4):5)

4. Amanah dan ditunjang oleh disiplin Ilmu yang baik
Seorang pemimpin yang amanah dapat dipercaya dalam melaksanakan kepercayaan dan tanggung jawab dengan baik harus pula ditunjang oleh ilmu yang sesuai dengan bidangnya. Dengan memiliki ilmu yang baik dan berkualitas diapun akan jauh dari kendali dari golongan tertentu yang akan menjadikannya hanya sebagai pemimpin boneka demi kepentingan segolongan atau kelompok tertentu.
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf(12):55)
Sabda Baginda Nabi saw.:
“Apabila suatu urusan dipercayakan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.”(HR. Bukhari)

5. Adil
Adil adalah tidak berat sebelah. Semua yang dipimpinnya haruslah disayangi dan diperlakukan dengan baik sesuai yang sudah diamanahkan, baik itu dulunya yang memilihnya ataupun yang tidak memilihnya ketika proses pemilihan pemimpin.
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shaad(38):26)

6. Sehat Jasmani maupun secara mental/kejiwaan
Menjadi pemimpin diperlukan fisik yang kuat serta mental yang tangguh dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang sudah diamanahkan. Mental yang kuat dalam menghadapi serangan-serangan dan provokasi lawan politiknya yang harus diselesaikan secara arif dan bijaksana.
Rasulullah saw bersabda:
“Dari Abu Dzar berkata, saya bertanya kepada Rasululloh SAW, mengapa engkau tidak meminta saya memegang sebuah jabatan?; Abu Dzar berkata lagi, lalu Rasululloh SAW menepuk punggung saya dengan tangannya seraya berkata; Wahai Abu Dzar,sesungguhnya kamu seorang yang lemah. Padahal, jabatan itu sesungguhnya adalah amanat (yang berat untuk ditunaikan)” (HR. Muslim)

Demikianlah beberapa kriteria dalam memilih seorang pemimpin. Bagi saudara-saudara kita yang tinggal di daerah mayoritas non muslim dan dalam pemilihan pemimpin hanya ada pilihan-pilihan pemimpin non muslim (contohnya di Amerika Serikat, Inggeris dan lain-lainnya) pilihlah yang cakap, adil dan memiliki krediblitas yang baik. Namun jika ada pilihan yang seagama dengan kita tentu sesuai dengan tuntanan AlQur'an dan Hadist harus dan wajib memilih yang seagama.

 Wallohu'alam.

Kepemimpinan Menurut Islam dan Implementasi Bhinneka Tunggal Ika

REP | 29 August 2012 | 00:42 http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/ico_baca.gifDibaca: 2672   http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/img_komen.gifKomentar: 282   http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/ico_nilai.gif22 aktual
Pasca seminar “Kepemimpinan menurut Islam” yang dihadiri seluruh kepengurusan Fatayat NU DKI Jakarta dengan narasumber Marzuki Alie selaku Ketua Dewan Ahli Ikatan Sarjana NU, menuai kritik dari berbagai golongan dan kepercayaan. Kritik yang tidak sehat sudah menjadi bias jauh dari substansi materi seminar dan berkembang luas di media masa, terutama berbagai media sosial yang bersumber dari berita yang dimuat di salah satu media online. Namun, selaku muslim yang berbicara dalam komunitas muslim, dalam kelompok warga NU Ahlussunnah wal Jamaah, referensi tulisan dan ceramah saya tentu bersumber dari hukum Islam, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, sebagaimana sering saya khotbahkan sebagai khotib Jum’at , ataupun kegiatan keagamaan lainnya. Materi seminar tersebut bisa didownload di alamat: http://www.marzukialie.com/?show=makalah.
Sudah seharusnya, sebagai sebuah negara yang menjunjung kebhinnekaan sebagai salah satu pilar kebangsaan, siapapun tidak bisa mengintervensi keyakinan orang lain, khususnya bagi yang berbeda keyakinan. Disinilah sebenarnya implementasi dari nilai keberagaman tersebut, saling menghormati di antara ummat beragama yang berbeda keyakinan. Sama halnya saya menghargai keyakinan sahabat-sahabat saya dan masyarakat Indonesia lainnya yang berbeda keyakinan dengan saya. Menurut saya, intervensi terhadap keyakinan saya sebagai Muslim, justru merupakan provokator, biang konflik SARA yang sebenarnya.
Pendapat, kritik dan saran yang termuat di berbagai media, umumnya mempersoalkan status saya sebagai Ketua DPR, sehingga tidak sepantasnya berbicara demikian. Kesan yang dimunculkan adalah, bahwa Ketua DPR telah berbicara SARA, memecah persatuan dan kesatuan bangsa dan tidak memahami berdirinya negara oleh the founding fathers yang berlandaskan nilai nilai keberagaman. Saya dituding tidak berperilaku negarawan.
Kritik dan berbagai pendapat tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya salah apabila konteks waktu dan tempat saya berbicara dan bertindak selaku Ketua DPR sebagai Pejabat Negara dan berdiri di atas semua golongan, etnis, suku, agama dan kepentingan.
Yang menjadi pertanyaan, apakah di luar tugas saya selaku Ketua DPR, tidak boleh menjalani kehidupan sosial dan agama sebagai seorang Marzuki Alie dalam kapasitas pribadi yang harus bermasyarakat dan mempunyai kewajiban sebagai seorang Muslim?
Saya mempunyai sisi private yang harusnya dihargai, yang tidak bisa dikaitkan dengan jabatan saya selaku Ketua DPR, Pejabat Negara. Itulah hak asasi setiap orang, yang seharusnya tidak harus selalu dicampur adukkan antara kehidupan private dengan posisi sebagai Pejabat Negara. Jangan hak asasi saya selalu dieliminasi dengan jabatan tersebut, namun juga perlu diperhatikan konteks dan waktunya.
Manakala saya berbicara dalam komunitas muslim saya, maka acuannya adalah nilai-nilai Islam sesuai tuntunan Al Qur’an dan As sunnah, bukan UU atau Peraturan Pemerintah.
Manakala saya berbicara dan bergaul dalam masyarakat di lingkungan, maka nilai-nilai kemasyarakatan tersebut yang harus saya junjung, terlepas dan tidak terkait dengan posisi saya sebagai Pejabat Negara.
Manakala saya menjalani kehidupan pribadi dalam keluarga besar saya, tidak ada status Pejabat Negara, karena ada norma kebiasaan dan norma agama yang harus saya laksanakan.
Demikian pula, manakala dalam lingkup tugas saya selaku Ketua DPR, maka saya harus berperilaku sebagai negarawan, yang mengayomi semuanya tanpa diskriminasi berpayung kepada peraturan dan perundangan yang berlaku.
Berbagai profesi saya dalam kehidupan sehari-hari ini, hendaklah dipahami secara utuh, sehingga penilaian menjadi proporsional. Tidak tepat bila dalam berbagai profesi itu semuanya dikaitkan dengan jabatan selaku Ketua DPR. Saya berusaha untuk menempatkan diri dalam posisi yang tepat, sesuai dengan profesi saya, baik di dalam kehidupan keluarga, beragama, bemasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan, untuk menghindari pemahaman yang keliru, sudah menjadi kewajiban saya untuk merespon dengan memberikan penjelasan, walaupun ruang untuk itu sangat terbatas.
Terus terang, melayani kritik yang mengalir seperti air bah dalam media sosial, ibarat memukul angin, atau membelah air, sehingga sangat memeras pikiran, waktu dan tenaga. Satu direspon, muncul kritik yang sama dari sumber yang berbeda dengan jumlah yang lebih banyak.
Saya berkesimpulan bahwa keberagaman yang menjadi landasan berdirinya bangsa ini telah salah diartikan, seolah kebhinnekaan mengharamkan adanya dinamika dalam kehidupan beragama, agama dipersepsikan sebagai wilayah yang sangat private, padahal ada kewajiban agama kepada pengikutnya untuk selalu memberikan pencerahan kepada ummatnya sesuai tuntunan agama dan kepercayaannya masing-masing, artinya ada wilayah eksklusif yang harus dihargai sebagai bentuk penghormatan kita kepada saudara-saudaranya yang berbeda agama dan keyakinan. Misalnya tempat ibadah, perkumpulan komunitas agama tertentu, acara-acara keagamaan lainnya yang dilakukan oleh kelompok pemeluk agama tertentu.
Harus dipahami juga bahwa agama tidak hanya memberikan tuntunan ritual dalam beribadah kepada Tuhannya, tapi memberikan tuntunan dalam berbagai aspek kehidupan, baik kehidupan sosial kemasyarakatan, kehidupan rumah tangga, kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk politik.
Sepanjang pencerahan tersebut dilakukan sesuai dengan tuntunan agamanya dalam ruang eksklusif, di dalam komunitas agama tertentu, maka tidak boleh ada yang mengintervensi. Itulah pemahaman kebhinnekaan yang seharusnya.
Kata kuncinya, apabila seluruh masyarakat Indonesia menjalankan keyakinan agamanya masing masing dengan baik dan benar, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar, bangsa yang damai, aman, adil dan sejahtera, karena tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan. Semua agama mengajarkan kedamaian, persaudaraan, keadilan, kebenaran yang universal.
Lalu mengapa banyak yang mempersoalkan seminar “Kepemimpinan menurut Islam” dalam komunitas muslim saya? Padahal walaupun eksklusif, saya tetap taat terhadap peraturan perundangan, yaitu tidak boleh melakukan kampanye, itulah hukum positif yang harus saya taati sebagai warga negara Indonesia. Dalam seminar tersebut, tidak ada satu pun kalimat saya membicarakan tentang Pemilukada DKI.  Tidak ada satu pun kalimat saya menyebut kandidat gubernur. Lalu mengapa ada berita, ajakan saya untuk memilih gubernur yang seiman,yang kemudian berkembang liar menjadi berita yang menyesatkan.
Setelah acara seminar dengan Fatayat NU pada 26 Agustus yang lalu, beberapa media menyampaikan pertanyaan kepada saya, selaku kader PD, tentang Pemilukada DKI.
Saya tegaskan selaku kader, merupakan kewajiban bagi kami diminta atau tidak, Timses atau tidak, bekerja memberikan kontribusi untuk kemenangan calon yang diusung oleh partai saya, yaitu Foke-Nara.
Menyusul pertanyaan berikutnya, yaitu apa kaitan substansi materi seminar dengan Pemilukada DKI.
Menurut saya, apa yang disampaikan dalam seminar itu menjadi tuntunan bagi ummat Islam, namun semuanya tergantung yang bersangkutan, apakah akan melaksanakan tuntunan agamanya atau tidak, karena hal tersebut menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing kepada Tuhannya.
N     Sebenarnya demokrasi ini memberikan ruang bagi mayoritas untuk terpilih menjadi pemimpin, tetapi sekali lagi, tidak menutup ruang minoritas untuk terpilih. Contoh, di  Sulawesi utara dan NTT, dimana mayoritas masyarakatnya non-muslim, terpilih gubernurnya non-muslim. DKI mayoritasnya muslim, kalau mereka mengikuti tuntunan, maka muslim yang akan terpilih menjadi gubernur. Namun ini bukan keharusan, kalau bersifat keharusan, maka itu berarti pemaksaan dan tidak demokratis. Apabila nantinya yang terpilih non-muslim, sebagai keniscayaan demokrasi, maka semuanya harus menerima dengan ikhlas, dan itulah takdir Allah, tidak ada alasan apapun untuk menolak hasil pemilukada tersebut.
Inilah catatan lengkap seminar yang dilaksanakan dan dihadiri oleh Fatayat NU, dan saya sebagai narasumber tunggal selaku Ketua Dewan Ahli Ikatan Sarjana NU, bukan selaku Ketua DPR. Semoga menjadi jelas, dan mohon maaf bagi yang tidak berkenan. Terima kasih.
Dr. H. Marzuki Alie

MEMBANGUN KOMPETENSI KEPEMIMPINAN SEKTOR PUBLIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM DEMI TERWUJUDNYA PELAYANAN PRIMA

Oleh:
Choirul Saleh
A. PENDAHULUAN
Berangkat dari kajian teoritis yang dibangun oleh para teoritis dari dunia barat, pemimpin atau leader adalah orang atau sekelompok orang yang secara struktutal menempati posisi tertentu yang bersifat strategis. Sedangkan kepemimpinan atau leadership memiliki pengertian yang sangat kompleks, terkadang diartikan sebagai suatu sifat yang melekat pada diri seseorang misalnya; keteguhan/kepribadian, stamina/daya tahan ataupun kharisma. Sedang pada saat yang lain dianggap sebagai keistimewaan yang melekat pada diri seseorang karena secara posisional ia mempunyai kedudukan atau kekuasaan, kewenangan dan tanggungjawab. Beberapa literatur yang membahas tentang kepemimpinan mengatakan bahwa banyak mazhab atau aliran yang mendifinisikan kepemipinan secara berbeda-beda. Namun terdapat sebuah konsensus terbatas yang telah disepakati oleh anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam bukunya yang berjudul Public Sector Leadership for 21st Century mengatakan sebagai berikut: That definition of leadership is that of “social influence process”, although the same may be said for most experiences that involve more one person. Sedangkan para negara anggota PUMA mengatakan: We take the position that the core of leadership is how “individual’s influence others”, particularly in respect to accessing their inner motivation.
Berangkat dari kedua definisi tersebut seolah-olah terdapat kesepakatan bahwa inti dari sebuah kepemimpinan adalah terletak pada tingkat kemampuan seseorang dalam “mempengaruhi orang lain”, terutama yang memiliki kemampuan dalam membangkitkan inner motivasi mereka. Dalam kepemimpinan sektor bisnis, inner motivation yang harus dibangkitkan hanya terbatas pada para pekerja yang ada di dalam organisasi, sedangkan dalam kepemimpinan sektor publik, ada dua pihak yang harus dibangkitkan inner motivation nya yakni; pertama pihak karyawan atau pegawai yang ada di dalam sebuah lembaga/Instansi pemerintah, kedua semua warga negara atau masyarakat yang berada di bawah kewenangannya. Dengan demikian kepemimpinan sektor publik harus memiliki ability to influence yang lebih besar dan kompleks dibandingkan dengan kepemimpinan di dalam organisasi organisasi bisnis.
Berbeda dengan pandangan umum dari para teotitisi yang mengatakan bahwa core dari sebuah kepemimpinan itu adalah to influence, dalam perspektif Islam berkeyakinan bahwa responsibility lah yang menjadi core atau inti dari sebuah kepemimpinan, baik itu kepemimpinan sektor publik maupun kepemimpinan non-sektor publik. Pernyataan ini di dasarkan pada salah satu Hadist Rasulullah yang seara tegas beliau telah bersabda sebagai berikut;
An ‘Abdullahini ‘Umaro rodhiyallohu ‘anhumaa yaqulu sami’tu rosulallaahu wassalam yaqulu; wa kullukum mas uulun ‘anra’iyatin al imaamu raa’in wa mas uulun ‘an ra’iyatihi warrajulu ra’in fii ahlihi wahuwa mas uulun ‘an ra’iyati wal mar atu ra’iyatun fi baiti zaujihaa wa mas uulahu ‘an ra’iyatiha wal choodimu ra’in fimaali sayidihi wamas uulun ‘an ra’iyatihi. ra’iyatihi (Dari Abdullah bin Amr ra, dia berkata, aku mendengar Rorululah SAW bersabda; “Masing-masing dari kamu sekalian adalah pemimpin, dan masing-masing dari kamu sekalian bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Orang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Orang perempuan adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya, dan pelayan adalah pemimpin atas harta tuannya (majikannya) dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. (H.R. Buchari).
Sedang narasi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim ditambah dengan kalimat: “warrojulu ra’in fimaali abiihi wa mas uulun ‘an ra’iyyatihi. Yang artinya: “seorang anak adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya.)” (H.R Al-Bukhari dan Muslim)
Apabila kita cermati secara seksama antara inti kepemimpinan yang telah ditetapkan oleh kedua perspektif tersebut jelas memiliki perbedaan konsekwensi dan implikasi yang sangat tajam, yang dapat diuraikan sebagai berikut;
1. Dalam konsep umum aspek pemimpin dan kepemimpinan sektor publik selalu ditempatkan pada posisi yang hirarkhis, dimana seorang pemimpin harus menempati posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan para pengikutnya. Penempatan posisional ini merupakan salah satu aspek penting yang dipergunakan oleh sang pemimpin dalam menjalankan tugasnya, yakni proses mempengaruhi orang lain agar dapat dilakukan secara efektif terhadap para pengikutnya, baik pengikut dalam arti bawahan maupun masyarakat atau warga negaranya. Oleh karena tugas mereka adalah influence to others, maka berdasarkan perhitungan logika seseorang yang menduduki posisi strategis akan lebih mudah di dalam mempengaruhi orang lain ketimbang mereka-mereka yang tidak memiliki posisi. Dengan demikian agar kinerja seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya berjalan secara efektif, mereka harus diposisikan pada tempat-tempat yang strategis itu.
2. Hampir semua teori kepemimpinan dan manajemen sependapat bahwa bagi seorang pemimpin yang ingin menjalankan kepemimpinannya secara efektif, dalam mempengaruhi orang lain, proses boleh dilakukan dengan cara yang persuasive maupun dengan cara yang coercive, namun tidak pernah dikatakan harus dilakukan dengan cara yang benar dan dengan penuh tanggung jawab. Inti kepemimpinan semacam ini terfokus pada aspek “kekuasaan” atau power yang sering kali kekuasaan atau power itu bersifat “memaksa” tanpa harus mempertimbangkan aspek benar atau salah, tetapi selalu didasarkan pada pertimbangan efektifitas tindakannya. Hal ini sejalan dengan pengertian dari kekuasaan yang didefinisikan sebagai berikut; power is the ability to get someone else to do something you want done, or the ability to make things happen or get things done the way you want. Oleh karena process to influence yang dilakukan seorang pemimpin intinya terletak pada kemampuannya untuk membuat orang lain mau dan bersedia mengerjakan sesuatu yang diinginkan oleh sang pemimpin. Pola-pola yang seperti ini, dalam hal tertentu akan menimbulkan dampak yang negatif, karena, pertama, tidak menutup kemungkinan bahwa pihak yang diperintah akan melaksanakan pekerjaannya dengan terpaksa, dan kedua, besar kemungkinan pekerjaan yang diinginkan oleh sang pemimpin itu justru pekerjaan yang tidak benar, melanggar hukum atau justru melanggar norma-norma agama, karena di dalam memberikan perintah, tidak dikaitkan secara langsung dengan “tanggung jawab”, melainkan hanya sebatas terjadinya aktivitas akibat adanya sebuah pengaruh yang efektif.
Sedangkan dalam perspektif Islam, kepemimpinan sektor publik tidak selalu bernuansah hirarkhis, karena inti pokok dari tugas mereka bukan terletak pada aspek influence to others, melainkan to responsibility with their jobs sebagaimana yang tertuang dalam hadist di atas. Dengan demikian keberadaan seorang pemimpin tidak harus diposisikan secara hirarkhis, karena aspek tanggung jawab tidak berkaitan dengan kedudukan semata, melainkan berkaitan dengan bentuk tindakan yang dilakukannya. Dengan kata lain Islam mengajarkan bahwa yang disebut pemimpin dan kepemimpinan itu tidak hanya terbatas pada mereka-mereka yang menduduki posisi-posisi yang stratetegis semata, karena tugas seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya tidak bertumpu pada influence to others, melainkan terletak pada bagaimana mereka harus mempertanggungjawabkan atas pekerjaan yang diembannya. Oleh karena tugas utama sang pemimpin adalah memikul beban tanggungjawab, maka idealnya seorang pemimpin itu adalah menjalankan tugasnya dengan cara yang serius, jujur, adil, berhati-hati, dan penuh amanah. Dengan demikian menurut konsep yang Islami, seorang atau sekelompok orang yang kebetulan memperoleh kepercayaan untuk menduduki public official, apapun posisinya baik sebagai orang yang berposisi sebagai top leader sampai dengan worker adalah pemimpin, yang tugas utama mereka bukan untuk mempengaruhi pihak lain, melainkan untuk mempertanggungjawabkan atas serangkaian tugas yang dipercayakan kepadanya. Dengan keyakinan dan semangat yang semacam ini, semestinya perilaku dan tindakan mereka selalu berdasar pada akidah Islamiah, bertindak jujur, bersikap adil dan bijaksana, serta selalu memegang amanah dalam menjalankan tugas pekerjaan dan kewenangan yang dipercayakan padanya.
Dalam pemahaman yang filosofis, apa yang tertera dalam Hadist Rasulullah tersebut, mengisyaratkan bahwa sesungguhnya semua orang adalah pemimpin atas diri pribadinya sesuai dengan kadar dan ukuran serta posisi mereka masing-masing. Baik mereka itu sebagai pejabat ataupun sebagai rakyat harus bertanggungjawab atas kepemimpinan “diri-pribadinya”, yang pada hakekatnya kepemimpinan pribadi itu adalah pengendalian atas hawa nafsu mereka. Apabila semua diantara kita menyadari atas kandungan filosofis dari Hadist Rasulullah tersebut, pastilah kehidupan ini menjadi indah, tenteram, damai dan sejahtera, karena diantara kita tidak ada yang saling menuntut pada orang lain, tidak ada yang bertindak korup dan tidak pula saling sikut dalam berebut kekuasaan dan harta yang jumlahnya hanya sejumput.
Mereka yang kebetulan memiliki posisi di aras yang strategis, mereka tahu dan sadar akan tanggungjawab kepemimpinannya, sehingga mereka selalu hormat dan menghargai kepada para anak buah/karyawan dan rakyatnya. Mereka tidak bertindak semena-mena, tidak sombong dan selalu bersikap adil serta jujur dalam memutuskan sebuah perkara. Dimikian pula halnya dengan para bawahan atau karyawan mereka, mereka selalu ramah, tunduk dan patuh terhadap atasan serta serius dan cekatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat atau rakyatnya. Sedangkan rakyatnyapun sadar akan kebutuhannya, tidak ngawur dalam berperilaku, bakti dan tunduk kepada para aparat, dan cinta akan kedamaian bagi negerinya. Sudah barang tentu situasi dan kondisi yang semacam ini adalah sangat ideal, dan baru bisa diciptakan ketika semua pihak patuh, ta’at dan konsekwen dalam memegang ajaran agamanya yakni “Islam”.
B. SYARAT-SYARAT KEPEMIMPINAN SEKTOR PUBLIK
Di atas telah dijelaskan bahwa core atau inti kepemimpinan adalah mengemban tanggungjawab. Secara normatif dan aplikatif konsep tangggungjawab dalam kepemimpinan Islam ini bersifat multi dimensional yang terdiri dari;
1. Dimensi Ilahiah
Dalam hal ini setiap orang yang berkedudukan sebagai pemimpin dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya, harus dipertanggungjawabkan dihadapan Ilahi Robbi, sebagai Dzat yang memiliki kekuasaan luas yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada mereka sebagai khalifah atau wakilnya di bumi ini. Ditunjukknya manusia sebagai khalifah ini adalah agar manusia bertanggungjawab kedapada Allah kelak atas tugas utamanya dalam memakmurkan bumi dan segenap isinya, sebagaimana Firman Allah yang mengatakan; Huwa ansya akumminal ardhi was ta’rakum fiiha Artinya: Allah telah menciptakan kamu dari bumi, dan Allah menjadikan kamu sebagai pemakmurnya (Q.S. Hud:61).
2. Dimensi Individual
Sebagai seorang pemimpin yang telah diberi kesempatan dan kepercayaan oleh sang Khaliq untuk menjalankan kepemimpinan sektor publik demi terciptanya kemaslakahatan hidup berbangsa dan bernegara bukanlah merupakan tugas dan tanggungjawab yang ringan. Oleh sebab itu sebelum mereka menjalankan kepemimpinan yang luas itu, Ia harus mampu memimpin dirinya sendiri terlebih dahulu. Bagi seorang pemimpin sektor publik yang hanya suka mempengaruhi dan memerintahkan orang lain, sementara dirinya sendiri tidak mampu menjalankan tindakan itu disindir oleh Allah melalui Frmannya dalam Al-Qur’an yang artinya sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu perbuat?. Amat besar kebencian Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (Q.S As-Saff :2 dan 3).
Bertolak dari Firman Allah inilah yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi seorang pemimpin sektor publik, agar mereka tidak saja pandai berbicara, dan main perintah sementara dirinya tidak pernah berbuat apapun sebagaimana yang mereka bicarakan atau mereka perintahkan kepada bawahan mereka atau kepada warga masyarakatnya. Bagi seorang pemimpin yang di dalam menjalankan kepemimpinannya, hanya pandai bicara tanpa kerja, mereka akan mendapat kebencian dari Allah SWT, karena mereka dianggap sebagai orang yang tidak memiliki tanggungjawab.
3. Dimensi Sosial
Apabila mereka telah mampu memimpin diri sendiri, dalam arti mampu mengendalikan emosi dan nafsu amarahnya secara baik, maka mereka dianggap layak untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara luas, karena seorang pemimpin sektor publik yang Islami adalah seorang pemimpin yang mampu menciptakan kesejahteraan bagi dirinya, keluarganya dan masyarakatnya baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.
Dengan demikian apabila terdapat seorang pemimpin sektor publik yang mampu mengaplikasikan ketiga dimensi tersebut dalam menjalankan kepemimpinannya maka merekalah yang disebut sebagai seorang pemimpin sektor publik yang “amanah”. Pola-pola kepemimpinan yang seperti inilah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh seorang pemimpin sektor publik, karena kelak Allah pasti akan meminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu
Adapun beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menunjuk seseorang yang akan diberi tanggungjawab dalam menjalankan kepemimpinan sektor publik adalah sebagai berikut;
1. Niat yang Lurus
Hendaklah seseorang yang ditunjuk atau dipilih untuk mengemban tanggungjawab kepemimpinan sektor publik itu adalah seseorang yang memiliki niat yang lurus sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan. Lalu hal itu diiringi pula dengan mengharapkan keridhaan-Nya semata. Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggungjawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan, semboyan inilah yang raus tertanan pada diri seorang pemimpin yang ideal. Sebenarnyalah bahwa bagi seseorang yang sedang memagang tampuk pimpinan, mereka harus mampu menjalankan kepemimpinannya itu dengan niat yang lurus dalam menciptakan kemaslahatan bagi rakyatnya, karena kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas kepemimpinannya itu. Pemahaman yang seperti inilah yang harus ditanamkan secara kuat kepada mereka yang akan dan sedang memegang tampuk kepemimpinan sektor publik, agar mereka selalu berhati-hati dan waspada dalam menajalankan tugasnya tersebut.
2. Tidak Meminta Jabatan
Tanggungjawab kepemimpinan sektor publik hendaknya diberikan kepada mereka-mereka yang tidak ambisius, dan kepada mereka-mereka yang tidak mengemis atau meminta-minta atas jabatan. Hal ini sesuai dengan Hadist Rasullullah yang sabdanya ditujukan kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu, yang artinya:
”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Disamping itu, larangan untuk memberikan jabatan kepemimpinan kepada orang yang ambisius itu, karena dapat diduga dengan sangat bahwa mereka yang ambisius pada umumnya memiliki kepentingan pribadi yang justru berakibat negative bagi terlaksananay proses kepemimpinan yang baik.
3. Berpegang pada Hukum Allah.
Selayaknya seseorang yang diberi tanggungjawab kepemimpinan sektor publik adalah seseorang yang selalu berpegang teguh pada hukum-hukum Allah. Prinsip ini harus mendapat perhatian secara seksama sebab salah satu kewajiban utama seorang pemimpin adalah membuat suatu keputusan, dan keputusan terbaik dalam menanggulangi sebuah permasalahan adalah sebuah keputusan yang di dasarkan pada hukum Allah. Hal ini sesuai dengan Firman Allah, yang artinya: ”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (Q.S Al-Maaidah:49)..
4. Memutuskan Perkara Dengan Adil
Tampuk kepemimpinan sektor publik hanya layak diberikan kepada seseorang yang mampu memutuskan perkara secara adil dan bijaksana, karena di pundak orang yang seperti inilah kehidupan yang damai bisa diciptakan. Hal ini berlandaskan pada salah satu Hadist Rasulullah ketika beliau memberikan peringatan kepada para pemimpin agar dalam mejalankan kepemimpinannya mereka selalu bertindak adil, karena tindakan ini disamping dapat menyelamatkan kehidupan masyarakat di dunia ini, karena mereka akan dapat hidup damai harmonis, tenteram dan sejahtera, disamping itu juga dapat dijadikan sebagai aspek penyelamatkan bagi dirinya kelak di akhirat. Berkaitan dengan hal ini, secara eksplisit Allah telah berfirman yang artinya;
“Hai orang-orang yang beriman!, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapakmu dan kaum kerabatm. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan” (Q.S. An-nisa’:135).
Sedangkan pada kesempatan yang lain Allah juga memerintahkan Rasulullah untuk bertindak adil melalui firmanya yang artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya telah kami turunkan Al-Qur’an kepadamu hai Muhammad dengan haq, agar kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena membela orang-orang yang berkhianat” (Q.S An-Nisa’:105)
Berangkat dari dua firman Allah tersebut jelaslah bahwa Islam telah menggariskan dan mewajibkan agar seorang pemimpin itu harus benar-benar menjalankan pola-pola kepemimpinannya secara adil demi terbentuknya kemaslahatan bagi hidup dan kehidupan ummat manusia di muka bumi ini. Begitu pentingnya sikap dan tindakan pimpinan yang adil ini, sehingga Rasulullah juga bersabda dalam salah satu Hadist yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir, yang artinya adalah sebagai berikut; ”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
Berdasarkan hadist ini Rasulullah telah menginformasikan kepada segenap kaum muslim agar dalam menjalankan amanah kepemimpinannya selalu dilaksanakan dengan cara yang seadil adilnya. Hanya dengan tindakan yang adil sajalah yang mampu menyelamatkan seorang pemimpin dari segala kesulitan dan siksaan di akhirat kelak. Apabila mereka mampu berbuat adil terhadap segenap rakyatnya mereka akan terselamatkan, namun apabila tidak maka mereka akan mengalami kesusahan dan bahkan siksaan.
5. Tidak Menutup Diri Saat Diperlukan Rakyat.
Kepemimpinan sektor publik hanya pantas dipercayakan kepada seseorang yang ramah dan selalu membuka diri atas kehadliran rakyat atau masyarakatnya, ketika masyarakat itu dilanda berbagai persoalan hidup yang berat yang membutuhkan solusi dengan segera dari sang pemimpin. Dalam hal ini Rasulullah bersabda yang artinya; ”Tidaklah seorang pemimpin atau pemerintah yang menutup pintunya terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).
6. Penasehat Bagi Rakyat
Seorang pemimpin sektor publik yang ideal adalah mereka-mereka yang mampu bertindak sebagai penasehat bagi masyarakat atau rakyatnya agar mereka selalu berperilaku terpuji dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagi seorang pemimpin sektor publik yang tidak mampu memberikan nasehat yang baik kepada bawahan dan masyarakatnya akan diancam dengan siksa neraka sebagaimana tertuang dalam Hadist Nabi SAW yanga artinya sebagai berikut; ”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”
Namun yang perlu diingat oleh sang pemimpin, sebelum Ia menasihati bawahan dan masyarakat atau rakyatnya, terlebih dahulu Ia harus mampu menasehatai pada dirinya sendiri. Prosedur penyampaian nasehat ini secara tegas telah diabadikan oleh Allah melalui Firmannya yang tertuang dalam (Q.S At-Tahrim: 6) yang artinya sebagai berikut;
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Hal penting lainnya yang berkaitan dengan tugas sang pemimpin sebagai penasehat ini adalah, agar seorang pemimpin itu selalu dapat mencegah kemungkaran yang mungkin terjadi ditengah-tengah masyarakat yang dipimpinnya, dimana perintah ini merupakan salah satu Sabda Rasulullah yang tertuang dalam sebuah Hadist yang bunyinya sebagai berikut;
“Man ra aaminkum munkaraan fal yughayirhu biyadihi fa inlam yastathi’ fabi lisanihi fa inlam yastathi’ fabi qalbihi wa dhaalika adh ‘aful iimaani” (Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tanganmu. Jika tidak bisa, maka ubahlah dngan lisanmu. Jika tidak bisa juga, maka ubahlah dengan hatimu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman) (H.R Muslim)
Melalui pernyataan Hadist tersebut, menunjukkan bahwa “menasehati” atau mencegah “kemungkaran” adalah merupakan sebuah kewajiban bagi seorang pemimpin, terutama bagi seorang pemimpin sektor publik yang dijadikan sebagai panutan atau teladan bagi para pengikutnya.
7. Tidak Menerima Hadiah/Suap
Tindakan terpuji dan ideal yang harus dimiliki seorang pemimpin di public sector adalah keberanian mereka dalam menolak hadiah atau pemberian yang dilakukan oleh bawahan maupun masyarakatnya, dan apabila mereka tidak mampu menolak atas hadiah itu, maka hadiah tersebut sesungguhnya akan menjadi milik negara. Salah satu Hadist Rasulullah yang dapat dijadikan sebagai pedoman atau rujukan atas kejadian ini adalah sebuah Hadist yang menceritakan adanya kejadian ketika Rasulullah memerintahkan salah seorang sahabatnya sebagai amil untuk memungut zakat. Ketika itu sahabat tersebut menginformasikan kepada Rasulullah bahwa ketika Ia memungut zakat Ia juga menerima hadiah dari salah seorang pembayar zakat untuk dirinya, dan Ia bermaksud untuk mengambilnya. Atas informasi tersebut Rasulullah ternyata tidak berkenan, dan menyarakan agar hadiah tersebut menjadi miliknya baitul mal (negara), karena hadiah itu diberikan atas dasar jabatan yang melekat pada diri sang pemungut zakat. Dalam hal ini Rasulullah bersabda yang artinya kurang lebih sebagai berikut;
Hadist Abu Humaid As Sa’idy, bahwasannya Rasulullah SAW, mengangkat seorang amil, lalu amil itu datang kepada Nabi SWA, ketika selesai dari pekerjaannya. Ia berkata; Ya Rasulullah ini untuk engkau, sedang ini dihadiahkan untukku. Maka Nabi bersabda kepadanya: Apakah kamu sebaiknya tidak duduk di rumah ayah atau ibumu sambil menunggu apakah kamu akan diberi atau tidak?. Kemudian Rasulullah berdiri pada suatu petang setelah shalat, lalu Nabi tasyahud dan memuji Allah dengan hal yang pantas bagi allah. Kemudian Nabi bersabda: Amma ba’du, maka mengapakah amil yang kami angkat, lalu datang kepada kami seraya mengatakan: Inilah hasil dari pekerjaanmu yang ditugaskan kepadaku, dan ini dihadiahkan kepadaku. Maka apakah tidak sebaiknya dia duduk dirumah ayah dan ibunya sambil menunggu apakah ia akan diberi hadiah apa tidak?. Demi Tuhan yang diri Muhammad berada di tanganNya. Tiadalah salah seorang diantara kamu menghianati sesuatu dari harta zakat, melainkan ia datang membawa unta dalam keadaan bersuara. Apakah yang dikhianati merupakan seekor lembu maka iapun datang membawanya dalam keadaan bersuara. Apabila yang dikhianati seekor kambing iapun datang membawanya dalam keadaan bersuara. Sesungguhnya aku telah menyampaikan lalu Abu Humaid berkata: Kemudian Rasulullah SWA, menagngkat tangannya, sehingga kami melihat warna ketiaknya yang keabu-abuan.
Disamping itu hadiah yang diberikan oleh bawahan atau masyarakat kepada sang pemimpin dapat disinyalir sebagai riswah atau uang suap, sedangkan menurut ajaran Islam, hukum dari riswah adalah haram, sebagaimana yang ternukil dalam Hadist Rasulullah sebagai berikut; “La anallaahurraasyii wal murtasyii warraaisya baynahumaa” (Allah melaknat penyuap, penerima suap dan yang member peluang bagi mereka (H.R Ahmad). Sedangkan pada Hadist yang lain Rasulullah bersabda; “Arraswatuu filhukmikufrun ( Menyuap dalam urusan hukum adalah kufur” (H.R Athabrani dan Ar-Rabii) Pada kesempatan yang lain Rasulullah juga mengutuk dengan keras kepada bawahan atau masyarakat yang memberikan hadiah kepada seorang pejabat sektor publik, sebagai penghianat melalui sabda beliau yang artinya sebagai berikut; Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani). Peringatan Rasulullah ini sangat beralasan sebab pada umumnya seorang bawahan maupun warga masyarakat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati demi kepentingan diri pribadinya, walaupun harus mengorbankan kepentingan pihak lain.
8. Lemah Lembut Dan Suka Mempermudah urusan Orang Lain
Seseorang yang sedang memegang kepemimpinan sektor publik, sebaiknya bersikap ramah dan memiliki budi pekerti yang halus serta bersifat lemah lembut di dalam menjalankan kepemimpinannya. Dengan sikap, sifat dan tindakan semacam inilah maka seorang pemimpin akan dapat menciptakan situasi damai, harmonis dan penuh kekeluargaan. Bahkan Rasulullah pada suatu hari pernah berdo’a kepada Allah yang artinya sebagai berikut; ”Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya.
Apabila kita simak secara seksama, sesungguhnya do’a yang dipanjatkan oleh Rasulullah tersebut mengandung dua dimensi, yakni dimensi motivasi dan dimensi koersi.
1) Dalam dimensi motivasi, sesungguhnya Rasulullah berupaya untuk memotivasi terhadap para sang pemimpin agar di dalam menjalankan kepemimpinannya selalu berorientasi untuk membantu kesulitan pihak lain yang membutuhkan, karena dengan tindakan yang semacam ini akan berimplikasi secara positif bagi sang pemimpin agar Ia selalu mendapatkan kemudahan dari Allah ketika Ia mengalami kesulitan, karena sesungguhnya sang pemimpin jenis ini selalu mempermudah urusan orang lain dalam menjalankan kepemimpinannya.
2) Dalam dimensi koersi, bagi seorang pemimpin yang sering bahkan selalu mempersulit urusan orang lain, maka Ia pun akan dipersulit pula oleh Allah SWT ketika Ia menghadapi problema kehidupannya. Oleh sebab itulah bagi seorang pemimpin yang bijaksana semestinya Ia selalu memiliki semboyan; Apabila urusan masyarakat itu bisa dipermudah mengapa harus dipersulit, dan bukan malah suka melakukan tindakan yang sebaliknya.
9. Tidak bertindak Intimidatif.
Tindakan intimidatif adalah sebuah tindakan yang bertujuan menakut-nakuti dan memaksa serta berbuat kerusakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena melalui tindakan ini dapat menimbulkan keraguan, kekacauan, saling fitnah yang berakibat pada situasi yang resah dan mencekam di kalangan masyarakat. Oleh sebab itu tindakan intimidatif merupakan tindakan yang tidak terpuji, apalagi apabila tindakan tersebut dilakukan oleh seorang pimpinan sektor publik di dalam menjalankan kepemimpinannya. Rasulullah pernah bersabda melalui Hadist beliau yang artinya sebagai berikut; ”Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim). Berkaitan dengan Hadist tersebut maka dapatlah disimpulkan bahwa siapa saja yang suka bertindak intimidatif, maka sesungguhnya mereka tidak layak untuk diangkat atau dipilih sebagai seorang pemimpin, karena sesungguhnya orang yang semacam ini tidak memiliki rasa kasih sayang dan cinta kasih terhadap sesama, apalagi kepada bawahan atau warga masyarakat yang dianggap memiliki derajad yang lebih rendah dari sang pimpinannya. Oleh sebab itu dalam Hadist yang lain Rasullulah juga pernah mengingatkan yang artinya sebagai berikut;
”Sebaik-baiknya pemimpin kamu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka pun cinta kepadamu, kamu menghormati mereka dan mereka menghormatimu. Sejelek-jelek pemimpin kamu adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun benci kepadamu, kamu melaknat mereka dan mereka pun melaknatmu”.
Berdasar pada Hadist ini dapatlah diambil sebuah pemahaman bahwa pimpinan sektor publik yang ideal itu adalah seseorang yang memiliki hubungan sosial yang baik dengan warga masyarakat dan bawahannya, sehingga suasana kehidupan bernegara kita berada dalam dinamika yang stabil tenteram dan penuh harmoni, baik hubungan antara warga masyarakat maupun hubungan antara warga masyarakat dengan sang pemimpinnya.
Dengan mempertimbangkan ke Sembilan (9) syarat dalam mencari figur pemimpin sektor publik yang dianggap layak memegang tampuk kepemimpinan yang digariskan oleh syari’at Islam, diharapkan sebuah masyarakat “negara” akan dapat hidup berbangsa, bernegara secara baik, sehingga negara tidak akan mengalami keterpurukan yang dalam. Oleh sebab itu mencari pimpinan sektor publik dengan cara yang benar yang berlandaskan pada rambu-rambu agamawi hukumnya wajib, karena rambu-rambu atau pedoman tersebut baik secara implisit maupun eksplisit telah tertuangkan dalam Al-Qur’an maupun dalam beberapa Hadist Rasulullah SAW. Salah satu Hadist Rasulullah yang memerintahkan untuk mencari pemimpin sektor publik secara baik dan benar adalah sebuah hadist yang artinya sebagai berikut;
Rasulullah bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan seorang khalifah(pemimpin) kecuali ada bersama mereka itu golongan pejabat (pembantu).Yaitu pejabat yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pejabat yang menyuruh kepada kemungkaran dan mendorongnya ke sana. Maka orang yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu).
Makna yang terkandung dari Hadist tersebut adalah bahwa seorang pemimpin yang ideal itu adalah mereka-mereka yang mampu berbuat amar ma’ruf dan nahi munkar, yakni yang mampu mengarahakan kepada para pengikutnya untuk selalu berbuat baik dan mencegah untuk berbuat keji dan jahat. Sudah barang tentu sebelum sang pemimpin ber amar ma’ruf dan nahi munkar kepada pihak atau orang lain, Iapun harus ber amar ma’ruf nahi munkar terhadap dirinya dan keluarganya terlebih dahulu, agar Ia tidak diancam oleh Allah sebagaimana yang tertuang dalam (Q.S As-Saff 62 : 2 dan 3), sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya.
C. KRITERIA KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Begitu pentingnya kedudukan pemimpin dan kepemimpinan dalam pandangan Islam, sehingga Islam memberikan perhatian yang sangat serius dan penuh kehati-hatian terhadap aspek-aspek kepemimpinan. Islam sangat memiliki keyakinan yang sangat kuat bahwa di dalam hidup dan kehidupan masyarakat manusia itu harus selalu ada yang memimpin dan tidak boleh ada kekosongan. Dalam pandangan Islam, kepemimpinan merupakan aspek yang sangat penting, maka pada awal kebangkitan Islam tampuk kepemimpinan kaum muslimin pada waktu itu secara langsung di bawah kepempinan oleh Rasulullah dengan bimbingan wahyu Allah. Ketika itu Rasulullah juga pernah memberikan nasehat kepada para sahabatnya agar mempunyai perhatian yang sangat khusus, yang berkaitan dengan kepemimpinan itu. Bahkan dalam melakukan perjalananpun, apabila didalam perjalanan itu terdiri dari 3 orang atau lebih haruslah diangkat seorang pemimpin diantara mereka, sebagaimana Sabda beliau yang artinya kurang lebih sebagai berikut; “Apabila ada 3 orang sedang berpergian (musyafir) maka hendaklah kamu mengangkat salah seorang imam (pemimpin) diantara kalian”.(H.R. Abu Daud). Pada Hadist yang lain Rasulullah bersabda yang artinya: Abdullah Bin Amr RA, mengabarkan, Muhammmad Rasulullah SAW bersabda “tidak hahal bagi tiga orang yang berada dalam suatu perjalanan di bumi ini, melainkan mereka harus mengangkat seseorang diantara mereka itu sebagai kepala atau pemimpin” (HR. Achmad)
Dalam perkembangan selanjutnya, betapa pentingnya kepemimpinan dalam Islam itu, bisa dilihat dalam sejarah saat-saat meninggalnya Nabi Muhammad SAW. Ketika itu sempat tertunda pemakaman Rasulullah, dimana para sahabat berkumpul dirumah bani Saits untuk memilih kepemimpinan para kaum muslimin. Para shahabat mendahulukan pemilihan kepemimpinan ini karena menyadari betapa pentingnya keberadaan seorang pemimpin dan kepemimpinan itu sehingga tidak boleh dalam kondisi kosong. Kita ketahui bersama bahwa waktu itu terpilih Abu Bakar sebagai pemimpin kaum muslimin dan kita harus ketahui bersama pula tentang apa saja alasan para shahabat memilih Abu Bakar menjadi pemimpin pada waktu itu. Alasan tersebut seperti: 1) Abu Bakar paling tua diantara para shahabat. 2) Paling dekat kepada Nabi, terlihat sebagai orang yang menemani Rasulullah saat hijrah. 3) Ketika Nabi sedang sakit parah, maka Abu Bakar lah yang ditunjuk Rasulullah sebagai imam sholat. 4) Abu Bakar lah orang yang pertama kali membenarkan Isra’ Mi’raj Rasulullah dan mendapat gelar ash-shidiq.
Apabila difahami secara filosifis, terpilihnya Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah dalam memegang tampuk kepemimpinan tersebut adalah, karena Abu bakar diapandang sebagai satu-satu orang yang paling dekat dengan nabi, sebagai seorang kepercayaan utama, dan lebih senior dari para sahabat lainnya, sehingga dianggap sebagai satu-satu orang yang mampu mengemban amanah dan meneruskan kebijakan Nabi dalam membina kehidupan ummatnya. Lebih dari itu tingkat ke salehan Abu Bakar tidak perlu diragukan, sementara itu kreteria utama dari seorang pemimpin sektor publik haruslah dipegang oleh seorang yang memiliki predikat saleh, sebagaimana Firman Allah yang artinya; “Dan sesungguhnya telah kami tulis di dalam Zabur, sesudah kami tulis di dalam Lauh Mahfudzh, bahwasannya bumi ini dipusakai oleh hamba-hambaku yang saleh” (Q.S Al-Ambiya” 105). Dengan demikian seseorang yang paling pantas untuk dijadikan sebagai khalifah filardh atau sebagai wakil Allah di muka bumi ini adalah seseorang yang berpredikat sebagai orang yang “saleh”. Orang-orang yang semacam inilah yang pantas mendapatkan mandat untuk mengurusi kehidupan manusia di muka bumi ini. Sedangkan kreteria atau ukuran dari orang yang saleh menurut Firman Allah adalah “Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat, memunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah“ (Q.S Al-Maidah:55). Jadi kriteria orang saleh menurut Al-Qur’an yang patut untuk dijadikan sebagai seorang pemimpin sektor publik adalah meliputi:
- Mendirikan sholat,
- Membayar zakat,
- Tunduk pada aturan Allah
Sedangkan menurut ketentuan sunnah Rasulullah kreteria tersebut masih perlu dilengkapi dengan unsur-unsur lain yang diantaranya adalah:
a. Orang yang lebih fasih bacaannya.
b. Orang yang lebih paham sunah-sunnah Nabi.
c. Orang yang lebih dulu berhijrah/masuk Islam.
d. Orang yang lebih tua dalam umur/lebih cerdas.
Disamping itu juga bisa disandarkan pada sifat Nabi Muhammad SAW sebagai kriteria untuk menjadikan seseorang sebagai pemimpin, yaitu:
a. Shidiq, orang yang benar.
b. Amanah, orang yang jujur.
c. Tabligh, menyampaikan pesan-pesan Illahiyah.
d. Fathonah, orang yang cerdas, meliputi kecerdasan intektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
Aspek lain yang perlu mendapat perhatian secara khusus berkaitan dengan kepemimpinan sektor publik dalam perspektif Islam adalah power and religion. Dalam hal ini aspek kekuasaan bukan dipergunakan sebagai alat untuk memaksakan kehendak kepada orang atau pihak lain, tetapi lebih dipergunakan sebagai piranti atau alat untuk memegang prinsip agar seorang pemimpin sektor publik tidak mudah diintervensi atau digoyahkan oleh kekuasaan pihak lain, terutama pihak-pihak yang non-muslim. Oleh sebab itu apabila dijumpai ada dua calon pemimpin yang sama-sama cerdas, tetapi dalam hal kedekatan pada orang kafir berbeda, maka haruslah dipilih seorang calon pemimpin yg dibenci oleh orang kafir tersebut dan tinggalkanlah untuk memilih calon pemimpin yang dekat pada orang kafir, karena orang yang seperti ini imannya mudah goyah, sehingga kurang teguh dalam mempertahankan kekuasaannya, yang pada gilirannya nanti akan rela mengorbankan kepentingan umat dan agamnya demi ambisi pribadinya. Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah pernah berkata sebagai berikut: “Agama Islam tidak akan bisa tegak atau abadi tanpa ditunjang oleh kekuasaan dan kekuasaan tidak bisa langgeng tanpa ditunjang dengan agama” Dengan demikian bagi suatu negara yang penduduk atau warga negaranya mayoritas Muslim, maka sudah seharusnya apabila selalu berpegang pada syari’at agamanya dalam menentukan atau memilih seorang pemimpin sektor publik.
D. PRINSIP-PRINSIP KEPEMIMPINAN SEKTOR PUBLIK
Dalam uraian di atas telah dijabarkan berbagai persyaratan agamawi bagi seseorang yang akan diberikan kewenangan untuk menjalankan tugas-tugas kepemimpinan sektor publik, dengan asumsi bahwa berbagai persyaratan tersebut secara akumulatif mampu membingkai secara rapi dan tegas agar sang pemimpin dapat menjalankan wewenang dan tanggung jawab kepemimpinannya secara benar dan sunggung-sungguh. Tanpa kesungguhan yang kuat mustahil seorang pemimpin sektor publik dapat menjalankan prinsip-prinsip kepemimpinannya secara maksimal dan sempurna. Sedangkan prinsip-prinsip kepemimpinan sektor publik dilihat dari perspektif Islam, secara garis besar dapat dikategorikan menjadi tiga (3) prinsip utama yang terdiri dari;
1. Prinsip Keteladanan
Pada bagian atas telah disinggung bahwa seorang pemimpin yang ideal itu adalah mereka yang mampu mengendalikan diri dan keluarganya terlebih dahulu sebelum mereka memerintahkan sesuatu kepada orang lain. Dengan kata lain bahwa seorang pimpinan adalah sebuah panutan bagi para pengikutnya. Oleh sebab itu efektif atau tidaknya kinerja sang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya sangat dipengaruhi oleh perilaku dari pribadi dan anggota keluarga sang pemimpinnya. Bilamana tindakan mereka rusak dan tidak terpuji, maka jangan harap mereka akan mampu memperbaiki kehidupan para anak buah dan warga masyarakatnya. Namun apabila sikap dan tindakan serta perilaku sang pemimpin dan keluarganya selalu baik dan terpuji di hadapan para pengikutnya maka dapat dijamin bahwa sikap, tindakan dan perilakunya itu akan terpancar keseluruh jiwa para pengikutnya, sehingga kedamaian dan keserasian dan kestabilan dalam kehidupan bernegara bangsanyapun dapat terjelma pula. Tentang contoh dan perintah bagi seorang pemimpin sektor publik untuk selalu menteladari berbagai kebaikan kepada para warga masyarakatnya itu secara eksplisit tertuang dalam salah satu Firman Allah yang artinya; Sesungguhnya di dalam diri Rasulullah itu telah ada suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi bagi orang yang mengharap rahmat Allah….. (Q.S 33: 21).
Bertolak dari ayat tersebut apabila dicermati secara seksama, terdapat dua pesan utama yang ingin disampaikan kepada umat manusia, yakni disamping pesan yang ditujukan kepada sang pemimpin agar selalu memberikan keteladanan yang baik kepada para pengkutnya, juga berpesan kepada sang pengikut agar selalu mengikuti atau menteladani berbagai kebaikan yang diperbuat oleh sang pemimpin, agar semua pihak dapat menerima rahmat yang datang dari Allah. Apabila sang pengikut acuh terhadap berbagai keteladanan yang dilakukan oleh sang pemimpin maka jangan harap rahmat Allah akan menghampiri kehidupan kita dalam bernegara bangsa. Jadi sebenarnyalah Allah telah bertindak maha bijak karena kedua pihak (baik sang pemimpin maupun sang pengikut) harus saling bersambut dalam berbuat kebaikan agar rahmat Allah relatif mudah untuk di dapatkan, tetapi apabila sang pengikut tidak bersambut terhadap keteladanan yang dilakukan oleh sang pemimpin jangan harap rahmat Allah akan menghampiri kita.
Disamping itu berkaitan dengan keteladan sang pemimpin ini, maka dalam perspektif Islam seorang pemimpin sering disebut sebagai Imam, yang berarti orang yang harus ada di depan. Secara etimologis, imam berasal dari kata (bahasa arab) amma, ya’ummu yang artinya menuju, menumpu dan meneladani. Itulah sebabnya maka seorang imam atau pemimpin harus selalu di depan guna memberi keteladanan atau kepeloporan dalam segala bentuk kebaikan dan kebajikan. Hal ini senada dengan konsep kepemimpinan jawa yang salah satunya menyebutkan bahwa seorang pemimpin itu haruslah mempunyai sifat in ngarso sung tulodo, sedangkan menurut team OECD diistilahkan sebagai Leading by example, kepemimpinan berdasarkan contoh atau keteladanan. Bertolak dari uraian ini, telah menjelaskan kepada kita bahwa seorang pemimpin itu secara ideal adalah seseorang yang perilakunya dapat diteladani oleh masyarakat, bawahannya atau bagi para pengikutnya. Dengan kata lain bahwa seorang pemimpin itu pada dasarnya merupakan panutan dari ummat atau masyarakatnya.
2. Prinsip Inspirasional
Menurut salah satu prinsip yang terdapat di dalam teori kepemimpinan transformasional, menjelaskan bahwa seorang pemimpin yang ideal itu adalah seorang pemimpin yang mampu membangun isnpirasi secara positif terhadap para bawahan dan pengikutnya. Alasannya dengan memberikan kesempatan berinspirasi terhadap para pengikut dan bawahan akan dapat meningkatkan daya kreativitas mereka ketika mereka dihadapkan pada permasalahan yang bersifat mendesak dan membutuhkan penyelesaian dengan segera (lihat Hunt dan Osborn 1998 : 519). Kendatipun teori kepemimpinan transformasional ini merupakan salah satu teori kepemimpinan terkini, sebanarnya prinsip-prinsip ini telah diterapkan oleh Rasulullah dalam menjalankan kepemimpinannya pada beberapa abad yang lalu. Tindakan isnpirasional yang pernah dilakukan oleh Rasulullah tersebut, telah diabadikan dalam sebuah Sabda beliau yang artinya sebagai berikut;
Dari Mu’adz bin Jabal, bahwasannya Rasulullah SAW ketika mengutusnya ke Yaman Rasulullah bertanya kepadanya; Wahai Mu’adz bagaimana caranya kamu memutuskan perkara yang diajukan terhadapmu?, Mu’az menjawab, “saya akan memutuskannya sessuai dengan yang tertera dalam Kitabullah (Al-Qur’an)”. Rasulullah bertanya lagi, “kalau kamu tidak menemukannya di dalam Kitabullah?”, Jawab Mu’adz, “saya akan memutuskannya sesuai dengan sunnah Rasulullah”, Kalau kamu tidak menemukan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula ditemukan di dalam Kitabullah, bagaimana”? Mu’dz menjawab, “Ketika itu saya akan berijtihad, mencurahkan segala pikiran saya tanpa ragu sedikitpun”. Mendengar jawaban itu, Rasulullah meletakkan tangannya ke dadanya seraya berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah sehingga menyenanghkan hati Rasulullah”. (H.R Imam Abu Dawud & Imam Tirmidzi).
Inilah salah satu prinsip kepemimpinan yang baik, yang mampu memberikan isnpirasi kepada para bawahannya untuk berimprovisasi dan ber ijtihat secara benar. Namun meskipun ruang inspirasi telah diberikan kepad bawahan dengan cara yang seluas-luasnya, tetapi pelaksanannya masih tetap berada pada situasi terkontrol dengan baik, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah pada waktu itu. Barang kali prinsip ini juga sesuai dengan prinsip kepemimpinan jawa yang terkenal dengan semboyan ing madyo mangun karso. Disampingh itu dalam prinsip yang dijalankan oleh Rasulullah tersebut jauh dan terhindar dari budaya minta petunjuk, karena pihak bawahan diberi kesempatan lebih dahulu untuk mengutarakan ide-idenya, dan ketika ide itu cocok atau sesuai dengan harapan sang pemimpin, maka sang pemimpin tidak segan-segan untuk mendukung dan mengakui eksistensinya dan kebenaran dari hasil pemikirannya.
3. Prinsip Motivasional
Secara konseptual, pemimpin dalam perspektif Islam disebut juga dengan istilah khalifah yang berasal dari kata (bahasa arab) khalafa yang artinya wakil, pengganti atau di belakang. Oleh karena khalifah dinyatakan sebagai pengganti, atau wakil, maka posisi dan tugasnya memang untuk mewakili atau menggantikan pihak yang diwakilinya, sehingga keberadaannya harus ada di belakang atau datang sesudah yang digantikan. Kalau pemimpin itu disebut khalifah, yang diberikan tugas menjalan kepemimpinan di muka bumi ini, maka artinya adalah sang khalifah harus bisa berada di belakang untuk menjadi pendorong dan memberikan dorongan atau memotivasi kepada orang yang dipimpinnya. Sudah barang tentu pemberian motivasi dan dorongan itu bertujuan untuk kepentingan dan kemajuan dalam menjalani kehidupan yang baik dan benar. Disamping itu juga sekaligus mengarahkan kehendak dan langkah yang harus diambil oleh orang yang dipimpinnya kearah kebenaran, yang menurut konsep kepemimpinan jawa disebut sebagai tut wuri handayani.
Merujuk dari berbagai konsep tentang prinsip-prinsip kepemimpinan sektor publik sebagaimana yang teruraikan di atas telah memberikan pemahaman bahwa konsep kepemimpinan Islam merupakan konsep yang dapat diterapkan di segala jaman dan disegala lingkungan sosial manapun. Oleh sebab itu apabila di dalam sebuah lingkungan sosial (negara) yang kondisinya serba semrawut, mengalami berbagai krisis dan lain sebagainya, tentu itu semua akibat dari ketidak mampuan warga masyarakat itu (baik pemimpinannya maupun masyarakatnya) dalam menjalankan konsep kepemimpinan secara benar.
E. HAKIKAT KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
Semua orang pasti telah bersepakat bahwa dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu membutuhkan adanya pemimpin, yang bertugas menjalankan kepemimpinanya secara baik dan benar demi terciptanya kemaslahatan hidup masyarakat manusia. Apabila di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya pemimpin atau kepala keluarga, begitu pula halnya di masjid dalam menjalankan shalat berjamaah bisa membutuhkan seorang pemimpin yang disebut sebagai Imam. Bahkan di dalam salah satu Hadist Rasulullah sebagaimana ternukil pada bagian sebelumnya, juga mewajibkan untuk menunjuk seorang pemimpin, kepada kaum muslimin yang sedang melakukan perjalanan, yang apabila dalam perjalanan itu terdiri dari tiga (3) orang anggota atau lebih.
Ini memberikan bukti bahwa betapa pentingnya kedudukan seorang pemimpin yang harur menjalankan tugas-tugas kepemimpinan dalam mengatur kehidupan manusia di muka bumi ini. Betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat, baik dalam skala yang kecil apalagi pada skala yang besar. Untuk tujuan memperbaiki kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik, maka seorang muslim tidak boleh mengelak dari tugas kepemimpinan, apabila masyarakat memang menghendakinya, sehingga Rasulullah bersabda yang artinya sebagai berikut; “Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa yang diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang-orang yang membutuhkannya, maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat” (HR.Ahmad).
Namun demikian tampuk kepemimpinan, menurut Islam sangat tidak layak untuk diberikan kepada seseorang yang sangat berambisi untuk menduduki atau menjadi seorang pemimpin, terutama dalam kepemimpinan sektor publik sebagaimana tertuang dalam salah satu Hadist Rasulullah yang berbunyi; Lan nasta’mila ‘alaa ‘amalinaa man araadahu (Kami tidak mengangkat orang yang berambisi berkedudukan (H.R Muslim). Alasan Islam untuk tidak mengangkat seseorang yang berambisi untuk diberi kedudukan sebagai seorang pemimpin sektor publik, sebab hakekat kepemimpinan sektor publik itu adalah sebagai berikut:
1. Tangung Jawab, Bukan Keistimewaan.
Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memegang tampuk kepemimpin suatu lembaga atau institusi, apalagi suatu negara, maka Ia sebenarnya sedang mengemban tanggungjawab yang besar. Sementara itu Pada bagian depan telah diuraikan bahwa suatu tanggungjawab kepemimpinan itu terdiri dari tiga demensi yakni dimensi ilahia, dimensi individual dan dimensi sosial. Dengan demikian seorang pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang mampu, mau dan berani mempertanggungjawabkannya kepemimpinannya, tidak saja dihadapan manusia (bawahan atau masyarakatnya) tetapi yang lebih penting lagi adalah berani bertanggungjawab dihadapan Allah SWT.
Itulah sebabnya maka jabatan kepemimpinan sektor publik itu, di level manapun bukan merupakan keistimewaan melainkan sebuah beban. Dengan demikian maka tidak sepatutnya apabila seorang pemimpin atau pejabat itu merasa sebagai manusia yang istimewa sehingga mereka merasa harus diistimewakan dan mereka sangat marah apabila orang lain tidak mengistimewakan dirinya. Bahkan Rasulullah telah mengingatkan kepada semua pemimpin yang merasa memperoleh keistimewaan atas tampuk kepemimpinan yang diembannya, sementara itu mereka lupa akan amanah dan tanggungjawab berat yang dipikulnya melalui sabdanya sebagai berikut;
Ila maaratu awwaluhaa nadaamatun wa ausyatuhaa gharaamatun wa akhiruhaa ‘adhaabu yaumal qiyaamah (Jabatan (kedudukan/ sebagai seorang pemimpin itu) pada permulaannya adalah penyesalan, pada pertengahannya adalah kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya adalah adzab pada hari kiamat) (H.R. Athabrani)
Akan tetapi apabila sang pemimpin tersebut mampu menjalankan amanah kepemimpinannya secara baik dan benar, serta mampu menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan para bawahan dam masyarakatnya, maka Hadist tersebut pastilah tidak berlaku baginya. Begitu besarnya beban amanah dan tanggungjawab seorang pemimpin sektor publik ini, maka ketika Umar bin Abdul Aziz memegang jabatan sebagai khalifah, beliau tidak segan-segan untuk datang ke sebuah pasar yang bertujuan untuk mengetahui langsung keadaan pasar, maka ia datang sendirian dengan penampilan biasa, bahkan sangat sederhana sehingga ada yang menduga kalau ia seorang kuli panggul lalu orang itupun menyuruhnya untuk membawakan barang yang tak mampu dibawanya. Umar membawakan barang orang itu dengan maksud menolongnya, bukan untuk mendapatkan upah. Namun ditengah jalan, ada orang memanggilnya dengan panggilan yang mulia sehingga pemilik barang yang semula tidak begitu memperhatikannya itu, menjadi memperhatikan siapa orang yang telah disuruhnya membawa barangnya. Setelah ia tahu bahwa Umar sang khalifah yang disuruhnya, iapun meminta maaf, namun Umar merasa hal itu bukanlah suatu kesalahan. Karena kepemimpinan itu pada dasarnya adalah tanggung jawab atau amanah yang tidak boleh disalahgunakan, maka pertanggungjawaban menjadi suatu kepastian. “Sejalan dengan hal ini Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kamu” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Pengorbanan, Bukan Fasilitas
Menurut konsep dan ajaran Islam bahwa menjadi pemimpin atau pejabat bukanlah untuk menikmati kemewahan atau kesenangan hidup dengan berbagai fasilitas duniawi yang menyenangkan. Sebaliknya justru merupakan perjuangan dan pengorbanan. Oleh sebab itu bagi seorang pemimpin, mereka justru harus mau berkorban dan menunjukkan pengorbanan, apalagi ketika masyarakat yang dipimpinnya berada dalam kondisi sulit dan sangat sulit. Ada suatu riwayat, dimana diceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz sebelum menjadi khalifah beliau terbiasa menghabiskan dana untuk membeli pakaian yang harganya 400 dirham, tapi ketika ia menjadi khalifah ia hanya membeli pakaian yang harganya 10 dirham, hal ini ia lakukan karena kehidupan yang sederhana tidak hanya harus dihimbau, tapi harus dicontohkan langsung kepada masyarakatnya.
Berdasarkan diskripsi tersebut, maka menjadi terasa aneh bila dalam anggaran belanja negara atau propinsi dan tingkatan yang dibawahnya terdapat anggaran dalam puluhan bahkan ratusan juta untuk membeli pakaian bagi para pejabat, padahal ia sudah mampu membeli pakaian dengan harga yang mahal sekalipun dengan uangnya sendiri sebelum ia menjadi pemimpin atau pejabat.
3. Kerja Keras, Bukan Santai.
Pada dasarnya para pemimpin sektor publik di dalam mengemban amanah untuk menjalankan kepemimpinannya, mereka selalu dihadapkan kepada berbagai persoalan hidup para warga masyarakat yang dipimpinnya. Oleh sebab itu idealnya sebagai seorang pemimpin Ia harus mampu mengarahkan kehidupan masyarakat untuk bisa menjalani kehidupan yang baik dan benar serta mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Agar kesemuanya itu bisa dicapai maka, para pemimpin dituntut bekerja keras dengan penuh kesungguhan dan penuh optimis. Salah satu riwayat telah menginformasikan kepada kita bahwa ketika terjadi krisis ekonomi di jaman kekhalifahan Umar, Khalifah Umar bin Khattab membagikan sembako (bahan pangan) kepada rakyatnya. Meskipun pada sore harinya Ia sudah menerima laporan tentang pembagian yang merata, namun pada malam hari itu juga, di saat masyarakat sudah mulai tidur, Umar mengecek langsung dengan mendatangi lorong-lorong kampung, Kebetulan pada saat itu Khalifah Umar mendapati masih ada rakyatnya yang sedang memasak batu sekedar untuk memberi harapan kepada anaknya yang menangis karena lapar karena belum mendapatkan jatah sembako yang telah dibagikan. Meskipun malam sudah semakin larut, untuk mengatasi hal tersebut Khalifah Umar pulang kerumahnya dan selanjutnya Ia memanggul sendiri satu karung bahan makanan untuk diberikan kepada rakyatnya yang memang belum memperoleh jatah sebagamana mestinya. Bagi seorang pemimpin sektor publik yang tidak mau bekerja keras bagi ummat atau masyarakatnya, mereka akan celaka kelak di akhirat. Hal ini sesuai dengan Hadist Rasulullah yang artinya kurang lebih sebagai berikut; Abu Hurairah RA, menuturkan, Muhammad Rasulullah bersabda: “Celakalah para umaro’ (pemimpin Negara), celakalah bagi pengurus organisasi, dan celakalah bagi penerima amant. Sungguh akan berangan-angan beberapa kaum pada hari kiamat kelak, sesungguhnya jambul-jambul mereka selalu tergantung di bintang sambil berputar-putar antara langit dan bumi, sedang mereka tidak pernah mengerjakan sesuatu apapun” (H.R Akhmad)
Dari berbagai uraian dan penjelasan di atas, kita bisa menyadari betapa penting kedudukan pemimpin dan kepemimpinan bagi suatu masyarakat, karenanya jangan sampai kita salah memilih pemimpin, baik dalam tingkatan yang paling rendah seperti kepala rumahtangga, ketua RT, pengurus masjid, lurah dan camat apalagi sampai tingkat tinggi seperti anggota parlemen, bupati atau walikota, gubernur, menteri dan presiden. Karena itu, orang-orang yang sudah terbukti tidak mampu memimpin, menyalahgunakan kepemimpinan untuk misi yang tidak benar dan orang-orang yang kita ragukan untuk bisa memimpin dengan baik dan kearah kebaikan, tidak layak untuk kita percayakan menjadi pemimpin, khususnya pada kepemimpinan sektor publik.
Lebih dari itu oleh karena tugas kepemimpinan sektor publik bukan merupakan tugas, amanah dan tanggungjawab yang ringan maka sejak awal Islam telah menggariskan bahwa tampuk kepemimpinan harus diserahkan kepada orang-orang yang mampu dan berkompeten dalam mengemban tugas tersebut. Itulah sebabnya agar tampuk kepemimpinan sektor publik dapat dilaksanakan dengan hasil yang maksimal, maka diperlukan strategi pengembangan kompetensi bagi mereka-mereka yang akan diserahi wewenang dan tanggungjawab dalam menjalankan kepemimpinan di bidang ini.
4. Pengabdian, bukan cari keuntungan
Dalam salah satu Hadist, Rasulullah pernah bersabda sebaai berikut; “sayyidul qoumi haadhimuhum (sesungguhnya pemimpin suatu kaum itu adalah pengabdi atau pelayan bagi mereka (H.R. Abu Na’im). Hadist inilah yang semestinya dipahami secara mendalam dan dijadikan sebagai salah satu pijakan atau dasar bagi seorang pimpinan sektor publik dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya di tengah-tengah masyarakat. Apabila seorang pemimpin selalu berpijak pada aspek pelayanan ini dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya pastilah Ia akan bekerja secara ikhlas tanpa pamrih, dan selalu mempermudah urusan yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Perintah agama agar sang pemimpin selalu mempermudah urusan bagi warga masyarakat/atau pengikutnya ini, karena sesunguhnya bahwa seorang pemimpin itu adalah seorang abdi atau pelayan bagi pengikutnya, sebagaimana sabda Rasulullah tersebut di atas. Dengan demikian maka sudah selayaknya apabila seorang pemimpin itu harus selalu berorientasi pada terselenggaranya pelayanan publik yang baik.
F. MEMBANGUN KOMPETENSI KEPEMIMPINAN SEKTOR PUBLIK
Dalam bukunya yang berjudul Public Sector Leadership for the 21st Century, Team OECD mengajukan perubahan asumsi bahwa yang disebut kepemimpinan itu tidak hanya terbatas pada mereka-mereka yang memiliki posisi dan otoritas formal belaka, melainkan juga mencakup seluruh ”public officials” yang berada di semua tingkatan yang mempunyai pengaruh terhadap orang lain. Dalam khasanah perkembangan teori kepemimpinan menilai bahwa asumsi yang dibangun oleh Team OECD tersebut akan mengarah pada terbentuknya ”paradigma” tersendiri di dalam kepemimpinan sektor publik, yang juga akan membawa implikasi teoritis tersendiri bagi perkembangan teori kepemimpinan sektor publik. Namun apabila kita menengok kembali tentang konsep kepemimpinan Islam sebenarnya pandangan yang diajukan oleh Team OECD tersebut bukanlah merupakan temuan baru, melainkan prinsip-prinsip kepemimpinan lama yang dimunculkan Islam sekian abad silam, yang selama ini telah terlupakan. Salah satu bukti bahwa pandangan tersebut merupakan prinsip-prinsip kepemimpinan yang dibangun atas dasar sendi-sendi Islamiah adalah sebagaimana yang tertuang dalam salah satu Hadist Rasulullah yang telah termuat di bagian atas dari tulisan ini. Namun untuk kepentingan pembahasan sengaja penulis cuplik kembali yang terjemahannya kurang lebih sebagai berikut;
“Masing-masing dari kamu sekalian adalah pemimpin, dan masing-masing dari kamu sekalian bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Orang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Orang perempuan adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya, dan pelayan adalah pemimpin atas harta tuannya (majikannya) dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. (H.R. Buchari)
Sedang narasi yang diriyawatkan oleh Bukhari dan Muslim ditambah dengan kalimat “seorang anak adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya”. (H.R Al-Bukhari dan Muslim).
Tanpa harus memperdebatkan apakah pandangan Team OECD tersebut merupakan jiplakan dari konsep Islam, ataukah hanya suatu kebetulan saja, yang jelas dengan berpedoman dari Hadist Rasulullah tersebut, semakin memperjelas dan memperkuat bahwa sebenarnya konsep-konsep kepemimpinan yang dibangun oleh Islam sekian abad yang lalu itu ternyata bersifat universal dan sehingga tingkat keberlakukannya mampu menembus dimensi ruang dan waktu, sehingga tidak pernah usang. Kendatipun kedua konsep tersebut mengandung persamaan, namun dalam implementasinya keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar, dimana perbedaan yang dimaksud secara singkat dapat dideskripsikan di bawah ini.
Menurut Team OECD keberadaan kepemimpinan sektor publik memang bisa merembes ke dalam semua level, sepanjang orang-orang yang ada di dalamnya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sesuai kehendak atau keinginan sang pemimpinnya. Dengan demikian apabila di dalam praktik-praktik berorganisasi ataupun bernegara terdapat seorang bawahan yang mampu mempengaruhi atasan/pemimpinya maka secara hakiki orang yang mempengaruhi itulah yang sedang menjalankan tugas kepemimpinan. Kendatipun pendapat ini sekilas tampak “benar”, namun karena dalam konsep ini tidak menggariskan bentuk dan sifat “pengaruh” secara riil, maka bisa jadi bentuk dan sifat pengaruh itu sebenarnya bernuansah negatif yang justru akan dapat menimbulkan kekacauan atau kegagalan dalam berorganisasi maupun bernegara.
Berbeda dengan konsep yang dibanun oleh Team OECD, meskipun Islam juga berpandangan bahwa kepemimpinan itu melingkupi semua level kehidupan, namun dalam menjalankan prinsip-prinsip kepemimpinan tidak di dasarkan pada kemampuan mereka untuk mempengaruhi pihak lain, melainkan berbasis pada tanggungjawab atas sebuah aktivitas yang telah dilakukan. Sudah barang tentu bentuk, sifat dan kualitas tanggungjawab yang dimaksud dalam konsep Islam ini disesuaikan dengan bidang dan pekerjaan serta kompetensi masing-masing pemimpin. Atas dasar inilah maka konsep kepemimpinan Islam sangat memperhatikan pentingnya kompetensi dan keahlian yang harus dimiliki para pemimpin dalam menjalankan kepemimpinan sektor publik, sebagaimana pernyataan Rasulullah dalam sabdanya yang terjemahannya sebagai berikut; Apabila kamu menyerahkan suatu urusan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat-saat kehancurannya. Sedangkan dalam narasi yang lain Muhammad Rasulullah WAS bersabda: “ Apabila amanat disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya”. Bagimana menyia-nyiakan amanat itu ya Rasulullah?, Tanya seorang sahabat; Rasulullah bersabda “apabila perkara itu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya” (HR. Bukhari).
Menurut definisi dari Tillman dalam Ansarullah (2007:2) competency is knowledge, skill and attitude to perform an ability to certain job. Oleh karena menurut definisi tersebut mengatakan bahwa kompetensi itu selalu menujuk pada adanya pengetahuan, keahlian dan sikap yang melekat pada diri seseorang yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan oleh seseorang dalam mengerjakan suatu pekerjaan tertentu, maka pekerjaan atau suatu urusan yang dilaksanaan oleh orang yang memiliki kompetensi, maka hasilnya akan memuaskan. Itulah sebabnya Rasulullah jauh sebelum dunia ini mengalami perubahan yang dahsat seperti kita rasakan saat ini beliau telah berpesan agar suatu urusan itu selalu diserahkan pada ahlinya atau orang-orang yang berkompeten untuk itu. Untuk melihat apakah seseorang itu memiliki kompetensi atau tidak atas sebuah urusan Spencer (1990) mengatakan; competency is any individual characteristic that can be measured or counted reliably and that can be shown to differentiate significantly between effective and ineffective performance. Sedangkan untuk melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan pada sektor publik, seorang pemimpin harus dimiliki oleh lima kompetensi pokok yakni;
1. Communicative effectively to the public and professional colleagues.
2. Work in a team in the delivery of service
3. Be aware of their roles as scientist and expertise in the community.
4. Have an elementary knowledge of organization and management of practice
5. Demonstrate a capability to conduct themselves in a professional manner regarding their professions
Apabila kelima aspek kompetensi tersebut dikaitkan dengan proses pemberian pelayanan publik yang selalu dibutuhkan masyarakat di dalam kehidupan organisasi pemerintahan, maka kesemuanya memiliki relevansi yang sangat kuat, sehingga tinggi rendahnya kompetensi yang dimiliki oleh seseorang baik secara individual maupun secara kolektif akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat yang membutuhkannya. Ingat dengan hadist nabi yang intinya mengatakan bahwa sesungguhnya seorang pemimpin itu adalah pelayan atau abdi bagi masyarakatnya. Seorang pemimpin sektor publik yang berkompeten dalam menjalankan misi dan visi kepemimpinannya selalu di dasarkan pada keahlian inteletualnya, keahlian psikomotoriknya dan keahlian dalam bersikap serta berperilaku, yang kesemuanya itu terintegrasikan secara sempurna dalam bertindak, sehingga mereka tidak gegabah dalam membuat suatu keputusan atas perkara yang dihadapinya.
Oleh karena keberadaan kompetensi menempati posisi yang sangat sentral, maka apabila masyarakat akan memilih sosok pemimpin, haruslah dilihat apakah Ia memiliki kompetensi atau tidak, yang berkaitan dengan amanah dan beban tanggungjawab yang akan diberikan kepadanya. Disamping itu untuk kepentingan jangka panjang, maka sudah selayaknya apabila calon-calon pemimpin masa depan itu harus dipersiapkan secara matang dengan cara membangun kompetensi mereka, baik kompetensi yang bersifat hard skill, soft skill, maupun kompetensi yang berkaitan dengan moral skill bagi calon sang pemimpin. Adapun kiat dan strategi Islam dalam membangun kompetensi kepemimpinan yang kuat dan amanah harus diorientasikan kepada tiga (3) hal pokok yang teridiri dari;
1. Person/people oriented
Dalam perspektif Islam, langkah pertama untuk mencari figur kepemimpinan pada umumnya, dan kepemimpinan sektor publik pada khususnya harus atau wajib diorientasikan pada kualitas kemampuan, kompetensi dan integritas personalnya. Negara yang baik hanya dapat diwujudkan melalui keberadaan sosok pemimpin yang baik, yang tidak ambisius dan siap bertindak sebagai abdi bagi warga negara atau masyarakatnya. Lebih dari itu, dalam kehidupan nyata, prinsip-prinsip kepemimpinan akan dapat dilaksanakan secara maksimal apabila sang pemimpinnya memliki tiga unsur dasar yang teridiri dari; hard skill, soft skill dan morals skill yang memadai. Namun demikian apabila seseorang yang memiliki ketiga aspek tersebut sangat ambisius untuk memperoleh jabatan atau kedudukan, maka Islam melarang keras untuk menyerahkan tampuk kepemimpinan pada sosok yang demikian, karena dikhawatirkan apabila Ia telah memperoleh kedudukan yang sangat diidamkannya itu, kelak mereka lupa dengan amanah yang seharusnya Ia laksanakan. Akibatnya akan dapat merusak tatanan dan merugikan banyak pihak termasuk bagi sang pemimpin itu sendiri. Itulah sebabnya Rasulullah memberikan peringatan kepada kita melalui Sabda beliau yang artinya adalah sebagai berikut; “Sesungguhnya kalian akan memiliki ambisi untuk dapat memegang suatu jabatan, padahal di Hari Kiamat nanti jabatan itu menjadi suatu penyesalan. (HR-Al-Bukhari, an-Nasa’i dan Ahmad).
Dengan berpedoman pada Hadist tersebut dapat diambil sebuah pemahaman bahwa walaupun kompetensi itu adalah faktor penting bagi pelaksanaan sebuah kepemimpinan, namun yang lebih penting lagi adalah aspek “moral” atau “akhlak” yang harus dimiliki sang pemimpin, karena bagi seorang yang bermoral dan ber akhlak muliah sesungguhnya Ia akan terbebas dari sifat ambisius. Disamping itu pula tugas lain dari seorang pemimpin terhadap para pengikut atau masyarakatnya adalah untuk selalu membina akhlak dan moral bagi mereka, sebagaimana Sabda Rasulullah yang berbunyi “Innama buistu li utamimma makarimal akhlaqa” (Sesungguhnya aku diturunkan ke bumi ini adalah untuk memperbaiki akhlak mereka). Oleh karena salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membangun akhlak masyarakatnya, apabila moralnya sendiri jelek atau tidak baik, maka sudah dapat dipastikan bahwa sang pemimpin itu akan mengalami kegagalan besar dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya.
Apa lagi apabila akibat dari jeleknya moral sang pemimpin tersebut, sehingga Ia berani melakukan penipuan, pembohongan kepada rakyat atau masyarakat yang dipimpinnya, maka sudah dapat di duga bahwa kehidupan masyarakatnya akan mengalami kerusakan, terjadinya dekadensi moral dan menimbulkan terjadinya krisis kepercayaan dan lain sebagainya. Bagi sosok pimpinan sektor publik yang melakukan tindakan amoral semacam ini, kelak di akhirat oleh Allah akan diharamkan baginya untuk memasuki surga. Hal ini sesuai dengan Hadist Rasulullah yang terjemahannya kurang lebih sebagai berikut; ‘Tidaklah seorang pemimpin memimpin rakyat dari kalangan kaum Muslim, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali diharamkan baginya masuk surga. (Hr. al-Bukhari dan Muslim).
2. System and Law Oriented
Di atas telah dijelaskan bahwa aspek manusia dengan skill dan moral atau ahlaknya merupakan faktor penting, namun kesemua itu bukan berarti segalanya, karena mahluq manusia itu oleh Allah dilengkapi dengan akal, pikiran dan nafsu, sehingga dalam kadar tertentu sering kali manusia lebih menonjolkan nafsu atau emosinya dibandingkan dengan akal pikirannya, sehingga manusia sering kali salah, khilaf dan lupa. Ketika aspek-aspek negatif yang melekat pada diri manusia itu muncul dan tak terkendalikan maka sesungguhnya manusia yang berpredikat sebagai pemimpin itu tidak akan segan-segan lagi untuk membuat kerusakan di muka bumi ini sebagaimana Firman Allah yang ternukil dalam dalam Al-Qur’an yang berbunyi;
“Dhaharal fasaadu fil barri wal bakhri bima kasabat aidiinnasi……. ( Telah terjadi kerusakan di darat dan di lautan yang disebabkan oleh perbuatan tangan manusia) (Q.S Ar-Rum: 41).
Untuk mengeliminir atau mencegah kondisi yang semacam ini maka dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang dikomandani oleh sang pemimimpin dalam menjalankan kepemimpinan sektor publik, dianggap perlu untuk diciptakan sebuah sistem dan hukum yang baik. Keberadaan sistem inilah yang harus digunakan untuk mengendalikan perilaku sang pemimpin dan masyarakatnya. Menururt Ust Rakhmat Kurnia (2007) sistem dan hukum yang paling lengkap dalam mengatur perilaku pemimpin dan masyarakatnya itu tiada lain adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, karena di dalam kedua kitab itulah sesungguhnya telah berisi berbagai hal tentang aturan hidup didunia ini secara jelas dan lengkap. Dalam hal ini Allah berfirman yang artinya; Tidaklah wajar bagi seorang mukmin atau mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu hukum, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentag urusan mereka (Q.S Al-Ahzab: 36), Sedang dalam ayat yang lain Allah juga berfirman yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat mengenai suatu hal, maka kembalikanlah kepada jiwa ajaran allah (A-Qur’an) dan jiwa ajaran Rasul (Sunnah) nya, karena yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya (Q.S Al-Nisa’ :59).
Kedua ayat tersebutlah yang semestinya selalu dijadikan rujukan oleh seorang yang memegang kepemimpinan sektor publik, ketika mereka diminta untuk memecahkan sebuah persoalan rumit yang dihadapi oleh para pengikutnya. Kendatipun demikian, ajaran Islam terutama yang berkaitan dengan kepemimpinan sektor publik bukanlah sebuah doktrin otoriter tanpa bisa ditawar-tawar, oleh sebab itu apabila hal-hal yang menjadi inti permasalahan yang diperselisihkan itu hanya bersifat duniawi an sich, maka sang pemimpin sangat diperbolehkan melakukan ij’tihad secara bersungguh-sungguh dengan rasa penuh tanggungjawab, demi tercapainya keadilan, kebenaran dan kedamaian serta berkesejahteraan bagi ummatnya, dengan berbedoman pada Sabda Rasulullah di bawah ini: Antum a’lamu biumuuri dunyaakum yang artinya: kalian lebih mengetahui persoalan dunia kanian (H.R. Imam Muslim). Sedangkan Hadist lain menyebutkan: Maa kaana min amri diinakum failaiya wamaa kaana min amri dunyaakum fa antum a’lamubihi Artinya: Yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka kepadaku rujukannya, dan yang berkaitan dengan urusan dunia kalian, maka kalian lebih ,mengetahuyinya (H.R. Ahmad).
3. Control oriented
Ada sebuah Hadist yang mengatakan bahwa Al Insanu mahallul khotto’ wannisyan yang artinya sesunggunya manusia itu sebagai mahluq yang selalu tertempati sikap salah dan lupa. Dengan demikian sebaik apapun seseorang yang sedang memegang tampuk kepemimpinan sektor publik itu tidak mungkin terhindarkan dari tindakan yang salah, baik kesalahan itu disengaja atau karena lupa. Oleh sebab itu perlu adanya sistem control dan pengawasan serta koreksi yang baik dari pihak rakyat sebagai pengikutnya, termasuk dari pihak ulama yang semestinya berkedudukan sebagai penasehatnya. Pemimpin bukanlah malaikat, karenanya, mereka bisa saja salah. Jika pemimpin yang salah dibiarkan, kedzaliman akan menjadi hal yang dianggap wajar. Untuk itulah Islam mewajibkan adanya koreksi terhadap penguasa yang diistilahkan sebagai muhasabah li al-hukkam. Imam Ath-Thabari dalam Kitab At-Tarikh menyampaikan bahwasanya Rasulullah telah bersabda yang artinys kurang lebih sebagai berikut; ”Siapa saja yang melihat penguasa lalim, yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, melanggar janji Allah, Menentang sunnah Rasulullah, melakukan dosa dan permusuhan terhadap hamba Allah, lalu dia tidak mengubah dengan perkataan atau perbuatan, maka Allah berhak untuk memasukkannya ke tempat mereka masuk, “nereka”.
Berangkat dari hadist tersebut, maka jelaslah bahwa agar di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bisa berjalan dengan situasi dan kondisi yang sebaik-baiknya, diperlukan adanya sistem dan pola-pola pengawasan yang baik. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan dari adanya tindakan yang salah dari pihak sang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, khususnya kepemimpinan sektor publik
G. PELAYANAN PRIMA DALAM KEPEMIMPINAN SEKTOR PUBLIK
Salah satu karakter dari sebuah organisasi publik adalah merupakan lembaga/Instansi yang hasil atau produknya tidak berbentuk barang atau material, melainkan berbentuk jasa pelayanan yang lazim disebut sebagai public services. Menurut Norman dan Stapleton (1995:62) bahwa pelayanan adalah merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dalam organisasi untuk kepentingan orang lain, dimana pekerjaan tersebut tidak melibatkan tindakan atau aktivitas pengalihan barang-barang. Dengan demikian, walaupun sebuah pelayanan publik itu berakhir pada munculnya sebuah barang atau material, namun yang dilihat bukanlah barang yang dihasilkan melainkan proses dan prosedur dari munculnya barang tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Moenir (1995:27) yang mengatakan bahwa pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung yang pada hakekatnya merupakan serangkaian kegiatan tertentu. Jadi pelayanan merupakan suatu proses, dan sebagai proses demi terpenuhinya kebutuhan khalayak atas “sesuatu”, yang didahului oleh adanya serangkaian tindakan yang melibatkan lebih dari seorang personel dengan “kompetensi” yang berbeda-beda.
Di atas telah disinggung bahwa dalam perspektif Islam tugas pokok dan fungsi utama dari kepemimpinan sektor publik itu adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cara yang sebaik-baiknya, sebagaimana Sabda Rasulullah yang berbunyi “Syayyidul qoumi haadimuhum” yang artinya setiap pemimpin suatu kaum/masyarakat itu adalah pengabdi atau pelayan bagi mereka. Sejalan dengan perintah Rasulullah tersebut, maka sudah selayaknyalah bahwa apabila setiap orang yang sedang memegang tampuk kepemimpinan sektor publik, baik mereka yang berada pada posisi top leaders maupun sebagai official workers selalu berupaya untuk menciptakan atas terwujudnya pelayanan prima atau excellet services bagi warga negara yang membutuhkannya. Dalam rangka menciptakan excellent services yang berbasis pada kepuasan pelanggan itu, maka fokus dari paradigma pelayanan publik, harus memiliki karakteristik sebagai berikut;
1) Lebih memfokuskan diri kepada fungsi pengaturan, melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi yang kondusif bagi kegiatan pelayanan bagi masyarakat.
2) Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tingi terhadap fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama.
3) Menerapkan sistem kompetensi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu, sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas.
4) Terfokus pada pencapaian dengan visi, misi, tujuan, dan sasaran, yang berorientasi pada hasil outcomes, yang sesuai dengan input yang digunakan.
5) Lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
6) Pada hal tertentu, pemerintah juga berperan untuk memperoleh pendapat dari pelayanan yang dilaksanakan
7) Lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan 8) Lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan
9) Menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan.
Dalam pandangan Islam kesembilan karakteristik pelayanan prima yang berorientasi pada kepuasan masyarakat yang diposisikan sebagai customers ini secara ideal baru bisa diwujudkan apabila para pimpinan sektor publik yang menjalankan fungsi pelayanan mampu bertindak adil, sesuai dengan Firman Allah yang berbunyi; “u’diluu huwa aqrabu litaqwa”, yang artinya: “berlaku adillah, karena sesunguhnya adil itu lebih dekat kepada takwa”. (Q.S Al-Maidah: 8). Perintah Allah agar selalu berbuat “adil” dala Al-Qur’an dilukiskan dalam tiga bentuk kata yakni; al-adl”, al-qisth dan “al mizan”, sedangkan kata “al-adl” sendiri dengan berbagai bentuk dan pengulangannya tercatat sebanyak 28 kali. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa pemberian pelayanan yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin sektor publik harus bertumpu pada betuk-bentuk tindakan yang mencerminkan adanya keadilan.
Apabila dipahami dari perspektif teoritis, secara konseptual, pelayanan ataupun pelayanan publik yang dilakukan oleh pimpinan sektor publik kepada masyarakat , bentuknya tidak terlepas dari tiga macam pelayanan, yang terdiri dari;
a) Pelayanan dengan lisan.
Pelayanan dengan bentuk lisan adalah merupakan pelayanan pemberian informasi tentang sesuatu hal yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam hal ini masyarakat akan merasa senang dan puas apabila informasi yang diperikan adalah informasi lugas, tepat dan benar. Informasi yang berkarakater seperti ini bisa juga disebut sebagai informasi yang adil. Dalam hal ini Allah memerintahkan agar seseorang yang bertugas memberikan informasi atau pelayanan dengan lisan ini harus berlaku adil, sebagaimana tertuang dalam Firman Allah yang berbunyi: “Wa idha quultum fa’diluu walau kaana dhaaqurba”, artinya “Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil walaupun terhadap kerabat”. (Q.S Al-An’am: 152)
b) Pelayanan dengan tulisan.
Selain pelayanan dalam bentuk informasi yang bersifat lisan, bentuk pelayanan publik yang paling banyak dijumpai dan dirasakan oleh masyarakat adalah pelayanan yang berbentuk tulisan, yang bentuk nyatanya bisa berupa berbagai macam surat keterangan dan lain sebagainya. Dalam hal inipun Allah telah mengingatkan dan memerintahkan agar kepemimpinan sektor publik yang tugas utamanya memberikan pelayanan berbentuk tulisan kepada masyarakat juga harus pula dilakukan dengan cara adil sebagaimana Firman-Nya yang berbunyi: sebagai berikut;
“Wal yaktub baynakum kaatibun bil ‘adli”, yang artinya: “ Dan hendaklah ada diantara kamu seorang penulis yang adil” (Q.S Al-Baqarah: 282)
c) Pelayanan yang berbentuk perbuatan.
Sedangkan untuk pelayanan yang berbentuk perbuatan atau aktivitas, misalnya untuk memutuskan sebuah “perkara” yang sedang dialami/dilanda oleh masyarakatnya, ada beberapa ayat Al-Qur’an yang harus dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan tindakan yang dimaksud. Beberapa Ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an itu diantaranya yang artinya “Katakanlah, Tuhanku memerintahkan menjalankan keadilan”. (Q.S Al-A’raf:29), dan yang artinya “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan atau kebajikan” (Q.S Al-Nahl:90). Sedangkan ayat lain berbunyi: “Laqad arsalnaa rusulanaa bil bayyinaati wa anjalnaa ma ahumul kitaaba wal miizaana liyaquumannaasu bil qisth”. Artinya; “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan (Q.S. Al-Hadid: 25). Demikian pula halnya dengan Firman Allah yang berbunyi: “Wa idha hakamtum baynannasi antahkumuu bil adli” Artinya: Apabila kamu memutuskan perkara diantara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil” (Q.S. Al-Nisa’ 58).
Dengan berpedoman pada berbagai dalil yang bersifat Qur’ani tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan atau pedoman oleh kepemimpinan sektor publik dalam rangka menciptakan terwujudnya pelayanan prima yang diharapkan oleh semua pihak. Sedangkan untuk mewujudkan realitas keadilan di kalangan masyarakat, dapat diklasifikasi menjadi beberapa bagian yakni; adil dalam memberi, adil dalam bersikap, dan adil dalam bertindak, yang secara operasional harus disesuaikan dengan konteknya masing-masing. Hal lain yang lebih penting lagi berkaitan dengan tindakan pelayanan kepada masyarakat yang disebut berbasis pada keadilan adalah:
1. Tindakan adil itu bersifat universal, baik kepada mereka yang memiliki hubungan baik maupun kepada mereka yang sedang dalam kebencian, sebagaimana Allah berfirman: “Wala yajrimannakum sana aanu qaumin ‘alaa allata’diluu”. Artinya: “Dan janganlah sekali-kali kebenciannu terhadap suatu kelompok menjadikan kamu tidak berlaku adil” (Q.S Al-Nisa’ 135).
2. Mendahulukan kepentingan umum, dimana tindakan kepemimpinan sektor publik yang benar menurut syar’i, itu harus mendahulukan untuk kepentingan masyarakat umum dibandingkan dengan kepentingannya sendiri, kelompok, maupun keluarganya, sebagaimana Allah berfirman: “wayu’siruuna ‘ala anfusihim walau kaana bihim hashaashahu”. Artinya: “Mereka mengutamakan kepentingan orang lain atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka membutuhkan apa yang mereka berikan itu”. (Q.S. Al-Hasyir:9)
Di dalam praktek kesehariannya, proses pemberian pelayanan publik, di satu sisi masing-masing bentuk layanan bisa bersifat parsial, sedang pada sisi yang lain ketiga aktivitas layanan tersebut bisa berupa serangkain kegiatan integratif yang melibatkan banyak divisi dan banyak personnel yang terdapat dalam sebuah Instansi atau organisasi di bawah kepemimpinan sektor publik. Bahkan proses layanan publik yang kedua inilah yang sering dan lazim dijumpai dilapangan. Dengan demikian maka terciptanya pelayanan prima bagi masyarakat luas juga membutuhkan keterlibatan banyak divisi dan banyak personnel yang secara otomatis membutuhkan bentuk kompetensi yang berbeda-beda pula, namun harus dilaksanakan secara terintegratif.
Dalam aktivitas pemberian pelayanan publik yang bersifat komplek (meliputi; pelayanan lisan, tulisan dan aktivitas/perbuatan) akan membutuhkan unsur-unsur kompetensi yang meliputi; pertama; soft skill (yang terdiri dari; oral communications skill, logical skill, ability to work in team settings, ability to work independently, written communication skill, analiytical skills), dan kedua hard skill (yang terdiri dari; knowledge of field dan knowledge of technology) Ansarullah (2007:3).
Sudah barang tentu dalam pendayagunaan kedua unsur tesebut harus dibarengi dengan sikap dan tindakan penuh kejujuran dan tangungjawab serta melibatkan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat etika moral. Hal ini selaras dengan pernyataan dari Losey (1999:99) yang mengatakan bahwa The key components in measuring competency – intelligence, education, experience, ethics and interest – and the importance of each in regard to human resource management. Idealnya, Kesemua kemampuan yang secara komulatif menggambarkan tentang kompetensi ini harus didayagunakan secara maksimal, serius, sungguh-sunggu dan penuh tanggung jawab serta terintegrasikan secara baik demi terciptanya exellent services.
H. PENUTUP
Dalam perspektif Islam, aspek kepemimpinan, khususnya kepemimpinan sektor publik mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting, sehingga perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius dan penuh kehati-hatian, karena inti pokok dari sebuah kepemimpinan itu adalah “aspek tanggungjawab”, yang membawa konsekwensi berat bagi yang mendudukinya. Tanggungjawab kepemimpinan dalam Islam mengandung tiga dimensi utama, yakni; dimensi Ilahiah, dimensi individual dan dimensi sosial.
Ketiga dimensi pertanggungjawaban kepemimpinan tersebut, tidak hanya terbatas pada pertanggungjawaban duniawi, melainkan juga harus dilakukan di akhirat kelak, ketika sang pemimpin menghadap Rabbnya yang telah memberikan kepercayaan kepadnya sebagai khalifah di dunia, dalam rangka mengabdi kepada rakyat dan sebaga pihak yang diberikan tugas untuk memakmurkan bumi ini. Islam berpandangan bahwa hakekat pemimpin itu adalah sebagai pelayan, oleh sebab itu dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat seorang pemimpin harus bersikap adil, baik adil dalam bersikap, adil dalam berbuat, adil dalam bertindak dan adil dalam member atau membagi. Bahkan perintah Allah agar seorang pemimpin berikap adil ini tertuang dalam Al-Qur’an sebanyak 28 kali. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya keadilan itu dalam mengatur kehidupan masyarakat manusia di muka bumi ini.
Hal lain yang tak kalah pentingnya bahwa dalam rangka mewujudkan pelayanan prima, maka seorang pimpinan sektor publik dalam menjalankan kepemimpinannya yang berupa pelayanan, mereka harus mendahulukan kepentingan umum, karena tindakan kepemimpinan sektor publik yang benar menurut syar’i, itu adalah harus mendahulukan kepentingan masyarakat umum dibandingkan dengan kepentingannya sendiri, kelompok, maupun keluarganya, sebagaimana Allah berfirman: “wayu’siruuna ‘ala anfusihim walau kaana bihim hashaashahu”. Artinya: “Mereka mengutamakan kepentingan orang lain atas kepentingan diri mereka sendiri, sekalipun mereka membutuhkan apa yang mereka berikan itu”. (Q.S. Al-Hasyir: 9). Dengan kata lain, apabila kepemimpinan sektor publik, dalam menjalankan aspek pengabdian atau pelayanan kepada masyarakat telah sesuai dengan ketentuan yang tertulis secara syar’i, sebagaimana yang telah digariskan dalam Al-Qur’an dan Hadist, pastilah prinsip-prinsip pelayanan publik dalam rangka terciptanya pelayanan prima dapat dilaksanakan dengan cara yang sebaik-baiknya.
DAFTAR BACAAN
Al-Mahami, Hasan, Kamil Muhammad, Al-Mausu’ah Al-Qur’aniyyah, Edisi Indonesia, Alih Bahasa, Ahmad Fawaid Syadzili, Buku Jilid 1,2,3,4,5,6, Penerbit, Kharisma Ilmu, Indonesia
Al-Qaradhawi, Yusuf, 2000, Kaifa Nata’amalu Ma’a Al-Qur’ani al-Azhmi, Edisi Indonesia, Alih Bahasa Abdul Hayyie al-Kattani, Gema Insani Press, Jakarta Indonesia
Buhkari dan Muslim, 1997, Koleksi Hadits Nabi Muttafaqun “Alaih, Edisi Indonesia, Alih Bahasa Ust. Labib, MZ, Penerbit Yayasan Amanah Tuban, Indonesia
Conger, Jay, A and Ronald E. Riggio, (Ed), 2007, The Practice of Leadership, Developing the Next Generation of Leaders, John Wiley & Son, Inc,
Faiz, Almath, Muhammad, 1991, 110 Hadits Terpilih, Sinar Ajaran Muhammad, Penerbit, Gema Insani, Jakarta
Hamid, Syamsul Rijal, 2005, Buku Pintar Hadist, Bhuana Ilmu, Bogor, Indonesia
Imarah, Muhammad Mustafa, 1993, Jawahirul Bukhari, Edisi Indonesia, Alih Bahasa Muhammad Zuhri, Penerbit, Darul Ihya’ Indonesia
OECD Team, 2001, Public Sector Leadership for the 21st Century, Clearence Centrer, Customer Service, France
Shihab, Quraish, M, 1999, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Ummat, Penerbit, Mizan, Bandung

epemimpinan, politik dalam perpekstif islam — Presentation Transcript

  • 1. POLITIK, KEPEMIMPINAN, DAN KEADILAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM Oleh : WALUYO, Drs. M.Si Disampaikan Dalam Pertemuan Bulanan Pengurus Majelis Tafsir Al-qur’an Perwakilan bandung Rabu, 19 Desember 2007
  • 2. Politik Dalam Perspektif Islam Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah . Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah , misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu . Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).
  • 3. Lanjutan…………………… Jadi, asalnya makna siyasah (politik ) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus ( siyasiyun ). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi ( yasûsu ) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan : ‘ Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara ( masûsah ) bila pemeliharanya ngengat ( sûsah )’, artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).
  • 4. Lanjutan……………………… Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil , mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah " (HR. Bukhari dan Muslim ) . Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat .
  • 5. Lanjutan………………….. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata ( kufran bawahan ) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda : "Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim ) Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Beliau menjawab : "Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad ). Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim .
  • 6. Lanjutan………………………… Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme , baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam , kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang aktifitasnya didominasi perbuatan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya . Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33 ). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.
  • 7. Pengertian Politik Sebagai Ilmu Politik yg Dipahami Selama ini Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan , khususnya dalam negara . Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik . Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional . Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain: politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles) politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik . Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain : kekuasaan politik , legitimasi , sistem politik , perilaku politik , partisipasi politik , proses politik , dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik
  • 8. Teori Politik Teori politik merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik antara lain adalah filsafat politik , konsep tentang sistem politik , negara , masyarakat , kedaulatan , kekuasaan , legitimasi , lembaga negara , perubahan sosial , pembangunan politik , perbandingan politik , dsb. Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara negara di dunia antara lain: anarkisme , autoritarian , demokrasi , diktatorisme , fasisme , federalisme , feminisme , fundamentalisme keagamaan , globalisme , imperialisme , kapitalisme , komunisme , liberalisme , libertarianisme , marxisme , meritokrasi , monarki , nasionalisme , rasisme , sosialisme , theokrasi , totaliterisme , oligarki dsb.
  • 9. Tinjaun Islam Terhadap Politik Ada 2 Jenis Tinjauan Islam Thd Politik yaitu : Politik kualitas tinggi ( High Politics) dan politik kualitas rendah ( low politics ) Ada 3 ciri yg harus dimiliki dalam mencapai high politics yaitu : Setiap jabatan politik pd hakekatnya berupa amanah ( trust ) dari Umat/masyarakat yg hrs dipelihara sebagik-baiknya. Erat kaitannya dgn yg pertama bahwa setiap jabatan politik mengandung dalam dirinya mas’uliyyah atau pertanggungjawaban ( accountability ). Sebagaimana diajarkan Nabi bahwa” setiuap orang pada dasarnya pemimpin yg hrs mempertanggungjawabkan kepemimpinannya atau tugas-tugasnya. Kegiatan politik hrs dikaitkan secara ketat dgn prinsip ukhuwah ( brotherhood )yakni persaudaraan antara sesama umat manusia.Ukhuwah dlm arti luas melampaui batas-batas etnik, ras, agama, latar belakang sosial, keturunan dls. Gaya politik tingkat tinggi akan menghindari gaya politik konfontatifyg penuh dgn konflik dan melihat pihak lain sebagai lawan dan hrs dieliminasi.
  • 10. Lanjutan………………. “ High politics ” dgn ciri-ciri minimal sebagaimana tersebut diatas sangat kondusif bagai pelaksana amar ma’ruf nahi munkar. Dan inilah sebenarnya yg dimaksud dalam Surat Al Hajj ayat : 41 sbg berikut : “ Mereka adl orang-orang yg apabila kami beri kekuasaan yg teguh di muka bumi niscaya menegakkan sholat, membayar zakat, dan menyuruh manusia berbuat kebaikan serta mencegah kejahatan, dan bagi Allah sajalah kembalinya segala macam urusan ”
  • 11. Lanjutan ………………………. “ High politics ” dlm kenyataannya memang terasa sangat ideal, tdk saja di negara-negara berkembang bahkan di negara-negara maju sekalipun. Bahkan dinegara Amerika yg merupakan jagonya demokrasi kata banyak pakar, politik kualitas tinggi merupakan barang yang sangat mewah dan langka. Oleh karenanya, ada seorang politikus Amerika yg mengakui bahwa Amerika adalah “ a country that holds a dengereous disdain for politicians “ atau sebuah negeri yang punya cemooh berbahaya bagai para politisi.
  • 12. Lanjutan………………………… Mengapa demikian ? Karena di Amerika berlaku politik sekuler yg cendrung menjurus pada “ Low Politics “ atau politik kualitas rendah . Di negara-negara berkembang, bahkan dinegara-negara muslim , politik kualitas rendahan pada umumnnya justru dominan. Ditinjau dari sudut pandang Islam , politik semacam itu justru tidak mendukung maksud-maksud dakwah , tetapi justru kontra produktif dgn maksud-maksud dakwah bahkan menjgal dakwah dan merusak rekontruksi masyarakat yg islami . Ciri-ciri Low Politics perlu kita pahami agar kita tidak terjebak didalamnya, sgb contoh adalah politik Machiavelli
  • 13. Ciri-ciri Politik Machiavelli atau Low Politics Bahwa kekerasan ( violence, brutalisme, dan kekejaman ) merupakan cara-cara yg sah yg seringkali perlu diambil oleh penguasa dan dapat digunakan kapan saja bila diperlukan; sehingga dikenal dgn semboyan : “ Tujuan menghalalkan segala cara ”. Pandangan ini mendorong manusia menerapkan atau bergerak dibidang politik menjadi “ Tega atau Tegel “ Penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai summum bonum atau kebajikan puncak . Musuh tdk boleh diberikan kesempatan utk bangkit dan kalau perlu diperlakukan sbg sesuatau yg bukan manusia. Disini konsep ukuwah atau persaudaraan diantara umat tdk sedikitpun terlintas dalam benaknya. Dalam menjalankan kehidupan politik seorang penguasa hrs dpt bermain seperti binatang buas, seperti singa atau anjing pemburu , sebag yg dapat berperan seperti itu akan jadi pemain politik yang terbaik menurut mereka. Politik gaya machiavelli seperti ini mudah dan gampang diserap oleh nafsu-nafsu yang rendah yg ingin berebut kekuasaan belaka tanpa memperhatikan etia dan moral politik sgb yg diajarkan islam
  • 14. Islam dan Demokrasi Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst.
  • 15. Lanjutan……………. Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia Barat menganggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab ( credible and accountable) menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah
  • 16. Lanjutan……………. Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera. Nah, bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif Islam memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip dan idiom-idiom demokrasi, bagaimana realitas empirik politik Islam di negara-negara Muslim? Bagaimana dengan pengalaman demokrasi di negara-negara Islam? Benarkah Samuel Huntington dan F. Fukuyama, yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi? Tulisan ini ingin mengkaji demokrasi dalam perspektif Islam dari aspek elemen-elemen pokok yang dikategorikan sebagai bagian terpenting dalam penegakan demokrasi, dan hubungannya dengan realitas demokrasi dalam negara yang berbasis mayoritas Islam. Jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin (1993:30), agama dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Dalam perspektif Islam elemen-elemen demokrasi meliputi: syura, musawah, adalah, amanah, masuliyyah dan hurriyyah, bagimana makna masing-masing elemen tersebut
  • 17. Lanjutan………………….. Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159 Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah (Madani, 1999: 12). Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbanagan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama .
  • 18. Lanjutan…………………………. Kedua , al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl:90; QS. as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58 dst. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam”. (lihat Madani, 1999:14).
  • 19. Lanjutan……………………... Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat. Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim (Tolchah, 199:26).
  • 20. Lanjutan……………………… Keempa t, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa’: 58. Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam. Kelima , al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.
  • 21. Lanjutan………………….. Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah (Madani, 1999:13), bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggung jawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dus dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan. Keenam , al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.
  • 22. Lanjutan…………………… Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen demokrasi di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dus dengan demikian maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil. Watak ajaran Islam sebagaimana banyak dipahami orang adalah inklusif dan demokratis. Oleh sebab itu doktrin ajaran ini memerlukan aktualisasi dalam kehidupan kongkret di masyarakat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di dunia Islam dalam sejarahnya? Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriter yang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktek-praktek yang dilakukan oleh sebagian penguasa Bani ‘Abbasiyyah dan Umayyah. Tetapi itu bukan alasan untuk melegitimasi bahwa Islam agama yang tidak demokratis. Karena sebelum itu juga ada eksperimen demokratisasi dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nabi dan khulafaurrasyidin (lihat Mahasin, 1999:31)
  • 23. Sinergi Demokrasi dan Islam “ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imran [3]: 159) Konsep demokrasi secara umum berarti dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Secara politik juga berarti kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat dalam membuat undang-undang dan peraturan negara. Tapi karena tidak mungkin seluruh rakyat dari pelbagai penjuru berkumpul guna membuat perundang-undangan, maka rakyat memilih wakilnya yang mereka percayai sebagai penyambung lidah. Rakyat memilih sekelompok orang yang bertugas menyusun undang-undang (legislatif), menjalankan pemerintahan (eksekutif), dan menegakkan hukum (yudikatif). Dengan sistem demokrasi kehidupan bernegara dapat menjamin terealisasinya prinsip-prinsip kemanusiaan seperti kebebasan, persamaan dan keadilan
  • 24. Lanjutan…………….. Memang harus diakui, karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja-raja Islam, demokrasi sering dijadikan tumbal. Seperti pengamatan Mahasin (1999:31), bahwa di beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahan raja-raja yang korup dan otoriter. Tetapi realitas seperti itu ternyata juga dialami oleh pemeluk agama lain. Gereja Katolik misalnya , bersikap acuh-tak acuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena sikap tersebut kemudian Katolik disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang sama ternyata juga dialami oleh agama Kristen Protestan, diamana pada awal munculnya, dengan reformasi Martin Luther Kristen memihak elit ekonomi, sehingga merugikan posisi kaum tani dan buruh. Tak mengherankan kalau Kristen pun disebut tidak demokratis. Melihat kenyataan sejarah yang dialami oleh elit agama-agama di atas, maka tesis Huntington dan Fukuyama yang mengatakan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak kompatibel dengan demokrasi” adalah tidak benar. Bahkan Huntington mengidentikkan demokrasi dengan the Western Christian Connection (lihat Imam, 1999:x-xi, Hefner, 2000:4-5). Inilah memang, betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang di dalamnya menyangkut soal: persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara, penegakan musyawarah, keadilan, amanah dan tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktik demokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa di atas, seiring dengan kompleksitas problem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah menyangkut komitmen dan moralitas sang penguasa itu sendiri. Dengan demikian, meperhatikan relasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial menyangkut banyak variabel, termasuk variabel independen non-agama
  • 25. Lanjutan……………….. Dalam ajaran Islam, konsep yang sejiwa dengan demokrasi adalah musyawarah. Musyawarah berasal dari kata syawara-yusyawiru yang berarti saling memberi dan meminta nasihat atau saran. Imam at-Tabrasi mendefinisikan term as-syura sebagai diskusi untuk menemukan hak. Sedangkan Raqib al-Asfahani menegaskan bahwa syura adalah upaya menemukan pemikiran yang selaras dengan pendapat orang banyak. Ibnu Arabi dalam bukunya Ahkam Al-Qur’an menyatakan bahwa yang dimaksud dengan as-syura adalah pertemuan yang mendiskusikan silang pendapat untuk menemukan pemikiran terbaik. Dengan demikian, esensi musyawarah adalah proses pengambilan keputusan yang melibatkan orang banyak demi menghasilkan keputusan yang terbaik bagi masyarakat atau demi kebaikan bersama. Rasulullah Saw tidak pernah malu meminta nasihat atau saran kepada sahabatnya tentang suatu masalah. Bahkan musyawarah adalah salah satu kunci sukses kepemimpinan beliau. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Abu Hurairah mengatakan, “Aku tidak menemukan orang lain yang paling sering bermusyawarah selain Rasulullah Saw.,” (HR. Tarmizi). Dalam hadits lain dinyatakan, “Sesungguhnya umatku tidak dibenarkan untuk berkumpul dalam satu kebatilan, apabila menemukan perbedaan selesaikanlah dengan musyawarah.” (HR. Ibnu Majah )
  • 26. Titik Temu Islam dan Demokrasi Konsep demokrasi memberikan perhatian besar kepada masalah-masalah yang berkaitan dengan hak asasi manusia, kebebasan, dan keadilan sosial. Sebagai ideologi, yang mengatur kemaslahatan bermasyarakat dan bernegara, ajaran demokrasi tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang sangat menjunjung tinggi nilai keadilan, egalitarianisme dan prinsip-prinsip kebebasan individu maupun kelompok. Ada beberapa prinsip yang menjadi titik temu Islam dan demokrasi. Pertama , prinsip keadilan. Menurut Ragib al-Asfahani yang dimaksudkan dengan keadilan adalah keseimbangan yang selaras. Kata adil dalam Al-Quran dalam bentuk kata dasar dan kata kerja muncul sebanyak 28 kali. Sinonimnya kata al-Qisti (keseimbangan) disebutkan sebanyak 25 kali. Sedangkan dalam hadits kata adil juga sering disebutkan. Untuk itu tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak menjadi umat yang adil Sebagai komunitas yang beriman harus mampu menegakkan keadilan dalam setiap perkataan dan perbuatan. Jika terjadi perselisihan di tengah masyarakat, seorang mukmin wajib mengedepankan rekonsiliasi antar sesama mukmin untuk menjaga perdamaian. Dalam menetapkan hukum hendaklah berlaku adil dan amanah. Tempatkanlah segala sesuatu pada tempatnya. Jangan berbuat zalim. Berlaku adil adalah keharusan dalam menetapkan keputusan hukum di antara manusia. (Lihat, QS an-Nahl [16]: 90; an-Nisa [4]: 58. al-Hujurat [49]: 9-10; al-Mumtahanah [60]: 8-9; dan al-Baqarah [2]: 177).
  • 27. Lanjutan………………… Kedua , prinsip persamaan. Islam hanya mengenal satu umat. Mereka diikat dalam satu ikatan persaudaraan. Islam tidak mengenal perbedaan. Manusia semua sama, dalam hak dan kewajiban. Karena itu, manusia diciptakan untuk bisa menerima perbedaan agama, warna kulit, dan suku bangsa. Dalam Islam ditegaskan bahwa tidak ada perbedaan di mata Sang Maha Pencipta, kecuali dalam hal ketakwaan. Ini adalah hal yang sangat substansial, mengingat kekuasaan Sang Maha Pencipta tidak hanya berhenti pada titik penciptaan manusia, namun juga kepada penciptaan akhir dari segala kehidupan. Kekayaan, kekuasaan, kehormatan, popularitas dan lainnya tidak menjadi hal yang diperhitungkan di mata Allah Swt, jika tidak ada ketakwaan. (Lihat, QS an-Nisa [4]: 1; al-Hujarat [49]: 13; al-Hijr [15]: 28; Huud [11]: 61; dan ar-Rum [30]: 22). Ketiga , prinsip kebebasan. Prinsip kebebasan berada pada tempat istimewa dalam konsep syariah. Prinsip kebebasan adalah tameng untuk terhindar dari segala bentuk kezaliman. Prinsip ini didasari oleh konsep yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Manusia adalah makhluk terhormat yang diberikan kemuliaan oleh Allah untuk mempunyai kebebasan memilih. Kebebasan adalah fitrah. Untuk itu manusia mempunyai kebebasan untuk memilih kebaikan atau keburukan, manusia juga mempunyai kebebasan untuk bertanggung jawab
  • 28. Lanjutan…………………………….. Walaupun demikian, manusia tidak dibenarkan untuk menggunakan kebebasannya secara semena-mena. Kebebasan seseorang tidak berakhir pada saat orang lain mulai menghirup kebebasannya. Namun demikian, kebebasan seseorang dibatasi oleh perintah dan larangan syari’ah ataupun perintah dan larangan yang disusun dalam kesepakatan bersama. Jadi kebebasan bergerak dalam batasan nilai-nilai agama dan sosial. (lihat, QS al-Isra’ [17]: 15; QS al-Baqarah [2]: 256; dan QS Yunus [10]: 99) Keempat , prinsip hak asasi manusia. Dalam perspektif Islam hak asasi manusia adalah hak permanen yang dimiliki setiap anak manusia sejak dari lahir hingga akhir hayatnya. Sang Maha Pencipta menganugerahkan akal kepada manusia, agar manusia tidak berperilaku seperti hewan dalam menjalani kehidupannya. Untuk itu, hak dan kewajiban setiap orang harus bisa diterima secara egaliter sebagai pengakuan dari keberadaannya dalam sebuah komunitas. Rasulullah Saw menyampaikan dalam pidatonya pada saat pelaksanaan haji wada’: “Sesungguhnya darah kalian, harta dan kehormatan kalian adalah hal yang diharamkan untuk merusaknya dalam keseharian hidup di negara kalian.” Kemudian dalam sebuah hadist disampaikan bahwa “ Seorang muslim adalah orang yang dapat menjaga keselamatan orang lain dari lisan dan tangannya .”
  • 29. Lanjutan……………………….. Itulah beberapa prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara yang mampu mempertemukan dan menyinergikan antara prinsip-prinsip demokrasi dan nilai-nilai Islam. Diharapkan, sinergi antara demokrasi dan Islam ini menjadi solusi bagi bangsa kita dalam menghadapi permasalahan yang ber-kaitan dengan kemajemukan masyarakat
  • 30. Kepemimpinan Menurut Perspekstif Islam Status pemimpin dari sudut pandangan Islam merupakan wakil bagi seluruh umat , bahkan boleh pula disebut sebagai pekerja hak umat terhadapnya . “ Abu Muslim al-Khulani ” seorang tabi’in dan Ulama Fiqah termasyur yang kuat berzuhud pernah memasuki istana Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan memberi salam ‘assalamualikum wahai ajir (pekerja upahan) orang-orang yang ada di sekeliling Khalifah pun marah dan menyuruhnya untuk mengulangi salamnya dengan assalamualaikum, wahai amir (pemimpin). Belau mengulangi salamnya tetapi tetap mengucapkan perkataan (ajir) akhirnya Muawiyah pun berkata biarkanlah Abu Muslim itu. Beliau lebih mengerti tentang apa yang diucapkan
  • 31. Lanjutan …………………………. Pemimpin dalam Islam mempunyai peranan dan tanggungjawab yang besar dalam menyampaikan risalah Islam ke seluruh pelosok alam. Sebab risalah dan dakwah Islamiah merupakan rahmat Allah kepada seluruh manusia. Siapa pun tidak berhak menghalang sampainya rahmat Allah tersebut kepada para hambanya. Rasulullah SAW telah memulakan misi dakwah tersebut dengan menghantar warkah kepada para raja dan penguasa dunia. Negara-negara yang mengaku sebagai pendukung Islam dan memiliki sarana yang lengkap harus berani dalam menyampaikan seruan Islam ke seluruh dunia. Jika mereka enggan melaksanakan misi tersebut maka mereka bertanggungjawab terhadap berjuta-juta manusia yang hingga kini belum pernah mendengar g hakikat kebenaran tentang Islam atau mengenalinya hanya sepintas lalu saja. Menurut pandangan Ulama besar Abu al-Hassan Ali an Nabawi negara Islam, negara hidayah kerana sebahagian besar tugas pemimpin tertumpu kepada pembangunan dakwah dan penyampaian risalah Islam ke seluruh dunia.
  • 32. Etika Kepemimpinan Dalam Islam Dalam Hadist djelaskan bahwa : “ Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggung- jawaban atas orang-orang yang dipimpinnya di Hari Kiamat kelak. [1] ”
  • 33. Pengertian Pemimpin Menurut Lughah a. Imam : Asal katanya ‘ Amama ’ karena ia: Berada di depan (amam), mengasuh (ummah), menyempurnakan (atammah), menenangkan (yanamma). Berkata Imam Al-Jauhary : Imam adalah orang yang memberi petunjuk (yuqtada)[2]. b. Amir : Yang memberi perintah (seperti dalam ayat : Amarna mutrafiha), juga sesuatu yang mengagumkan (seperti dalam ayat : laqad ji’ta syai’an imra)[3]. c. Waliyy : Dekat, akrab ( Jalasa mimma yali = duduk dengan orang didekatnya); tempat memberikan loyalitas ( ALLAHumma man waliya min amri ummati )[4]. d. Qadah/qiyadah : Penggiring ternak, orang yang memberi petunjuk, pemandu atau penunjuk jalan[5]. e. Khalifah : Para fuqaha’ mendefinisikannya sbg suatu kepemimpinan umum yg mencakup urusan keduniaan & keagamaan, sbgm yg dilakukan oleh Nabi SAW yg wajib dipatuhi oleh seluruh ummat Islam. Menurut Imam Al-Mawardi sama dengan al-Imamah, karena inilah asal dari kepemimpinan di masa Nabi SAW, yaitu untuk memimpin agama & keduniaan[6]. Menurut Ibnu Khaldun yaitu penanggungjawab umum dimana seluruh urusan kemaslahatan syari’at baik ukhrawiyyah maupun dunyawiyyah kembali kepadanya[7].
  • 34. Pemahaman Kepemimpinan Menurut Al-qur’an a . Memiliki Loyalitas yang Mutlak : “Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi Pemimpinnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.[8]” b . Kuat & Amanah : “Berkata salah seorang diantara anaknya (Syu’aib) : Wahai ayahanda, jadikanlah ia sebagai pegawai, karena sebaik-baik pegawai adalah yang kuat lagi bisa dipercaya.[9]”
  • 35. Lanjutan………………………….. c . Sehat & Berilmu : “… Sesungguhnya ALLAH SWT telah memilihnya (Thalut) sebagai rajamu, karena ia memiliki kekuatan fisik dan berilmu. Sesungguhnya ALLAH memberikan kekuasaan-NYA kepada siapa yang dikehendaki-NYA, sesungguhnya IA Maha Luas (ilmu-NYA) lagi Maha Mengetahui.[10]” d . Merupakan Ujian ALLAH SWT : “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: Sesungguhnya AKU akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zhalim.[11]“ e . Merupakan Tanda Ketaqwaan : “ Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.[12]”
  • 36. Pemahaman Kepemimpinan Menurut Sunnah Jujur dan Tidak Menipu : Nabi SAW melaknat pemimpin yang dipercaya untuk mengurus urusan ummat lalu ia malah menipu atau menyengsarakan mereka, sebagaimana dalam sabdanya SAW : “Ya ALLAH, siapa saja yang diberikan kekuasaan untuk mengurusi ummatku lalu ia menyengsarakan mereka, maka persulitlah ia. Dan siapa saja yang diberi kekuasaan lalu ia mempermudah mereka, maka mudahkanlah ia.[13]” Dan Islam menyatakan bahwa pemimpin yang tidak memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinan ummat maka ALLAH SWT tidak akan memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinannya pada Hari Kiamat kelak[14].
  • 37. Lanjutan…………………… Adil & Amanah : Islam menempatkan pemimpin yang adil dan amanah dalam derajat manusia yang tertinggi, yang memperoleh berbagai penghargaan dan kehormatan. Diantaranya ia termasuk kelompok pertama yang dinaungi oleh ALLAH SWT diantara 7 kelompok utama yang dinaungi-NYA pada Hari Kiamat kelak[15]; Iapun akan berada di atas mimbar dari cahaya nanti di Hari Kiamat[16]; Dan pemimpin yang demikianlah yang akan senantiasa dicintai dan didoakan oleh rakyatnya karena kebijaksanaannya memimpin rakyatnya[17]; Sehingga dalam salah satu haditsnya, nabi SAW sampai menyatakan bahwa pemimpin yang demikian termasuk 3- golongan manusia yang paling utama dan paling berhak masuk Jannah, disamping orang yang lembut dan penyayang pada keluarganya dan orang miskin yang menjaga dirinya dari meminta-minta[18].
  • 38. Lanjutan………………… Tidak Wajib Taat pada Pemimpin yang Memerintahkan Maksiat : Oleh karena itu di dalam Islam pemimpin yang memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutkan diataslah yang berhak dan wajib untuk ditaati (Tafsir QS An-Nisaa’, 4:59), syarat taat pada pemimpin dalam ayat tersebut adalah mu’allaq/tergantung pada apakah ia taat pada ALLAH SWT dan Rasul SAW atau tidak, dimana cirinya adalah ia senantiasa kembali kepada ALLAH SWT dan rasul-NYA SAW jika terjadi perbedaan pendapat ataupun perselisihan) dan bukan pemimpin yang memiliki sifat sebaliknya, jika ia memiliki sifat sebaliknya maka tidak wajib sama sekali untuk didengar dan ditaati[19].
  • 39. Lanjutan………………………. Tidak ada Batasan Ras/Kebangsaan : Tentang siapa pemimpin itu Islam tidak membatasi ia dari ras dan kelompok apapun, asal mengikuti dan menegakkan syariat maka wajib ditaati, sekalipun ia adalah seorang yang berkulit sangat hitam yang kepalanya bagaikan kismis (saking hitamnya)[20]. Kendatipun demikian, afdhal memilih pemimpin disesuaikan dengan suku/kebangsaan rakyat yg dipimpinnya[21]
  • 40. Lanjutan…………………………. Pemimpin Wajib Memilih Bawahan yang Jujur : Seorang pemimpin yang adil tentunya akan memilih pembantu-pembantu, wakil-wakil dan menteri-menteri yang adil pula. Tidak mungkin seorang yang baik (tanpa keterpaksaan) akan mengangkat atau memilih wakil dan menteri yang merupakan para musuh ALLAH SWT, seperti para koruptor, kaum oportunis apalagi para kolaborator asing[22]. Benarlah pernyataan pemimpin abadi kita nabi Muhammad SAW : “Jika ALLAH SWT menghendaki kebaikan kepada seorang penguasa, maka IA akan memberikan untuknya menteri-menteri yang jujur, (yaitu) yang jika ia khilaf maka selalu mengingatkan dan jika ia ingat maka selalu dibantu/didorong. Dan jika ALLAH SWT menghendaki keburukan kepada seorang penguasa, maka IA akan memberikan untuknya para menteri yang jahat. Jika penguasa itu lupa, maka tidak diingatkan dan jika ia ingat maka tidak didorong/dibantu.[23]
  • 41. Kewajiban Taat Kepada Pemimpin Yang Islami Wajib Taat pada Pemimpin yang Islami : Bersabda Nabi SAW : “Barangsiapa yg taat kepadaku maka ia telah taat kepada ALLAH, dan barangsiapa yg tidak taat kepadaku maka berarti tidak taat kepada ALLAH. Barangsiapa yg taat kepada Pimpinan (yg nyunnah) maka berarti ia telah taat kepadaku, dan barangsiapa yg tidak taat kepada pimpinan (yg nyunnah) maka berarti ia telah tidak taat kepadaku.[24]” b . Ketaatan tersebut tetap Berlaku Walaupun Di Satu Sisi Seolah Mengorbankan Kepentingan sebagian Rakyatnya : Dari Abu Hunaidah, Wa’il bin Hajar ra berkata : Bertanya Salmah bin Yazid al-Ju’fiy pd Rasulullah SAW : Wahai Nabi Allah … bgm pendptmu jk ada seorg pemimpin yg selalu meminta ketaatan dari kami tapi tidak memberikan hak kami, apa yg anda perintahkan pd kami ? Maka Rasulullah SAW memalingkan wajahnya, mk Salmah bertanya lagi yg kedua kali, maka jawab Rasulullah SAW : Dengarlah oleh kalian semua dan taatilah ia, karena bagi kalian pahala ketaatan kalian dan baginya dosa ketidakadilannya.[25
  • 42. Lanjutan……………………. Dosanya Memisahkan Diri dari Ketaatan pada Pimpinan yang Islami : Bersabda Nabi SAW : “Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka ia kelak akan bertemu dengan ALLAH SWT tanpa dapat mengemukakan argumentasi apapun.[26]” Dalam hadits lainnya: “Barangsiapa meninggalkan ketaatan lalu memisahkan dirinya dari Jama’ah lalu ia meninggal maka ia mati Jahiliyyah.[27]” Perhatikan baik-baik dalam hadits tersebut disebutkan Al-Jama’ah, yg maksudnya Jama’ah Islam, bukan sembarang pemerintahan, (lihat pula judul bab pada takhrij hadits tersebut di dalam Shahih Muslim).
  • 43. Bentuk- bentuk Ketaatan Mendengarkan dan memahami perintah dengan sebaik-baiknya, memohon penjelasan sampai jelas kemudian melaksanakannya dengan tidak menunda-nunda dan dengan sebaik-sebaiknya. Lihat kisah Ali bin Abi Thalib ra dalam perang Khaibar dalam Shahih Bukhari[28]. Melipatgandakan kesabaran saat melaksanakan perintah tersebut, ikhlas dan tidak menguranginya atau menambahinya sedikitpun. Lihat kisah Jundub bin Makits al-Juhni saat dalam Sariyah[29]. Melaksanakan dengan segera perintah tersebut, walaupun tidak sesuai dengan pendapatnya atau berbeda dengan keinginannya, lihat kisah Hudzaifah bin Yaman saat perang Ahzab[30]. Saling memberi dan menerima nasihat. Lihat kisah Umar bin Khattab ra saat perjanjian Hudhaibiyyah dengan Nabi SAW & Abubakar ra[31]. Meminta izin dalam setiap urusan pentingnya atau sebelum mengambil keputusannya[32].
  • 44. Catatan Kaki: [1] HR Bukhari, XXII/43 no. 6605; Muslim, IX/352 no. 3408 [2] Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, XII/22 [3] Lisanul Arab, III/370 [4] Ash-Shihah fil Lughah, Al-Jauhary, I/22 [5] Al-Qamus Al-Fiqhi, I/388 [6] Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal.3 [7] Al-Muqaddimmah, Ibnu Khaldun, hal.180 [8] QS Al-Maidah, 5/55-56 [9] QS Al-Qashshash, 28/26 [10] QS Al-Baqarah, 2/247 [11] QS Al-Baqarah, 2/124 [12] QS Al-Furqan, 25/74 [13] HR Muslim no. 1828 [14] HR Abu Daud no. 2948; Tirmidzi no. 1332; al-Hakim IV/93-94; menurut Imam al-Mundziri sanad-nya shahih karena ada syahid dari hadits Muadz ra yang diriwayatkan oleh Ahmad V/238-239. [15] HR Bukhari II/119 dan 124; Muslim no. 1031 [16] HR Muslim no. 1827; Nasa’i VIII/221; Ahmad II/160 [17] HR Muslim no. 1855 [18] HR Muslim no. 2865 [19] Bukhari XIII/109; Muslim no. 1839; Abu Daud no. 2626; Tirmidzi no. 1707; Nasa’i VII/160 [20] HR Bukhari XIII/108 [21] HR Bukhari, XXII/44, bab Al-Umara’u min Quraisy; Muslim, IX/333-338
  • 45. Islam dan Nilai-Nilai Keadilan Sepanjang sejarah manusia, penjabaran nilai-nilai dan konsep keadilan tidak selamanya berjalan mulus, sesuai substansinya. Ada kalanya konsep itu diaplikasikan sesuai nilai-nilainya yang hakiki, tetapi juga ada masa di mana konsep itu direduksi dan mengalami suatu distorsi. Dalam perspektif Islam , keadilan -sebagai prinsip yang menunjukkan kejujuran, keseimbangan, kesederhanaan, dan keterusterangan-merupakan nilai-nilai moral yang sangat ditekankan dalam Al Quran. Majid Khadduri (1999:14) menemukan, dalam kitab suci itu tidak kurang dari seratus ungkapan yang memasukkan gagasan keadilan , baik dalam bentuk kata-kata yang bersifat langsung ataupun tidak langsung. Demikian pula di dalam kitab itu ada dua ratus peringatan untuk melawan ketidakadilan dan yang seumpamanya. Semua itu mencerminkan dengan jelas komitmen Islam terhadap keadilan .
  • 46. Lanjutan…………………….. Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah Islam telah melaksanakan nilai-nilai keadilan secara utuh, total, dan konsisten. Gagasan tentang keadilan menjadi perhatian khusus, dan ia menghadapi masalah-masalah kesehariannya dengan penuh kelurusan, keseimbangan, dan kejujuran(lihat Khadduri, 1999: 12). Keadilan adalah bagian tidak terpisahkan dari sejarah hidupnya. Contoh konkretnya, dalam satu peristiwa-karena sikapnya yang sangat peduli terhadap keadilan itu-ia tidak sungkan-sungkan didudukkan sebagai tertuduh ketika ada seorang Yahudi yang menuduhnya mencuri baju besi milik orang Yahudi itu. Pada zaman Nabi Islam muncul sebagai gerakan moral dan nilai dasar kehidupan yang menjadi pijakan total bagi segala aktivitas umat. Keadilan sebagai bagian integral dari Islam juga diimplementasikan secara menyeluruh.
  • 47. Lanjutan……………………….. Apa yang dilakukan Rasulullah itu lalu diteladani keempat Khalifah sesudahnya. Contohnya Umar (w.644 M). Khalifah Rasul yang kedua, dengan segala keterbukaannya, ia menerima kritik seorang Yahudi tua-renta karena tidak menerima santunan. Maka, Umar lalu memberlakukan santunan bagi semua orang tua, tanpa membedakan agama yang dianutnya. Pada dasarnya, semua khalifah yang empat melaksanakan prinsip keadilan itu secara utuh dalam seluruh kehidupan mereka. Dalam ungkapan sederhana, mereka memberikan hak kepada siapa saja yang berhak menerima dan menuntut kewajiban terhadap siapa pun yang harus melaksanakan kewajiban itu. Mereka tidak membedakan antara muslim dan nonmuslim, kaya atau miskin, antara yang pejabat dan rakyat jelata yang kerabat dan orang lain. Namun, ketika Islam berada di tangan generasi-generasi penerus, konsep keadilan mulai mengalami pembiasan. Ada kecenderungan-disengaja atau tidak-untuk meletakkan keadilan dalam terma-terma eksklusif sehingga tidak mampu menjangkau seluruh masyarakat. Hal itu terjadi bersamaan saat Islam diidentikkan dengan kekuasaan
  • 48. Lanjutan……………………. Misalnya, pada masa Dinasti Amawiyah (661-750 M), kebijakan-kebijakannya tampak sekali mendiskreditkan orang-orang non-Arab. Hal itu secara implisit menyiratkan, keadilan hanya untuk orang-orang Arab. Adanya distorsi arti keadilan juga terjadi pada Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) yang datang sesudah wangsa Amawiyah. Pada masa itu, Islam nyaris tidak beda dengan kekuasaan. Para khalifah umumnya menggunakan suatu gelar yang mengidentikkan mereka dengan agama; sebagai "bayangan Allah di muka bumi" dan sebagainya. Maka, keadilan hanya milik penguasa in toto. Kasus Ibn Hanbal (w.855 M), pendiri aliran fiqh Hanbali dan tokoh ternama Islam sampai saat ini, yang dipenjara bertahun-tahun karena tak sependapat dengan penguasa tentang keterciptaan Al Quran membuktikan hal itu dengan jelas. Paparan di atas menyimpulkan, ketika Islam muncul sebagai gerakan moral dan nilai-nilai kemanusiaan, maka keadilan sebagai bagian nilai moral memunculkan dirinya secara utuh dan holistik. Namun, ketika Islam dijadikan bagian kekuasaan, dan dijadikan semacam alat legitimasi bagi kekuasaan tertentu, maka keadilan mengalami penyempitan arti. Nilai keadilan diperas sesuai kehendak penguasa; atau keadilan diberi arti dengan arti baru yang tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan nilai keadilan itu sendiri. Itulah yang terjadi pada fase-fase tertentu di masa setelah berlalunya zaman Nabi dan penggantinya yang empat.
  • 49. Lanjutan…………………. Dalam kaitannya dengan Indonesia, hal semacam itu pula yang telah dilakukan Orde Baru. Saat itu Islam -atau agama secara umum-dibahasakan dengan ungkapan-ungkapan yang sarat dengan karakteristik penguasa. Demikian pula halnya dengan keadilan . Keadilan menjadi bahasa politis dan dikerangkeng dalam tembok bahasa rezim yang sedang berkuasa. Dengan demikian, semua yang diundangkan dan dilakukan pemerintah adalah benar dan adil, dan segala sesuatu yang menyimpang (atau berbeda) dari hal itu dianggap sewenang-wenang. Pada saat itu telah terjadi sakralisasi terhadap segala persoalan-persoalan yang berbau politik. Ideologi negara telah menjadi "agama kedua" yang harus disucikan. Sedang Rezim Soeharto telah menjadi "semacam nabi" bagi agama baru itu. Pancasila sebagai kitab suci-nya harus ditafsirkan secara tunggal sesuai kehendak rezim yang sedang berkuasa. Akibatnya, terjadi penyeragaman dalam segala bentuknya, dari hal-hal yang substansial sampai yang bersifat artifisial. Pandangan-pandangan lain di luar itu dianggap bid'ah yang heretik, karena itu harus ditolak dan tidak boleh hidup di bumi Indonesia. Bahkan penggagasnya dianggap "kafir", misalnya, dituduh sebagai komunis.
  • 50. Lanjutan…………………………….. Karena sudah menjadi kesepakatan bangsa bahwa orde reformasi adalah orde yang akan berupaya sungguh-sungguh untuk mewujudkan prinsip-prinsip yang demokratis-dan keadilan salah satu bagian terpenting di dalamnya-maka keharusan umat Islam (sebagai bagian terbesar bangsa) untuk melakukan reformulasi keadilan (dan nilai-nilai keagamaan yang lain) sehingga diletakkan kembali sesuai nilai-nilai universal keagamaan dan kemanusiaan yang sebenarnya. Untuk melangkah ke arah itu, rumusan tentang Deklarasi Universal Islam tentang hak-hak asasi manusia (HAM), khususnya yang berhubungan dengan keadilan perlu diperhatikan dan menjadi salah satu bahan rujukan. Pada intinya, deklarasi itu menyimpulkan tentang kesamaan hak setiap orang untuk memperoleh keadilan, dan kesamaan hak setiap orang untuk mengajukan keberatan atau menolak untuk diperlakukan tidak adil. (lihat Universal Islamic Declaration of Human Right: poin IV). Pada deklarasi itu tidak dibedakan lagi antara muslim-nonmuslim, laki-laki-perempuan dan seterusnya. Semua orang berhak diperlakukan setara.
  • 51. Lanjutan…………………….. yang ada dalam Al Quran dan Sunah Nabi; atau dalam kata lain, merupakan manifestasi nilai substansial keagamaan universal. Berdasarkan hal itu, umat Islam Indonesia hendaknya merumuskan kembali dalam konteks keindonesiaan dan kehidupan bangsa yang konkret. Untuk itu, nilai-nilai Islam secara umum dan keadilan secara khusus perlu dilepaskan dari segala atribut dan interes yang ada di luar nilai-nilai itu. Nilai-nilai agama hendaknya tidak dijadikan alat untuk mendukung masalah-masalah yang bersifat politik praktis, yang akan berakibat-menurut Tibi (1991)-repoliticization of the scared. Agama diharapkan tidak ditempatkan sebagai alat pencapaian kepentingan kelompok atau pribadi. Agama perlu dikembalikan kepada fungsi asal sebagai pedoman dan nilai kehidupan dalam semua aspek. Namun, dalam perumusan itu, umat Islam hendaknya jangan sampai terperangkap ke dalam rumusan yang kaku dan menjadi tafsir eksklusif yang tidak dapat disentuh lagi. Di sana diharapkan ada ruang cukup luas guna menciptakan dialog yang bebas sehingga selalu ada upaya untuk menyempurnakannya dari waktu ke waktu dengan tetap memperhatikan dan mengacu kepada nilai universal keagamaan. Itulah sebenarnya yang telah dilakukan Abdurrahman Wahid melalui serangkaian pernyataan dan tindakannya; mulai dari kritiknya terhadap keberadaan Departemen Agama, pernyataannya mengenai perlunya pemilihan presiden secara langsung, sampai usulannya untuk mencabut Ketetapan (Tap) MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Apa yang dinyatakan adalah dalam rangka meletakkan agama sebagai agama, kepada fungsinya yang asal; bukan untuk mendukung kepentingan tertentu, sebagaimana hal itu telah terjadi sepanjang sejarah Orde Baru. Dengan demikian, nilai-nilai moral diharapkan akan menjadi pijakan utama bagi seluruh aktivitas kehidupan bangsa. Untuk itu, marilah kita sikapi semua itu dengan penuh kearifan dan tanggung jawab
  • 52. SEKIAN DAN TERIMAKSAH WASSALAMU'ALAIKUM WR.WBR

KEPEMIMPINAN DALAM DAKWAH ISLAM


(Kajian Tafsir Tematik terhadap Konsep uli al amri  
dalam Q.S. An Nisaa ayat 59 dan 83)
oleh
Firman Nugraha

Abstract
The presence of a leader is very important, both sociological and theological claims. In the Quran mentioned one term leader with uli al amri. This study tried to dissect the meaning uli al-amri who he is, what characteristics and what should be the attitude of Muslims towards them. With thematic interpretation methods ranging from the selection of relevant clause in this case QS al-Nisa verse 59 and 83, then the translation, rank them according sabab nuzul and try to understand it based studies scholars interpretation. From the results of the study it can be concluded that Uli al amri are those who have the authority of expertise in their respective fields, and are affected by the charge of faith, trust and fair Characteristics; led Muslims are obliged to comply with the decision uli al-amri form of discipline. Being technical compliance and termination of a case can be made through consensus.
Key words: ulu al-quwah, ulu ba's-in, uli al-aydi, ahlul halli wal 'aqdi, amanah, ‘adil, mu’tamar, musyawarah

A.   Pendahuluan
Pemimpin dan kepemimpinan menjadi isu penting kaitannya dengan dinamika kemasyarakatan. Kepemimpinan merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin dalam memimpin suatu kelompok, baik terorganisasi maupun  tidak. Peranannya sangat penting, mengingat pemimpin adalah sentral figur dalam kelompok tersebut. Fungsi ini bukan hanya harus ditemukan dalam konteks keorganisasian dalam sebuah struktur yang baku, namun juga dalam konteks dakwah dimana para Dai termasuk penyuluh agama menjadi tokoh dalam struktur masyarakat yang akan menjadi acuan dalam dinamika sosial umat Islam.
Secara sosiologis, para pemimpin memiliki tugas pokok untuk memberikan kerangka acuan yang jelas dalam setiap tindakan kelompok dan anggota kelompok, sehingga memunculkan skala prioritas dalam setiap tindakan. Kemudian bertugas untuk mengawasi jalannya setiap pilihan tindakan agar tidak terjadi penyelewengan serta ia menjadi duta ke luar wilayah kelompoknya. Ketika dakwah dimaknai bukan hanya tanggungjawab individual, dan agama bukan hanya hadir dalam wilayah privat anggota masyarakat, niscaya upaya dakwah menjadi upaya dan tanggung jawab bersama. Dengan demikian keberadaan sosok kader dakwah yang sekaligus memiliki dimensi kepemimpinan menjadi penting.
Term pemimpin dalam al Quran salah satunya disebutkan dengan term uli l amri. Untuk memahami makna Uli l Amri ini, perlu dilakukan upaya pencarian makna yang dikehendaki oleh al Quran (kerja tafsir tematik). Fokus kajian dalam makalah ini adalah: Apa dan siapa uli al amri ; bagaimana ciri uli al amri ; bagaimana sikap umat Islam terhadap uli al amri .

B.   Uli al amri   dalam Al Quran
  1. Uli al amri  : Apa dan Siapa
Dalam al-Qur'an dapat dijumpai istilah-istilah yang serupa dengan ulu al-amri. Misalnya, dalam al-Qur'an surat al-Qashash/28:76, ada istilah ulu al-quwah, orang yang memiliki kekuatan; uli al-aydi, dalam al-Qur'an surat Shad/38:45, orang yang memiliki kekuatan yang dilambangkan dengan tangan yang kuat; atau ulu ba's-in, dalam al-Qur'an surat Bani Isra'il/17:5 dan al-Qur'an surat al-Fath/48:16. Dalam al-Qur'an surat al-Ahqaf/46:35, disebut ulu al-'azm-i, yaitu orang-orang yang keputusan ada ditangannya atau orang yang memiliki keunggulan, yaitu beberapa nabi dan rasul yang terkemuka, Nuh, Ibrahim, Musa, 'Isa, dan Muhammad[1]. Istilah Uli al amri   oleh Nazwar Syamsu, diterjemahkan-nya menjadi functionaries, orang yang mengemban tugas, atau diserahi menjalankan fungsi tertentu dalam suatu organisasi.[2]
Hal yang menarik memahami Uli al amri   ini adalah keragaman pengertian yang terkandung dalam kata amr. Istilah yang mempunyai akar kata yang sama dengan amr dan berinduk kepada kata a-m-r, dalam al-Qur'an berulang sebanyak 257 kali. Sedang kata amr sendiri disebut sebanyak 176 kali dengan berbagai arti, menurut konteks ayatnya. Kata amr bisa diterjemah-kan dengan perintah (sebagai perintah Tuhan), urusan (manusia atau Tuhan), perkara, sesuatu, keputusan (oleh Tuhan atau ma­nusia), kepastian (yang ditentukan oleh Tuhan), bahkan juga bisa diartikan sebagai tugas, misi, kewajiban, dan kepemimpinan. Dalam bahasa Inggris, diterjemahkan ke dalam beberapa pengertian seperti a command commandment, bidding, task, matter, affair, dan a thing.[3]
Namun sebenarnya, istilah Uli al amri  , hanya terdapat di dua tempat saja, yaitu dalam al-Qur'an surat an-Nisaa’/4:59 dan 83. Dan yang terutama mendapat pusat perhatian adalah al-Qur'an s. an-Nisaa’/4:59 yang artinya sebagai berikut:  
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan Uli al amri   di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[4]

b.    Sabab Nuzul
Imam Jalaluddin As Suyuthi dengan mengutip hadits Bukhari bab at tafsir (4584) bahwa Ibnu Abbas berkata ’Ayat ini turun kepada Abdullah bin Hudzafah bin Qais ketika dia diutus oleh Rasulullah bersama satu pasukan.’
Sementara itu dari Ad Dawudi berkata, “Ini adalah suatu kesalahan—maksudnya kebohongan yang dinisbatkan kepada ibnu Abbas. Karena sesungguhnya Abdullah bin Hudzaifah memimpin serombongan pasukan. Dia marah dan memulai peperangan dengan berkata. ‘Serang!’ Sebagian dari pasukannya tidak mau melakukannya dan sebagian lain lagi ingin melaksanakannya.”
Ad Dawudi berkata lagi, ’Jika ayat ini turun sebelum peristiwa ini, bagaimana mungkin ia mengkhususkan ketaatan kepada Abdullah bin Hudzaifah bin Qais dan tidak kepada yang lain? Dan jika ayat ini turun setelah peristiwa itu, seharusnya hanya dikatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam kebaikan,’ dan bukan ‘Mengapa kalian tidak menaatinya?’ ’
            Al Hafidz Ibnu Hajar mejawab pertanyan ini, bahwa maksud dari kisah ayat, ’Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu….’ adalah mereka berselisih dalam menunaikan perintah untuk taat dan tidak melaksanakan perintah itu karena menghindari api peperangan. Jadi, ayat ini sesuai jika turun pada mereka untuk memberitahukan mereka apa yang hendaknya mereka lakukan ketika berselisih, yaitu mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada Allah dan Rasulullah saw..
            Selain mengutip pendapat yang senada di atas, As Suyuthi juga mengutip pendapat Ibnu Jarir yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa yang terjadi pada Ammar bin Yasir bersama Khalid bin Walid. Ketika itu Khalid adalah Gubernur. pada suatu hari Ammar mengupah seseorang tanpa perintah Khalid, maka keduanyapun berselisih, lalu turunlah ayat ke 59 surat an Nisaa ini.[5]
            Namun demikian dari dua penjelasan yang disampaikan As Suyuthi tersebut, tampaknya yang paling mendekati konteks sosio historis turunnya ayat ini ialah yang diriwayatkan pertama melalui Bukhari.

c.      Tafsir Mufrodat
Pendapat ulama berbeda-beda tentang makna kata ulu al amr. Dari segi bahasa, uli adalah bentuk jamak dari waliy yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak, sedang kata al-amr adalah perintah atau urusan.[6] Dengan demikian, uli al-amr adalah orang. orang yang berwewenang mengurus urusan kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Siapakan mereka? Ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa/pemerintah. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka adalah ulama, dan pendapat ketiga menyatakan bahwa mereka adalah yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya.
'Ali[7] menyebut bahwa al-amr atau "urusan" (ia menerjemahkannya dengan istilah "perkara") itu bisa bermacam-macam dan dapat ditangkap dengan pengertian "bidang," seperti bidang militer, keduniawian (politik), atau keagamaan. Tentang soal-soal politik (keduniawian) ada patokan sebuah Hadits nabi: "Mereka yang diserahi pemerintahan, jangan sekali-kali dilawan, kecuali jika terang-terangan melihat mereka menjalankan kekafiran yang kamu mempunyai tanda bukti dari Allah." 'Ali menyebut kasus pengiriman sekitar seratus orang sahabat nabi untuk berhijrah ke Abesinia, sebuah kerajaan Kristen. Di situ umat Islam diwajibkan tunduk kepada undang-undang yang berlaku. Namun, "apabila orang disuruh mendurhakai Allah, ia tidak boleh mendengar dan bertaat kepada pihak yang berkuasa," seperti kata nabi.
Di satu pihak, 'Ali menyebut bidang-bidang kehidupan kemasyarakatan yang menimbulkan kekuasaan. Di lain pihak, ia memfokuskan hubungan antara seseorang dengan penguasa. Uli al amri  , adalah pemegang kekuasaan, pemegang komando, pemegang keputusan atas perkara, pemegang otoritas, kepada siapa kaum Muslim harus taat, kecuali untuk mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Dapat kita tafsirkan bahwa titik sentral ayat itu adalah soal ketaatan kepada Uli al amri, karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bukan merupakan persoalan, sebab sudah menjadi diktum kebenaran yang tidak dipersoalkan oleh kaum yang beriman. Masalahnya timbul, ketika kaum Muslim dihadapkan pada penguasa kafir, penguasa yang beragama lain, atau penguasa yang tidak adil.
Perlu dicatat bahwa kata al-amr berbentuk makrifat atau difinite. Ini menjadikan banyak ulama membatasi wewenang pemilik kekuasaan itu hanya pada persoalan-persoalan kemasyarakatan, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni. Selanjutnya, karena Allah memerintahkan umat Islam taat kepada mereka, maka ini berarti bahwa ketaatan tersebut bersumber dari ajaran agama, karena perintah Allah adalah perintah agama. Di sisi lain, bentuk jamak pada kata uli dipahami oleh sementara ulama dalam arti mereka adalah kelompok tertentu, yakni satu badan atau lembaga yang berwewenang menetapkan dan membatalkan sesuatu —katakanlah— misalnya dalam hal pengangkatan kepala negara, pembentukan undang-undang dan hukum, atau yang dinamai  ahlu al-halli wa al-'aqd. Mereka terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat, para ulama, petani, buruh, wartawan, dan kalangan profesi lainnya serta angkatan bersenjata.[8] Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh pengarang tafsir al-Manar, yakni Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, juga oleh al-Maraghi.
Berkenaan dengan hal ini Quraish Shihab berpendapat, bentuk jamak itu tidak mudah dipahami dalam arti badan atau lembaga yang beranggotakan sekian banyak orang, tetapi bisa saja mereka terdiri dari orang perorang, yang masing-masing memiliki wewenang yang sah untuk memerintah dalam bidang masing-masing. Katakanlah seorang polisi lalu lintas (polantas) yang mendapat tugas dan pelimpahan wewenang dari atasannya untuk mengatur lalu lintas. Ketika menjalankan tugas tersebut, dia berfungsi sebagai salah seorang Uli al amri .[9]
Wewenang yang diperoleh, baik sebagai badan maupun perorangan, bisa bersumber dari masyarakat yang akan diatur urusan mereka —katakanlah melalui pemilihan umum— dan bisa juga melalui Pemerintah yang sah, yang menunjuk kelompok orang atau orang tertentu untuk menangani satu urusan. Bahkan bisa juga —menurut Thahir Ibn 'Asyur— karena adanya pada orang-orang tertentu sifat-sifat dan kriteria terpuji, sehingga mereka menjadi teladan dan rujukan masyarakat dalam bidangnya. Ulama dan cendekiawan yang jujur adalah orang-orang yang memiliki otoritas di bidangnya. Bagi mereka, tidak perlu ada penunjukan dari siapa pun, karena ilmu dan kejujuran tidak memerlukannya. Masyarakat sendiri dengan meneladani dan merujuk kepada mereka dan berdasarkan pengalaman masyarakat selama ini, yang langsung memberi wewenang tersebut secara faktual, walau tidak tertulis.[10]
Berangkat dari pembahasan pada poin pertama ini, maka tampa jelas bahwa uli al amri juga dapat melekat pada sososk pejuang atau kader dakwah. Mereka memenuhi persayaratan karena keahliannya dalam bidang keagamaan, sebagai mana ditunjukkan oleh Shihab di atas.

  1. Ciri Uli al amri  
Menurut KH. Munawar Cholil,[11] "Uli al amri " yang wajib ditaati oleh segenap umat pada tiap-tiap masa itu bukanlah para hakim dan bukan pula para ulama ahli ijtihad saja, sekalipun mereka termasuk juga di dalamnya; tetapi yang dikehendaki dengan "Uli al amri" itu ahlul halli wal 'aqdi daripada kaum muslimin yang terdiri dari beberapa puluh orang yang mempunyai keahlian atau mempunyai keistimewaan dalam ilmu pengetahuan.
Apabila ahl al-halli wa al- 'aqdli, sebagai salah satu dari Uli al amri  , adalah mereka yang berurusan dengan soal "keduniaan" atau kemashlahatan umum, yang dasarnya adalah keahlian dan kewibawaan (dengan ukuran-ukuran obyektif), maka mereka itu tidak harus seorang Muslim. Memang K.H. Moenawar Chalil masih menambahkan keterangan "dan pada kaum Mu’min," tetapi hal itu dikatakan sebagai seyogyanya. Tetapi, kalau tidak semuanya dapat diambil dan kaum Muslim sendiri, maka dan pemeluk agama lain juga bisa. Secara tidak langsung K.H. Moenawar Chalil mengatakan: Karena soal-soal yang dihajatkan oleh umat, urusan yang menjadi kepentingan masyarakat dan hal-hal yang mengenai kemashlahatan umum itu, bukan hanya urusan kehakiman, urusan yang mengenai hukum fiqh dan soal-soal yang berkenaan dengan politik saja, tetapi sewaktu demi sewaktu adalah berbagai macam soal dan urusan, menurut keadaan yang terjadi pada tiap-tiap masa, yang masing-masing menghajatkan pikiran dan pandangan pada orang yang ahli. [12]
Dari kesimpulan itu dapat diketahui bahwa K.H. Moenawar Chalil bermaksud untuk menyempurnakan pengertian mengenai Uli al amri   secara lebih luas, yang tersimpul dalam apa yang disebut ahl al-halli wa al-'aqdli dari kalangan kaum Muslim. Dari kesimpulan baru ini, maka ada tiga kelompok Uli al amri, yaitu: (1) Para penguasa politik, (2) Para ulama dan ahli hukum syara', dan (3) Segenap ahl al-halli wa al- 'aqdli, yang terdiri dari ahli ilmu pengetahuan umum.
Kriterianya bukanlah iman (seagama) melainkan keahlian, walaupun kriteria iman bisa pula dipakai. Sungguhpun demikian, berbagai kriteria lain yang berasal dari ajaran al-Qur'an yang sifatnya non imani, dapat pula diterapkan dalam menyeleksi ahl al-halli wa al- 'aqdli, misalnya nilai amanah, darma, atau keadilan. Ayat yang menjadi fokus pem-bahasan ini perlu dikaitkan dengan ayat sebelumnya (munasabah ayat) yang berkata:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.

Memang banyak pula para ulama yang menetapkan kritena keadilan kepada Uli al amri. Dalam perkembangan teori politik, di kalangan Sunni berkembang suatu pendapat tentang perlunya kekuasaan yang beda sama sekali. "Juga kata-kata: "Enam puluh tahun bersama pemimpin yang jahat, lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin."[13] Karena itu demi keamanan dan kestabilan, kaum Muslim wajib taat kepada Uli al amri, walaupun mereka itu bukan dari kalangan agama sendiri, guna mendukung keamanan dan stabilitas. Namun ketaatan itu tentu ada batasannya yaitu sepanjang mereka tidak disuruh kufur kepada Allah. Dan sekalipun ketaatan kepada kekuasaan itu merupakan kewajiban, namun setiap Muslim memiliki hak untuk tidak taat penguasa yang zhalim.
Tetapi yang menjadi fokus gagasan 'Abduh dan Rasyid Ridla' bukan soal kezaliman dan keadilan, melainkan soal ruang lingkup otoritas Uli al amri. Rasyid Ridla' umpamanya dia memasukkan mereka yang menjadi otoritas di bidang-bidang kesehatan, perniagaan dan kerajinan. Arah pandangan itu lebih tegas lagi ketika ia meminta perhatian tentang peranan para pemimpin surat kabar, para pengarang, dan pemimpin buruh.
Jujur dan adil niscaya menjadi persyaratan penting dalam konteks dakwah kontemporer. Dakwah dalam lingkup keorganisasian yang tidak hanya dilakukan secara verbal melainkan juga dalam aksi atau tindakan sosial. Dewasa ini banyak sekali kelompok kelompok dakwah yang menerima dan mengelola amanah berupa sumberdaya ekonomi dari umat untuk umat. Kejujuran dan keadilan dalam pengelolaan ini tentu tidak bisa tidak menjadi tolok ukur kepercayaan umat Islam kepada Dai kaitannya sebagai bagian deri uli al amri  dalam bidang ini.

  1. Sikap Umat terhadap Uli al amri  
Ayat ini dan ayat-ayat sesudahnya—dalam perspektif munasabah ayat—masih berhubungan erat dengan ayat-ayat yang lalu, mulai dari ayat yang memerintahkan untuk beribadah kepada Allah, tidak mempersekutukan-Nya serta berbakti kepada orang tua, menganjurkan berinfak dan lain-lain. Perintah-perintah itu, mendorong manusia untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, anggotanya tolong menolong dan bantu membantu, taat kepada Allah dan Rasul, serta tunduk kepada Uli al amri, menyelesaikan perselisihan berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan al-Qur'an dan Sunnah, dan Iain-lain yang terlihat dengan jelas pada ayat ini dan ayat-ayat mendatang, sampai pada perintah berjuang di jalan Allah. Demikian hubungan ayat-ayat ini secara umum.
Secara khusus dapat dikatakan bahwa setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk menetapkan hukum dengan adil, maka ayat di atas memerintahkan kaum mukminin agar menaati putusan hukum dari siapa pun yang berwewenang menetapkan hukum. Secara berurut dinyatakan-Nya; Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dalam perintah-perintah-Nya yang tercantum dalam al-Qur'an dan taatilah Rasul-Nya, yakni Muhammad saw. dalam segala macam perintahnya, baik peiintah melakukan sesuatu, maupun petintah untuk tidak melakukannya, sebagaimana tercantum dalam sunnahnya yang sahih, dan perkenankan juga perintah Uli al amri  , yakni yang berwewenang menangani urusan-urusan kamu, selama mereka merupakan bagian di antara kamu  wahai orang-orang mukmin, dan selama perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah atau perintah Rasul-Nya. Maka jika kamu tarik menarik, yakni berbeda pendapat tentang sesuatu karena kamu tidak menemukan secara tegas petunjuk Allah dalam al-Qur'an dan tidak juga petunjuk Rasul dalam sunnah yang shahih, maka kembalikanlah ia kepada nilai-nilai dan jiwa firman Allah yang tercantum dalam al-Qur'an, serta nilai-nilai dan jiwa tuntunan Rasul saw. yang kamu temukan dalam sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman secara mantap dan bersinambung kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu, yakni sumber hukum ini adalah baik lagi sempurna, sedang selainnya buruk — atau memiliki kekurangan, dan di samping itu, ia juga lebih baik akibatnya, baik untuk kehidupan dunia kamu maupun kehidupan akhirat kelak.[14]
M. Quraish Shihab menerangkan bahwa apabila perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya digabung dengan menyebut hanya sekali perintah taat, maka hal itu mengisyaratkan bahwa ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan yang diperintahkan Allah swt, baik yang diperintahkan-Nya secara langsung dalam al-Qur'an, maupun perintah-Nya yang dijelaskan oleh Rasul melalui hadits-hadits beliau. Perintah taat kepada Rasul saw. di sini menyangkut hal-hal yang bersumber dari Allah swt., bukan yang beliau perintahkan secara langsung. Adapun bila perintah taat diulangi seperti pada QS. an-Nisa'/4: 59 di atas, maka di situ Rasul saw. memiliki wewenang serta hak untuk ditaati walaupun tidak ada dasarnya dari al-Qur'an. Itu sebabnya perintah taat kepada Uli al amri   tidak disertai dengan kata taatilah karena mereka tidak memiliki hak untuk ditaati bila ketaatan kepada mereka bertentangan dengan ketaatan kepada Allah swt. atau Rasul saw.[15]
Perintah taat kepada Rasul saw. adalah perintah tanpa syarat, menunjukkan bahwa tidak ada perintah Rasul yang salah atau keliru ada juga yang bertentangan dengan perintah Allah swt., karena jika maka tentu kewajiban taat kepada beliau tidak sejalan dengan taat kepada Allah, dan tentu juga ada di antara perintah beliau yang keliru.
Sementara itu M. Dawam Rahardjo mengutip dari 'Ali, menyatakan bahwa ayat ini menggariskan tiga aturan tentang hal yang berhubungan dengan kesejahteraan umat Islam, teristimewa dengan urusan pemerintahan: (1) Taat kepada Allah dan utusan, (2) Taat kepada yang memegang kekuasaan di antara kaum Muslim, (3) Mengembalikan kepada Allah dan utusan-Nya jika terjadi perselisihan dengan pihak yang berkuasa. Kata Uli al amri  , berarti "orang yang memegang kekuasaan." Ini mempunyai arti yang luas, sehingga perkara apa saja yang bertalian dengan kehidupan manusia, mempunyai Uli al amri sendiri-sendiri.[16]
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi fokus perhatian Muhammad 'Ali sebenarnya berkisar kepada soal "ketaatan." Dengan begitu ayat di atas disimak untuk menjawab pertanyaan, kepada siapa seorang Muslim itu harus taat? Hal itu didasarkan kepada asumsi ajaran Islam bahwa taat kepada otoritas itu adalah wajib hukumnya. Ketaatan adalah suatu prinsip yang mengatur hubungan antara seseorang dengan otoritas atau orang yang berkuasa.
Kalau pada ayat 58 ditekankan kewajiban menunaikan amanah, antara lain dalam bentuk menegakkan keadilan, maka berdampingan dengan itu, dalam ayat 59 ditetapkan kewajiban atas masyarakat untuk taat kepada Uli al amri, walaupun - sekali lagi — harus digarisbawahi penegasan Rasul saw. bahwa: la tha'ata li makhluqin ft ma'shiyati al-khaliq tidak dibenarkan taat kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq. Tetapi, bila ketaatan kepada Uli al amri tidak mengandung atau mengakibatkan kedurhakaan, maka mereka wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak berkenan di hati yang diperintah. Dalam konteks ini, Nabi saw. bersabda: "Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut apa saja (yang diperintahkan oleh Uli al amri) suka atau tidak suka. Tetapi bila ia diperintahkan berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak juga taat"[17] .
Apabila ayat 59 surat al-Nisaa/4 di atas dikaitkan dengan satu ayat lain yang memuat istilah Uli al amri, yaitu ayat 83 surat yang sama, maka inti dari makna surat itu adalah ’disiplin warga masyarakat’ dan penyerahan masalah kepada ’ahlinya’ dan bukannya tentang hak untuk berbeda pendapat atau menentang suatu otoritas, dengan alasan tertentu, misalnya memandang yang berkuasa itu zhalim. Hal mi berkaitan dengan perilaku tidak berbudaya dan kecenderungan bertindak sendiri, tanpa organisasi dan tanpa pemimpin. Dengan perkataan lain, ayat itu berkaitan sikap untuk menghapus anarki. Hal ini sangat kentara ayat 83:
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Uli al amri  di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan Uli al amri ). kalau tidaklah Karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (Depag RI. 1989: 132-133)
b.    Sabab Nuzul
Muslim (dalam Kitabithalaq, No. 2704) meriwayatkan bahwa Umar Ibnul Khaththab berkata, “Ketika Nabi saw. tidak mendatangi istri-istrinya, saya masuk ke dalam masjid. Disana saya mendapati orang-orang mengetuk-ngetukkan jari-jari mereka pada kerikil-kerikil di lantai masjid. Dan mereka berkata, ’Rasulullah saw. telah menceraikan istri-istrinya.’ Maka saya segera bangkit seraya berdiri di pintu masjid, lalu saya berseru dengan lantang, ’Beliau tidak menceraikan istri-istrinya!.” lalu turunlah firman Allah ayat ke 83 suat an Nisaa ini. ”[18]
Dalam konteks ayat di atas, Uli al amri, adalah mereka yang dapat mengambil keputusan mengenai suatu urusan dengan sebaik-baiknya, karena mengetahui masalah dan menyelidiki duduk perkara suatu masalah.
Hubungannya dengan soal disiplin dan kepercayaan kepada pimpinan, akan nyata jika dibaca pada ayat sebelumnya, yaitu ayat 80 dan 81 yang berbunyi :
Barangsiapa yang menaati Rasul, maka sesungguhnya la telah menaati Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutus kamu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. Dan mereka (orang yang munafik) mengatakan: ("kewajiban kami hanyalah) taat." Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari dan (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi.[19]

Ayat 80 merujuk pada soal ketaatan kepada rasul, sebagai seorang pemimpin. Mereka yang taat kepada rasul berarti taat kepada Allah. Jadi sebenarnya taat kepada Allah itu identik dengan taat kepada rasul, karena rasul adalah pemilik otoritas dalam penyampaian wahyu Illahi. Di sini rasul juga berperan sebagai pemelihara kepentingan umat. karena itu ia wajib ditaati.
Masalahnya adalah bagaimana jika sudah tidak ada lagi rasul? Di sini umat sudah diberi warisan pegangan yang memimpin dalam hidup, yaitu al-Qur'an sebagai manifestasi kepemimpinan Allah, dan al-Sunnah sebagai manifestasi kepemimpinan Rasul. Sehingga yang tinggal aktual hanyalah Uli al amri. Maka menjadi kewajiban para Uli al amri, dalam hal ini bisa ditafsir sebagai ahl al-halli wa al- 'aqdli, untuk menyerap tuntutan Al Qur’an dan al-Sunnah ke dalam corak kepemimpinan mereka. Tetapi adalah kewajiban masyarakat untuk taat kepada pimpinan, tentu saja pimpinan yang telah melaksanakan perintah yang lain, yaitu wa syawir hum fi al-amr-i (Q. s. Alu Imran/3:159), melaksanakan musyawarah. Atau dengan menunjuk kepada al-Qur'an surat al-Thalaq/65:6, ada istilah ta'mir yang kini berkembang menjadi istilah mu'tamar. Baik dalam pemilihan pemimpin, maupun dalam melakukan fungsi legislatif, al Quran memerintahkan musyawarah dalam lembaga mu'tamar.
Soal ketaatan kepada pimpinan, selain kepada orang maupun gagasannya (idea), juga menyangkut soal jika terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat. Ada tiga cara menyelesaikan masalah, Pertama, mengembalikan kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (Sunnah). Jika masalahnya sedemikan sulit, detail atau teknis memerlukan ijtihad, maka cara kedua adalah menyerahkan melakukan konsultasi dengan Uli al amri. Dan cara ketiga adalah melakukan musyawarah atau mu'tamar.
Berdasarkan hal itu, tampaknya ada perbedaan dalam interpretasi mengenai musyawarah dalam kaitannya dengan ketaatan. Pertama, adalah musyawarah antara umat dan pimpinan. Kedua, musyawarah di antara umat sendiri. Dan ketiga, musyawarah di antara ahl al-halli wa al- 'aqdli. Ketiga-tiganya tentulah harus berpedoman kepada al-Qur'an dan Sunnah Nabi Dan jika tidak dijumpai (karena keterbatasan kemampuan melakukan penafsiran umpamanya) dalam al-Qur'an maupun Sunnah, maka yang harus dilakukan adalah ijtihad atau mengonsultasikan masalahnya kepada Uli al amri maupun ahl al-halli wa al- 'aqdli yang telah terbentuk dan melembaga dalam masyarakat.


C.   Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kontekstualisasi Uli al amri  dalam dakwah Islam dapat disarikan dalam beberapa hal berikut:
1.    Uli al amri   (dalam Q.S. 4: 59) adalah mereka yang memiliki otoritas keahlian di bidang masing-masing, dan otoritas ini terpengaruhi oleh muatan iman (agama) termasuk bidang-bidang tertentu (sosial kemasyarakatan maupun ilmu alam).
2.     Merujuk kepada Q.S. 4: 58, ada kualifikasi lain yang harus dipenuhi seorang Uli al amri  , yaitu amanah dan adil. hal ini semakin menegaskan bahwa seorang pemimpin selain harus seorang ahli, juga memiliki integritas moral yang positif ditandai dengan kejujuran dan keadilannya.
3.    Seorang pemimpin (dalam Q.S. 4: 83) memiliki kewenangan untuk memutus suatu perkara berdasarkan keahliannya tersebut, dan sebagai umat yang dipimpin wajib untuk menaati keputusan tersebut sebagai bentuk kedisiplinan. Wujud ketaatan dan teknis pemutusan suatu perkara dapat dilakukan melalui musyawarah, sebagaimana ditemukan dalam munasabah ayat tersebut pada Q.S. Alu Imran ayat 159 dan Q.S. Ath Thalaq ayat 6.

Daftar Pustaka
Abu Zayd, Nasr Hamd. 2001         Mafhûm an Nash Dirâsah fi ‘Ulûm Alqurân (terj. Khoiron Nahdliyyin)  Yogyakarta: LKiS.
Al Farmawi, Abdul Hayy. 2002. Metode Tafsir Maudhu’i. (terj. Rosihon Anwar) Bandung: Pustaka Setia.
Al Qattan, Manna Khalil. 2001. Studi Ilmu Al Quran (Terj. Mudzakir AS.) Bogor: Litera Antar Nusa.
Ali, Abdullah Yusuf. 1988. The Holly Quran, text, translation and commentary. New York: The Tabrike Tarsile Quran.
As Suyuthi, Jalaludin. 2008. Sebab turunnya ayat alQuran. Jakarta: Gema Insani Press.
Chalil, Munawar KH. 1984. Ulil Amr. Semarang: CV. Ramadani.
Depag RI. 1989. Al Quran dan Terjemahannya. Semarang: CV. Toha Putra.
Faiz, Fakhrudin. 2003. Hermeneutika Qurani antara teks, konteks dan kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam.
Kassis, Hanna E. 1983.  A Concordance of the Quran.
Rahardjo, M. Dawam. 1996. Ensiklopedi Al Quran, Tafsir Sosial berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina.
Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsir Al misbah—Pesan kesan dan Keserasian Al Quran. Vol. 2. Cet. VIII.  Jakarta Lentera Hati.
Syamsu, Nazwar, 1980. Kamus Al Quran: Al Quran Indonsesia Inggris, berisi petunjuk surat dan ayat. Jakarta: Ghalia Indonesia.

[1]  Dawam Rahardjo, 2002: 466
[2]  Nazwar Syamsu, 1980.
[3]  Hanna E. Kassis, 1983.
[4]  Depag RI. 1989: 128
[5]  Jalaludin As Suyuthi, 2008: 173-174.
[6]  M. Quraish Shihab, 2007: 484.
[7]  Abdullah Yusuf  ‘Ali, 1988.
[8]  Muhammad Quraish Shihab, Loc. Cit: 484
[9]  ibid
[10] ibid
[11]  K.H. Moenawar Cholil, 1984.    
[12]  Ibid.
[13]  Suatu ungkapan yang terkenal dari Ibnu Taymiah.
[14]  Muhammad Quraish Shihab, Op. Cit.: 483
[15]  Ibid.
[16]  Dawam Rahardjo, Loc. Cit. 468.
[17] HR. Bukhari dan Muslim melalui Ibn'Umar.
[18] Jalaludin As Suyuthi, Op. Cit: 181-182
[19] Depag RI. Op. Cit.: 131-132

 KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Keprihatinan yang mendalam atas pergeseran nilai-nilai kepemimpinan yang terjadi saat ini yang ternyata telah banyak meninggalkan kaedah-kaedah normatif dalam kepercayaan moral (Morality Faith) baik pada sisi keagamaan maupun sisi kemasyarakatannya. Yang berujung pada pelanggaran-pelanggaran terhadap kaedah-kaedah Normatif tersebut, seperti meningkat-nya kasus-kasus korupsi, Kepentingan Golongan atau kelompok tertentu lebih diutamakan dari pada kepentingan orang-orang yang dipimpinnya atau Masyarakat umum, Nepotisme dan Kolusi merajalela, . Dekadensi Moral Kepemimpinan memang telah terjadi hampir disetiap tingkatan kepemimpinan, baik dalam kepemimpinan keluarga, kepemimpinan sosial kemasyarakatan, kepemimpinan dalam perusahaan atau badan usaha, kepemimpinan partai hingga kepemimpinan kepemerintahan dalam berbagai tingkatan. Sehingga perlu kiranya kita ummat islam mawas diri dan melakukan introspeksi diri atas persitiwa-peristiwa pelanggaran tersebut apakah sudah benar dengan kaedah-kaedah Normatif dalam kepercayaan agama kita ?… Meski kita tidak bisa memfonis diri bahwa dari masyarakat muslim lah pelanggaran-pelanggaran normative tersebut terjadi, Banyak juga pelanggaran-pelanggaran yang sama dilakukan oleh warga dari kalangan Non Muslim, seperti yang baru-baru ini terkuak. Atau korupsi yang terjadi di Negara lain yang Mayoritas masyarakatnya beragama Non Muslim, seperti di Filipina, Taiwan, Argentina, dan Italy. Meskipun demikian kita tetap harus melakukan Introspeksi diri dan mawas diri atas dekadensi moral Kepemimpinan yang terjadi di negeri ini. Berikut ini adalah ulasan pemahaman Kepemimpinan dalam Perspektif Islam semoga bisa menjadi bahan renungan dan jawaban untuk sebagian orang yang mempertanyakannya.
AL MAALIKUL MULKI (Zat yang mempunyai kekuasaan)
AL MAALIKUL MULKI (Zat yang mempunyai kekuasaan)
Pemimpin dan Pimpinan adalah dua kata yang seakan sama, namun memiliki dua makna yang berbeda. Sudah barang tentu Pemimpin dan Pimpinan memiliki bawahan atau ada sesuatu yang dipimpinnya. Namun dalam segi pemahamannya memilki makna yang berbeda jauh. Ketika kita berbicara Pemimpin maka akan tercipta sebuah stereotip yang sebenarnya harus berbeda dengan makna Pimpinan.
Pimpinan memiliki pemahaman bahwa seseorang yang ditunjuk untuk memiliki tanggung jawab memimpin oleh karena Pengangkatan, dalam artian bahwa suka atau tidak suka dari bawahannya, ia akan tetap memimpin bawahan-bawahannya tersebut.
Sedangkan Pemimpin adalah seseorang yang ditunjuk untuk memiliki tanggungjawab memimpin oleh karena kodrat alamiahnya sebagai Manusia.
Sebagaimana yang tercantum didalam firman Allah :
“Sesungguhnya Kami sudah kemukakan tanggungjawab amanah (Kami) kepada langit dan bumi serta gunung-gunung (untuk memikulnya), maka mereka enggan memikulnya dan bimbang tidak dapat menyempurnakannya (kerana tidak ada pada mereka persediaan untuk memikulnya); dan (pada ketika itu) manusia (dengan persediaan yang ada padanya) sanggup memikulnya. (Ingatlah) sesungguhnya tabiat kebanyakan manusia adalah suka melakukan kezaliman dan suka pula membuat perkara-perkara yang tidak patut dikerjakan.” – (Surah al-Ahzab, ayat 72)
Di ayat lain Allah juga menjelaskan :
“Kaum lelaki adalah pemimpin dan pengawal yang bertanggungjawab terhadap kaum perempuan, oleh kerana Allah melebihkan lelaki (dengan beberapa keistimewaan) atas perempuan dan kerana lelaki sudah membelanjakan (memberi nafkah) sebahagian dari harta mereka. Maka perempuan salih itu ialah yang taat (kepada Allah dan suaminya) dan yang memelihara (kehormatan dirinya dan apa juga yang wajib dipelihara) ketika suami tidak hadir bersama, dengan pemuliharaan Allah dan pertolongan-Nya. Dan perempuan yang kamu bimbang melakukan perbuatan derhaka (nusyuz) hendaklah kamu menasihati mereka, dan (jika mereka berdegil) pulaukanlah mereka di tempat tidur dan (jika mereka masih degil) pukullah mereka (dengan pukulan ringan yang bertujuan mengajarnya). Kemudian jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar.” – (Surah An-Nisa’, ayat 34)
Tidak mudah menghasilkan Pemimpin jika dibandingkan dengan Pimpinan. Seorang pimpinan entah itu mampu atau tidak, mau tidak mau harus memimpin karena ia diangkat meski terkadang dia tidak memiliki jiwa Pemimpin. Namun seorang Pemimpin itu memang layak untuk dicari dan diperjuangkan.
Dengan kata lain :
Pemimpin sudah berarti Pimpinan namun Pimpinan tidak berarti Pemimpin.
Pemimpin diangkat oleh orang-orang yang dipimpinnya karena suka dan kemampuannya sehingga ikhlas saat dipimpin, sedangkan Pimpinan diangkat oleh seseorang atau sekelompok orang yang disebut atasan untuk memenuhi tujuan dan tanggungjawab tertentu, meski orang-orang yang akan dipimpinnya belum tentu menyukainya.
Mari kita coba berfikir sama-sama, Apakah memang sudah banyak Pemimpin di negeri ini, mari kita perhatikan hadist rasulullah saw ini :
“Setiap kalian adalah Pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang Imam adalah Pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabanya, Seorang Suami adalah Pemimpin terhadap keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawabanya, seorang Istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawabanya, Seorang pembantu adalah Pemimpin terhadap harta majikannya, dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Setiap kalian adalah Pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Berbicara pimpinan bisa siapa saja untuk memimpin, namun yang harus kita kritisi adalah apakah memang dia pantas jadi Pimpinan atau apa benar ia memiliki jiwa Pemimpin ?. Sebenarnya yang harus kita cari adalah Pemimpin yakni orang-orang yang bertanggungjawab dengan segala kesadarannya untuk menjaga amanah yang diberikan kepadanya, yang berani ambil resiko untuk kepentingan umum meski dirinya sendiri harus menderita. Dan seorang Pemimpin juga seharusnya memiliki kesadaran bahwa masih ada yang lebih tinggi dari nya dan kekuasaan yang lebih luas darinya serta suatu ketika khelak akan dimintakan pertangungjawaban oleh Penguasa yang maha tinggi ini, yaitu Allah subhannahu wata’ala. Masalahnya masih banyak Pemimpin dari kalangan Muslim sendiri yang kurang atau bahkan tidak memahami kepemimpinan Islami atau paham namun tidak menerapkannya selama masa kepemimpinannya dan cenderung terbuai dengan otoritas dan kemudahan yang dimilikinya.
MUHAMMAD RASULULLAH
MUHAMMAD RASULULLAH
Contoh kepemimpinan Ideal yang islami dan sesuai dengan kondisi jaman saat ini adalah kepemimpinan Rasulullah salallahu alaihi wasalam. Begitu banyak contoh-contoh tauladan yang beliau berikan kepada kita yang bisa diterapkan untuk menjadi Pemimpin atau Pimpinan yang ingin memiliki jiwa Pemimpin Ideal. Sebagaimana yang Rasulullah contohkan seorang Pemimpin yang Ideal haruslah memiliki karakter sebagai berikut :
Mempunyai tingkat Religiusitas yang tinggi, ini adalah fungsi kontrol dari seorang Pemimpin bahwa dalam kepemimpinannya ada Pemimpin/ Penguasa tertinggi yang mengawasi dan kelak akan meminta pertanggungjawabannya di alam akhirat nantinya. meski jaminan Surga telah diberikan oleh Allah subhana huwata’ala kepada Rasulullah namun beliau tetap menjalankan Ibadah secara teratur tanpa berkurang sedikitpun. Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”
Mempunyai tingkat kesabaran yang tinggi, sehingga mampu mengendalikan emosi. Tindakan seorang pemimpin/ Pimpinan tidak boleh dilakukan dengan cara emosional. Efek nya akan sangat fatal apabila melakukannya. Sebagaimana yang rasulullah contohkan saat menghadapi masalah-masalah sulit untuk kepentingan ummat dan demi tegaknya agama Allah ini, Rasulullah menyegerakkan melakukan Shalat sunnah dua raka’at terlebih dahulu sebelum menentukan kebijakannya, sehingga membantu beliau dalam mengambil keputusan, karena efek dari berwudhu dan shalat adalah dapat memberikan rasa tenang dan kepasrahan diri kepada sang Khaliq.
Mempunyai tingkat kepedulian yang tinggi, Peduli terhadap permasalahan yang terjadi baik disekitar kepemimpinan dirinya maupun disekitar orang-orang yang dipimpinnya. Sebagaimana yang sering terjadi pada diri Rasulullah dalam kepemimpinannya, beliau selalu peduli dan mampu menjadi Solving Maker dalam setiap permasalahan yang timbul dikalangan ummat Islam saat itu bahkan kisah-kisah dan perkataan beliau mampu menjawab permasalahan yang timbul di kalangan Ummat Islam hingga saat ini dan hingga akhir masa nantinya. Sabda Rasulullah ; ”Tidaklah seorang pemimpin atau pemerintah yang menutup pintunya terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).
Mempunyai tingkat keadilan yang tinggi, Berlaku adil adalah syarat penting dalam kepemimpinan, bila seorang pemimpin tidak bisa bersikap adil maka olok-olok dan cemo’oh lah yang akan diberikan oleh pengikutnya. Nabiullah Muhammad Salallahu Alaihi Wasalam telah banyak memberikan contoh tentang keadilan ini. Bahkan beliau telah dijuluki ‘Al Amin’ yang artinya jujur dan terpercaya sebelum beliau diangkat menjadi Rosul oleh Allah subhana wa ta’ala. Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerumuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
Mempunyai tingkat Pengorbanan yang tinggi, seorang pemimpin sejati bekerja tanpa pamrih dan berjuang demi kemaslahatan orang banyak. Rela mengorbankan waktunya, saat orang-orang yang dipimpinnya sedang terlelap ia masih sibuk bekerja dan berfikir, saat orang-orang yang dipimpinnya masih bersenda gurau dan terlena dengan waktu senggangnya, seorang pemimpin telah sibuk dengan aktivitasnya demi kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya. Sebagaimana Rasulullah tidak pernah meninggalkan shalat malam dan selalu mendo’akan ummatnya baik kepada ummatnya yang saat itu ia pimpin maupun kepada ummat-ummat setelahnya. Bahkan beliau rela melepaskan harta benda miliknya demi kemaslahatan ummat dan demi tegaknya Islam, agama yang hanya di ridho’i oleh Allah subhana wata’ala. Saat beliau wafat pun, beliau masih sempat memikirkan ummatnya. Rasulullah bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).
Tegas dan komit dalam mengambil keputusan dan lemah lembut dalam merengkuh kebersamaan, ketegasan adalah yang diinginkan oleh pengikutnya dari seorang pemimpin. Ke-plin-plan-nan seorang pemimpin akan menjerumuskannya pada konflik internal yang berkepanjangan. Rasulullah bersabda,” Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim). Nabi Muhammad salallahu alaihi wasalam seorang yang lemah lembut meski dia selalu dihina, difitnah bahkan diludahi dan lebih dari itu oleh kaum kafirin. Namun dia akan menjadi orang yang tegas dan komit saat menghadapi kekejian kaum kafirin yang menghina Allah, Agama Islam dan Ummatnya. Begitu pula beliau akan menjadi tegas saat menghadapi kaum Munafik di dalam tubuh Islam itu sendiri. Doa Rasullullah,’ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya.
Memiliki tanggungjawab yang tinggi, tanggungjawab memiliki hubungan yang erat dengan pengorbanan. Seorang pemimpin yang bertanggungjawab terhadap orang-orang yang dipimpinnya dan terhadap tugas-tugas yang di embannya akan banyak melakukan pengorbanan baik materil maupun moril. Rasulullah salallahu alaihi wasalam rela mengorbankan harta bendanya bahkan rela tinggal di masjid agar bisa mensejahterakan ummatnya. Hendaklah selalu membuka pintu untuk setiap pengaduan dan permasalahan rakyat.Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin atau pemerintah yang menutup pintunya terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).
Jujur dan Rendah hati, kejujuran dan rendah hati adalah kunci kesuksesan seorang pemimpin untuk memperoleh kepercayaan dan dukungan dari orang-orang yang dia pimpin. Apabila sekali saja melanggarnya atau berbuat tidak jujur dengan alasan apapun maka bersiap-siaplah untuk jatuh dari kursi kepemimpinannya. Ambilah kisah-kisah Rasulullah didalam hadist sahih untuk menjadi pegangan dan contoh tauladan apabila anda berada diposisi sebagai seorang Pemimpin dan terapkanlah dalam kehidupan kita sehari-hari. Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin.Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ketika kita memasuki system Pemerintahan dalam Alam Demokrasi dimana Filosofi dari sistim Demokrasi ini adalah Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat (From People, by People and for People) serta kemenangan mutlak adalah kemenangan Rakyat(People Power). Maka sudah sepantasnya lah kita mencari sosok Pemimpin yang islami untuk menjadi Pimpinan.
Bangsa ini sedang membutuhkan Pemimpin yang memang sesuai dengan pemahaman yang sama yakni akan dimintai pertanggungjawaban. Tidak ada kata-kata lagi yang harus dikedepankan selain, masihkah kita harus menunggu dipimpin oleh Pimpinan yang tidak memiliki jiwa Pemimpin ? kita harus sama-sama bangkit dari keterpurukan dengan sadar bahwa kita itu Pemimpin.
Seorang Pemimpin harus berani tegakan ‘Amar Ma’ruf nahi munkar’ dan berani untuk menerima keritik, seorang Pemimpin tidak akan berani berkata saya Capek saya mau istirahat ketika memang belum terasa keadilan dan kesejahteraannya oleh Rakyatnya.
Dan Pemimpin itu tidak akan menjual keadilan hanya untuk kepentingan dirinya karena ia sadar bahwa ‘Yasytaruna bi ayatil-lahi tsamanan qalila’, sehingga meski emas sebesar dunia ini diberikan ia tidak akan goyah untuk takut melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Pemimpin itu harus menjadi pendengar setia dan penjaga keadilan untuk kesejahtraan rakyatnya sehingga rakyat menjadi merasa tentram dan akan melakukan yang terbaik karena memang mereka Ikhlas untuk dipimpin.
Dua Syarat Pemimpin Menurut Islam

Ditulis oleh Abdur Rosyid   
Dalam iklim demokrasi, rakyat diberikan hak yang lebih luas untuk menentukan pemimpinnya. Mulai dari Pilkades, Pilbup/ Pilwali, Pilgub, Pileg, sampai Pilpres.
ImageBarangkali Anda merasa lelah untuk terus memilih, namun bagaimanapun juga kita memiliki tanggung jawab terhadap kepemimpinan di negeri kita ini. Bagaimana kalau orang yang baik-baik tidak ikut memilih sementara mereka yang tidak baik dan tidak paham agama justru yang ikut memilih? Tentu para pemimpin yang tidak baiklah yang akan menguasai kita semua.
Memang benar masyarakat yang sudah relatif mandiri mungkin merasa tidak akan secara signifikan dipengaruhi oleh siapa yang akan menjadi pemimpin, namun dalam konteks yang lebih besar dan lebih menyeluruh, baik pada level nasional maupun internasional, siapa yang memimpin akan benar-benar menentukan kemana negeri ini akan berjalan.
Apakah kita rela bisa hidup sejahtera namun sekian banyak saudara-saudara kita tetap bergelimang dalam kesusahan, dan hak-hak mereka terus-menerus dikebiri dan dikorupsi oleh para pemimpinnya? Apakah kita rela kekayaan negeri ini terus-menerus dieksploitasi oleh asing, sehingga tidak ada yang tersisa bagi anak negeri ini kecuali sangat sedikit? Apakah kita rela bisa hidup merdeka, namun negeri ini diam dan bungkam terhadap kezhaliman dan penjajahan yang masih bercokol di belahan bumi yang lain?
Jika kita tidak rela, berarti kita harus menentukan para pemimpin kita, yang di tangan merekalah semua hal tadi ditentukan.
Lebih dari sekadar hak, menggunakan hal pilih dengan pilihan yang tepat adalah usaha yang bisa kita lakukan untuk mengubah negeri ini, yakni dengan memilih para pemimpin yang tepat. Sebab jika tidak, jangan-jangan akan muncul para pemimpin yang tidak baik, yang akan menguasai negeri ini.
******
Berbicara tentang pemimpin, Allah SWT telah menjelaskan kepada kita bagaimana pemimpin yang baik itu, melalui beberapa contoh kepemimpinan yang Allah ketengahkan dalam kitab-Nya, Al-Qur’an.
Diantara sosok yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah Musa as. Dalam QS Al-Qashash: 26, Allah SWT berfirman: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Wahai bapakku, ambillah ia (Musa) sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat (al-qawiyy) lagi dapat dipercaya (al-amin)".
Dalam ayat tersebut, Musa as disifati memiliki dua sifat yaitu al-qawiyy (kuat) dan al-amin (bisa dipercaya). Inilah dua sifat yang harus dimiliki oleh seseorang  yang “bekerja untuk negara”. Dua sifat tersebut adalah al-quwwah yang bermakna kapabilitas, kemampuan, kecakapan, dan al-amanah yang bermakna integritas, kredibilitas, moralitas.
Sosok pemimpin lainnya yang disebutkan oleh Al-Qur’an adalah Yusuf as. Dalam QS Yusuf: 55, Allah SWT mengabadikan perkataan Yusuf as kepada Raja Mesir: “Yusuf berkata: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".
Dari ayat diatas, kita mengetahui bahwa Yusuf as itu hafiizh (bisa menjaga) dan ‘alim (pintar, pandai). Inilah dua sifat yang harus dimiliki oleh seseorang yang “bekerja untuk negara”. Dua sifat tersebut adalah al-hifzh yang tidak lain berarti integritas, kredibiltas, moralitas, dan al-‘ilm yang tidak lain merupakan sebentuk kapabilitas, kemampuan, dan kecakapan.
Jadi kesimpulannya, kriteria pemimpin yang baik menurut Al-Qur’an adalah yang kredibel dan juga kapabel. Dua-duanya harus ada pada diri seorang pemimpin, bukan hanya salah satunya. Jika seorang pemimpin hanya kredibel tapi tidak kapabel, maka urusan akan berantakan karena diserahkan pada yang bukan ahlinya. Rasulullah saw bersabda, “Jika urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya”. Sebaliknya, jika seorang pemimpin hanya kapabel tapi tidak kredibel, maka dia justru akan ‘minteri’ rakyat, menipu rakyat, menjadi maling dan perampas hak-hak rakyatnya, dan tidak bisa dijadikan sebagai contoh dan teladan. Dan jika para pemimpinnya bermoral rendah, bagaimana dengan rakyatnya?
******
Dalam konteks saat ini di negeri kita ini, orang-orang berlomba-lomba untuk bisa meraih kekuasaan. Siapapun, yang baik ataupun yang tidak baik, yang berkualitas ataupun yang tidak berkualitas, yang bermoral ataupun yang tidak bermoral, yang kapabel ataupun yang tidak kapabel, semuanya berlomba-lomba untuk bisa mendapatkan dukungan yang sebesar-besarnya, sehingga bisa terpilih dan duduk dalam kursi kekuasaan.
Dalam kondisi semacam ini, tidak mungkin seseorang bersikap diam dengan dalih bahwa Nabi berkata “meminta jabatan itu tidak boleh”. Sebetulnya, kata-kata Nabi itu adalah melarang orang yang tidak kredibel dan tidak cakap untuk meminta jabatan, lagipula di masa Nabi saw tidak ada sahabat yang minta-minta jabatan.
Kalau sekarang, kondisinya berbeda. Semua orang berlomba-lomba minta jabatan. Oleh karena itu, dalam kondisi semacam ini kita harus melakukan apa yang telah dilakukan oleh Nabi Yusuf. “Yusuf berkata: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". Dia meminta karena dia memang mampu dan berkualitas, kredibel dan juga cakap.
******
Ditengah ramainya persaingan meraih kursi kekuasaan saat ini, jangan sampai kita terlena dan tertipu dengan berbagai macam bentuk usaha untuk mendapatkan dukungan.
Pertama, jangan sampai kita terjebak dalam money politic, yang tidak lain adalah usaha untuk menyuap rakyat. Mari kita tolak money politic, dan kita mengajak semua orang untuk memberantas praktek-praktek money politic.
Apakah kita rela dipimpin oleh orang-orang yang memberikan kepada kita 50 ribu untuk kemudian mencuri dan merampas hak-hak kita yang nailainya jauh lebih besar dari itu?
Kedua, kita harus jeli dalam melihat kualitas calon-calon pemimpin kita. Kita harus bisa melihat secara lebih obyektif. Jangan mudah tertipu dengan lips service atau abang-abang lambe, apalagi sekedar janji-janji kosong.
Mari kita melihat track record para kandidat tersebut. Sejauh ini, apa saja yang telah mereka lakukan. Karya nyata apa yang bisa mereka persembahkan. Dan harapan apa yang bisa digantungkan ke pundak mereka. Mari kita lihat semuanya dengan jeli dan obyektif, baik itu orang-orangnya maupun partainya.

 Beeberapa Hadis tentang Kepemimpinan dalam Kitab Riyadhus Shalihin

A. Pendahuluan
Dalam sejarah kehidupan manusia, telah muncul konsepsi tentang kepemimpinan. Bagaimana Nabi Adam memimpin Hawa dan keturunannya di dunia setelah diusir dari surga. Begitu juga sejak awal kemunculan Islam, Nabi Muhammad selain sebagai seorang utusan Rasul yang menyampaikan ajaran-ajaran agama tetapi juga seorang kepala Negara dan kepala rumah tangga. Paling tidak dalam catatan-catatan sejarah kenabian yang terdokumentasikan dalam Hadits-Hadits yang tetap terjaga dan masih bisa dikonsumsi sampai saat ini, Nabi memberikan contoh bagaimana seorang pemimpin menyelesaikan persoalan-persoalan pribadi maupun sosial kemasyarakatan berdasarkan musyawarah untuk tercapainya kemaslahatan.
Masa peletakan Fondasi Islam yang di bawa Nabi Muhammad Saw. telah lama usai. Setiap ummat Islam dituntut untuk mampu mengaplikasikan ajaran-ajaran tersebut kedalam seluruh aspek kehidupan, tentunya dengan kontekstualisasi yang sejalan dengan perubahan zaman namun tetap berdasarkan tuntunan yang ada.
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl : 90)
Berdasarkan ayat diatas paling tidak, dapat diraba bahwa konsepsi kepemimpinan diakui oleh Islam yang dimanifestasikan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Untuk lebih mendalami hal tersebut dalam makalah ini akan sedikit dibahas beberapa hadits yang tertuang dalam Kitab Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi.
B. Pembahasan
Islam menetapkan tujuan dan tugas utama pemimpin adalah untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta melaksanakan perintah-perintah-Nya. Ibnu Taimyah mengungkapkan bahwa kewajiban seorang pemimpin yang telah ditunjuk dipandang dari segi agama dan dari segi ibadah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pendekatan diri kepada Allah adalah dengan menaati peraturan-peraturan-Nya dan Rasul-Nya. Namun hal itu lebih sering disalah gunakan oleh orang-orang yang ingin mencapai kedudukan dan harta.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya :
Dari Ibn Umar r.a. Sesungguhnya Rasulullah Saw. Berkata :”Kalian adalah pemimpin, yang akan dimintai pertanggungjawaban. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin dirumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam mengelolaharta tuannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Oleh karena itu kalian sebagai pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Hal yang paling mendasar yang dapat diambil dari hadis diatas adalah bahwa dalam level apapun, manusia adalah pemimpin termasuk bagi dirinya sendiri. Setiap perbuatan dan tindakan  memiliki resiko yang harus dipertanggungjawabkan.
Setiap orang adalah pemimpin meskipun pada saat yang sama setiap orang membutuhkan pemimpin ketika ia harus berhadapan untuk menciptakan solusi hidup di mana kemampuan, keahlian, dan kekuatannya dibatasi oleh sekat yang ia ciptakan sendiri dalam posisinya sebagai bagian dari komunitas.
1) Penguasa yang adil
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Artinya :
Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi Saw., beliau bersabda : “Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu : Pemimpin yang adil, Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah Ta’ala, Seseorang yang hatinya senantiasa digantungkan (dipertautkan)” dengan masjid, Dua orang saling mencintai karena Allah, yang keduanya berkumpul dan berpisah karena-Nya. Seorang laki-laki yang ketika diajak [dirayu] oleh seorang wanita bangsawan yang cantik lalu ia menjawab :”Sesungguhnya saya takut kepada Allah.”Seorang yang mengeluarkan sedekah sedang ia merahasiakanny, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di tempat yang sepi sampai meneteskan air mata.”
Setiap orang berhak mengeluarkan pendapatnya dan seorang pemimpin berkewajiban mendengarkan. Ia wajib menjalankan hasil musyawarah. Setiap keputusan yang telah disepakati bersama wajib dilaksanakan karena itu merupakan amanat yang dibebankan kepadanya. Dalam hadits diatas diungkapkan keutamaan seorang pemimpin yang adil sehingga mendapatkan posisi pertama orang yang mendapatkan naungan dari Allah pada hari kiamat. Hal ini menunjukkan begitu beratnya menjadi seorang pemimpin untuk selalu adil dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan.
2) Wajib menaati perintah penguasa
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Artinya :
Dari Ibn Umar ra., dari Nabi Saw., sesungguhnya bliau bersabda : “Seorang Muslim wajib mendengar dan taat terhadap perintah yang disukai maupun tidak disukainya. Kecuali bila diperintahkan mengerjakan kemaksiatan, maka ia tidak wajib mendengar dan taat”
Secara kontekstual hadits diatas dapat diartikan dalam berbagai dimensi. Dalam sebuah komunitas, masyarakat dan agama setiap manusia memiliki sistem yang mengatur mereka maka wajar sebagai bagian dari sistem tersebut untuk mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Namun ketaatan tersebut tidak serta merta menjadi sikap yang selalu taklid terhadap pemimpin. Dalam Islam diajarkan tidak diperbolehkan taat atau memetuhi pemimpin kecuali dalam batas-batas yang telah dijelaskan Allah dalam al-Qur’an dan Hadits bahwa tidak wajib memetuhi seorang pemimpin melainkan karena Allah.
3) Larangan meminta jabatan & Mengangkat pejabat karena memintanya
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Artinya :
Dari Abdurrahman ibn Smurah ra. Ia berkata : Rasulullah bersabda :”Wahai Abdurrahman Ibn sammurah, janganlah kamu meminta jabatan. Apabila kamu diberi dan tidak memintanya, kamu akan mendapat pertolongan Allah dalam melaksanakannya. Dan jika kau diberi jabatan karena memintanya, jabatan itu diserahkan sepenuhnya. Apabila kamu bersumpah terhadap satu perbuatan, kemudian kamu melihat ada perbuatan yang lebih baik, maka kerjakanlah perbuatan yang lebih baik itu.
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلَانِ مِنْ بَنِي عَمِّي فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِّرْنَا عَلَى بَعْضِ مَا وَلَّاكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَقَالَ الْآخَرُ مِثْلَ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّا وَاللَّهِ لَا نُوَلِّي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلَا أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ
Artinya:
Dari Abu Musa al-Asy’ari ra., ia berkata: bersama dua orang saudara sepupu, saya mendatangi Nabi Saw. kemudian salah satu diantara keduanya berkata: Wahai Rasulullah, berilah kami jabatan pada sebagian dari yang telah Allah kuasakan terhadapmu. Dan yang lain juga berkata begitu. Lalu beliau bersabda: Demi Allah, aku tidak akan mengangkat pejabat karena memintanya, atau berambisi dengan jabatan itu.
Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi lingkungan pekerjaannya, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya. Berdasarkan hadits diatas dapat dipahami bahwa yang menjadi penentu adalah masyarakat atau komunitas, bukan sikap mengharapkan sebuah jabatan dengan meminta. Dengan meminta maka jabatan tersebut bukan lagi sebuah pengembanan amanat masyarakat atau komunitas yang dipimpin melainkan keinginan pribadi dengan tujuan tertentu.
Kepemimpinan adalah tanggung jawab yang dimulai dari dalam diri kita. Kepemimpinan menuntut suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Kepemimpinan sejati dimulai dari dalam dan kemudian bergerak ke luar untuk bertanggungjawab kepada yang dipimpin. Disinilah pentingnya karakter dan integritas seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin sejati dan diterima oleh masyarakat atau komunitas yang dipimpinnya. Kembali betapa banyak kita saksikan para pemimpin yang mengaku wakil rakyat ataupun pejabat publik, justru tidak memiliki integritas sama sekali, karena apa yang diucapkan dan dijanjikan ketika kampanye dalam Pemilu tidak sama dengan yang dilakukan ketika sudah duduk nyaman di kursinya. Wallahu A’lam …
Benarkah Non-Muslim Tapi Adil, Masuk Syarat Kepemimpinan?
Top of Form


Pemimpin yang adil itu syarat utamanya harus beriman dan taat menjalankan ajaran agama




Bottom of Form
Rabu, 15 Agustus 2012
Oleh: Kholili Hasib
BELUM lama ini, isu tentang memilih pemimpin yang adil diperbincangkan di beberapa media Islam. Menyusul pernyataan Ketua PBNU, Dr Said Agil Siradj di beberapa media, yang menyatakan bahwa memilih pemimpin non-Muslim tapi adil itu lebih baik daripada memilih Muslim tapi tidak adil.
Marilah kita telaah secara jujur dalam pandangan dan prinsip agama Islam.Dalam Islam, adil itu adalah istiqamah dalam menjalankan syariat. al-Jurjani dalam al-Ta’rifat, bahwa ia bermakna menjauhi diri dari dosa-dosa besar; tidak selalu melakukan dosa-dosa kecil; perbuatan yang kebanyakannya benar; meninggalkan perbuatan-perbuatan murahan, seperti kencing dan makan di jalan. Bahkan secara syariat ia merupakan kondisi istiqamah pada yang benar (haq) dengan meninggalkan segala sesuatu yang dibenci agama (syariat).
Kecuali dalam situasi peperangan. Mengutamakan panglima yang kuat daripada yang taat pada agama tapi fisiknya lemah, itu lebih baik. Karena, dalam peperangan yang dibutuhkan adalah kekuatan fisik panglima dan keahlian dalam strategi perang.
Lawan kata adil, seperti dijelaskan oleh Ahmad as-zawi, adalah  menyimpang atau dzalim. Menyimpang di sini adalah menyalahi ajaran agama. Para sahabat Nabi disebut adil, karena patuhnya mereka secara tulus terhadap ajaran Nabi. Pertanyaannya sekarang, apakan non-Muslim dapat dimasukkan dalam kategori ini? Berikut ini penulis jelaskan secara singkat.
Dalam Islam, kepemimpinan  merupakan salah satu elemen penting. Wajib hukumnya mengangkat satu orang 'amir (pemimpin) yang adil dalam suatu komunitas masyarakat, agar komunitas sosial tersebut mampu menegakkan kebenaran dan keadilan. Sebab penegakan keadilan tidak mungkin dicapai kecuali dengan kekuasaan/otoritas seorang pemimpin yang taat pada ajaran agamanya.
Ibnu Taimiyah mengatakan, pentingnya mengangkat pemimpin yang adil disebabkan karena tanpa seorang pemimpin tidak akan tercipta ketenangan, ketentraman dan kesejahteraan dalam masyarakat. Dengan terealisasinya maslahah tersebut, selanjutnya masyarakat Islam akan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (al-falah fi al-dunya wal akhirah).
Oleh karena itu, kewajiban seorang penguasa  bukan hanya menjaga kebutuhan materi masyarakat, akan tetapi lebih dari itu, memelihara ketentraman sosial dan kebenaran menjalankan agama, agar selalu dalam susana kondusif. Ia melindungi jasmani rakyatnya, juga menguatkan ruhaninya agar sesuai dengan syari’ah.
Karena peran inilah, seorang pemimpin dalam perspektif Islam memegang posisi yang sangat menentukan masa depan rakyat yang dipimpin. Maka, dalam fiqh al-siyasah seorang pemimpin disebut khalifah al-nubuwwah – pengganti Nabi baik dalam urusan dunia, agama atau Negara. Maka sistem yang dipegang seorang pemimpin juga harus kuat. Perpaduan yang ideal antara sistem dan pemimpin akan membawa rakyat pada kehiudupan makmur dan berkualitas.
Dalam kaca mata Islam, kepemimpinan memiliki ciri khas tersendiri. Yaitu keharusan adanya seorang pemimpin dalam seluruh perkara, apalagi perkara besar seperti negara. Sebab tidak akan ada gunanya pelaksanaan suatu sistem apabila tidak ada orang yang memimpin pelaksanaan sistem tersebut. Dalam al-Siyasah al-Syar'iyah Ibnu Taimiyah memberi petunjuk, memilih pemimpin bukan atas dasar golongan dan hubungan kekerabatan. Akan tetapi masyarakat harus mengutamakan profesionalitas dan amanah. Cara yang dipakai pun mesti menggunakan mekanisme benar, jujur dan dapat dipertanggung jawabkan.
Syarat kredibilitas dan amanah seorang pemimpin oleh Imam Al-Ghazaliy dalam al-Tabru al-Masluk fi Nashihati al-Muluk dimaknai sebagai seorang yang berbuat adil di antara masyarakat, melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas, dan tidak dzalim (tirani).
Imam Al-Mawardi memberi persyaratan lebih lebih rinci. Dijelaskan, bahwa seorang pemimpin haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut: Pertama, memiliki integritas, kedua, penguasaan dalam bidang ilmu Negara dan agama, agar dalam dalam menentukan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, ketiga,  sehat panca inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan tugas), keempat, anggota badannya normal tidak cacat yang dapat mengganggu tugas, kelima, pemberani memiliki keahlian siasat perang, keenam kemampuan intelektual untuk mengatur kemaslahatan rakyat, dan terakhir adalah berasal dari nasab qurays (al-ahkam al-sulthoniyah. hlm 5).
Beberapa Syarat Kepemimpinan dalam ISlam
Beberapa ulama' memberi kelengkapan syarat. Pertama, yaitu seorang pemimpin mesti mewarisi sifat-sifat Nabi Muhammad SAW seperti jujur, cerdas (memiliki pengaetahuan dan kecakapan dalam memimpin), amanah (dapat dipercaya), dan tabligh (mampu berkomunikasi baik dengan semua orang dari berbagai strata sosial, termasuk kepada para stafnya).
Ciri kepemimpinan Rasul ini menurut para ulama' harus dimiliki karena, seorang pemimpin dalam perspektif Islam berposisi sebagai Khalifah al-Nubuwwah.
Kedua, selain itu, potret kehidupan para khalifah terdahulu yang penuh kesadaran dan kesederhanaan menjadi kaca bagi para pemimpin saat ini. Khalifah 'Umar bin Khattab r.a misalnya, setiap malam beliau berkeliling kota Madinah untuk memastikan rakyatnya dalam kondisi aman dan terpenuhi kebutuhan makanannya.
Dalam dinasti 'Umayyah, sosok 'Umar bin 'Abdul Aziz, yang masyhur dengan julukan 'Umar ke-dua karena sifat dan karakternya mewarisi 'Umar bin Khattab r.a, terkenal dengan zuhud dan wara'nya. Padahal, kekhilafahannya pada saat itu mencapai zaman keemasan dan puncak kejayaan. Akan tetapi ia tidak larut  dan lalai menikmati kekayaan negaranya.
Kesederhanaannya itu dibuktikan dengan kesahajaan memegang harta. Harta pribadi dan keluarganya diserahkan seluruhnya ke Baitul Maal. Suatu hari salah satu kerabatnya memberi hadiah buah apel, namun beliau menolak secara halus – meskipun di hari itu ia betul-betul sangat menginginkan untuk mencicipi buah apel. Beliau menolak hadiah tersebut karena khawatir hal itu menjadi risywah (suap), padahal kerabat beliau tidak bermaksud memberi suap.
Secara umum dapat disimpulkan, sosok figur pemimin ideal menurut perspektif Islam adalah; calon pemimpin haruslah seorang Muslim yang konsisten menjalankan perintah agama (isiqamah) dan tidak tiranik/berbuat dzalim – sebagaiman disyaratkan oleh al-Ghazali. Syarat ini oleh Imam al-Mawardi disebut 'adalah.
Seorang kafir juga tidak sah menjadi kepala Negara, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Nisa': 141. Jika pemimpin itu seorang Muslim yang istiqamah dan bertakwa, maka dalam menjalankan kepemimpinan ia pasti amanah.
Ketiga, persyaratan selanjutnya adalah merdeka, (bukan budak), karena seorang pemimpin tidak boleh di bawah bayang-bayang kekuasaan orang lain. Dalam konteks sekarang, tidak dalam interfensi bangsa lain apalagi menjadi boneka Negara lain. Karena, jika diinterfensi ia tidak bisa sepenuhnya menjalankan kebijakan sesuai aturan agama.
Jadi, syarat yang paling mendasar seorang pemimpin disebut adil adalah dilihat dari keimannya dan komitmennya menjalankan perintah agama.
Keempat, syarat lainnya adalah tafaqquh fi al-din (memiliki pengetahuan dan pemahaman agama yang baik), sebab menurut al-Mawardi, kepala Negara tidak hanya menguasai ilmu politik tapi juga harus menguasai agama layaknya ulama', dalam istilah lain seorang pemimpin Negara itu harus  "umara' sekaligus ulama'".
Kolaborasi negarawan dan agamawan merupakan keharusan untuk menciptakan suasan aman, damai, dan sejahtera serta berjalan dalam koridor agama. Jika pengetahuan agamanya belum memadai, maka ia harus memiliki penasihat keagamaan, atau wakilnya adalah yang mengerti agama dan taat menjalankan syariat.
Oleh sebab itu, kepemimpinan dalam perspektif Islam tidak memisahkan secara dikotomis Negara-dan agama, umara dan ulama. Agama dan ulama memberi warna Negara karena pemimpin merupakan sebuah amanat yang diberikan kepada orang yang benar-benar ahli, berkualitas dan memiliki tanggungjawab yang jelas dan benar serta adil, jujur dan bermoral baik, menerima kritik membangun dan ditambah berkolaborasi dengan ulama'.
Pemimpin yang adil itu syarat utamanya harus beriman dan taat menjalankan ajaran agama. Di luar itu, tidak bisa disebut pemimpin yang ‘adalah (adil). Tanggung jawab tidak hanya kepada rakyat tetapi juga kepada Allah di akhirat.*
Penulis adalah alumni Program Kaderisasi Ulama’ ISID Gontor

Red: Cholis Akbar
  Syarat Pemimpin dalam Islam
Pertama
, Setia kepada Allah. Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaankepada Allah;
Kedua
, Tujuan Islam secara menyeluruh. Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan sajaberdasarkan kepentingan kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup kepentingan Islam yanglebih luas;
Ketiga
, Berpegang pada syariat dan akhlak Islam. Pemimpin terikat dengan peraturan Islam,dan boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang teguh pada perintah syariah.Dalam mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam, khususnya ketikaberurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham;Keempat, Pengemban amanat. Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari AllahSwt., yang disertai oleh tanggung jawab yang besar. Al-Quran memerintahkan pemimpinmelaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap yang baik kepada pengikut ataubawahannya.Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman :
“(  yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkankedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allahlah kembali segala urusan.” (QS. al -Hajj [22]:41).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalahadanya prinsip-prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam yakni : Musyawarah; Keadilan; danKebebasan berfikir.Secara ringkas penulis ingin mengemukakan bahwasanya pemimpin Islam bukanlahkepemimpinan tirani dan tanpa koordinasi. Tetapi ia mendasari dirinya dengan prinsip-prinsip Islam. Bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya secara obyektif dan dengan penuhrasa hormat, membuat keputusan seadil-adilnya, dan berjuang menciptakan kebebasanberfikir, pertukaran gagasan yang sehat dan bebas, saling kritik dan saling menasihati satusama lain sedemikian rupa, sehingga para pengikut atau bawahan merasa senangmendiskusikan persoalan yang menjadi kepentingan dan tujuan bersama. Pemimpin Islambertanggung jawab bukan hanya kepada pengikut atau bawahannya semata, tetapi yang jauhlebih penting adalah tanggung jawabnya kepada Allah Swt. selaku pengemban amanahkepemimpinan. Kemudian perlu dipahami bahwa seorang muslim diminta memberikannasihat bila diperlukan, sebagaimana Hadits Nabi dari :Tamim bin Awsmeriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Agama adalah nasihat.” Kami berkata: “Kepada siapa?” Beliau menjawab: “Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya,
 Pemimpin umat Islam dan kepada masyarakat kamu.”
 Dalam islam sudah ada aturan-aturan yang berkaitan dengan hal tersebut,diantaranya sebagaiberikut:
Niat yang Lurus
Hendaklah saat menerima suatu tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai denganapa yang telah Allah perintahkan.Lalu iringi hal itu dengan mengharapkan keridhaan-Nya saja.Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukankesempatan dan kemuliaan.
Laki-Laki
 Wanita sebaiknya tidak memegang tampuk kepemimpinan.Rasulullah
Shalallahu‟alaihi wa sallam bersabda,”Tidak akan beruntung kaum yang dipimpim
oleh seorang wanita (Riwayat Bukhari dari Abu Bakarah Radhiyallahu‟anhu).
Tidak Meminta Jabatan
 Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu‟anhu,”Wahai
Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadipemimpin.Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karenapermintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jikakepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan
dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Berpegang pada Hukum Allah.
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah berfirman,”Dan hendaklah
kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
 janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al
-Maaidah:49).Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dicopot dari jabatannya.

Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan
datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan
oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari
Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
Tidak Menutup Diri Saat Diperlukan Rakyat.
 Hendaklah selalu membuka pintu untuk setiap pengaduan dan permasalahan
rakyat.Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin atau pemerintah yang
menutup pintunya terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan
 
menutup pintu-pintu langit terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinannya.” (RiwayatImam Ahmad dan At-Tirmidzi).
Menasehati rakyat 
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum
Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecualipemimp
in itu tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”
Tidak Menerima Hadiah
 Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyaimaksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati.Oleh karena itu,hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya.Rasulullah
 bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (RiwayatThabrani).
Mencari Pemimpin yang Baik
Rasulullah bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan seorang
khalifah kecuali ada bersama mereka itu golongan pejabat (pembantu).Yaitu pejabatyang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pejabat yangmenyuruh kepada kemungkaran dan mendorongnya ke sana.Maka orang yang terjagaadalah orang yang dijaga
oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu saidRadhiyallahu‟anhu).
  
Lemah Lembut
Doa Rasullullah,‟ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia
mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkaraumatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlahkepadanya.
Tidak Meragukan dan Memata-matai Rakyat.
Rasulullah bersabda,” Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalammasyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al
-hakim). 
Dari penjelasan di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kepemimpinan adalahsebuah amanah yang harus diemban dengan sebaik-baiknya, dengan penuh tanggung jawab,profesional dan keikhlasan. Sebagai konsekuensinya pemimpin harus mempunyai sifatamanah, profesional dan juga memiliki sifat tanggung jawab. Kepemimpinan bukan
kesewenang-wenangan untuk bertindak, tetapi kewenangan melayani untuk mengayomi danberbuat seadil-adilnya. Kepemimpinan adalah keteladanan dan kepeloporan dalam bertindak yang seadil-adilnya. Kepemimpinan semacam ini hanya akan muncul jika dilandasi dengansemangat amanah, keikhlasan dan nilai-nilai keadilan.

Akhlak Kepemimpinan Dalam Islam